Senin, 12 Mei 2014

Pameran Jakarta Contemporary Art Space

Lantai 2 Kantor Pos Indonesia di kawasan Kota Tua Jakarta itu dipenuhi beragam karya seni rupa. Ratusan wajan belah, pecah dan bolong disulap menjadi sebuah karya seni. Salah satunya instalasi berjudul Answering My Own Wave karya Teguh Ostentrik. Instalasi seni tersebut tak lagi berwujud wajan sebagaimana fungsi aslinya.

Teguh menyulap wajan-wajan itu menjadi sebuah suguhan yang menyerupai gelombang ombak laut. Wajan, sebagaimana diketahui adalah produk sosial masyarakat yang digunakan untuk memasak. Kehadiran wajan yang awalnya berasal dari Cina itu telah menyebar ke penjuru dunia, termasuk Indonesia.

Gagasan Teguh dalam melahirkan instalasi dari wajan ini dihadirkan sebagai penghormatan atas peralatan masak yang kerap diremehkan. Wajan jarang dimunculkan atau dibicarakan kecuali hanya di dunia masak, dapur dan kuliner. Dengan gagasan tersebut, Teguh ingin memunculkan paradigma baru dalam berkesenian. Artinya, medium yang diciptakan tak melulu dihasilkan dari barang atau komoditas yang banyak digunakan seniman lain.

Karya instalasi ini juga sekaligus dijadikan sebagai pengingat bahwa metafora yang dihadirkan adalah untuk menghargai hal-hal kecil yang sebenarnya berharga. Dengan demikian, sejauh mungkin wajan dalam instalasi ini mencoba menjauh dari pemaknaan sebagai alat masak. Namun, pengunjung dibebaskan untuk menafsir seleluasa mungkin.

Selain karya Teguh Ostentrik, dalam pameran pembukaan Jakarta Contemporary Art Space (JCAS) ini juga menghadirkan para seniman kontemporer lain. Dengan total 46 seniman, karya-karya yang dihadirkan baik melalui lukisan dan instalasi memiliki benang merah yaitu semangat Fatahillah, Kota Tua Jakarta. Pameran berlangsung dari 13 Maret hingga 13 September 2014.

Berbeda dengan Teguh, instalasi Made Wianta, seniman asal Bali memamerkan karyanya berjudul Air Pollution. Sebuah karya dari tumpukan beragam knalpot motor yang dilas menyerupai gunung sebagai wujud kritikan pedas terhadap kondisi lingkungan.

Baik Teguh maupun Made, dalam pameran ini mengedepankan medium yang jarang digagas seniman lain. Merujuk pada karya seni kontemporer, medium yang dihadirkan para seniman memberikan pemaknaan jauh dari fungsi utama atas medium itu sendiri. Artinya, batas-batas makna pada medium tersebut bukan lagi bicara ihwal tafsir yang utuh, tetapi kehadiran makna lainlah yang dengan sendirinya berbicara tafsiran baru.

Seni rupa kontemporer, sebagaimana yang dilakukan seniman Tisna Sanjaya pada kesempatan yang sama berhasil mengkombinasikan dua gagasan seni lukis dan seni tradisional Reak yang menarik. Tidak kurang dari satu jam, Tisna menghasilkan lukisannya berjudul Hudang (Bangun) yang merujuk pada eksistensi seni tradisional itu sendiri.

Pada proses melukisnya, Tisna jauh berbeda dibandingkan dengan peserta seniman lain. Tisna melukis on the spot pada empat kanvas yang masing-masing berbicara soal seni tradisi. Gagasan yang ada dibenaknya ketika melukis diiringi irama kesenian tradisional Reak mewujud dalam empat kanvas tersebut. “Lukisan ini berbicara tentang semangat untuk membangkitkan kembali seni tradisional yang selama ini seolah tidur dan jarang diminati masyarakat moderen,” paparnya.

Lain Tisna, lain juga dengan seniman Angki Purbandono. Seniman yang mengaku pendatang baru ini menghadirkan karyanya berjudul Taxi Lover. Angki menyusun 52 potret aneka macam taksi berukuran 27 x 52 cm dan 4 potret taksi berukuran 57 x 107 cm. Konsep berkesenian Angki cukup unik. Dia menyusun potret-potret tersebut dalam light box sehingga potret yang dihasilkan tampak menarik untuk disimak.

Gagasan dan tema karya Angki tampak fokus memilih suasana, interior dan sisi unik taksi yang mengaspal di Jakarta. Dia memposisikan sebagai penumpang yang kemudian memotret kondisi Jakarta di dalam taksi. Di tangan Angki, ide tersebut justru menjadi seni yang unik dan patut diapresiasi. Dengan penyusunan potret-potret tersebut secara rapi. Warna-warni Jakarta dari sudut taksi terlihat menarik.

Sementara, seniman Mella Jaarsma mencoba menampilkan karya berjudul Surat Terakhir. Medium yang dihadirkan Mella antara lain pakaian, kayu, kaca, gelas untuk menyerupai sosok manusia. Cermin kaca yang dijadikan kepala manusia itu, dalam pandangan Mella justru menjadi titik menarik dalam karyanya.

Karya yang disuguhkan Mella mencoba mengaitkan dengan Kantor Pos, di mana dia sedang melaksanakan pameran. Surat Terakhir hadir dengan mengacu pada gagasan gedung bersejarah itu yang tengah memasuki tahap baru. Dengan tujuan, menemukan cara lain untuk mengirim pesan melalui seni.

Sebagaimana diketahui, kawasan Kota Tua termasuk Kantor Pos merupakan bangunan hasil masa Belanda. Dengan karya yang diciptakan, empat pakaian bercorak putih yang digantungkan itu kerap digunakan oleh para elit kaum Belanda. “Saya terinspirasi oleh lokasi ini. Kantor Pos ini menjadi pusat komunikasi untuk waktu yang sangat lama, saat surat memegang peran dalam komunikasi antara Indonesia dan Belanda,” paparnya.

Pelukis Agus Suwage menampilkan lukisan berjudul Belajar Pada Alam (oil on canvas, 150 x 200 cm, 2013). Lukisan itu berbicara sebuah pemandangan laut yang dikombinasikan dengan metafora buku di tengahnya. Beberapa kata Rawatlah dan Jagalah dalam lukisan tersebut merupakan ajakan dari Agus untuk memelihara alam sebagai nafas bagi manusia.

*Bisnis Indonesia Weekend

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda