Sabtu, 01 September 2012

Menulusuri Jejak Perjuangan Saung Angklung Udjo


Pada era 1950-an, Udjo Ngalagena hanyalah seorang guru musik dan olahraga di sebuah sekolah di Bandung. Sebagai seniman sekaligus pecinta alat musik tradisional, ia mengajarkan banyak alat musik kepada para muridnya.

Sejak saat itulah ia kenal Daeng Soetigna, seorang seniman yang menjadi peletak batu pertama penciptaan musik angklung bernada diatonis. Udjo pun mendapatkan ilmu banyak darinya. Setelah sebelumnya angklung hanya digunakan sebagai alat musik tradisional yang dimainkan pada acara ritual tertentu di Jawa Barat.

Berbekal kecintaanya terhadap angklung, Suami Uum Sumiati itu pun bermimpi ingin memperkenalkan lebih luas alat musik yang terbuat dari bambu itu kepada masyarakat. Dia mulai berkeliling  ke setiap rumah yang ada di kawasan Padasuka Bandung.

Virus angklung yang disebarkan Udjo waktu demi waktu mulai menular. Masyarakat sekitar sudah mulai apresiatif dengan kehadiran alat musik dengan nada baru itu.

Udjo memang bukan guru biasa. Selain memiliki keahlian di bidang seni, ia juga memiliki kenalan luas dengan para pengusaha. Di situlah ayah dari sepuluh anak itu berkenalan dengan Syam, seorang pengusaha travel.

“Pak Syam orang yang pertama memperkenalkan sekaligus membantu memasarkan angklung karya bapak [Udjo] ke Prancis,” kata Mutiara anak dari Udjo sekaligus menjadi Direktur Operasional Saung Angklung Udjo.

Rasa bangga Udjo belum menapaki puncak, ia kurang puas membesarkan angklung jika sebatas dikenal orang saja. Dengan bermodal lahan sepetak tanah, dia membangun sebuah tempat pertunjukan khusus untuk menampilkan angklung di halaman rumahnya.

Pada 1970, berkat tangan cerdik Udjo Desa Padasuka menjadi hangat. Banyak turis asing berdatangan hanya untuk menonton pertunjukan angklung. Tak sedikit warga bule yang berdatangan atau setidaknya bertamu ke rumahnya.

Angklung Udjo pun sudah mulai harum. Nada-nada yang dimainkan berkat gubahan Daeng itu disukai kuping para pejabat pemerintahan. Sebut saja nama Mantan Gubernur Jabar Solihin GP dan Mantan Menteri Kehakiman Mochtar Kusumaatmadja era 1970-an itu yang sempat sengaja mengundang Udjo untuk memainkan angklungnya.

Udjo dan Uum yang sama-sama seorang guru itu bersepakat untuk terus membesarkan angklung agar warisan budaya sunda itu tetap terjaga. Uum, sang istri tercinta bahkan rela menjual perhiasannya hanya untuk membangun lebih luas area untuk pertunjukan dengan nama Saung Angklung Udjo (SAU).

Menginjak 1980-an,  SAU sudah mematok harga tiket pertunjukan sebesar Rp2500 bagi setiap pengunjung yang datang. Dan yang patut dicatat pada dari 1980-1995 hampir semua pengunjung SAU 80% berasal dari turis asing.

“SAU sempat dikenal oleh masyarakat sebagai tempat pertunjukan yang ekslusif dan terkesan bagi hanya orang yang berduit,” kata Mutiara.

Sehingga pada awal puncak krisis moneter, pihak SAU melahirkan strategi cerdas untuk mengembangkan seni musik bambu itu menuju lebih baik agar setiap orang bisa menikmati alunan musik bambu itu. Berbagai promosi dan publikasi pun gencar dilakukan.

Kondisi pun terbalik. Awal 1998 pengunjung yang datang ke SAU 90% dari masyarakat domestik, setelah para turis itu dihantui konflik era reformasi dengan pengekebirian etnis Cina.

Namun, pada 2000 kondisi pengunjung asing sudah mulai normal dengan membludaknya wisatawan mancanegara yang mampir  sekedar membeli angklung atau menikmati pertunjukan. Sehingga pada 2010 SAU menyandang predikat The Intangible Heritage dari UNESCO.

Perjuangan mendapat gelar tersebut memang bukan hal yang mudah, terlebih UNESCO mewantikan empat hal yang menjadi ‘pekerjaan rumah’ SAU yakni melakukan promosi, pelestarian, regenerasi, dan perlindungan terhadap angklung.

Syarat pertama yang dilakukan SAU dalam melakukan promosi memang sudah dilaksanakan, terbukti dengan padatnya agenda manggung baik di dalam maupun luar negeri. Syarat momor dua hingga empat ini yang kemudian menjadi tantangan berat SAU.

Namun, bagaimana pun, SAU harus pantang mundur. Sebagai salah satu warisan budaya SAU sadar betul pelestarian dan regenerasi sudah mulai dijajaki.

Bidikan pertama SAU dalam mengembangkan generasi penggiat angklung mulai dari sekolah. Hal ini sudah dilakukan sejak puluhan tahun lalu sebenarnya, ketika Komunitas Pencinta Angklung 3 yang isinya merupakan pelajar SMUN 3 Bandung sudah beberapa kali pentas, baik untuk tingkat nasinonal maupun internasional.

Tahun 1996 misalnya, KPA 3 tercatat sebagai kelompok angklung pertama yang melakukan konser tunggal. Komunitas ini juga pernah menggelar Konser Orkestrasi Angklung VIII, 20 Maret tahun lalu di Jakarta bersama Aning Katamsi dan Christoper Abimanyu.

Selain itu, SAU juga menjajaki pihak  Kementerian Pendidikan Nasional agar diterapkan sebuah kurikulum khusus bagi siswa supaya angklung tetap terjaga dan meregenerasi di kalangan sekolah.

Mutiara menjelaskan regenerasi penggiat angklung dimulai dari anak usia dini hingga lansia. Dia memberikan contoh untuk personil angklung di internal SAU sebanyak 400 orang.

SAU juga banting tulang dalam pelestarian angklung dengan melakukan upaya hulu ke hilir. Kini, pihaknya tengah bekerja sama denga Perhutani dan Unpad  untuk membudidayakan bambu hitam sebagai bahan baku angklung.

“Kami sudah melakukan kerja sama dengan sejumlah pihak terkait agar pelestarian bahan baku angklung bisa tetap ada, dan yang lebih penting kami menciptakan lahan kerja baru” katanya.

Selain itu, dia memaparkan agar pemerintah memiliki perhatian terhadap perkembangan angklung ini, baik dalam masalah pembinaan, atau pun membantu promosi dan publikasi.


Pakar Seni Tradisional Sekolah Tinggi Seni Indonesia Dedy S Hadianda mengatakan adanya pengakuan warisan budaya yang diakui UNESCO memang sangat membanggakan. Namun, dia menggaris bawahi masih banyak terdapat kekurangan yang harus diperbaiki.

“Saya menyambut baik pengakuan beberapa warisan budaya kita diakui dunia, tetapi dengan adanya pengakuan tersebut bukan lantas lupa akan asal muasal budaya itu sendiri,” katanya.

Dia memberikan contoh SAU yang sudah mendapat pengakuan UNESCO 2 tahun lalu itu cenderung lebih menonjolkan orkestra barat dari pada musik etnik aslinya. Padahal, lanjut Dedy, angklung tidak berarti apa-apa jika tidak mengedepankan kultur musiknya.

Selain itu, dia menyebutkan beberapa warisan budaya yang patut dipelihara dan diakui dunia seperti alat musik tradisional suling, karinding, lodang, celempung dan calung.

Label: