Senin, 12 Mei 2014

Icip-icip Kelezatan Rempah Kita

Iringan musik Kolintang Agape, sebuah kelompok yang biasa bermain di acara-acara kegerejaan terdengar ritmis saat pembukaan restoran Rempah Kita di Plaza Indonesia Jakarta, Kamis (10/4). Betapa tidak, lagu-lagu khas daerah macam Si Patokaan, Ina Ni Keke, Lisoi, Anging Mamiri, Waktu Hujan Sore dan lagu lainnya mengalun indah.

Tentunya, lagu-lagu tersebut menambah semarak tatkala pengunjung menyantap aneka menu makanan. Suasana pun terasa khidmat menambah kelezatan masakan serasa lebih Indonesia sesuai menu-menu yang disajikan.

Restoran Rempah Kita berlokasi di mal Plaza Indonesia Jakarta. Sebelumnya, restoran tersebut bernama Lada Merah. Manajemen mengubah nama lantaran pemilihan nama Rempah Kita lebih mewakili Indonesia. "Karena semua menu yang ditawarkan khas masakan Nusantara," papar Michael Irawan, Chef Manager Rempah Kita.

Dengan demikian, pengunjung dimanjakan oleh lebih dari seratus menu masakan khas Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan pulau-pulau di Nusantara lainnya. Dari ribuan masakan khas Indonesia, Rempah Kita menyeleksi menu-menu khusus yang sudah terdengar akrab untuk dijadikan masakan andalan.

Masakan Padang, siomay Bandung, woku, soto Lamongan, gudeg Yogyakarta, dan menu lainnya merupakan sebagian dari masakan yang disediakan Rempah Kita. Siomay Bandung hasil racikan Rempah Kita misalnya, diklaim sebagai siomay terenak dibandingkan dengan siomay produksi lain.

Dari semua menu Nusantara tersebut, kelebihan dan keunggulannya terdapat pada cara penyajian, proses memasak dan bumbu-bumbu racikan khas Rempah Kita. Setiap menu disajikan dengan unsur kearifan lokal Indonesia, seperti halnya dekorasi dan desain interior restoran. Selain untuk menambah kekhasan Nusantara, pemilihan desain interior juga membuat kenyamanan tersendiri bagi pelanggan.

Untuk menikmati masakan khas Rempah Kita, Anda tidak perlu merogoh kocek mahal. Cukup dengan Rp35.000-Rp85.000, masakan yang dipesan sudah bisa mengenyangkan perut. nasi rempah kita ayam, misalnya dibanderol seharga Rp55.000. Salah satu menu andalan ini terdiri dari ayam goreng, pepes telor asin, udang goreng, sambal dan lalapan segar.

Beberapa menu lain yang bisa membuat ketagihan antara lain seperti nasi Padang dendeng balado, nasi uduk Jakarta empal, nasi timbel pasundan, mie ayam Bangka, soto mie Bogor dan aneka menu lainnya.

Bahan-bahan yang diracik untuk disajikan terhadap pelanggan dihasilkan dari sumber produksi berkualitas. Untuk itu, Rempah Kita menghadirkan sumber daya manusia yang sudah berpengalaman di bidang masak-memasak. Maka jangan heran, jika menu utama hingga camilan diproduksi sendiri tidak menggunakan bantuan tenaga lain.

Camilan macam keripik singkong, kentang goreng, kroket, risolles, lumpia, pempek dan lainnya dibikin sendiri dengan racikan bumbu khas Remoah Kita. "Jangan khawatir bahwa semua camilan bukan dibeli dari pasar, tetapi kami bikin sendiri," ujarnya.

Sementara, untuk aneka minuman, Rempah Kita menyajikan berbagai menu unik yang biasa dinikmati. Sebut saja es kopyor, cendol, es campur Jakarta, dan es tropis yang bisa mengusir rasa dahaga. Kesemua jenis minuman tersebut dibanderol seharga Rp10.000-Rp45.000.

Lily Tanti, salah satu pemilik Rempah Kita mengatakan pihaknya tengah gencar berpromosi mengenalkan restoran khas masakan Nusantara tersebut. Rencananya, pada pertengahan bulan ini, Rempah Kita membuka promo all you can eat seharga Rp150.000 untuk per hari.

“Jadi pelanggan untuk sehari tersebut bisa menikmati semua makanan sesukanya. Setelah makan misalnya, Anda bisa jalan-jalan, nonton, belanja kemudian setelah lapar, kembali lagi ke sini, makan lagi,” ujarnya.

Konsep restoran berdekorasi gaya 1960-an tersebut rencananya juga akan menampilkan live music dengan pillihan musik khas Nusantara seperti halnya permainan yang ditampilkan Kolintang Agape pada pembukaan restoran. “Intinya, kami ingin mengangkat semua unsur Nusantara di restoran Rempah Kita ini,” paparnya.

*Bisnis Indonesia Weekend

Label:

Jpret

Namanya Jpret. Sejak lahir, menginjak masa anak-anak, remaja hingga dewasa, tetap saja dia dipanggil Jpret. Lelaki miskin berambut panjang itu ngoceh sendiri membicarakan hiruk pikuk suasana politik di Indonesia. Sesekali para lawan mainnya menimpali. Namun sesungguhnya dia sedang ngomong sendiri dalam pertunjukan monolog Jpret dari Teaeter Mandiri yang digelar di Teater Salihara Jakarta, Minggu (13/4).

Monolog  Jpret dikemas dengan tata panggung sederhana. Sebuah layar terbuat dari kain terbentang. Di tengah layar sengaja dibuat bolong sebagai ilustrasi layar televisi. Satu kursi, kotak suara, toilet, meja makan dan remote control adalah artistik yang terpajang di arena pertunjukan. Monolog tersebut mengangkat sebuah kisah pahit-manis demokrasi dalam pemilihan umum di Indonesia.

Jpret antusias untuk memberikan hak suaranya memilih calon anggota legislatif (caleg). Seperti diketahui, pada masa kampanye, kebanyakan para caleg memajang foto untuk dikenal publik di beberapa medium. Tiang listrik, pohon, benteng, angkutan kota dan sarana lainnya merupakan ajang promosi wajah-wajah para caleg. Terkadang wajah-wajah mereka, para caleg itu tampil di beberapa media dengan wajah yang sama, mengumbar senyum seolah mereka berperilaku baik dan manis.

Adalah Putu Wijaya, penulis naskah dan sutradara Jpret yang sebelumnya naskah tersebut diberi judul Kroco. Kroco merupakan sebuah naskah untuk dilakonkan pada ulang tahun seorang aktor legendaris, Amoroso Katamsi yang ke-70 tahun. Naskah tersebut dibuat pada 1999 menjelang pemilu. Namun, karena beberapa alasan, naskah Jpret tidak jadi dipentaskan. Dan, bisa terlaksana tahun ini bertepatan dengan Pemilu 2014.

Monolog Jpret dimainkan oleh Bambang Iswantoro, Alung Seroja, Lela Lubis, Dwi Hastuti, Ucok Hutagalung, dan Gandung Bondowoso dari Teater Mandiri. Jpret merupakan pementasan terakhir dari rangkaian ulang tahun Putu Wijaya yang ke-70. Naskah Bila Malam Bertambah Malam dan Hah sendiri ditampilkan pada 11-12 April 2014.

Pada pementasan Jpret, cara penyutradaraan Putu Wijaya tampak terlihat jelas. Unsur realisme, humor, kritis bahkan absurd menjadi satu kesatuan yang utuh. Kita bisa melihat sendiri bagaimana Jpret bisa berbicara langsung dengan presenter televisi yang sesungguhnya berada pada dunia yang berbeda. Tetapi itulah Putu Wijaya, dia kerap mengobrak-abrik estetika dalam sebuah karya.

Pemakaian bahasa yang menggedor daya kejut penonton menjadi ciri khas lain dalam menyampaikan pesannya. Politik misalnya, dia sebutkan secara tidak langsung sebagai praktik menyengsarakan rakyat. Bukan sebaliknya, memberikan kesejahteraan yang pantas.

Alur pementasan Jpret tidak bisa ditebak. Teror mental yang sudah lama digaungkan Putu diam-diam menyelip di beberapa percakapan antara Jpret, presenter televisi, para caleg dan seorang nenek tua, yang dalam pementasan tersebut menjadi nenek tiri Jpret.

Salah satu kritik pedas untuk menyindir Pemilu di Indonesia adalah ketika sang nenek dan Jpret didatangi para calon Presiden. Mereka menanyakan berbagai kebutuhan rakyat jika mereka terpilih jadi Presiden. Padahal sebagai pemimpin, seharusnya tahu keinginan rakyat, bukan sok peduli dan terjun ke lapangan.

Adegan ketika Jpret mencoblos, disuap, dan dibunuh merupakan cerminan perilaku politik kotor yang terjadi di Indonesia. Siapa yang banyak uang, di situlah politik berkuasa. Kita bisa saksikan, bagaimana ketika seorang berada di tempat pemilihan suara (TPS) seperti Jpret didatangi para caleg untuk memilih mereka sendiri. Di sini, Putu dalam panyutradaraannya ingin menekankan bahwa cara-cara kotor tersebut betul-betul terjadi.

Monolog Jpret memang cukup berhasil menggiring penonton menertawakan kondisi politik yang ada di Indonesia. Dari segi cerita dan pesan, Putu memang piawai menghadirkan dengan bahasa ungkap yang lugas. Namun, sekadar catatan, masalah teknis pada pementasan Jpret ini sangat disayangkan.

Permainan cahaya, musik pengiring, jeda antar adegan tampak terlihat kurang persiapan dan latihan yang matang. Kalau boleh disebut, persiapan Teater Mandiri untuk pementasan Jpret kurang maksimal. Sehingga, penyorotan cahaya ketika setiap aktor dan aktris yang masuk ke arena teater kerap terlihat lambat. Beruntung, beberapa kekurangan tersebut bisa ditutupi dengan aksi-aksi improvisasi para aktor.

*Bisnis Indonesia Weekend

Label:

Traversing Cultures

Sebuah boneka barbie menyerupai seorang perempuan tampak berdiri tegak. Boneka itu hasil modifikasi dua seniman asal Yogyakarta R. Bonar alias Otong dan Fahla F. Lotan alias Dila. Wajah boneka terlihat garang lantaran dipenuhi kaki-kaki tarantula.

Menggunakan dinamo, boneka dinamakan Mother Wisdom itu berputar. Pengunjung pada pembukaan pameran Traversing Cultures di Galeri Indonesia Kaya Jakarta pada 8 April 2014  hanyut terbawa putaran indah sang boneka. Konon, putaran tersebut memiliki filosofi tersendiri.

Dila dan Otong mengatakan inspirasi pembuatan boneka yang kini memiliki nilai seni itu datang dari Dewi Sri sebagai salah satu legenda perempuan di Jawa. Dewi Sri dinilai sebagai sosok bijaksana. Dia banyak menaburkan aura positif ke setiap orang. "Putaran boneka Mother Wisdom sendiri sebagai filosofi hidup perempuan untuk terus menebarkan kebaikan," papar Dila.

Dila dan Otong merupakan seniman asal Yogyakarta tergabung dalam Thedeo MixBlood. Keduanya adalah kelompok seni yang terlibat dalam berbagai eksperimen seni rupa. Thedeo MixBlood banyak menghasilkan karya-karya eksperimen dan hiperbolis untuk mengungkapkan sebuah karya di hadapan khalayak.

Pada pameran digelar 8-30 April 2014 ini, mereka menampilkan 6 karya seni rupa gabungan antara mainan anak dan hasil imajinasi menggunakan objek-objek modern. Mainan diambil dari koleksi pribadi dan hasil pengumpulan dari beberapa kerabat untuk dijadikan bahan seni yang bernilai tinggi.

Ciri khas Thedeo MixBlood bisa terlihat dari daya liar imajinasi sang seniman. Pada karya The Big Mission misalnya. Boneka Donal Bebek sebagai dasar mainan disulap menjadi sebuah karya seni berupa monster yang biasa dimainkan atau dimiliki kalangan anak-anak. Baik Dila maupun Otong tampak gemar memainkan instrumen dan aksesori lain menjadi gubahan karya yang elegan.

Namun demikian, penambahan barang-barang tidak terpakai pun tidak luput untuk mereka manfaatkan. Penggunaan kain pel misalnya, berhasil padukan pada celah-celah kosong untuk membuat warna karya terkesan unik dan menarik dipandang mata. Meskipun, pada dasarnya, boneka Donal Bebek masih menjadi objek utama dalam karya tersebut.

Thedeo MixBlood juga tidak sungkan berimajinasi lebih liar mengubah sebuah mobil mainan menjadi karya seni yang sangat historis. Karya tersebut bisa dilihat pada Buraq Transformation. Otong mengibaratkan Buraq, sebagai kendaraan Nabi Muhammad ketika diangkat oleh Tuhan ke langit lapis tujuh. "Kami andaikan kendaraan Nabi saat itu lebih canggih dari kendaraan saat ini," papar Otong.

Pada karya berjudul Dasamuka, mereka menghadirkan beberapa tokoh seperti Angry Bird, Joker dan pahlawan-pahwalan kartun yang kerap tayang dilayar kaca anak-anak. Karya tersebut digabungkan menjadi sebuah ksatria berpenampilan menyeramkan sambil memegang sebuah senjata.

Sementara pada karya The Rising of the Guardian, lagi-lagi Thedeo MixBlood menampilkan bahan-bahan kain pel untuk menambah aksen warna. Tema karya yang diusung mereka tetap mengedepankan kisah-kisah kepahlawanan yang berkarakter kuat. Maklum, keduanya mengaku sama-sama pecinta mainan sejak kecil.

Pameran Traversing Culture tersebut menyoroti lintas batas antara beragam nilai budaya seperti tradisional dan moderen. "Untuk itu kami hadirkan budaya lokal seperti mitos Dewi Sri yang pada beberapa karya lain mengedepankan tokoh hero yang akrab di berbagai kalangan," papar Dila.

Sejak berkesenian bersama-sama pada 2009, keduanya kerap memamerkan karya di beberapa tempat. Mereka juga mengklaim menciptakan karya bukan sekadar untuk merayakan dan mengembangkan hobi. Namun, tak jarang beberapa kolektor jatih cinta terhadap karya-karya Thedeo MixBlood. “Kebanyakan kolektor kami berasal dari luar,” ujar otong.

*Bisnis Indonesia Weekend

Label:

Menghajar Menu Restoran Hyde

Kawasan Kemang, Jakarta Selatan dikenal sebagai salah satu pusat gaya hidup warga Jakarta. Di Kemang, terdapat beberapa tempat yang bisa dijadikan sebagai ajang pertunjukan, galeri, restoran, kafe, bar dan lainnya. Tidak heran jika banyak investor membuka usaha di kawasan Kemang. Selain menjanjikan, Kemang memang menjadi kawasan yang terus hidup.

Bicara soal restoran, Kemang memang gudangnya. Hampir di setiap titik, tempat makan berjejer dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Masing-masing restoran memiliki konsep tersendiri guna menggaet calon pelanggan. Tak terkecuali restoran Hyde yang berlokasi di Jl. Taman Kemang 1A No. 8, Kemang Jakarta Selatan.

Memasuki Hyde, Anda akan terpukau dengan suasana restoran yang mengusung konsep go green. Restoran sekaligus bar tersebut berdiri pada akhir 2013 yang menawarkan suasana interior yang artistik.

Aneka macam bunga berwarna-warni menggantung di atap restoran akan menyambut Anda yang bisa menggugah selera makan menjadi bertamabah. Selain menggantung di atap, bunga-bunga indah juga menempel di segala penjuru dinding. Pemilihan meja makan yang elegan dibuat khusus untuk memanjakan pelanggan. Sehingga, interior restoran ini akan membawa Anda serasa menikmati pemandangan alam hijau nan asri.

Di Hyde, pelanggan juga akan dimanjakan oleh aneka musik dan penampilan disk jockey (DJ). Alunan musik yang menghentak dari mulai R&B, jazz hingga musik klasik akan menemani Anda menyantap menu-menu yang disajikan.

Pada akhir Maret lalu. Hyde menggelar acara perdananya Bubbly Brunch. Sebelum menikmati makan siang, pengunjung disuguhi aneka menu spesial yang tidak akan pernah didapatkan di restoran lain. Menu Scrambled Eggs on Toast menjadi salah satu jawara pada Bubbly Brunch tersebut.

Menu ini terdiri dari daging sapi yang disajikan secara tipis, mushroom, telor dadar, tomat dan sosis. Sebelum menyantap makan siang, menu ini memang cocok untuk sekadar mengganjal perut kosong Anda setelah sebelumnya menyantap sarapan. Apalagi paduan untuk menu ini sangat cocok dengan minuman House Pouring Sparkling Wine. Setelah melahap daging dan mushroom, tentu wine yang ditawarkan mampu menetralisir rasa yang melekat dilidah.

Untuk menu reguler, Hyde juga menawarkan aneka makanan yang banyak disukai lidah Indonesia. Spaghetti Aglio merupakan satu dari menu spesial di Hyde. Ditaburi cabai merah yang segar, spaghetti ini memberikan rasa ‘menantang’. Apalagi, taburan udang yang menggoda membuat masakan ini tidak boleh terlewatkan untuk disantap. Dijamin, mi kenyal pada spaghetti ini akan membuat Anda ketagihan.

Bagi Anda penyuka burger, tenang saja. Di restoran ini, segala macam menu hampir semuanya tersedia. Cukup menunggu sejenak sambil menikmati suasana tempat yang membuat betah, Anda akan disuguhi Hyde The Cheese Burger. Inilah salah satu burger dikemas semi tradisional yang tampak indah terlihat.

Dipadu dengan kentang goreng, telor setengah matang dan sayuran di atas talenan, penyajian burger tentunya terkesan unik dan membuat Anda penasaran. Lalu bagaimana cara menikmati burger ini? Monggo, sesuai selera Anda, mau mencicipi kentang terlebih dahulu atau langsung melahap burgernya silahkan. Yang jelas, kelezatan menu ini tidak akan mengecewakan Anda.

Selain itu, aneka seafood juga tersedia. Anda bisa memesan Herb Crusted Salmon yang berisi ikan salmon, kentang dan kacang Prancis yang digoreng dicampur dengan lemon. Ada juga Seafood Vol Au Vent yang terbuat dari roti kering dicampur udang, tomat, bawang hijau dan tambahan wine putih. Racikan menu makanan ini tentu akan memberikan rasa yang tidak akan terlupakan di lidah.

Dan jangan lupa, aneka minuman yang disajikan pun cukup beragam. Mulai dari Virgin Berry Kiss, Berry the Kiss Mocktail, Sour Samurai, Floating Avocado hingga Flavored Ice Tea dan aneka cocktail lainnya. Harga yang ditawarkan kesemua menu mulai Rp35.000-Rp1 juta. Uniknya lagi, di restoran Hyde menyajikan menu makanan untuk anak-anak seperti Junior Fish & Chips hingga Chicken Cordon Bleu yang merupakan sajian mini khusus untuk disantap kalangan anak-anak.

Label:

Menikmati Kelezatan Ayam Goreng Kyochon

Berkunjung ke Gandaria City Mal di kawasan Jakarta Selatan tidak cukup hanya untuk berbelanja saja. Atau hanya sekadar nongkrong, jalan-jalan cuci mata dan nonton. Namun, ada banyak hal yang bisa dinikmati. Salah satunya wisata kuliner.

Menyantap seafood atau fast food? Ah, itu mah sudah biasa. Di Gancit, begitu orang biasa menyebut, tepatnya di Mainstreet Level UG Unit MU29-30 kini hadir restoran khusus yang menyajikan aneka ayam goreng. Kyochon namanya. Restoran asal Korea yang berdiri sejak 1991 itu baru saja membuka outlet terbarunya di Gancit.

Ingrid Firmansyah, Chief Executive PT Kyochon Indonesia mengatakan konsep restoran Kyochon memang berbeda dibandingkan dengan restoran serupa yang kini menjamur di Indonesia. "Konsep kita bukan fast food," paparnya. "Ayam yang disajikan melalui proses dan tahapan berbeda. Jadi wajar saja jika pelayannya agak sedikit lama. Namun kualitas tetap terjamin."

Menu Kyochon Original Series misalnya. Ayam goreng ini terutama Original Wings kaya akan aroma bawang putih spesial. Dagingnya empuk dilapisi dengan tepung yang renyah dan saus kedelai yang lezat. Anda bisa memilih paha, dada dan sayap dengan cita rasa yang ditawarkan Kyochon.

Kyochon pada tahun ini sudah memiliki tiga outlet antara lain di Pacific Place Level 4 Unit 57-69, Kota Kasablanka di Food Society UG unit FSU10B dan tentunya di Gandaria City yang ukurannya lebih luas hingga bisa menampung 100 pelanggan. Rencananya, hingga akhir tahun, Kyochon akan membuka 10 outlet.

Outlet Kyochon di Gandaria City terbilang mudah dijangkau. Lokasi bangunannya yang masih baru cocok bagi Anda untuk menyantap sekadar makan siang atau ngemil. Selain disajikan sebagai lauk, ayam Kyochon nikmat sebagai makanan camilan. "Tetapi tetap saja yang namanya orang Indonesia tidak pernah lepas dari nasi. Makanya pelanggan yang berkunjung biasanya kebanyakan makan sama nasi," papar Inggrid.

Kyochon juga menawarkan aneka macam nasi seperti Galbi Chicken Steak dengan nasi goreng Kimchi dan Grilled Skewers Rice. Tak lupa, menu pelengkap lain yang bisa dilahap yaitu Chicken Salad, Rice Cake Soup dan Kimchi Soup. Coba juga Anda cicipi ayam goreng Red Series. Jenis ayam ini disajikan khusus oleh Kyochon dengan rasa pedas dari cabe merah segar asal Korea.

Rada pedas yang menyerap di seluruh daging akan membuat lidah ketagihan. Cabe merah yang tertuang dalam Red Series ini pas dan bikin segar. Menu ini cocok bagi Anda penyuka makanan yang pedas-pedas. Namun, tentunya belum lengkap jika menu-menu yang disantap tidak segera dinetralisir oleh minuman yang disediakan macam wine, bir, hingga minuman bersoda.

Semua menu yang ditawarkan di Kyochon akan dimasak setelah pelanggan melakukan pemesanan. Inilah cirri khas yang dikembangkan Kyochon. Proses memasak dengan metode benar dan teruji menjadikan aneka menu ayam goreng tetap terawatt kelezatannya. Maka tidak heran, jika di Korea dan beberapa negara termasuk Indonesia, Kyochon menjadi salah satu tempat favorit kawula muda untuk menikmati kelezatan ayam goreng renyah tersebut.

Lalu menu apa lagi yang ditawarkan restoran yang sempat menyabet The Best Chicken Wing oleh BBC New York ini? Ini dia, Honey Series yang tak akan Anda dapatkan di restoran selain Kyochon. Menu spesial khususnya Red Wings bisa dinikmati dengan saus madu yang manis. Untuk tampilan ayam jenis ini, Anda akan terbuai dengen kerenyahan krispinya. Selain lembut, tepung untuk ayam goreng Honey Series ini sangat lezat untuk dinikmati.

Terakhir, yang tidak boleh Anda lewatkan adalah Salsal Series. Menu Soy Salsal Salad adalah dada ayam yang dikemas mungil-mungil ini diproduksi khusus kaya akan protein. Sajian dan tampilannya tampak indah dengan dibubuhkannya jeruk nipis. Hehingga aroma asamnya akan terasa kuat menusuk hidung. Namun, kerenyahannya lagi-lagi sangat pas terutama ketika Anda mencoba pada gigitan pertama.

Label:

Lukisan Bertolak dari yang Ada

Tidak ada yang bisa menghentikan kreatifitas seorang Putu Wijaya. Meskipun dihantam penyakit kelainan pembuluh darah pada akhir 2012 lalu, yang menyebabkan tangan kirinya tidak bisa bergerak, Putu masih menghasilkan karya-karya baik cerpen, esai hingga lukisan.

Pada Kamis malam (3/4) di Bentara Budaya Jakarta, Putu bersama anak lelakinya, Taksu Wijaya membacakan cerpen favoritnya, Merdeka dengan penuh atraktif. Meskipun tampil sambil duduk di kursi, semangat Putu masih terpancar dan menggebu-gebu. Demikian aksi Putu ketika membuka pameran lukisannya Bertolak Dari yang Ada 3-12 April 2014.

Sejatinya, Putu dikenal sebagai sastrawan, dramawan dan aktor panggung yang memiliki karakter khas. Karya-karyanya disebut sebagai pembaru kesusastraan Indonesia. Si peneror mental itu diam-diam memiliki aktvitas yang kini dilakoninya secara intens: melukis.

Dunia lukis sebetulnya bukan hal baru bagi Putu. Dia sempat belajar di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta selama setahun. Kini, kegiatan melukisnya tengah digarap kembali. Terbukti, 27 dari 40 lukisan yang diproduksinya tengah dipamerkan yang membuat sebagian kalangan cukup apresiatif dengan kehadiran karya lukisan Putu.

Salah satu lukisannya berjudul Jangan Sentuh Kami (100 x 100 cm, cat minyak di atas kanvas, 1974) hadir menghiasi pameran. Jika dibandingkan dengan karya-karya terbarunya, lukisan Putu ini akan tampak berbeda baik dari cara pemilihan warna, tema hingga isi lukisan.

Mungkin karena sudah terlihat tua, warna pada lukisan ini tampak usang. Namun, dari sini bisa terlihat bagaimana karakter lukisan awal Putu. Karyanya memberikan identitas sendiri dibandingkan dengan lukisan yang dihasilkannya pada masa berkeseniannya kini—Putu seolah asik bermain dengan warna cerah dan glamor dalam beberapa goresan di atas kanvasnya.

Memasuki 1998, Putu tampaknya sudah mulai menemukan objek dan tema lukisan. Dia mulai menggoreskan kuasnya dengan memilih tema pohon. Di sinilah relevansi antara karya sastra dan lukisnya terlihat. Bertolak Dari yang Ada, sesuai tema yang diusung pameran bisa dipahami sebagai ‘ideologi’ Putu dalam berkarya. Pada lukisan Cinta Tak Kenal Henti (60 x 70 cm, cat minyak di atas kanvas, 1990) Putu melukis pohon terbalik. Akar pohon yang seharusnya di bawah, dia jadikan di atas sebagai potret kondisi kekisruhan pada masa itu.

Pada 2000, karakter lukisan bertema pohon yang dihasilkan Putu tampak jelas. Lukisan Walau Angin Bertiup Kencang (60 x 70 cm, cat minyak di atas kanvas, 2000), menandakan Putu sudah menemukan bentuk objek lukisannya tersebut. Jika pada 1998 lukisannya masih mencari celah dan warna, pada lukisan ini, Putu sudah berani bereksplorasi dengan warna.

Hingga pada periode penyakit menyerang tubuhnya, pada 2012 itu, lukisannya sudah benar-benar berkarakter: pohon, warna dan garis yang cenderung ekspresif. "Lukisan saya kebanyakan menggambarkan tentang pohon. Tetapi saya mencoba keluar dari estetika yang ada. Saya melukis pohon tidak dengan warna yang seharusnya. Saya melukis daun dengan warna biru atau warna lainnya yang tidak melulu hijau," paparnya.

Meskipun tampak mendobrak estetika yang ada, namun lukisan-lukisan yang dipamerkan Putu setidaknya sejalan dengan apa yang dianutnya. Lukisan Matahari dan Pohon Kehidupan (120 x 90 cm, akrilik di atas kanvas, 2012) serta Wajah Kota yang Terbelah (120 x 90 cm, akrilik di atas kanvas, 2014) misalnya sangat terlihat tidak mencerminkan pohon pada umumnya. Tetapi, di sinilah sebenar-benarnya dunia Putu Wijaya yang tak mau sama dengan yang lain.

Kekhasan Putu, sekali lagi tidak bisa dilepaskan dengan cara berkesenian melalui sastra yang meneror mental. Maka menjadi wajar jika kurator pameran Ipong Purnama Sidhi mengatakan bahwa lukisan Putu diibaratkan seolah-olah pria kelahiran Bali itu sedang menata panggung teater. Bedanya, Putu tidak memainkan gerak, cahaya dan kata, tetapi lebih agresif bermain dengan warna dan garis.

Pada tafsiran Ipong, hasil karya lukis Putu merupakan memori yang terekam dalam otaknya. Terlebih, kreatifitas Putu pada lukisan semakin produktif ketika sakit menimpanya. Di situlah, lanjut Ipong, tangan kanan Putu dimaksimalkan untuk melukis dengan semangat dan daya imajinasi yang kuat.

"Apa yang dilukis Putu ketika berkesenian baik di teater atau pun dalam menulis karya sastra disimpan baik-baik di otaknya. Kemdian dia menjadikan objek gambar yang dipindahkan di atas kanvas," paparnya.

Namun, Ipong menegaskan bahwa pada lukisan tersebut, Putu tengah mencari kepuasan. Dia menilai Putu tidak sedang mencari pasar atau hal-hal yang lebih dari sekadar lukisan. Tetapi tidak menutup kemungkinan, pada pembukaan pameran yang dihadiri oleh para kolektor, seniman dan budayawan itu bakal menjadikan babak baru dalam kehidupan berkesenian Putu Wijaya. Pasar seni lukis sepertinya bakal hinggap kepada pendiri Teaeter Mandiri itu. Selamat ulang tahun Putu Wijaya.

Label:

Pancaroba

Seorang perempuan berpakaian seksi tampak meningkirkan rok mini merahnya dengan wajah penuh sinis. Mengenakan sepatu hak tinggi berwarna hijau dan tank top putih, kehadiran sosok perempuan berambut panjang itu menjadi sebuah pertanyaan.

Pertanyaan apa gerangan yang ingin dihadirkan pelukis Irul Hidayat dalam lukisannya berjudul Pancaroba Kepemimpinan pada medium akrilik di atas kanvas, berukuran 150 x 400 cm, 2014? Tampaknya, lukisan yang dipamerkan di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki Jakarta bertajuk Pancaroba-Pancaroba pada 18-29 Maret itu mengandung makna yang dalam.

Coba simak, selain perempuan seksi, sosok wajah para presiden negara Indonesia itu digoreskan dengan indah dan penuh satir. Mulai dari samping kiri, Irul menampilkan Presiden Indonesia pertama Soekarno disusul Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid (Gusdur), Megawati hingga presiden saat ini Susilo Bambang Yudhoyono.

Wajah mereka dibubuhkan warna sesuai karakter ideologi partai yang diusung mulai dari merah, kuning, hijau hingga biru langit. Tentu saja, Irul tampak merelevansikan kondisi tahun ini yang disebut tahun pemilu sebagai masa pancaroba sebuah kepemimpinan. Sesuai judul lukisan, Irul ingin menyampaikan pesan dalam lukisannya bahwa masa peralihan kepemimpinan saat ini menjadi sangat urgent untuk kepentingan semua warga negara.

Jika merujuk pada penanda pakaian yang dipakai perempuan seksi itu, maka secara tidak langsung akan berkaitan pada lambang negara Indonesia yakni merah putih. Artinya, pesan yang ingin disampaikan Irul pada lukisan tersebut sudah cukup jelas bahwa rakyat tengah was-was menyambut lahirnya pemimpin baru. Hal tersebut juga didukung oleh hadirnya penanda-penanda lain seperti lambaian tangan yang seolah mengharapkan sebuah pertolongan.

Pada pameran yang diikuti oleh komunitas Garis Cakrawala ini, para seniman memposisikan diri dan memberikan pandangan bahwa seni dihadirkan untuk mengkritik sebuah kebijakan pemerintah.  Komunitas tersebut lahir dan tumbuh di Kota Solo. Anggota Garis Cakrawala pada awalnya terdiri dari para mahasiswa Seni Murni ISI Surakarta. Saat ini, Komunitas Garis Cakrawala bergerak pada seni rupa moderen dan kontemporer.

Menyimak beberapa lukisan dari pelukis Hendra Purnama melalui lukisannya Ketika Negara Menghargai Rakyatnya, nuansa kerakyatan akan terasa kuat bagaimana lukisan bermedium minyak di atas kanvas, 135 x 135, 2011 itu cukup memberikan sebuah sindiran pedas.

Lagi-lagi, simbol kenegaraan dalam hal ini lambang negara Garuda menjadi pusat dari objek lukisannya. Mari simak bagaimana Hendra menempatkan posisi burung Garuda yang lebih besar sebagai tafsiran atas sebuah kepemimpinan dibandingkan burung-burung kecil yang berterbangan. Burung-burung kecil dan beberapa sosok manusia tersebut menjadi isyarat adanya saling harga menghargai antara pemimpin dan rakyatnya.

Pancaroba-Pancaroba, seperti tema dalam pameran ini juga menyoroti bagaimana sebuah budaya dipahami dan disikapi oleh sosok seorang pemimpin dalam sebuah negara. Pandangan tersebut sekiranya akan berdampak terhadap perkembangan sebuah budaya yang dijunjung.

Dalam catatan Hendra Himawan, kurator pameran mengatakan hilangnya nilai spiritualitas dalam kebudayaan pop digambarkan pada salah satu lukisan karya Indra Kamesyawara. Lukisan bertajuk Ungodless (akrilik di atas kanvas, 150 x 100 cm, 2014) berbicara tentang kesunyian, kesendirian yang tergambar pada sosok figur menyerupai manusia berkepala burung.

“Simbol-simbol seperti babi, ekor ikan terpotong menjadi presentasi akan nilai-nilai kemanusiaan yang tersekat. Terbelah oleh keadaan dan wacana-wacana bohong yang abai esensi,” paparnya.


Label:

Wajah Cantik Shailene Woodley

Wajah cantik, polos dan anggun Shailene Woodley tampaknya banyak yang tidak akan mengira bisa berakting sangar. Dalam film terbarunya Divergent, dirilis pada pertengahan Maret tahun ini, pemeran Beatrice Prior alias Tris itu berhasil mematahkan anggapan sebagian orang sebagai artis remaja yang hanya bermain dalam film drama.

Divergent yang diadaptasi dari novel berjudul yang sama karya Veronica Roth sukses difilmkan oleh sutradara Neil Burger. Keterlibatan Woodley dalam memerankan Tris menjadi hal yang menarik untuk disimak. Dengan segala kemampuan aktingnya, Tris melahirkan keterpukauan sebagian para penonton Divergent. Bahkan dia mampu berduet dengan kate Winslet yang berperan sebagai Jeanine Matthews sebagai tokoh jahat.

Film Divergent bertempat di Chicago. Sesuai alur cerita, di Chicago, orang yang sudah dewasa harus memilih ke dalam lima faksi yakni Candor (jujur), Erudite (genius), Amity (damai), Dauntless (pemberani) dan Abnegation (penolong tanpa pamrih). Tris sendiri dibesarkan dari keluarga faksi Abnegation. Sampai suatu waktu, pemerintah setempat mewajibkan bagi Tris untuk memilih faksi yang sesuai dengan hasil tes yang dilakukannya.

Tris mulai tegang. Mengetahui hasil tes tersebut tidak termasuk dalam lima faksi, Tris bersikukuh untuk masuk kelompok pemberani yakni Dauntless. Namun, seorang perempuan yang menguji dirinya mewantikan agar hasil tes tersebut dirahasiakan. Hasil uji Tris dikelompokkan dalam Divergent atau orang yang memiliki kelainan. Jika tida masuk ke dalam lima faksi tersebut, Tris akan terbuang sebagai gelandangan. Keinginannya masuk dalam faksi Dauntless tidak bisa diganggu gugat. Padahal, jika faksi Dauntless mengetahui hasil tesnya masuk dalam Divergent, nyawa Tris bisa terancam.

Tris yang mulanya anggun dan berpenampilan laiknya perempuan, mulai berubah. Keberaniannya melawan rasa takut melekat kuat dalam dirinya. Sejak masuk Dauntless, dia banyak dipuji lantaran dicap sebagai perempuan yang tidak memiliki rasa takut. Tris berani loncat dari kereta api, loncat dari ketinggian hingga berkelahi melawan lelaki ketika masa pelatihan dan pengenalan di faksi Dauntless. Poin penilaian Tris pun semakin bagus dan disebut sebagai salah satu anggota Dauntless yang berprestasi.

Faksi Dauntless yang didominasi oleh kalangan lelaki menjadi perbincangan tersendiri oleh hadirnya Tris. Perempuan berusia yang dalam cerita berusaa 16 tahun ini merupakan satu dari beberapa perempuan yang berani masuk faksi Dauntless. Secara tidak langsung, jika disimak secara seksama, film Divergent setidaknya berbicara tentang feminisme. Film yang menceritakan bagaimana kaum perempuan menuntut hak yang sama seperti halnya lelaki. Tris tampak mendobrak budaya di mana dia dibesarkan sebelumnya. Dia merasa keberanian bukan hanya dimiliki kaum lelaki.

Di Dauntless, semua kemampuan anggota baik lelaki dan perempuan dianggap rata. Tidak ada perbedaan sama sekali. Di sinilah, Tris dan Christina, teman seangkatannya yang diperankan Zoe Kravitz 'dipaksa' untuk hidup bertahan sesuai peraturan faksi Dauntless. Mereka berlatih dan bertarung dengan penuh nuansa kekerasan. Tak hanya mental, fisik mereka pun dianggap sama tanpa terkecuali.

Film Divergent memang sebagian besar menyoroti peran Tris. Meskipun di tengah-tengah adegan, film berdurasi lebih dari satu setengah jam ini memasukan pemain lawan, Four alias Tobias Eaton yang diperankan Theo James. Four dalam kisah film ini berakhir menjadi kekasih Tris yang ternyata sama-sama pernah berprestasi lantaran masuk dalam golongan Divergent di faksi Dauntless.

Namun, secara tidak terduga, Natalie Prior yang diperankan Ashley Judd, sebagai ibunda Tris ternyata mantan anggota Dauntless. Natalie Prior menikah dengan Andrew Prior (Tony Goldwyn) ayah Tris dari faksi Abnegation, sehingga Natalie Prior harus ikut sang suami. Kenyataan ini baru diketahui ketika faksi Erudite dan Dauntless bersekongkol untuk menghabisi faksi Abnegation guna merebut sebuah kekuasaan.

Dengan kemampuan yang sudah dimiliki, Tris kecewa dengan Dauntless yang ternyata memiliki rencana jahat. Dibantu Four, Tris menyelamatkan ribuan faksi Abnegation yang didalamnya termasuk keluarga tercinta yang harus diselamatkan. Namun, di sinilah Tris baru mengetahui bahwa sang ibunda ternyata memiliki kemampuan dan keberanian melebihi lelaki Abnegation. Natalie Prior ikut dan terjun sama-sama menumpas kecurangan faksi Dauntless. Meskipun, dia sendiri harus tertembak dan tewas di tangan Dauntless.

Film Divergent lagi-lagi ingin menonjolkan bahwa perempuan juga berhak untuk berani melawan kejahatan. Akting Tris, Natalie Prior dan Christina, tanpa mengesampingkan pemeran utama lainnya menjadi penanda bahwa kebebasan perempuan terutama di Chicago layak untuk diapresiasi dan didukung semua pihak. Di luar itu, film ini memang layak untuk ditonton. Pembagian kelima faksi tersebut juga menjadi keunikan tersendiri bagaimana suatu negara begitu peduli terhadap perkembangan kemampuan pada diri seseorang.

Label:

Sudita Nashar

Jika ada seorang tukang ojek yang pandai melukis, jawabannya pasti dialamatkan kepada Sudita Nashar. Dengan bangga dan percaya diri Sudita Nashar yang juga putra dari salah seorang pelukis besar, Nashar menamakan dirinya sebagai Ojek Berkarya.

Pria berusia 52 tahun ini menggelar pameran tunggalnya di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki Jakarta pada 20-28 Maret 2014. Tema yang diangkat pada pameran Sudita Nashar adalah gitar. Sebanyak 25 lukisan yang dipamerkan mengambil unsur gitar yang ditafsirkan secara bebas yang tampak menarik untuk dinikmati.

Di tangan Sudita Nashar, gitar bukan lagi berfungsi sekadar alat yang mampu menghasilkan bunyi atau suara. Dia memposisikan gitar sebagai objek lukisannya menjadi metafora realitas dan fenomena yang terjadi. Pada lukisan Dialog Menuju Kemunafikan (cat minyak di atas kanvas, 125 x 145 cm, 2013), Sudita menggoreskan tiga buah gitar tanpa senar dan kepala gitar.

Gitar itu disusunya dalam segitiga berbentuk piramida berwarna putih yang menjadi latar belakang lukisan. Sementara, senar-senar tersebut yang berbentuk garis merah dia simpan seolah terpisah dari gitar yang seharusnya terpasang pada tiga gitar tersebut. Jika dicermati, pada lukisan ini dia ingin mencoba bermain dalam warna.

Bisa dilihat, warna kuning, merah, hijau, biru dan putih tampak menghiasi lukisan tersebut. Artinya, pada lukisan Dialog Menuju Kemunafikan, Sudita Nashar ingin mengaitkan wacana politik yang kerap kali tak seirama dengan apa yang dilakukan oleh para politisi. Penggunaan objek gitar pada lukisan ini setidaknya, membawa Sudita untuk menyampaikan sindirannya terhadap hiruk pikuk perpolitikan yang terjadi di Indonesia.

Simbol yang digunakan pada warna-warna lukisan tersebut mengacu pada karakter dan warna partai politik yang tengah bertarung di pemilihan umum. Dengan demikian, kiranya Sudita Nashar telah mafhum bahwa kemunafikan yang mengacu pada lukisan tersebut tercipta berdasarkan gagasan atau ingatannya terhadap janji-janji para politisi.

Pada lukisan lainnya, Sudita Nashar juga mencoba mengembalikan makna gitar. Atau setidaknya, alat musik yang menggunakan senar ini memiliki fungsi utama yakni menghasilkan sebuah harmoni yang indah untuk didengar. Namun, lagi-lagi, Sudita masih menggunakan metafora gitar untuk membentuk imaji visual lainnya.

Lukisan berjudul Penyatuan Harmoni (cat minyak di atas kanvas, 140 x 140 cm, 2013) misalnya, Sudita menggambarkan lima batang gitar tanpa tubuh. Kelima gitar tersebut berdiri tegak yang seolah menghadap sebuah surau atau tempat ibadah. Batang-batang gitar tersebut juga memiliki warna beragam.

Di sinilah, Sudita ingin menyampaikan pesan bahwa refresentasi gitar ditujukan kepada aktivitas masyrakat Indonesia. Lukisan tersebut menunjukan sebagaimana orang melakukan sembahyang. Pada lukisan ini juga, Sudita mencoba mengaitkan relasi kelompok masyarakat satu agama yang memiliki fanatisme yang berbeda. Kelompok masyarakat tersebut tampak harmonis satu sama lain ketika berada dalam satu tempat ibadah.

Artinya, beberapa penanda seperti gitar, senar dan sebuah surau menjadi penting sebagai bentuk relasi estetika yang dihadirkan Sudita Nashar. Sang pelukis tentu saja sadar, fenomena sosial yang terjadi di masyarakat kerap diributkan oleh ormas Islam dan percekcokan satu sama lain. Namun, pada lukisan Penyatuan Harmoni ini, Sudita seolah mengajak semuanya  untuk saling rukun dan damai.

Menyimak sejumlah karya yang dipamerkan, Sudita Nashar tampaknya merupakan salah satu pelukis yang akrab merenungkan kehidupan. Dia bisa saja menggoreskan kanvasnya dan berbicara tentang apa yang tengah terjadi di sekitarnya. Bukan urusan dunia saja, dalam beberapa karyanya, Sudita mengisahkan tentang pengalaman batiniahnya selaku manusia yang percaya terhadap ajal dan kematian.

Lukisan bertema kemurungan tersebut bisa dilihat pada Perempatan Maut (cat minyak di atas kanvas, 145 x 145, cm), Matahari Tenggelam (cat minyak di atas kanvas, 140 x 140 cm, 2011) dan Menuju Angan-Angan (cat minyak di atas kanvas, 145 x 145, cm). Pada lukisan tersebut, Nashar dengan apik membentuk perumpamaan gitarnya masing-masing sebagai jalan yang berliku, jalan lurus menuju cahaya dan jalan menuju ke atas—kepada Sang Pencipta.

Maka tidak heran, dari kesemua lukisan yang menggunakan objek bertema gitar, Sudita menjadikan gitar sebagai barang seni yang tidak hanya menghasilkan bunyi. Akan tetapi, gitar menurut pandangan Sudita adalah ruang yang mewujud, estetis dan sebagai karya yang indah bagi penikmat seni seperti halnya suara gitar.

*Bisnis Indonesia Weekend

Label:

Pameran Jakarta Contemporary Art Space

Lantai 2 Kantor Pos Indonesia di kawasan Kota Tua Jakarta itu dipenuhi beragam karya seni rupa. Ratusan wajan belah, pecah dan bolong disulap menjadi sebuah karya seni. Salah satunya instalasi berjudul Answering My Own Wave karya Teguh Ostentrik. Instalasi seni tersebut tak lagi berwujud wajan sebagaimana fungsi aslinya.

Teguh menyulap wajan-wajan itu menjadi sebuah suguhan yang menyerupai gelombang ombak laut. Wajan, sebagaimana diketahui adalah produk sosial masyarakat yang digunakan untuk memasak. Kehadiran wajan yang awalnya berasal dari Cina itu telah menyebar ke penjuru dunia, termasuk Indonesia.

Gagasan Teguh dalam melahirkan instalasi dari wajan ini dihadirkan sebagai penghormatan atas peralatan masak yang kerap diremehkan. Wajan jarang dimunculkan atau dibicarakan kecuali hanya di dunia masak, dapur dan kuliner. Dengan gagasan tersebut, Teguh ingin memunculkan paradigma baru dalam berkesenian. Artinya, medium yang diciptakan tak melulu dihasilkan dari barang atau komoditas yang banyak digunakan seniman lain.

Karya instalasi ini juga sekaligus dijadikan sebagai pengingat bahwa metafora yang dihadirkan adalah untuk menghargai hal-hal kecil yang sebenarnya berharga. Dengan demikian, sejauh mungkin wajan dalam instalasi ini mencoba menjauh dari pemaknaan sebagai alat masak. Namun, pengunjung dibebaskan untuk menafsir seleluasa mungkin.

Selain karya Teguh Ostentrik, dalam pameran pembukaan Jakarta Contemporary Art Space (JCAS) ini juga menghadirkan para seniman kontemporer lain. Dengan total 46 seniman, karya-karya yang dihadirkan baik melalui lukisan dan instalasi memiliki benang merah yaitu semangat Fatahillah, Kota Tua Jakarta. Pameran berlangsung dari 13 Maret hingga 13 September 2014.

Berbeda dengan Teguh, instalasi Made Wianta, seniman asal Bali memamerkan karyanya berjudul Air Pollution. Sebuah karya dari tumpukan beragam knalpot motor yang dilas menyerupai gunung sebagai wujud kritikan pedas terhadap kondisi lingkungan.

Baik Teguh maupun Made, dalam pameran ini mengedepankan medium yang jarang digagas seniman lain. Merujuk pada karya seni kontemporer, medium yang dihadirkan para seniman memberikan pemaknaan jauh dari fungsi utama atas medium itu sendiri. Artinya, batas-batas makna pada medium tersebut bukan lagi bicara ihwal tafsir yang utuh, tetapi kehadiran makna lainlah yang dengan sendirinya berbicara tafsiran baru.

Seni rupa kontemporer, sebagaimana yang dilakukan seniman Tisna Sanjaya pada kesempatan yang sama berhasil mengkombinasikan dua gagasan seni lukis dan seni tradisional Reak yang menarik. Tidak kurang dari satu jam, Tisna menghasilkan lukisannya berjudul Hudang (Bangun) yang merujuk pada eksistensi seni tradisional itu sendiri.

Pada proses melukisnya, Tisna jauh berbeda dibandingkan dengan peserta seniman lain. Tisna melukis on the spot pada empat kanvas yang masing-masing berbicara soal seni tradisi. Gagasan yang ada dibenaknya ketika melukis diiringi irama kesenian tradisional Reak mewujud dalam empat kanvas tersebut. “Lukisan ini berbicara tentang semangat untuk membangkitkan kembali seni tradisional yang selama ini seolah tidur dan jarang diminati masyarakat moderen,” paparnya.

Lain Tisna, lain juga dengan seniman Angki Purbandono. Seniman yang mengaku pendatang baru ini menghadirkan karyanya berjudul Taxi Lover. Angki menyusun 52 potret aneka macam taksi berukuran 27 x 52 cm dan 4 potret taksi berukuran 57 x 107 cm. Konsep berkesenian Angki cukup unik. Dia menyusun potret-potret tersebut dalam light box sehingga potret yang dihasilkan tampak menarik untuk disimak.

Gagasan dan tema karya Angki tampak fokus memilih suasana, interior dan sisi unik taksi yang mengaspal di Jakarta. Dia memposisikan sebagai penumpang yang kemudian memotret kondisi Jakarta di dalam taksi. Di tangan Angki, ide tersebut justru menjadi seni yang unik dan patut diapresiasi. Dengan penyusunan potret-potret tersebut secara rapi. Warna-warni Jakarta dari sudut taksi terlihat menarik.

Sementara, seniman Mella Jaarsma mencoba menampilkan karya berjudul Surat Terakhir. Medium yang dihadirkan Mella antara lain pakaian, kayu, kaca, gelas untuk menyerupai sosok manusia. Cermin kaca yang dijadikan kepala manusia itu, dalam pandangan Mella justru menjadi titik menarik dalam karyanya.

Karya yang disuguhkan Mella mencoba mengaitkan dengan Kantor Pos, di mana dia sedang melaksanakan pameran. Surat Terakhir hadir dengan mengacu pada gagasan gedung bersejarah itu yang tengah memasuki tahap baru. Dengan tujuan, menemukan cara lain untuk mengirim pesan melalui seni.

Sebagaimana diketahui, kawasan Kota Tua termasuk Kantor Pos merupakan bangunan hasil masa Belanda. Dengan karya yang diciptakan, empat pakaian bercorak putih yang digantungkan itu kerap digunakan oleh para elit kaum Belanda. “Saya terinspirasi oleh lokasi ini. Kantor Pos ini menjadi pusat komunikasi untuk waktu yang sangat lama, saat surat memegang peran dalam komunikasi antara Indonesia dan Belanda,” paparnya.

Pelukis Agus Suwage menampilkan lukisan berjudul Belajar Pada Alam (oil on canvas, 150 x 200 cm, 2013). Lukisan itu berbicara sebuah pemandangan laut yang dikombinasikan dengan metafora buku di tengahnya. Beberapa kata Rawatlah dan Jagalah dalam lukisan tersebut merupakan ajakan dari Agus untuk memelihara alam sebagai nafas bagi manusia.

*Bisnis Indonesia Weekend

Label:

Demonstran

Teater Koma mementaskan lakon Demonstran karya sutradara Nano Riantiarno di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Jakarta pada 1-15 Maret 2014. Lakon Demonstran berkisah ihwal pencarian identitas mantan aktivis bernama Topan yang kelak sudah mapan atas hasil jerih payahnya turun ke jalan selama 20 tahun.

Tokoh Topan diperankan Budi Ros. Semenara Bunga, istrinya dimainkan oleh Cornelia Agatha. Keduanya menikah dan berumah tangga. Bunga sangat setia terhadap Topan selama berjuang menjadi demonstran. Kondisi ekonomi Topan dan Bunga sudah mapan setelah menjadi saudagar sukses dan terkenal. Topan tidak mau lagi demonstrasi karena menganggap sudah tak ada lagi yang dia cari.

Beberapa kawan anak buah seperjuangannya, Niken, Wiluta dan Jiran masih bersemangat berdemonstrasi. Beberapa kali mereka membujuk Topan untuk turun ke jalan. Namun, Topan menolak bahkan menyuruh mereka mencari sosok demosntran baru. Padahal, sosok Topan setiap tahunnya diperingati sebagai seorang pahlawan. Sampai-sampai, seorang Pejabat-T membuatkannya Patung Topan sebagai penghormatan. Topan dianggap berjasa telah menumbangkan rezim otoriter 20 tahun silam.

Kondisi berubah. Bunga, sang istri Topan yang dekat dengan Pejabat-T menjadi titik balik seorang Topan untuk kembali turun ke jalan. Dia merasa hasil yang telah diraupnya itu tidak berarti apa-apa. Niat busuk Pejabat-T yang ingin menjadi presiden menjadikan Topan sebagai tumbal. Di tangan ajudan Pejabat-T bernama Bujok, Topan tewas terkena timah panas di kepalanya.

Lakon Demonstrans ditulis Nano Riantiarno pada 1989. Awalnya lakon ini berjudul Topan, Sang Demonstran. Namun nano mengubahnya menjadi Demonstran saja. Lakon Demonstran mengandung satir, kritik dan sindiran yang pedas. Kisahnya sangat relevan dengan kondisi dan fenomena yang terjadi di Indonesia.

Bukan Teater Koma nananya jika setia lakon yang dipentaskan tidak keras mengkritik. Bahkan hal yang tak terpikirkan misalnya, ketika Topan diwawancarai para jurnalis yang mendorongnya maju sebagai calon pemimpin. Usai Topan diwawancara, para jurnalis tersebut dibagi hadiah dan amplop berisi uang. Cerminan tersebut cukup menyentil fenoman media di Indonesia.

Namun itu tak seberapa, dalam Demonstran, beberapa adegan malah lebih banyak lagi menyindir situasi politik dan ekonomi Indonesia. Kecurangan, korupsi, kolusi dan nepotisme nampak hadir menghiasi sepanjang pementasan lakon. Konon, upaya sindirian dan kritikan pedas sudah menjadi ciri khas Teater Koma.

Lakon yang diproduksi ke-132 ini berdurasi sekitar 180 menit. Tata panggung yang cukup wah memberikan kesan tersendiri terhadap penonton. Improvisasi tim artistik cukup berhasil menata tata letak yang dibutuhkan. Sehingga, pertunjukan berjalan tanpa gangguan pandangan penonton.

Lakon Demonstran juga mampu mengatur waktu dan jeda beberapa adegan. Pemilihan adegan serius dan humor sebagai pemanis lakon berhasil membuat sebagian penonton betah untuk menuntaskan lakon hingga usai. Sayangnya, dalam Demonstran, Teater Koma sepertinya masih belum percaya diri menampilkan tokoh utama yang diperankan oleh generasi muda.

Dalam Demonstran, bisa dilihat para aktor muda sebagian besar diposisikan sebagai pemeran pembantu. Sementara beberapa aktor senior dipercaya menjadi pemeran uatama. Tentu saja, sebagai teater yang fenomenal dan masih kuat bertahan, Teater Koma punya asalan sendiri memilih siapa aktor utama. Namun, sebagian penonton tentu saja ingin menyaksikan bagaimana sepak terjang para aktor pendatang baru. Bukan hanya menyajikan para aktor senior yang sudah diakui keaktorannya.

Label:

Mengakrabi Garis dan Warna Lukisan Sahat Simatupang

Dua anak kecil itu berkunjung ke Graha Cipta II, Taman Ismail Marzuki Jakarta pekan lalu. Mereka datang bersama orangtuanya. Dengan wajah kebingungan, salah satu dari sang anak itu menatap lukisan karya Sahat Simatupang berjudul Wajahnya (cat minyak di atas kanvas, 80x100 cm, 2012). “Yang ini judulnya Wajahnya,” kata sang anak sambil menunjuk lukisan.

Jika dilihat sekilas, lukisan Wajahnya tampak seperti corat-coret semrawut. Warna merah, hijau, kuning, biru, hitam tampak tergores kuat. Namun, Sahat tentunya bukan semata-mata menggoreskan garis dan pada lukisannya. Jika dicermati lebih detail, corat-coret itu membentuk sebuah wajah. Mata, hidung dan bibir terlihat tertutup seolah telah terdistorsi garis dan bentuk-bentuk lain yang menyatu.

Sahat, dalam Pameran Tunggal Lukisan Sahat Simatupang yang berlangsung pada 4-14 Maret 2014 itu memang dikenal sebagai generasi pelukis abstrak. Kerapkali, Sahat melukis dengan bentuk yang 'tak jelas' tetapi tetap memiliki makna terkandung. Pada lukisan berjudul Irama (cat minyak di atas kanvas, 70x90, 2012). Sahat melukis dengan menghadirkan sosok manusia yang tengah saling berjabat tangan dalam sebuah putaran.

Pada lukisan ini Sahat membuat garis menyerupai bentuk tubuh manusia. Tubuh-tubuh itu bersatu sama lain dengan jumlah delapan tubuh manusia. Garis-garis subjek manusia pada goresannya memang tidak terlalu tebal. Ketebalan garis justru digoreskan sebagai unsur latar belakang lukisan ini. Artinya, Sahat menonjolkan latar belakang warna merah dan kuning untuk memunculkan garis manusia tadi yang hanya berwarna putih dan hitam.

Pada lukisan Merokok (cat minyak di atas Kanvas, 35x35 cm, 2002). Sahat cukup apik menggoreskan garisnya pada wajah seorang perempuan yang tengah menghisap rokok. Lukisan ini hanya membubuhkan warna hijau tua dan krem. Tetapi komposisinya cukup pas sehingga memberi kesan garis wajah perempuan tersebut seolah menampilkan wajah seseorang yang sempurna.

Pada lukisan Bermain Dengan Malam 2 (cat minyak di atas kanvas, 75x150 cm, 2014). Sahat lebih ekstrem membubuhkan lukisan abstraknya. Berbekal dari karya-karya sebelumnya, Sahat sepertinya telah menemukan pengalaman batin baru dalam memainkan warna. Lukisan ini bisa menjadi salah satu buktinya. Dia menggabungkan komposisi warna kuning, putih, merah, cokelat dan hitam.

Eksperimen warna juga bisa dilihat pada lukisan Bermain Dengan Malam 1 (cat minyak di atas kanvas, 75x150 cm, 2014). Dominasi warna hijau tua dan muda tampak lebih kuat. Sehingga pada lukisan ini Sahat seolah ingin tampil atau muncul dengan warna yang segar, tidak cenderung kelam dan gotik seperti pada karya-karya sebelumnya. Kedua lukisan Bermain Dengan Malam sendiri bercerita tentang kehidupan malam yang penuh dengan warna-warni, baik sebagai simbol, metafora atau fenomena yang nyata terjadi di dunia.

Kecintaannya terhadap garis juga diperlihatkan pada lukisan berjudul Wanita Garis Putih (cat minyak di atas kanvas, 60x80 cm, 2003). Lukisan berusia lebih dari 10 tahun ini dipenuhi oleh warna merah, kuning dan kombinasi warna biru dan hijau. Sementara, garis yang membentuk seorang perempuan tengah duduk menyamping hanya menggoreskan warna putih saja.

Inilah dalam pandangan Prisade, seorang karib Sahat Simatupang melalui catatan kuratorialnya menyebutkan keakraban Sahat tidak bisa dipisahkan dengan garis. “Garis yang dihidupkan secara terus menerus [pada karya-karya Sahat Simatupang] bisa juga dikatakan bahwa garis itu tidak lain adalah dari garis hidup dirinya sendiri,” katanya.

Dari beberapa lukisan yang dipamerkan, tampak sekali evolusi garis yang digoreskan Sahat. Jika pada era 2000-an Sahat lebih memilih menggoreskan garis tipis, maka setelah pada 2010-2014, garis-garis pada lukisan Sahat yang cenderung abstrak itu lebih tebal dengan pemilihan warna yang kaya pula.

Prisade menambahkan, kendati lukisan Sahat beraliran abstrak dengan garis-garis yang membentuk banyak tema itu, Sahat masih memposisikan diri sebagai pelukis yang konsisten dengan prinsipnya. “Jadi, ketika melukis, Sahat tidak melukis dengan suatu pikiran yang kosong dan perasaan yang buta,” paparnya.

*Bisnis Indonesia Weekend

Label:

Masakan Cina

Berkunjung ke Lotte Shopping Avenue, Ciputra World I, Jakarta, rasanya tak afdol jika tidak mampir ke restoran Modern Asian Diner (MAD) yang berada di lantai 4. Restoran ini tidak hanya menyajikan beragam menu makanan. Namun, pengunjung akan dimanjakan dengan arsitektur yang unik dan elegan.

Tak percaya? Cobalah lihat sekeliling restoran. Mata Anda akan langsung dibuat kagum dengan konsep desain bangunan MAD ini. Pemilihan warna cat, dekorasi hingga ornamen yang tertera di MAD akan membuat betah dan nyaman. Anda tak perlu repot menunggu hidangan yang dipesan. Tinggal duduk dan menikmati pemandangan kota di balik jendela, pelayan akan mengantarkan menu pesanan tak sampai 20 menit.

Menu yang ditawarkan sebagai hidangan pembuka tentu sangat menggugah selera. Truffle Dumpling, Cream Crab Croquet dan Spicy Salmon Spring Roll adalah appetizer yang patut dicoba. Dihidangkan dengan alas yang unik, Anda akan buru-buru melahap terlebih dahulu Truffle Dumpling yang kenyal dan kaya akan rasa. Isinya, tentu saja aneka sayuran sebagai pemancing selera makan.

Lalu iciplah Cream Crab Croquet. Meski berukuran mini, makanan yang lebih dikenal dengan keroket ini mempunyai tekstur yang enak dipandang mata. Rasanya pun sangat lezat dan empuk. Tepung dan saus dalam hidangan ini terasa pas untuk lidah orang Indonesia, meskipun MAD sendiri dikenal sebagai Chinese food.

Untuk menu Spicy Salmon Spring Roll, Anda akan mencium sedikit wangi yang khas. Menu ini juga berisi sayuran dari bahan berkualitas. Salmon yang dihancurkan hingga rata ini bahkan tidak tercium bau amis. Teksturnya sederhana dengan tambahan mentimun yang dipotong bulat dan tampak segar.

Nah, setelah melahap semua menu pembuka, minuman Strawberry Shortcake yang juga disediakan MAD akan segera menetralisir makanan yang dilahap tadi. Dalam gelas bulat yang cantik, bentuk minuman ini tampak kemerahan. Aroma strawberry tercium. Rasa asam yang segar membuat lidah ingin terus menyeruput hingga habis.

Keunggulan di restoran MAD ini membuat pengunjung merasakan kehebatan kuliner berkelas. Sentuhan kulinari timur yang sarat akan eksotisme rasa serta kombinasi kuliner barat tampak terasa. Namun, bedanya di restoran MAD ini, Anda akan disuguhkan dengan suasana modern dan santai.

Menu yang disajikan tentunya merupakan menu pilihan. Wagyu Beef Claypot Rice adalah salah satunya. Menu ini akan membuat Anda ketagihan dengan berisi truffle oil dan telur onsen yang memikat pandangan mata. Cara penyajian menu utama ini terlihat cantik. Potongan-potongan beef ditempatkan tepat diatas nasi. Sementara telur olsen ditumpuk di tengah.

Daging pada menu ini sangat empuk dan Anda tidak akan sama sekali menemukan daging yang liat. Rasa dagingnya gurih dan lezat. Lalu, cobalah rasakan aroma dari nasinya yang lembut dengan lumuran truffle oil yang membuat bentuk nasi ini tampak menggugah. Dan yang terpenting, sausnya terasa pas sehingga, rasa beef dan nasinya tidak hilang.

Maka, kiranya ungkapan Johan Handojo, salah satu pemilik MAD benar. Dia mengatakan, restoran MAD berdiri bukan hanya sebagai tempat untuk makan dan mengenyangkan perut semata. MAD yang dibangun oleh Tung Lok Restaurant Ltd, grup restoran di Singapura ini bahkan bisa disebut sebagai destinasi gaya hidup kaum urban Jakarta.

Restoran MAD sendiri memiliki kapasitas 200 kursi dengan tampilan open concept kitchen and bar. Restoran MAD juga mengklaim sebagai restoran yang memiliki robotic kitchen di Indonesia. “Tentunya kehadiran MAD diharapkan mampu bersinergi dengan kebutuhan kuliner dan gaya hidup masyarakat saat ini,” paparnya.

Johan menambahkan, selain MAD, Tung Lok Restaurant juga sekaligus meresmikan My Humble House yang juga berlokasi di Lotte Shopping Avenue lantai 5, Ciputra World Jakarta. Restoran ini memiliki luas 700 meter dengan kapasitas 200 kursi. Interior My Humble House dirancang sangat artistik berbahan kayu dan bebatuan. Restoran ini dibuka untuk weekdays pada pukul 11.00-23.30. Sementara untuk weekends dan public holiday buka pada 10.00-23.00.

*Bisnis Indonesia Weekend

Label:

Artefak dari Bentara Budaya

Patung terbuat dari kayu itu tegak berdiri. Warnanya cokelat dengan tubuh telanjang. Kedua tangannya mengapit sebuah kaki patung lain. Patung ini diukir oleh orang-orang suku Asmat. Tradisi mengukir di Asmat lahir dari upacara keagamaan yang dianut.

Suku Asmat masih mempertahankan kepercayaan terhadap nenek moyang. Di beberapa wilayah di Asmat bahkan terdapat upacara pengorbanan pemotongan kepala manusia dan kanibalisme untuk menenangkan arwah nenek moyang. Maka, dalam sosok-sosok patung ukiran tersebut konon terdapat roh nenek moyang.

Ragam dan bentuk seni ukir suku Asmat memang didominasi oleh warna kecokelatan. Hal tersebut merujuk pada seni tradisi sebagai pengabdian baik kepada ruh leluhur atau kepercayaan lain. Seni ukir patung Asmat dianggap memiliki kekuatan gaib. Sehingga keanekaragaman seni di Asmat terus dilestarikan.

Patung-patung itu terkumpul dalam Pameran Keramik & Kayu di Bentara Budaya Jakarta yang berlangsung pada 27 Februari - 9 Maret 2014. Sebanyak 90 koleksi yang juga milik Bentara Budaya tersebut dipamerkan kepada khalayak. Keramik koleksi tersebut merupakan hasil perintisan, perburuan dan pengumpulan oleh PK Ojong, salah satu pendiri Kompas Gramedia yang mencapai lebih dari 1.000 koleksi.

Coba tengok Baju Shaman misalnya. Baju ini biasanya dikenakan ketika upacara oleh seorang dukun di suku Asmat. Sepintas, kita akan langsung teringat akan orang-orangan sawah jika melihat wujud Baju Shaman ini. Baju tersebut terbuat dari rumput kering, kulit kayu, daun pandan hutan yang dikeringkan serta diberi ornamen kerang-kerang dan tanduk rusa.

Kemudian, beberapa senjata asal Asmat juga tak lupa dipamerkan. Tombak, misalnya yang terbuat dari kayu dengan ujungnya yang tajam dilengkapi penutup terbuat dari paruh burung atau kuku burung kasuari. Mata tombak Asmat ini memiliki gerigi yang beragam. Bentuknya ada yang polos tetapi tajam. Senjata ini digunakan oleh orang asmat sebagai alat untuk mempertahankan hidup.

Sementara, koleksi keramik yang dimiliki Bentara Budaya berusia beragam mulai dari abad ke-10. Beberapa keramik berwarna biru dan putih terlihat berjejer di sudut kanan Bentara Budaya. Keramik ini diperkirakan dibuat pada abad ke-18 hingga 19 dari Dinasti Ching. Keramik-keramik ini berfungsi sebagai tempat duduk berbentuk segi enam dan bulat.

Bentara Budaya juga memiliki beberapa guci pada masa Dinasti Tang yang bertipe Guangdong pada Abad ke-8 hingga 9. Pada masa tersebut koleksi-koleksi dibuat dengan bentuk sederhana, tanpa hiasan atau masih berbentuk kasar kekuningan yang tidak merata. Guci tersebut konon banyak ditemukan di Jawa Tengah.

Dua buah guci berukuran sedang terlihat sudah mulai rusak terutama di bagian mulut guci bagian atas. Di badan guci pun terlihat mengelupas sehingga warnanya kelihatan agak pudar. Sementara, koleksi jenis Tempayan pada masa Dinasti Yuan abad 12-14 masih tampak orisinal tanpa polesan warna. Beberapa Tempayan berbentuk botol itu diduga telah digunakan untuk air raksa pada masanya.

Ipong Purnamasidhi, Kurator Bentara Budaya Jakarta dalam catatan kuratorialnya mengatakan dengan digelarnya pameran tersebut, Bentara Budaya Jakarta mencoba tidak membatasi diri dengan rentang waktu, jenis bahan dan muasal kehadiran keramik yang dikoleksi sejak 1980-an tersebut.

Menurutnya, justru Pameran Keramik & Benda Kayu, menghadirkan keanekaragaman keramik dari sisi bentuk. Beberapa bentuk koleksi bisa dilihat dari gerabah berbentuk celengan, cetakan kue, guci botol, gentong, guci hingga piring yang diperkirakan berasal dari dinasti Cina.

Sementara, koleksi benda-benda yang berasal dari Asmat diperoleh juga pada 1980-an. Pihaknya mengakui, sejak pengoleksian dilakukan, artefak bersejarah tersebut disimpan di ruang khusus Bentara Budaya dan jarang dipublikasikan ke khalayak luas. “Maka, melalui keragaman bentuk dan historik ini, kami ingin berbagi dengan khalayak tentang keunikan koleksi Bentara Budaya Jakarta,” ujarnya.

Label:

Sajian Lezat di Restoran 1001 Hotel

Berkunjunglah ke 1001 Hotel di Jalan Kunir 7, Jakarta Barat. Selain didaulat sebagai tempat istirahat, hotel ini menyajikan 'surga dunia' tersendiri. Tempat karaoke, club dan restoran adalah fasilitas yang recommended untuk disinggahi. Khusus club, yang diberi nama Colosseum itu tampak megah dengan lampu-lampu yang khusus didatangkan dari Ibiza

Konsep bangunan restoran 1001 Hotel tampak unik. Pencahayaannya pas. Meja makannya bersih dan elegan. Dinding tembok penuh dengan ornamen seni yang enak dipandang. Dan paling penting, menu-menu yang disajikan bisa membuat lidah terus bergoyang tak henti-henti.

Saya merasakan sendiri menu Soto Tangkar. Menu ini merupakan salah satu dari ratusan menu yang ditawarkan. Dagingnya begitu empuk. Kuahnya wangi, gurih, dan kental. Apalagi irisan kentang, kikil dan urat dalam Soto Tangkar terus membuat saya tak henti mengunyah sambil menyeruput kuahnya.

Eits... Tunggu dulu. Untuk memesan Soto Tangkar, saya hanya duduk manis selama 10 menit. Setelah itu, sang pelayan dengan sigap menyuguhkannya di meja. Untuk menikmati menu ini, sang koki merekomendasikan dengan minum teh manis hangat saja.

Ah, saya penasaran mengapa daging Soto Tangkarnya begitu empuk dan memanjakan lidah. “Khusus daging Soto Tangkar, kami merebusnya selama tiga jam. Ini yang membuat dagingnya tidak liat dan pas untuk disantap,” kata Sakino Salim, sang koki andal 1001 Hotel.

Ini baru hanya satu menu. Tak lama berselang, sang pelayan menyajikan beberapa menu lainnya. Beef Teriyaki. Ya, ini menu yang terdiri dari daging sapi, nasi, sayuran dan kuah yang terpisah. Pertama, saya mencicipi kuahnya terlebih dahulu. Dan, wow... Lezatnya minta ampun. Apalagi, untuk menambah nikmatnya menyantap menu ini, sesekali saya melahap menu lain yang disajikan, yakni Fried Bean Curd atau tahu goreng yang menggugah selera. Ditambah, sajian saus tomatnya yang asam dan bikin ketagihan.

Oh ya, menu yang paling diburu dari restoran ini adalah Shabu-Shabu. Arie Darmadji, pengelola 1001 Hotel mengatakan, pasar terbesar restoran ini adalah dari berbagai kalangan. Shabu-Shabu menjadi incaran baik tamu hotel ataupun pengunjung club dan karaoke. “Bedanya Shabu-Shabu di sini ada saos kacang ditambah dengan sambel seafood. Hanya di restoran ini saja menu tersebut bisa dinikmati. Kami mengkombinasikan style dari Thailand dan Japanese,” paparnya.

Dia mengatakan, menu lain yang ditawarkan tentu saja mulai dari tradisional hingga Chinese food yang siap untuk dilahap. Anda mungkin belum akrab dengan menu Nasi Goreng Siram Udang dan Oyong. Menu ini juga salah satu yang unik dari restoran 1001 Hotel.

Nasi goreng ini sengaja disiram kuah yang gurih. Irisan udang dan oyong membuat tekstur dan tampilan menu ini semakin greget untuk disantap. Konon, kata sang koki, menu ini cocok untuk dinikmati dan bisa meredam kala pengunjung kelelahan seusai clubbing.

Namun, mari lupakan sejenak. Ada menu lain lagi yang patut dilibas: Ayam Goreng Cah Pedas. Hmm... Menu ini memang lezat bukan main. Enaknya benar-benar nagih. Jika diibaratkan, menu ini cocok ketika Anda tengah santai atau nonton televisi. Goreng ayam yang terpotong kecil-kecil, membuat Anda seolah tengah ngemil kacang, karena sebelum habis, Anda tak akan berhenti mengunyah.

Menu lain yang tak boleh dilupakan juga adalah Sop Buntut Goreng Sambel Bali. menu ini tak kalah lezatnya dengan yang lain. Sakino menambahkan, selama beberapa pekan ini, dia juga tengah mempromosikan menu Paket Bubur. Isinya tentu saja bubur, ceker ayam, tahu asin, telur asin ala Singapura, dan ayam kampung rebus.

“Untuk menu paket yang spesial ini, saya anjurkan agar menikmatinya pada sekitar pukul 02.00 - 03.00 pagi. Karena ketika disantap pagi, Paket Bubur ini benar-benar terasa lezat,” paparnya. 

Paket menu ini harganya terjangkau. Cukup mengeluarkan Rp500.000, Paket Bubur bisa dinikmati untuk 8 orang. Sementara untuk paket 6 orang hanya merogoh kocek Rp400.000. Dan 2-3 orang cukup Rp300.000. Untuk minuman dan cuci mulut, Anda bisa memilih aneka jus, es krim, pisang goreng keju dan lainnya. Selamat menikmati indahnya surga dunia di 1001 Hotel.

*Bisnis Indonesia Weekend

Label:

Unjuk Gigi Para Pelukis ISI

Lukisan Sejuta Anak Ayam terpajang paling depan di Gallery Kemang 58, Jakarta Selatan. Lukisan bercat minyak di atas kanvas dibuat pada 2014 itu tampak kasar dan khas. Bagi sebagian pecinta lukisan, karya berukuran 35x35 cm itu mudah ditebak. Pembuatnya tentu saja dialamatkan kepada Djoko Pekik. Seniman asal Yogyakarta yang dikenal sebagai pelukis satu miliar.

Bergeser ke sudut lain, tiga lukisan Soetopo berjudul Petan, Kerokan, dan Pasar Burung tampak khas terlihat. Tema-tema kerakyatan masih akrab pada goresan kuas Soetopo. Ketiga lukisan itu dibuat pada 2013 dengan ukuran 35x35 cm. Kesemua lukisan berkisah tentang kehidupan sehari-hari warga kampung.

Djoko Pekik dan Soetopo memang biasa dikenal sebagai pelukis bermedium kanvas besar. Kali ini, mereka ditantang untuk membuat karya lukis berukuran 35x35 cm dalam pameran ISI ISI yang digelar pada 19 Februari- 16 Maret 2014. Pameran ini melibatkan 139 seniman lukis dan patung asal Yogyakarta. “Kebanyakan yang terlibat adalah seniman Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dari berbagai periode,” kata D. Safitri A dari Talenta Organizer selaku penyelenggara pameran.

Pameran ISI ISI boleh disebut sebagai pameran seni egaliter. Meskipun di dalamnya terdapat pelukis besar. Para seniman diajak untuk guyub dan tidak dituntut untuk merasa paling senior atau terkenal. Semua karya lukis dan instalasi diseragamkan satu ukuran.

Lihatlah, karya seniman kawakan Djoko Pekik, Soetopo, Ipong Purnomosidhi, M. Agus Burhan, Dyan Anggraini, Ivan Sagita, atau Sigit Santoso yang dipajang sejajar dengan karya pendatang baru lainnya. Ini menunjukan pameran yang sudah direncanakan setahun lalu itu berhasil membuat kebersatuan para seniman secara utuh.

Memang, jika bicara ukuran, masing-masing seniman memiliki hak bagaimana melukis dengan medium dan ukuran yang dikehendaki. Namun pada pameran ini, keseragaman ukuran menjadi tantangan tersendiri. Semua seniman dipaksa bereksplorasi berkarya menggunakan ukuran 35x35 cm.

Pelukis realis Sigit Raharjo yang terbiasa menggunakan ukuran kanvas besar pun akhirnya berhasil menuangkan gagasannya dalam kanvas kecil. Dia membuat tiga lukisan berjudul Jago Klawu Bendo, Jago Wido Cempoko dan Semprong. Ketiga lukisan tersebut menggambarkan muka ayam jago dengan hasil yang sangat sempurna. Detail warna dan anatomi ayam jago digoresnya begitu rapi.

Bukan apa-apa, salah satu tujuan digelarnya pameran ini adalah untuk mendekatkan para seniman satu sama lain. Diharapkan, para pelukis pendatang baru yang memiliki bakat di atas rata-rata mampu mengikuti jejak para pendahulunya. Karya-karya yang ditampilkan pun beragam aliran. Dari mulai realis, ekspresionis hingga abstrak.

Kebersatuan inilah yang kiranya bakal menjadi pemersatu antara para seniman baik lukis atau pun patung di Yogyakarta. Mari simak, karya Rato Anggela berjudul Bye Good Night dan Hello Good Morning. Keduanya dipajang sejajar dengan barisan lukisan para pelukis pendahulu. Pelukis kelahiran 1990 ini tampak khas dengan karya yang berbicara tentang fenomena urban kota dan realitas masyarakat.

Oei Hong Djien, kolektor lukisan ternama mengatakan konsep dalam pameran ISI ISI memang berbeda dari pameran biasanya. Menurutnya, ada seniman yang lebih bagus berkarya dalam format kecil sehingga bisa lebih mudah dimiliki para kolektor. “Saya melihat Isen Isen atau ISI ISI merujuk kepada konten. Karena karya bagus itu memiliki konten,” katanya.

Sementara, kritikus seni rupa sekaligus dosen Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta Suwarno Wisetrotomo memaparkan bahwa pameran ISI ISI yang melibatkan ratusan seniman ini atas nama kebersamaan. Menurutnya, peristiwa tersebut bukan didorong oleh ikatan ideologi yang sama atau gerakan pemikiran.

Ukuran yang telah ditetapkan 35x35 cm bagi semua seniman merupakan keunikan tersendiri untuk berkreasi. Para seniman yang terlibat akan melahirkan energi bersama ketika hasrat individu ditekan. Bahkan, dia memaparkan para seniman yang tidak terlibat dipersilahkan untuk cemburu dan berempati atas perbedaan ruang personal dan sosial yang dibangun.

“Mereka, para seniman dengan tindakannya yang sederhana ini berpameran bersama memilih jalan tengah, tidak sok intelektual, juga tidak sok seniman dan juga bukan karena rendah diri,” paparnya.

*Bisnis Indonesia Weekend

Label:

Foto Jurnalis Jakarta

Cerulit, golok, gergaji hingga batu berseliweran di kepala. Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat pada pertengahan 2013 lalu mencekam. Sejumlah pelajar berseragam SMA tampak melakukan aksi tawuran pada hari terakhir Ujian Nasional. Suasana ini diabadikan apik oleh Arif Julianto, fotografer salah satu media online, Okezone.

Foto Arif berjudul Tawuran Pelajar ini terpajang menghiasi pameran Pewarta Foto Indonesia Jakarta (FPIJ) bertajuk Jakarta Berharap di Galeri Cipta 2, Taman Ismail Marzuki Jakarta pada 4-10 Februari 2014. Foto Tawuran Pelajar menjadi salah satu cerminan fenomena yang terjadi di Jakarta.

Para fotografer dari sejumlah media di Jakarta berhasil memotret karya yang mengangkat tema-tema sosial, berkaitan dengan situasi dan kondisi Ibu Kota. Pameran tersebut merupakan rangkuman momen ataupun kejadian sehari-hari yang terekam kamera para pewarta foto selama kurun waktu 1 Januari 2013—31 Desember 2013. Pameran terdiri dari 120 karya dari 79 orang pewarta foto.

Selain karya Tawuran Pelajar bidikan Arif, karya Aziz Indra, pewarta foto dari media Sindo berjudul Tak Tahu Siapa yang Mau Kuhubungi patut dicermati. Foto itu menampilkan seorang ibu asal Kampung Srikandi Pulogadung Jakarat sedang bersedih memandang ponselnya. Dia tampak kebingungan siapa yang hendak dihubungi ketika rumahnya digusur. Perempuan itu duduk di tengah rumah yang telah rata akibat penghancuran oleh 2.800 gabungan Satpol PP, Polri hingga TNI pada 2013 lalu.

Foto bidikan Aziz Indra ini memang tampak biasa. Tetapi pesan yang ingin disampaikan begitu dalam. Posisi tubuh sang ibu yang menyender pada sisa tembok rumah hancur memberikan pukulan hebat dalam dirinya. Ditambah, raut wajah yang tanpa harap membuat foto ini lebih dramatis dan mampu memberikan efek simpatik terhadap pengunjung yang melihat foto tersebut. 

Label:

Seni Rupa yang Bebas Bentuk

Pistol itu tergeletak di atas sebuah keramik. Warnanya hitam pekat. Sepintas, jika dilihat dari kejauhan, wujudnya menyerupai pistol asli. Namun, pistol itu hanya mainan yang terbuat dari kantung plastik.

Di tangan Tisa Granicia, limbah plastik bisa dijadikan karya seni. Dia mencoba merajut plastik itu menjadi sebuah bentuk yang bermakna. Seperti limbah lainnya, dia mencipta karya seni dalam medium plastik berbentuk pistol berjudul I Don't Dream Violence (2013).

Karya perempuan lulusan Program Studi Seni Rupa FSRD ITB itu terpajang pada pameran Di Antara/In Beetwen yang digelar di Galeri Salihara 9 Februari 2014 - 28 Februari 2014. Dia ingin menyampaikan bahwa hasil karyanya merupakan sebuah bentuk sindiran terhadap pemerintah. “Dalam karya ini saya ingin memperpanjang hidup si kantung plastik hitam sambil menunggu dirinya terurai,” paparnya.

Pameran Di Antara/In Between menampilkan karya para pemenang dan finalis Kompetisi Karya Trimatra Nasional yang digelar Komunitas Salihara bekerjasama dengan Kemenparekraf. Kompetisi tersebut dimulai pada 2013. Karya yang dipamerkan menunjukan bagaimana perkembangan seni patung di Indonesia.

Karya Faisal Habibi yang didaulat sebagai salah satu pemenang utama berjudul Hanky Panky (2013) cukup menarik untuk disimak. Faisal memilih medium kursi sebagai proses kreatifnya. Dia membuat karya sederhana dengan hanya membangun sebuah kursi bulat dengan kaki yang tanpa arah.

Jika biasanya kita mengenal kursi memiliki kaki empat dengan sandaran untuk menyeimbangkan tubuh agar tidak terjatuh, Faisal memberi bentuk lain dalam karyanya. Dia sadar bahwa apapun bentuk kursi meski tidak memiliki kaki seperti kebanyakan kursi lain, publik akan menamakan benda tersebut sebagai kursi.

Hanky Pangky, sebagai judul dalam karyanya tersebut dia artikan sebagai intrik. Istilah tersebut dia ambil guna merepresentasikan pola pikir yang sudah terbangun dalam masyarakat akan sebuah benda baik bentuk ataupun fungsinya. “Kita tidak bisa menghindar dari pikiran tentang kursi walaupun fungsinya sebagai tempat duduk telah hilang,” ujarnya.

Karya lain dari Octora berjudul Gadis Komando (2013). Octora merupakan pematung lulusan Program Studi Seni Rupa FSRD ITB. Dalam karyanya, dia meminjam bentuk sepatu hak tinggi yang biasa dipakai perempuan. Karya yang dihasilkan Octora terbuat dari besi yang dicampur dengan nikel.

Dalam karyanya, dia menyoroti bagaimana perempuan ketika memakai sepatu yang dinilai cukup berbahaya ketika dikenakan. Manusia, khususnya perempuan, dalam hal ini diimbau untuk selalu berhati-hati. Simbol sepatu yang dimaksud Octora adalah hak yang tajam seperti pisau sehingga bisa berbahaya bagi manusia lain. 

Jika disimak secara seksama, karya patung yang dipamerkan tidak melulu mewujud sebagaimana patung yang biasa dipahami. Karya-karya tersebut cenderung bebas medium dan bentuk. Para peserta pameran seolah dibebaskan untuk berkreasi sedemikian rupa.

Karya Fariduddin Atthar berjudul Unlock (2013) misalnya. Dia hanya menggunakan medium beton dan tulangan baja. Dia membangun sebuah imitasi kunci gembok raksasa. Karya ini cukup simple. Tetapi pesan yang disampaikan cukup dalam.

Dalam Unlock (2013), Fariduddin ingin memberikan pesan bahwa membuka potensi diri adalah sebuah sikap yang sangat mulia. Simbol kunci yang terbuka menandakan manusia memiliki tingkat kesadaran yang luas.

Asikin Hasan, kurator seni rupa Komunitas Salihara mengatakan karya yang dipamerkan dapat dinilai sebagai karya yang melampaui konvensi seni patung. Dia melihat ada perubahan konvensi baik dari segi teknik, metode, proses dan bentuk.

Menurutnya, karya-karya tersebut tidak bisa dikatagorikan sebagai seni patung modern. Namun, dia melihat ada sesuatu yang lain dari karya yang dihasilkan para peserta. “Mereka jauh dari bayang-bayang guru dan generasi beberapa tingkat di atas mereka,” ujarnya.

*Bisnis Indonesia Weekend

Label:

Konser Singing Toilet

Sejumlah kardus dan kantung plastik berisi pakaian tampak menumpuk memadati lantai dasar Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta (2/2/2013). Ratusan orang antre hingga mengular demi menyaksikan konser Singing Toilet. Selain antre menukar tiket, pengunjung juga menyumbang alakadarnya untuk korban erupsi Gunung Sinabung, Sumatera Utara.

Jam menunjukan sekitar pukul 17.20 WIB. Ananda Badudu, vokalis Banda Neira, salah satu artis yang tampil pada ajang Singing Toilet terlihat berbincang dengan beberapa rekannya. Nanda tampak lebih dewasa. Empat tahun lalu, ketika saya masih kongko-kongko bareng, rambutnya masih gondrong. Dia terkenal sebagai seorang aktivis di kampus Universitas Parahyangan Bandung. Kini tampilan rambutnya lebih pendek.

Sejak menelurkan sejumlah lagu di bandnya Banda Neira, namanya kian terkenal. Duetnya dengan Rara Sekar yang juga vokalis, menjadi perbincangan hangat musik indie di Indonesia. Banda Neira adalah kelompok musik duo yang bermain dengan hanya sentuhan gitar akustik. Karya-karya mereka terkenal lewat promosi internet macam Youtube atau Soundcloud. “Banda Neira main jam berapa?” Tanya saya. “Nanti sekitar jam 8,” jawabnya.

Kebanyakan pengisi acara Singing Toilet berasal dari band-band indie. Sebut saja misalnya Payung Teduh, Float, White Shoes and the Couples Company, Banda Neira, Bonita and the Hus Band, Dik Doank dan Kandank Jurang Doank, Endah n Rhesa, Glenn Fredly dan Sigmun. Namun, kehadiran musik mereka tak bisa disepelekan begitu saja. Terbukti, histeria penonton malam itu pecah dan terdengar membahana. Konser sendiri dimulai sekitar pukul 18.00 WIB. 

Malam semakin larut, hujan deras mengguyur Jakarta. Alunan musik dari Payung Teduh malam itu mampu menghangatkan ratusan penonton yang hadir. Lagu-lagu romantis yang dinyanyikan Is dan kawan-kawan serentak dinyanyikan bersama oleh para penggemar fanatik. Salah satu lagu yang dimainkan, Angin Pujaan Hujan adalah bukti antusiasnya penonton pada penampilan Payung Teduh.

Penampilan Banda Neira tak kalah menarik. Salah satu puisi milik penyair Subagio Sastrowardoyo berjudul Rindu berhasil dimusikalisasi dan ‘menghipnotis’ penonton. Petikan gitar akustik Ananda Badudu begitu jernih. Apalagi vokal pada lagu ini didominasi oleh Rara Sekar yang merdu. Penonton pun tak berheti tepuk tangan. Banda Neira, pada konser amal ini menyumbangkan empat lagu termasuk Di Atas Kapal Kertas, Esok Pasti Jumpa dan Ke Antah Berantah.

Namun, yang paling memukau adalah penampilan Dik Doank. Dik, mengajak puluhan anak didiknya dari Kandang Jurang Doank ke atas panggung dan bernyanyi bersama. Salah satu lagu yang dimainkan, Jangan Menangis Ibu tampaknya mampu membuat kuping para penguasa dan warga Indonesia panas. Lagu ini adalah kritikan bagi para perusak hutan dan alam. Aksi panggung Dik Doank semakin sempurna ketika menyuguhkan slide letusan Gunung Sinabung dan banjir di sejumlah kawasan Jakarta yang diakibatkan kelalaian ulah manusia.

Histeria penonton lebih keras lagi ketika Glenn Fredli naik panggung. Glenn sempat ‘berkhotbah’ bahwa konser Singing Toilet merupakan konser yang wajib digelar. “Ini acara sangat mulia. Sejak saya diajak untuk mengisi acara, saya tidak berpikir lama menerima tawaran ini,” katanya disela-sela bernyanyi. Glenn malam itu berhasil melantunkan tiga buah lagu. “Doakan saja, jika kondisi Sinabung sudah mulai membaik, semoga kita bisa menghibur dan bernyanyi untuk korban di sana.”

Tiket konser amal Singing Toilet dibanderol Rp100.000. Sementara Graha Bhakti Budaya berkapasitas 600 kursi. Tak sedikit calon penonton kecewa karena tidak kebagian tiket. Mereka harus gigit jari meninggalkan area konser. Sisanya rela menunggu di area Graha Bhakti Budaya. Untuk membunuh kejenuhan, mereka memilih duduk-duduk sambil membakar rokok di luar lokasi konser.

Namun, secara keseluruhan, konser Singing Toilet bisa dibilang sukses mengajak penonton untuk berbagi. Hasil penjualan tiket sepenuhnya akan disumbangkan untuk membangun toilet bagi korban erupsi Gunung Sinabung. Penampilan dari tiga band terakhir Sigmun, Float dan White Shoes and the Couples Company cukup memuaskan penonton. Sampai akhir pertunjukan, sekitar pukul 01.00 WIB, kursi Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki tampak masih padat. Meskipun di luar, hujan masih deras. 

*Bisnis Indonesia Weekend

Label:

Pemalu dan Pendiam

Hampir setiap sore, halaman rumah saya selalu dipenuhi anak-anak pengajian yang bermain kelereng atau mainan tradisional lainnya. Terkadang main kucing-kucingan atau main loncat tali karet. Mereka adalah para santri yang mengaji di salah satu masjid samping rumah saya. Usia mereka mulai dari 7-13 tahun.

Sebelum guru mengaji datang, para santri lelaki dan perempuan memang terbiasa menghabiskan waktu untuk bermain. Tepat pukul 16.00 WIB, salah satu dari mereka akan berteriak sambil berlari ke masjid. “Ibu datang... Ibu datang.” Sontak, mereka pun langsung duduk berjejer di masjid. Sang guru, seperti biasa akan langsung bergegas memimpin doa untuk memulai belajar.

Saya sendiri sudah cukup lama tidak mendengar cericit dan berisiknya suara mereka. Namun, pekan lalu, sehabis menyambangi rumah lagi, saya melihat kembali keceriaan mereka. Pada jendela rumah yang hanya tertutup gordin transparan, saya memerhatikan keceriaan mereka. 

Muhammad Inzaghi, yang dulu tidak pernah ikut nimbrung dengan santri lain kini sudah berani bergabung bersama mereka. Oh ya, seingat saya, Zaghi begitu dia disapa adalah sosok pemalu dan pendiam. Sang Ibu, Lilis Syarifah tahu betul bahwa sang anak lebih memilih bermain sendiri di rumah. Adapun, jika berbaur dengan teman lain, bocah berusia 10 tahun itu hanya diam memerhatikan teman-temannya yang tengah bermain.

Namun, Inzaghi sudah berubah. Dia malah lebih interaktif dibandingkan dengan temannya yang lain. Dia kini banyak bicara dan cenderung menguasai para sahabatnya jika tengah berkumpul. Seolah-olah, dia adalah bos dari perkumpulan itu. Dulu, menurut Lilis, sewaktu masih duduk di taman kanak-kanak (TK), pergi ke sekolah pun harus diantar jemput. Di kelas, dia hanya duduk memerhatikan. Sesekali menengok ke jendela kelas meyakinkan sang ibu masih menunggu di luar.

Efnie Indrianie, Psikolog Universitas Maranata menuturkan perilaku pendiam dan pemalu yang dialami anak disebabkan oleh dua alasan yakni faktor bawaan dan lingkungan. Faktor bawaan cukup sulit untuk diubah. Biasanya anak pemalu dan pendiam sejak kecil akan terus terbawa hingga dewasa.

Perilaku yang dialami Zaghi sendiri disebabkan oleh faktor lingkungan. Sewaktu kecil memang Zaghi terbiasa hidup di lingkungan rumah. Sehingga jarang terjadi komunikasi dengan anak lainnya. “Lingkungan akan sangat memberi dampak bagi sikap pemalu dan pendiam,” papar Efnie.

Perilaku pendiam dan pemalu yang disebabkan faktor bawaan memang cukup bermasalah. Seseorang yang sudah dewasa misalnya akan tetap memilih bungkam dan tidak banyak tingkah di hadapan orang lain. Efnie memberi contoh, seorang mahasiswa yang memiliki kecerdasan materi kuliah jarang mengemukakan pendapatnya saat diskusi kelas berlangsung. Padahal melihat hasil karya tulis yang ditugaskan, mahasiswa tersebut memiliki kecakapan yang memadai.

Menurutnya, perilaku pendiam dan pemalu ini memang bukan penyakit yang harus diobati. Akan tetapi, sebisa mungkin untuk perilaku yang disebabkan oleh faktor lingkungan, pihak orang tua sebisa mungkin mengenalkan anak terhadap publik luas. “Kalau mau, orangtua berani membiarkan anaknya bermain sebebas mungkin. Tentu dengan pendampingan yang wajar.”

Efnie menjelaskan agar sewaktu kecil anak jangan dibiasakan bermain dengan benda mati seperti mobil-mobilan, robot dan barang lainnya. Tetapi mengajak anak dengan permainan yang melibatkan banyak orang. Dengan begitu, lanjutnya, komunikasi anak dengan anak lain akan terasah secara dua arah.

Namun, katanya, perilaku pendiam dan pemalu yang disebabkan faktor bawaan sebaiknya dilakukan terapi kepribadian. Seorang anak atau pun yang sudah dewasa bisa menemui psikolog atau psikoterapi. Perubahan perilaku dengan sendirinya perlahan akan berubah jika kemauan orang tersebut untuk berubah kuat.

“Perilaku ini memang bukan kelainan. Tetapi jika mereka tengah berada di tengah-tengah orang lain, ini akan cukup membuat orang bertanya-tanya tentang sikapnya,” papar Efnie. “Perilaku tersebut juga mungkin akan sangat merugikan diri mereka sendiri.”

*Bisnis Indonesia Weekend

Label:

Kamis Ke-300: Film Pembela HAM

Lelaki paruh baya itu terbaring di sebuah kasur. Tubuhnya tak berdaya dan tak bisa bergerak. Dia sakit, sampai menggerakan tangan pun tak mampu. Tetapi, jiwa dan semangatnya masih kuat. Dia terus berjuang meneriakan keadilan.

Amoroso Katamsi, pemeran sang kakek dalam film Kamis Ke-300 karya sutradara Happy Salma tampak menghayati peran. Dalam kondisi sakit, dia mengajarkan pada sang cucu untuk terus melawan lupa. Pada adegan awal, film pendek berdurasi sekitar 14 menit itu cukup memberikan pesan kuat.

“Bapak ibu yang terhormat. Kepada Presiden, pemimpin bangsa yang tercinta. Kami hanya rindu, kami hanya rindu pada bapakku yang dibawa pergi,” begitu ucap sang cucu di hadapan kakek yang terbaring.

“Kepalkan tanganmu!” Ujar sang kakek.

“Saya kan lagi membuat tugas kek,” jawab sang cucu. Tangan kanannya dikepal. Sementara tangan kirinya memegang sebuah buku. “Tidak ada kata tidak untuk perjuangan,” sanggah sang kakek.

Inilah salah satu adegan yang membuat film ini tampak hidup dan berhasil menyampaikan pesan secara mendalam. Kisah dalam film ini menggambarkan perjuangan rakyat kecil. Sebuah kisah sedih tentang keluarga akibat penghilangan dan pembunuhan paksa oleh oknum aparat.

Pada beberapa adegan lain, film menceritakan unjuk rasa damai yang dilakukan para aktivis HAM di sejumlah ruas jalan Jakarta. Mereka mengenakan pakaian dan payung serba hitam sebagai rasa simpati kepada korban.

Film tersebut dibuat dengan gambar hitam putih. Saya rasa pemilihan gambar sangat tepat untuk mendukung tema cerita. Simbol perlawanan, nuansa berkabung hingga semangat perjuangan yang tampak menjadi satu.

Film pendek Kamis Ke-300 diangkat dari cerita pendek Happy Salma berjudul Kamis Ke-200 yang dimuat di sebuah surat kabar pada 2010. Film tersebut dipersembahkan bagi para pejuang HAM yang konsisten membela keadilan dalam upacara Kamisan.

Untuk diketahui, upacara Kamisan merupakan sebuah gerakan yang dilakukan oleh sejumlah aktivis dan keluarga korban pelanggaran HAM. Upacara dilakukan sebagai bentuk perjuangan yang disampaikan kepada pemerintah yang telah berjanji menghukum pelaku pelanggaran HAM. Namun hingga saat ini, keluarga korban hanya menerima janji-janji palsu dari pemerintah.

Film ini diputar di Goethe Institut, Jakarta dua pekan lalu sebagai peringatan tujuh tahun aksi Kamisan. Pemeran film terdiri dari Sita Nursanti, Nugie, Aji Santoso dan Amaroso Katamso. Happy Salma, sebagai sutradara menggaet Bambang Supriadi, Key Mangunsong, Andhy Pulung, Ricky Lionardi dan Ritchie Ned Hansel dari kalangan film Tanah Air.

Sepak terjang Happy Salam dalam dunia seni memenag tidak bisa diragukan. Kebanyakan karyanya memuat protes dan perlawan terhadap tindak ketidakadilan. Dalam film Kamis Ke-300, poin yang ingin disampaikan adalah pembelaannya terhadap kaum lemah yang 'dijajah' kuasa pemerintah.

Seni, baik pertunjukan maupun film menjadi senjata ampuh untuk melakukan pemberontakan kesewenang-wenangan pemerintah. Latar belakang aksi Kamisan dimanfaatkan secara berhasil oleh Happy dalam membangun cerita. Sehingga, meskipun film berdurasi pendek, namun, intisari yang dihasilkan membuat penonton berdecak kagum.

Sebagai seorang seniman, tentu Happy merasa prihatin dengan banyaknya kasus pelanggaran HAM yang tidak jelas penyelesaiannya. “Inilah yang mendasari saya membuat film ini sebagai dukungan moril kepada para pejuang HAM,” ujarnya.

*Bisnis Indonesia Weekend

Label:

Pentingnya Penerangan Kota

Suatu malam pada 23 Januari 2014. Waktu menunjukan sekitar pukul 22.00 WIB. Adi Marsiela, seorang jurnalis asal Bandung blusukan mencari sebuah tempat yang pas untuk memotret Jembatan Pasupati Bandung.

Dia menyusuri gang-gang kecil di kepadatan rumah kawasan Pasteur tepatnya bawah Jembatan Pasupati. Tekadnya hanya satu: dia ingin mengabadikan kerlap-kerlip lampu yang menerangi jembatan ikon Bandung itu.

“Saya pulang ke rumah hampir jam satu malam. Mencari titik yang terbaik untuk memotret Pasupati dan Gedung Sate di malam hari. Lihat hasilnya, foto ini saya ambil dari bawah jembatan,” kata Adi kepada saya sambil memperlihatkan hasil jepretannya.

Pekan lalu, sebuah perusahaan produsen lampu PT Philips Indonesia memberikan sebuah penerangan untuk dua ikon Bandung yakni Gedung Sate dan Jembatan Pasupati. Dalam program Kota Terang Philips LED, Bandung menjadi kota penerangan pertama pada 2014. Sebelumnya, penerangan dilakukan di Jakarta, Surabaya, Bali dan Yogyakarta.

Dalam beberapa detik, kedua ikon Bandung itu berganti warna menjadi hijau, ungu, merah dan biru. Warna-warni dihasilkan dari inovasi produk perusahaan asal Belanda itu. Dampak dari adanya penerangan tersebut cukup besar. Warga mendadak ramai-ramai mengunjungi sekadar memotret atau menyaksikan keindahan cahaya yang indah itu.

Program Kota Terang Philips LED 2014 juga melaksanakan serangkaian Roundtable Kota Layak Huni atau Livable Cities yang dimulai pada 2013. Philips bekerja sama dengan pihak Pemerintah Daerah setempat, akademisi, asosiasi profesional dan sektor swasta untuk mendiskusikan solusi membuat perkotaan di Indonesia menjadi lebih aman, inklusif dan berkelanjutan.

Ryan Tirta Yudhistira, Director of Marketing Management, Philips Lighting Consumer, PT Philips Indonesia, menjelaskan setiap tahunnya, jumlah orang yang tinggal di perkotaan terus meningkat. Hal tersebut menjadi salah satu alasan pihaknya membuat sebuah kota menjadi lebih layak huni. 

“Ini adalah cara Philips menghubungkan inovasi pencahayaan terintegrasi dan kemitraan dengan pemerintah setempat. Kami coba memberikan solusi berkelanjutan untuk menyinari ikon kota dan mendukung masyarakat untuk menggunakan solusi energi,” paparnya.

Ren Katili, Architecture Lecturer, Binus University mengatakan pencahayaan merupakan salah satu faktor penting dalam sebuah kota. Selain bisa meminimlisasi kecelakaan, pencahayaan yang tercover dengan baik berpotensi mengurangi kriminalitas.

Dia memberi contoh, sebuah jalanan gelap dan kosong memungkinkan menjadi tempat kriminalitas bagi para penjahat. Tetapi jika jalan tersebut cukup terang, orang akan merasa takut melakukan kejahatan. Penerangan kota, ungkapnya, harus bisa memberikan kenyamanan siang dan malam.

Ada dua titik penerangan kota yang harus diperhatikan. Pertama, penerangan berkonsep human comfort atau titik di mana publik kota yang menjadi tempat berkumpul. Halte bus, misalnya merupakan salah satu tempat yang wajib diterangi. 

“Manusia memiliki zona nyaman sekitar 3 meter dari manusia lain. Artinya, jika ada penerangan yang cukup, sesama manusia akan merasa nyaman. Berbeda jika kondisi gelap, mereka akan takut satu sama lain meskipun tidak ada potensi berbuat jahat,” paparnya.

Titik penerangan kedua adalah city image. Konsep ini berorientasi di mana kota harus menjadi petunjuk arah bagi publik. Misal, petunjuk arah yang berada di sepanjang ruas jalan mesti mendapatkan penerangan yang baik. Selain akan memudahkan publik secara umum, penerangan menjadi faktor hidupnya sebuah kota.

Konsep city image juga menjadi luas dengan hadirnya penerangan berteknologi tinggi. Kini, kota memiliki pencahayaan yang bukan hanya berfungsi sebagai penerangan semata. Unsur estetika malah lebih ditonjolkan untuk mencapai seni pencahayaan yang menarik pandangan mata.

“Kita bisa melihat contoh Jembatan Pasupati dan Gedung Sate. Fungsi keduanya bukan hanya sekadar ikon Kota Bandung, tetapi sudah menjadi objek wisata malam hari bagi penduduk,” paparnya.

*Bisnis Indonesia Weekend

Label: