Senin, 12 Mei 2014

Jpret

Namanya Jpret. Sejak lahir, menginjak masa anak-anak, remaja hingga dewasa, tetap saja dia dipanggil Jpret. Lelaki miskin berambut panjang itu ngoceh sendiri membicarakan hiruk pikuk suasana politik di Indonesia. Sesekali para lawan mainnya menimpali. Namun sesungguhnya dia sedang ngomong sendiri dalam pertunjukan monolog Jpret dari Teaeter Mandiri yang digelar di Teater Salihara Jakarta, Minggu (13/4).

Monolog  Jpret dikemas dengan tata panggung sederhana. Sebuah layar terbuat dari kain terbentang. Di tengah layar sengaja dibuat bolong sebagai ilustrasi layar televisi. Satu kursi, kotak suara, toilet, meja makan dan remote control adalah artistik yang terpajang di arena pertunjukan. Monolog tersebut mengangkat sebuah kisah pahit-manis demokrasi dalam pemilihan umum di Indonesia.

Jpret antusias untuk memberikan hak suaranya memilih calon anggota legislatif (caleg). Seperti diketahui, pada masa kampanye, kebanyakan para caleg memajang foto untuk dikenal publik di beberapa medium. Tiang listrik, pohon, benteng, angkutan kota dan sarana lainnya merupakan ajang promosi wajah-wajah para caleg. Terkadang wajah-wajah mereka, para caleg itu tampil di beberapa media dengan wajah yang sama, mengumbar senyum seolah mereka berperilaku baik dan manis.

Adalah Putu Wijaya, penulis naskah dan sutradara Jpret yang sebelumnya naskah tersebut diberi judul Kroco. Kroco merupakan sebuah naskah untuk dilakonkan pada ulang tahun seorang aktor legendaris, Amoroso Katamsi yang ke-70 tahun. Naskah tersebut dibuat pada 1999 menjelang pemilu. Namun, karena beberapa alasan, naskah Jpret tidak jadi dipentaskan. Dan, bisa terlaksana tahun ini bertepatan dengan Pemilu 2014.

Monolog Jpret dimainkan oleh Bambang Iswantoro, Alung Seroja, Lela Lubis, Dwi Hastuti, Ucok Hutagalung, dan Gandung Bondowoso dari Teater Mandiri. Jpret merupakan pementasan terakhir dari rangkaian ulang tahun Putu Wijaya yang ke-70. Naskah Bila Malam Bertambah Malam dan Hah sendiri ditampilkan pada 11-12 April 2014.

Pada pementasan Jpret, cara penyutradaraan Putu Wijaya tampak terlihat jelas. Unsur realisme, humor, kritis bahkan absurd menjadi satu kesatuan yang utuh. Kita bisa melihat sendiri bagaimana Jpret bisa berbicara langsung dengan presenter televisi yang sesungguhnya berada pada dunia yang berbeda. Tetapi itulah Putu Wijaya, dia kerap mengobrak-abrik estetika dalam sebuah karya.

Pemakaian bahasa yang menggedor daya kejut penonton menjadi ciri khas lain dalam menyampaikan pesannya. Politik misalnya, dia sebutkan secara tidak langsung sebagai praktik menyengsarakan rakyat. Bukan sebaliknya, memberikan kesejahteraan yang pantas.

Alur pementasan Jpret tidak bisa ditebak. Teror mental yang sudah lama digaungkan Putu diam-diam menyelip di beberapa percakapan antara Jpret, presenter televisi, para caleg dan seorang nenek tua, yang dalam pementasan tersebut menjadi nenek tiri Jpret.

Salah satu kritik pedas untuk menyindir Pemilu di Indonesia adalah ketika sang nenek dan Jpret didatangi para calon Presiden. Mereka menanyakan berbagai kebutuhan rakyat jika mereka terpilih jadi Presiden. Padahal sebagai pemimpin, seharusnya tahu keinginan rakyat, bukan sok peduli dan terjun ke lapangan.

Adegan ketika Jpret mencoblos, disuap, dan dibunuh merupakan cerminan perilaku politik kotor yang terjadi di Indonesia. Siapa yang banyak uang, di situlah politik berkuasa. Kita bisa saksikan, bagaimana ketika seorang berada di tempat pemilihan suara (TPS) seperti Jpret didatangi para caleg untuk memilih mereka sendiri. Di sini, Putu dalam panyutradaraannya ingin menekankan bahwa cara-cara kotor tersebut betul-betul terjadi.

Monolog Jpret memang cukup berhasil menggiring penonton menertawakan kondisi politik yang ada di Indonesia. Dari segi cerita dan pesan, Putu memang piawai menghadirkan dengan bahasa ungkap yang lugas. Namun, sekadar catatan, masalah teknis pada pementasan Jpret ini sangat disayangkan.

Permainan cahaya, musik pengiring, jeda antar adegan tampak terlihat kurang persiapan dan latihan yang matang. Kalau boleh disebut, persiapan Teater Mandiri untuk pementasan Jpret kurang maksimal. Sehingga, penyorotan cahaya ketika setiap aktor dan aktris yang masuk ke arena teater kerap terlihat lambat. Beruntung, beberapa kekurangan tersebut bisa ditutupi dengan aksi-aksi improvisasi para aktor.

*Bisnis Indonesia Weekend

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda