Sajak Sajak Ali Mifka
Ada yang Tak Kunjung Selesai
Ada yang tak kunjung selesai
Dari geliat narasi utopis
Teka-teki hidup demikian akrab
Sekaligus tak mudah dipercaya
Fragmen-fragmen nasib bersilang acak
Seiring menuntut segala sesuatu
Untuk selesai di ribuan awal yang lain
Hidup menyimpan tragedi bunuh diri jutaan jawaban
Dari berbagai pertanyaan yang asing
Kita ringkih, pedih, dan kesetiaan pada akhirnya
Adalah kekhawatiran menerka peristiwa esok hari
Arungi Senyummu
Dan ku arungi senyummu
Di sepanjang senja yang kelu
Aroma tatapmu
Menerjemahkan air mata
Di sela-sela doa yang hangat
Aku hanya menemukan satu jatah langkah
Dalam seribu langkah menemuiu
Itupun hanya ikhlas menatapmu
Namun diantara kertas, pena dan hatiku
Dirimu utuh disini
Dan kuarungi senyummu
Sepanjang keheningan puisi
Yang tergagu menahan rindu kuarungi senyummu
Apa Lagi
Apa yang akan kita ceritakan lagi
Tentang hidup hari ini
Ketika angin terbenam di lembah
Dan bayangan menggigil di ucap malam gelap?
Tak usah kita mengendap-mengusir sungai-sungai
Kita mencintai hidup seperti kehausan mencintai mata air
Sepanjang kita setia pada hidup
Kita masih bisa melupakan angin malam yang dingin
Dan berangkat menuju ke sana;
Ke atas bukit yang belum kita kenal
Kita Hanya Mampu Menjadi Puisi
Kutulis surat ini untuk hatimu
Ketika manusia begitu retak memahami cinta
Riwayat mata kita telah berkarat, saudaraku
Kita tak perlu terus berdusta membiarkan
Air mengalir, membiarkan api menyala
Udara kini adalah napas yang patut kita curigai
Hari-hari kita untuk setia menganyam kesaksian
Kita akan menjadi seribu usia, saudaraku
Yang bicara lewat ziarah puisi
Tentang mereka yang melepuh menyebut luka-duka
Di surau-surau yang dihancurkan para kekasih yang berkhianat
Tetapi kita tak mampu menjahit luka-duka
Kita hanya mampu mengubah pisau-pisau
Menjadi kain kasa dan kapas putih
Kita mampu mencintai mereka, saudaraku
Karena itu membuat puisi kita terjaga setiap malam
Juga malam membuat kita harus menulis bulan
Dan di pagi hari kita menggigil mengusung keranda kemanusiaan
Bacalah, saudaraku…
Luka-duka ini butuh semacam jeda
Sebelum pedih menjawab semua tanda tanya dengan keajaiban
Kita harus mulai menari, saudaraku
Hari ini bukan sekadar sebuah pertemuan
Tetapi puisi jalang yang menegaskan bisik
Kabarkan segalanya menurut hatimu, saudaraku
Aku adalah kematian bagi sejengkal ragu dan takutmu
Bagi luka-duka kita hanya mampu menjadi puisi
Kirim surat untuk kesetiaanku, saudaraku
Jika hari-hari dirayapi sepi
Dalam gelisah, ternyata, kita harus pergi
Untuk ziarah pada setiap jejak sejarah
Dan harus pulang untuk kembali berbenah
Kutulis surat ini untuk hatimu
Ketika dunia begitu tak sesederhana yang kita kira
Puisi Kematian Bulan
Senja di rimba
Lolong adalah runcing bahasa
Yang membidik aum di taring kata
Bulan ditusuk dingin
Terpuruk di lubuk-lubuk cermin
Geram di semak-semak
Dendam di rongga dada
Senja di rimba
Bulan telah mati di sana
Tentang Suratmu
Kepadamu:
Surat-surat yang kaukirimkan
Berserakan begitu saja
Di kesunyian ruang gerakku
Belum mampu aku membacanya
Bahkan satu kata pun
Ada yang tak kunjung selesai
Dari geliat narasi utopis
Teka-teki hidup demikian akrab
Sekaligus tak mudah dipercaya
Fragmen-fragmen nasib bersilang acak
Seiring menuntut segala sesuatu
Untuk selesai di ribuan awal yang lain
Hidup menyimpan tragedi bunuh diri jutaan jawaban
Dari berbagai pertanyaan yang asing
Kita ringkih, pedih, dan kesetiaan pada akhirnya
Adalah kekhawatiran menerka peristiwa esok hari
Arungi Senyummu
Dan ku arungi senyummu
Di sepanjang senja yang kelu
Aroma tatapmu
Menerjemahkan air mata
Di sela-sela doa yang hangat
Aku hanya menemukan satu jatah langkah
Dalam seribu langkah menemuiu
Itupun hanya ikhlas menatapmu
Namun diantara kertas, pena dan hatiku
Dirimu utuh disini
Dan kuarungi senyummu
Sepanjang keheningan puisi
Yang tergagu menahan rindu kuarungi senyummu
Apa Lagi
Apa yang akan kita ceritakan lagi
Tentang hidup hari ini
Ketika angin terbenam di lembah
Dan bayangan menggigil di ucap malam gelap?
Tak usah kita mengendap-mengusir sungai-sungai
Kita mencintai hidup seperti kehausan mencintai mata air
Sepanjang kita setia pada hidup
Kita masih bisa melupakan angin malam yang dingin
Dan berangkat menuju ke sana;
Ke atas bukit yang belum kita kenal
Kita Hanya Mampu Menjadi Puisi
Kutulis surat ini untuk hatimu
Ketika manusia begitu retak memahami cinta
Riwayat mata kita telah berkarat, saudaraku
Kita tak perlu terus berdusta membiarkan
Air mengalir, membiarkan api menyala
Udara kini adalah napas yang patut kita curigai
Hari-hari kita untuk setia menganyam kesaksian
Kita akan menjadi seribu usia, saudaraku
Yang bicara lewat ziarah puisi
Tentang mereka yang melepuh menyebut luka-duka
Di surau-surau yang dihancurkan para kekasih yang berkhianat
Tetapi kita tak mampu menjahit luka-duka
Kita hanya mampu mengubah pisau-pisau
Menjadi kain kasa dan kapas putih
Kita mampu mencintai mereka, saudaraku
Karena itu membuat puisi kita terjaga setiap malam
Juga malam membuat kita harus menulis bulan
Dan di pagi hari kita menggigil mengusung keranda kemanusiaan
Bacalah, saudaraku…
Luka-duka ini butuh semacam jeda
Sebelum pedih menjawab semua tanda tanya dengan keajaiban
Kita harus mulai menari, saudaraku
Hari ini bukan sekadar sebuah pertemuan
Tetapi puisi jalang yang menegaskan bisik
Kabarkan segalanya menurut hatimu, saudaraku
Aku adalah kematian bagi sejengkal ragu dan takutmu
Bagi luka-duka kita hanya mampu menjadi puisi
Kirim surat untuk kesetiaanku, saudaraku
Jika hari-hari dirayapi sepi
Dalam gelisah, ternyata, kita harus pergi
Untuk ziarah pada setiap jejak sejarah
Dan harus pulang untuk kembali berbenah
Kutulis surat ini untuk hatimu
Ketika dunia begitu tak sesederhana yang kita kira
Puisi Kematian Bulan
Senja di rimba
Lolong adalah runcing bahasa
Yang membidik aum di taring kata
Bulan ditusuk dingin
Terpuruk di lubuk-lubuk cermin
Geram di semak-semak
Dendam di rongga dada
Senja di rimba
Bulan telah mati di sana
Tentang Suratmu
Kepadamu:
Surat-surat yang kaukirimkan
Berserakan begitu saja
Di kesunyian ruang gerakku
Belum mampu aku membacanya
Bahkan satu kata pun
Label: Sajak Sajak Tengil