Minggu, 26 Agustus 2012

Tawardi Ramli si Raja Keripik dari Medan

Tawardi Ramli Raup Untung Rp3 Juta Per Hari


Bukan perkara mudah bagi Tawardi Ramli untuk melupakan masa-masa getir dalam kehidupannya.

Dia harus banyak mengurut dada karena kehilangan harta hasil usahanya sekitar Rp1 miliar akibat konflik di Aceh pada sekitar 12 tahun lalu.

Ramli dulunya ialah pengusaha kopi di Aceh. Kala itu, dia bisa hidup layak, karena pendapatan dari bisnis yang dijalankannya sudah lebih dari cukup.

Saat itu, konflik Aceh merebak, banyak korban berjatuhan, bahkan jumlah korban jiwanya pun tak sedikit.

Tak berpikir panjang, Ramli segera menyelamatkan diri ke Medan dengan mengontak sanak saudara guna mencari tempat tinggal.

Beruntung, dia mendapatkan sepetak rumah untuk melangsungkan hidup bersama keluarga.

Saat berbincang dengan Bisnis, Minggu (26/8), emosi Ramli cenderung naik-turun. Sesaat air matanya mengisyaratkan kepedihan mendalam saat menceritakan alur hidupnya yang berliku, terutama mengenang usaha kopinya yang gulung tikar.

Namun, beruntung dia tetap tegar. Dalam benaknya tertancap bahwa di balik semua kejadian pasti akhirnya akan mendapat hikmah yang jauh lebih besar.

Kepala dinginnya mulai berpikir cerdas untuk membuka usaha baru di Medan.

“Saya tidak punya apa-apa lagi ketika tiba di Medan, tapi dengan modal nekat, saya datang ke Carrefour untuk menanyakan peluang usaha. Awalnya, saya hanya menanyakan produk apa yang bisa dipasok,” katanya.

Gayung bersambut, ritel modern itu ternyata membuka peluang kepada pelaku UMKM memasok keripik nagka, karena stoknya yang terbatas.

Tanpa pikir panjang, Ramli menyanggupi tantangan itu dengan segera meneken kontrak. Walaupun sebenarnya, dia belum berpengalaman dalam usaha keripik atau pun jenis makanan lainnya.

Dengan pontang-panting, dia mencoba berangkat ke Malang untuk mencari referensi usaha keripik.

Setelah dapat referensi, Ramli langsung memberanikan diri memroduksi keripik nangka sesuai permintaan klien.

Tanpa terasa, Ramli sudah mampu memasok kebutuhan ritel modern itu sebanyak dua kali pengiriman.

Tapi sayangnya, dia harus kembali menelan pil pahit. Bukan untung yang didapat, malah rugi yang menghampirim

Ramli masih berpegang teguh pada prinsipnya, yaitu hidup adalah pengalaman.

Bermodal semangat itu, pria kelahiran Aceh tersebut kembali memutar otak bagaimana agar usaha keripiknya bisa berkembang.

Pada 2004, Ramli berhubungan dengan sebuah lembaga swadaya masyarakat nirlaba Swiss Contact. Lembaga tersebut mengkhususkan diri memberikan bantuan terhadap korban konflik Aceh dan Tsunami.

Berkat pertemuan itu, Ramli mendapatkan hibah mesin produksi atau vacuum frying sebagai modal usaha keripiknya.

Kontan, dia  langsung menerima dan bergegas memproduksi keripik lagi.

“Di situlah usaha saya mulai terlihat perkembangannya. Mulanya saya hanya memasok keripik nangka saja, tapi seiring berjalannya waktu, saya mulai membuat inovasi lain,” katanya.

Ibarat menemukan celah mata air yang mengalir, Ramli mulai ekspansi usaha keripiknya dengan memproduksi produk baru seperti keripik cempedak, salak, nanas, jamur tiram, singkong dan mangga.

Dia pun mencoba merekrut 30 karyawan demi mengejar pesanan dari pasar.

Tak hanya itu, kepedulian Swiss Contact dalam membantu korban Tsunami dan Konflik Aceh sangat berharga dalam usahanya.

Satu unit mesin penggorengan baru kembali diberikan kepada pria bersuara serak itu dengan cuma-cuma.

Pasar pun sudah mengakui usahanya. Di situlah dia memberi label keripiknya dengan nama Tamita. Tamita mengandung arti 'yang dicari' dalam bahasa Aceh.

Grafik penjualan beragam keripik Tamita sudah menunjukan peningkatan yang signifikan.

Omzet per hari bisa mencapi sekitar Rp3 juta. Pria yang rajin beribadah itu pun sudah bisa menikmati hasil keringat yang didapat.

Usaha bisnis keripik Tamita tidak hanya sampai di situ saja. Demi mengembangkan produknya, Ramli mencoba mengikuti pameran di luar negeri.

Tak disangka, respons positif pun terdengar dari konsumen yang menyarankan agar memproduksi jenis keripik lainnya.

Dia kemudian teringat dengan salah satu ciri khas buah-buahan asal Medan yang terkenal dengan buah durian.

Segera saja buah durian itu dijadikan sebagai produk unggulan keripik Tamita.

“Semenjak saya memproduksi keripik durian, nama Tamita semakin terkenal hingga merambah pelosok di Indonesia,” katanya.

Puncak emas usaha keripik Tamita di bawah genggaman Ramli mulai dari 2007 ketika dia membuka pangsa pasar hingga ke Jakarta, Yogyakarta, Makasar dan Bandung.

Sebagai pengusaha, dia harus mengatur strategi usaha dengan menyesuaikan harga produk.

Setiap produk Tamita yang dijual, Ramli membandrol seharga Rp25.000 per bungkus, kecuali untuk jenis keripik durian yang agak lebih mahal dengan harga Rp30.000.

Dia pun mulai mengurangi pasokannya ke ritel modern, karena menurutnya sistem pembayaran tidak sebanding dengan waktu produksi, padahal keuntungan dari modal harus segera diputar untuk belanja bahan pokok berikutnya.

Suami dari Kasmawati Itu akhirnya memutuskan usaha yang dijalaninya lebih memfokuskan kepada pasar domestik.

Dia mengaku tidak terlalu tertarik dengan pasar ekspor karena menurutnya, pasar lokal lebih menguntungkan dibanding luar negeri.

Lebih lanjut ayah dari seorang gadis bernama Mentari tersebut mengatakan angka penjualan keripik Tamita meningkat hingga 150% pada saat menjelang Lebaran. Omzetnya bertambah sebesar Rp4,5 juta per harinya.

“Saya sangat bersyukur, dari tahun ke tahun usaha saya semakin meningkat deras. Sampai saat ini saja saya memproduksi keripik jenis baru dari bahan ikan tawar Danau Toba,” katanya.

Ke depan, Ramli, yang hobi badminton itu berharap bisnisnya bisa lebih berkembang dengan beragam inovasi yang akan dimilikinya. Namun, yang paling dinantikannya yakni dia dan keluarga ingin segera berada di tanah suci.(K5)

Label:

Sandal TAPAK Bandung Terbang ke Amerika

Foto: Rachman/Bisnis Indonesia


Bermodal kecintaannya terhadap pernak-pernik dari suku Indian, pada 1990 Syaiful Gunadi mencoba mencari peruntungan membuka usaha aksesori seperti gelang dan kalung secara handmade dari bahan kulit.

Pada tahun tersebut, konon tren aksesori suku Indian di Indonesia khususnya di Bandung sangat digemari oleh kalangan anak muda. Syaiful, yang juga pemain band itu berpikir tidak ada salahnya jika hobinya itu bisa dijadikan lahan mencari uang.

Awalnya, pria yang gemar bercanda itu  membuat aksesori kalung dan gelang kecil-kecilan yang dibuat secara manual oleh tangannya sendiri dengan cara dianyam. Dia lalu mencoba menawarkan kepada teman-teman band setongkrongannya. Komentar positif dari para temannya itu bermunculan. Semangat Syaiful  pun mendadak terbakar untuk memproduksi aksesori lebih banyak lagi.

“Gara-gara kecintaan saya terhadap etnik Indian, saya mencoba bikin aksesori dari bahan kulit sapi. Alhamdulillah, setelah teman-teman saya merespon positif, saya langsung fokus bikin banyak untuk dijual secara luas,” katanya kepada Bisnis, Minggu (22/7).

Keinginan kuat Syaiful dalam memajukan bisnis aksesori, semakin membuahkan hasil. Setelah mencoba menjualnya di tataran Bandung dan luar kota, seorang temannya memperkenalkan dia dengan seorang buyer untuk dipromosikan ke luar negeri.

Aksesori buatan Syaiful dinilai memiliki keunikan tersendiri dengan ciri khas anyaman tersebut. Akhirnya, aksesori hasil tangannya itu diterbangkan ke Amerika untuk dipamerkan. Seorang buyer itu tidak tanggung-tanggung memesan sebanyak 1200 kalung dan gelang yang dibuatnya.

“Jujur, waktu dapat pesanan sebanyak itu saya keteteran. Tapi mau bagaimana lagi, masa dapat rezeki kok ditolak,” kata Syaiful  bangga sambil tersenyum lebar.

Nominal yang didapat Syaiful saat itu membuat dirinya terhenyak. Untuk pertama kali dalam seumur hidupnya, ia baru menerima uang sekitar Rp50 juta dari hasil usahanya itu.

Syaiful  memang pria beruntung, berbekal hobi, sekaligus ia bisa mencicipi dari hasil kecintaannya terhadap aksesori itu. Namun, keberuntungan pria yang ramah senyum ini berdampak positif. Dia merasa tertantang untuk berpikir membuat inovasi lebih dari usahanya itu.

Menginjak tahun 2002, apa yang selama ini dipikirkan pria berambut a la John lennon itu  akhirnya muncul juga. Keinginannya membuat produk baru berupa sandal kulit anyaman telah dipikirkannya jauh-jauh hari.

Dengan mencoba hal serupa, sandal buatan tangannya itu ditawarkan terlebih dahulu kepada teman-temannya. Dengan berawal membuat tiga jenis sandal kulit anyaman, respon positif dari teman-temannya itu kembali terucap.

Namun, Syaiful  kembali memutar otak. Usaha yang akan ia jalankan itu terkendala modal. Akhirnya dengan bantuan salah satu perusahaan Biofarma, pria berwatak gigih itu diberi pinjam modal untuk memajukan usahanya.

Awalnya, Syaiful  hanya bisa memproduksi dua pasang sandal per hari. Namun, ketika sedikit demi sedikit orang sudah mengenal kualitas sandal yang diproduksinya, permintaan pun semakin bertambah.

“Awalnya, produk sandal saya hanya dijual door to door melalui teman dan saudara, tapi tidak tahu kenapa banyak orang yang memesan,” katanya.

Waktu pun perlahan bergerak dari tahun ke tahun, usaha Syaiful  semakin membuahkan hasil. Kini dia fokus dengan produksi sandal kulit anyamannya, sementara produksi aksesori distop sejenak karena menurutnya sandal lebih menjanjikan.

Namun, di tengah naiknya pangsa pasar sandal buatannya, pria penyanyang istri dan anak itu  mesti menelan pil pahit. Sebuah produk yang hampir sama dengan buatannya beredar di pasaran, dan menggeser produksi sandal miliknya. Barang tiruan yang mirip dan lebih murah itu membuat anjlok usahanya.

“Tahun 2001, saya merasa sakit hati ketika seorang teman meniru barang yang saya bikin. Pasar sandal saya jadi kurang laku,” katanya berkisah.

Dengan pelajaran yang didapatnya itu, Syaiful  akhirnya mematenkan sandal kulit anyamannya itu dengan nama Tapak, yang memiliki arti jejak. “Tapak itu memiliki filosofi yang sangat dalam, yakni jejak hidup dan usaha saya,” katanya.

Usaha sandal anyam Syaiful  sudah mulai merambah pasar luas. Dari pameran ke pameran, nama Tapak kerap dipajang di mana-mana. Sampai-sampai produknya untuk kali kedua dipajang di pameran Amerika dan Jerman.

Sandal anyam Tapak memang mengutamakan kualitas, walaupun dalam satu pasang sandal bisa menghabiskan satu hari produksi. Namun, bagi Syaiful  kepercayaan pelanggan adalah nomor satu. “Dalam prinsip usaha saya, barang yang saya jual harus memuaskan pelanggan, artinya, saya harus mengutamakan kualitas terlebih dahulu,” katanya.

Seiring usahanya semakin berkembang, pria berkulit sawo matang itu kini merekrut sembilan karyawan demi memajukan usahanya. Selain itu ia menyewa sebuah tempat untuk produksi, karena sebelumnya produksi dilakukan di rumahnya di Jl. Sejahtera 8 Nomor 97, Rajawali Barat, Bandung.

Bukan itu saja, untuk urusan marketing, ia mempercayakan kepada sang istri tercinta, karena ia menganggap pengelolaan keuangan oleh istrinya sangat apik dan baik.

Sandal Tapak yang kini sudah memiliki dua toko di kawasan Cihampelas itu sudah mulai dilirik oleh pelanggan dari luar negeri yang sengaja mampir ke tokonya itu.

Harga sandal kulit anyaman tapak sendiri bervariasi dan terjangkau oleh semua kalangan. Dari mulai Rp80.000-Rp150.000, dengan varian jenis pria dan wanita dewasa.

Menurut Syaiful, yang kini telah memiliki sebuah rumah hasil usahanya itu, mengatakan kini usahanya semakin berkembang sering berjalannya waktu. Ada momen-momen tertentu kapan produknya laku, dan kapan usahanya melambat.

Kini, menginjak bulan Ramadan dan menyambut lebaran, penjualan sandal kulit anyaman Tapak semakin deras. Dari bulan yang biasanya hanya mampu produksi 200-300 pasang sandal, kini penjualan naik 100% hingga 600 pasang.

“Kalau menginjak Ramadan penjualan meningkat 100% hingga 600 pasang per bulannya. Itu baru yang di toko saja, belum yang pesanan,”katanya.

Sementara itu, dari selama usaha yang telah dilakukannya, pria pecinta kopi itu  mendapat pelajaran yang sangat bermanfaat dari berbagai pengalamannya. Dia berharap ke depannya bisa memiliki mesin press agar usahanya lebih maju.

Namun, saat ini saja pria berperawakan tinggi yang telah memiliki lima anak itu mengaku sudah bahagia. Kecintaannya terhadap aksesori masih berlanjut. Dia bangga telah bisa menghidupkan keluarga dan memberi peluang kerja bagi para tetangganya. Dengan omzet rata-rata Rp50 juta per bulannya itu, kini Syaiful  terus berinovasi dengan produk-produknya.

“Dalam hidup saya, berkeinginan dan bekerja keras adalah modal utama dari sebuah kesuksesan. Artinya, saya percaya jika saya berjuang keras maka hasilnya pun bakal memuaskan,” kata Syaiful  penggemar The Beatles ini menutup pembicaraan.

Label:

Musik Underground Bandung

Pada dekade 1990-an, musik underground menyerbu Indonesia khususnya di Bandung. Pada saat itu, Bandung menjadi barometer musik aliran-aliran cadas seperti metal, grindcore, punk dan hardcore.

Dimulai pada 1989-1993, sejumlah musisi underground di Bandung mendirikan sebuah komunitas Bandung Death Brutality Area (Bedebah) yang menjadi cikal bakal komunitas bawahtanah di Indonesia. Mereka langsung membuat sebuah studio Palapa yang menjadi tempat berkreativitasnya para musisi cadas Ujungberung-Bandung.

Tampaknya, pada era 1990 tersebut, geliat musik underground semakin beringas dan merebak hingga berbagai daerah di sekitaran Bandung. Dengan hadirnya komunitas underground pertama itu, semakin menginspirasi pecinta musik cadas lainnya untuk mendirikan Bandung Lunatic Underground (BLU) pada 1993, meskipun hanya bisa bertahan dalam satu tahun.

Namun, pada 1995 inilah perkembangan musik underground di Bandung mulai menapaki era keemasannya. Dengan bermunculan band-band metal semacam Forgotten, The Cruels, Sonic Torment, Sacrilegious Mesin Tempur dan Burger Kill. Meskipun, sebuah band Jasad sudah lama malang melintang pada era 1992 menjadi salah satu pelopor band metal di Bandung.

Pada tahun tersebutlah, nama Ujungberung Rebels mulai dikenal publik. Sejumlah kegiatan yang digelar oleh komunitas musisi cadas ini memang cukup kreatif untuk memajukan musik underground.

Dengan membentuk Extreme Noise Grinding (ENG) dan Homeless Crew, perkembangan musik underground semakin maju dimulai dari pembuatan zine-zine propaganda semacam Revograms, Ujungberung Update dan NuNoise. Isinya seputar perkembangan musik, kultur dan hal-hal lainnya yang menginformasikan tentang underground.

Homeless Crew sendiri lahir sebagai Even Organizer bentukan musisi multi talenta bernama Kimung serta kedua kawannya Ivan Scumbag dan Adi Gembel, sebagai pencetus nama Ujungberung Rebels  yang didalamnya terdiri dari penulis, teknisi, enginer, distributor, dll. Terbentuknya Homeles Crew akhirnya membuat dobrakan pertama dengan membuat album kompilasi musik underground sebanyak 20 band di bawah bendera Ujungberung Rebels.

“Extreme Noise Grinding inilah cikal bakal segala dinamika Ujungberung Rebels, hingga hari ini. ENG digagas para pionir seperti Yayat dan Dinan sebagai wadah kreativitas anak-anak Ujungberung,” kata Kimung, Kamis (9/8).

Sukses menggebrak dengan pembuatan album kompilasi, propaganda selanjutnya yang dilakukan Ujungberung Rebels adalah membuat acara musik yang menampung sejumlah band metal lokal untuk dipentaskan dalam skala besar. Sehingga, munculah Bandung Berisik Demo Tour yang lebih akarab dikenal sebagai Bandung Berisik I.

Pada Bandung Berisik I, sebanyak lima belas band Ujungberung unjuk gigi, ditambah bintang tamu Insanity dari Jakarta. Hingga kini, Bandung Berisik tetap diusung masyarakat metal Ujungberung selain tiga pergelaran khas Ujungberung lainnya, Death Fest, Rottrevore Death Fest, dan Rebel Fest.

Tercatat, hingga 2012 pagelaran Bandung Berisik sudah menginjak kali ke-12 yang merupakan ajang pertunjukan musik metal terbesar se-Asia. Pertunjukan ini juga disinyalir sebagai cikal bakal bekerjasamanya pihak Ujungberung Rebels dengan pihak sponsor, setelah sebelumnya komunitas ini konsen di jalur indie.

“Saya bangga dengan anak-anak Ujungberung Rebels terutama acara tahunan Bandung Berisik yang sempat mencatat sejarah dan prestasi besar dengan mengumpulkan 25.000 penonton dalam acara Bandung Berisik IV di Stadion Persib, Bandung tahun 2004,” katanya.

Hingga saat ini, band-band yang tampil di Bandung Berisik semakin banyak dengan kehadiran band pendatang baru yang tetap konsisten di jalur indie label. Namun, setiap tahunnya band yang paling ditunggu-tunggu para penonton masih disematkan kepada Burger Kill.

Kimung, yang juga sempat menjadi personil Burger Kill menjelaskan komunitas dari band-band lingkup Ujungberung Rebels sudah seharusnya merapat ke jalur major, seperti halnya yang telah dilakukan Burger Kill pada 2000 lalu dengan menggaet major Sony Music Entertainment Indonesia (SMEI).

“Sebagai musisi, seharusnya kita bergerak di semua lini, jalur major, indie dan apa pun itu namanya, yang penting kita berkarya sekreatif mungkin, jangan cuma berkutat di komunitas saja kalau mau maju,” katanya.

Kimung memberikan contoh, ketika Burger Kill tampil di salah satu acara yang kerap mengusung musik-musik underground, Radio Show, dia bisa membuktikan bahwa band underground Bandung pun bisa berani memasang badan di media mainstream. Apalagi, lanjutnya, Burger Kill sempat menerima penghargaan AMI Awards sebagai kategori Best Metal Production.

Selain itu, dia menambahkan dengan terbentuknya proyek terbaru bareng musisi undergorund lainnya dengan membentuk Karinding Attack, dia mengatakan tidak ada yang salah jika sebuah kelompok musik yang dari awalnya mengusung semangat independen menjadi mainstream.

Karinding Attack, yang dibentuknya barenga vokalis Jasad, Iman dan kawan-kawan pun sudah banyak berkolaborasi dengan artis-artis papan atas nasional. Dengan mengusung kebudayaan lokal, Karinding Attack sudah mendobrak industri musik di jalur yang lebih luas.

“Kalau di komunitas Ujungberung Rebels sendiri, ada dua nama yang hingga saat ini berani tampil di industri atau pun major, yaitu Burger Kill dan Karinding Attack,” katanya.

Dia menjelaskan bagaimana Burger Kill sempat berkolaborasi dengan Fadly dari band Padi atau Karinding Attack yang berkolaborasi denga Peterpan dan sebuah pertunjukan baru-baru ini bareng Meriam Belina dan Didi Petet.

“Memang kami mengakui ada nada-nada yang kurang respons ketika kami mengambil jalur major, atau ketika Karinding Attack berkolaborasi dengan artis-artis dari pihak major. Namun, perlu dicatat, bukan berarti kami tidak konsisten dengan idealisme yang kami miliki, kalau sudah tidak menjaga idealisme, buat apa kami bikin Bandung Berisik setiap tahunnya,” kata kimung.

Sementara itu, kelompok karinding Mapah Layung lebih mempertahankan jalur indie agar rasa dalam bermusik bisa terus dipertahankan. Seperti diyakini, jalur indie mengusung kebebasan berekspresi dan jauh dari beragam intervensi seperti yang dilakukan major label.

Aras Rasyid, pentolan Mapah Layung memaparkan berkesenian khususnya dalam bermusik merupakan panggilan jiwa dari dalam diri seniman. Bermusik yang baik, lanjutnya adalah bermusik yang datang dari hati dan bukan tekanan dari orang lain.

“Kami sengaja memilih indie, karena pencapaian musik di jalur ini tidak terbatas. Pada indie, kami sangat leluasa berkarya, mengeksplore segala bentuk musik, dan ditantang untuk mempertanggung jawabkan karyanya. Dan yang paling penting, bersikap sederhana tanpa merasa diri paling besar,” tutupnya.

Dia menjelaskan dari sekian kelompok-kelompok musik karinding khususnya di Bandung, ada perbedaan mencolok yang diusung Mapah Layung sendiri. Kolaborasi yang memadukan musik etnik dengan jazz, rock dan blues menjadi ciri khas yang sangat kuat.

Apalagi, citra musik yang dipadukan Mapah Layung kebanyakan terinspirasi dari masing-masing personil yang notabene pecinta musik rock dan klasik semacam Pink Floyd, Led Zeppelin, Iron Maiden, Deep Purple hingga Yngwie malmstein.

Label:

Geliat Sastra Digital Fiksi Mini

 5 TAHUN MENJADI TKW
Istriku pulang. Membawa koper, menempatkan baju dan beberapa potong tubuhnya. -@iipungg

Sepintas, teks di atas tidak berarti apa-apa, seperti lelucon yang ditulis seenaknya, malah terkesan tidak nyambung yang bisa membuat pembaca mengernyitkan dahi. Namun, cobalah tengok dan bacalah seteliti mungkin. Ada sebuah pesan yang dalam pada kisah pendek yang disampaikan itu.

Baris pertama teks di atas mengacu pada tema, sedangkan baris kedua yang menjelaskan isi. Secara sederhana, tafsir dari secuil kisah tersebut menggambarkan tentang kondisi nasib tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia yang mencari peruntungan di luar negeri, namun bukan untung yang diraup, malah siksaan dari sang majikan yang didapat.

Itulah kisah singkat yang ditulis oleh seorang yang memiliki akun jejaring sosial Twitter bernama @iipung. Jenis cerita sangat pendek itu belakangan dikenal sebagai istilah fiksi mini, sebuah genre sastra yang memiliki ciri khas penulisan cerita singkat.

Adalah sastrawan nasional Agus Noor yang mulai memboomingkan istilah itu sekitar tiga tahun lalu di Indonesia. Berawal dari keisengan membuat akun Twitter @fiksimini, dia pun mulai memposting cerita pendek dengan jumlah karakter yang terbatas.

“Awalnya hanya bikin akun biasa di Twitter, tidak ada tujuan khusus, cuma lama-lama banyak orang yang antusias,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (23/8).

Menurut Agus, istilah fiksi mini sebetulnya sudah lama hadir di jagat sastra. Di luar negeri misalnya, istilah fiksi mini akrab disebut flash fiction, nanofiction, postcard fiction, micro fiction atau di belanda lebih dikenal nouvelles dan banyak lagi.

Dengan mengenalkan genre ini melalui Twitter, Agus ingin semua orang terlibat langsung dengan hanya mengirimkan kisah-kisah imajinatif yang bisa ditulis secara ringkas dan bisa ditulis di mana dan kapan saja.

Setiap harinya, para tweeps yang memposting fiksi mini bisa mencapai ratusan dengan tema khusus yang diberikan moderator. Dalam mengelola @fiksimini, Agus mengajak dua orang sastrawan lainnya Eka Kurniawan dan Clara Ng.

Dalam catatan Agus, hingga saat ini jumlah followers @fiksimini sudah mencapi 90.000 lebih dengan latar belakang yang beragam dari mulai pelajar, mahasiswa, dosen, pegawai bank dan tentu saja orang-orang yang konsen di dunia sastra.

“Saya yakin banyak orang yang memiliki bakat menulis, tapi yang menjadi kendala adalah waktu kapan mereka bisa menulis, oleh karena itu @fiksimini setidaknya bisa menjadi ruang bersama untuk belajar menulis,” ujarnya.

Sebagai sastrawan yang sudah malang melintang di dunia tulis menulis, Agus mempunyai kiat-kiat khusus dalam penulisan fiksi mini. Menurutnya, fiksi mini yang termasuk ke dalam genre prosa dan puisi tersebut harus tercipta sedahsyat mungkin dengan batasan huruf di Twitter yang hanya 140 karakter.

Dia menjelaskan seseorang yang hendak menulis fiksi mini mesti benar-benar memiliki rasa dan imajinasi luar bisa agar karya yang dihasilkannya bisa membuat pembaca merasa terhanyut dan terbawa suasana.

Dalam catatan Agus, fiksi mini serupa bom kecil yang dihantamkan ke kepala yang membuat otak terguncang dan meledak. Dan setelah membacanya, seseorang bisa merasakan ada gema panjang yang terus menggoda.

“Intinya, fiksi mini menceritakan sebuah kisah  dengan seminim mungkin kata. Maka, semakin sedikit jumlah kata, semakin berhasil fiksi mini itu,”katanya.

Dalam pengalamannya, satu fiksi mini yang ditulis, bisa membutuhkan waktu setengah hari sampai satu hari demi mendapatkan ide, pengendapan, proses penulisan hingga editing untuk tahap final dan bentuk yang baik.

Keberhasilan mengenalkan fiksi mini berbahasa Indonesia melalui Twitter itu rupanya disambut antusias oleh para followers @fiksimini dengan membentuk komunitas.

Agus menuturkan, sejumlah karya fiksi mini yang sudah diposting tersebut kemudian diadaptasi oleh tangan-tangan kreatif para followers ke dalam lagu-lagu mini dan film-film mini. Konsepnya dengan hanya mengikuti alur cerita yang dituangkan dalam jenis yang lebih variatif.

Selain itu, sebagai bentuk penghargaan terhadap karya, ratusan fiksi mini sudah dibukukan ke dalam antologi bersama. Antologi fiksi mini tersebut merupakan hasil penyaringan dan tahap seleksi dari karya-karya yang layak.

Perkembangan fiksi mini juga tidak hanya dalam berbahasa Indonesia melalui Twitter. Lebih jauh, fiksi mini bahasa Sunda ternyata tengah digandrungi khususnya di wilayah Priangan Jawa Barat.

Bermula dari kegelisahan rumor bakal meredupnya bahasa Sunda di era modern sekarang ini, seorang sastrawan Sunda asal Tasikmalaya Nunu Nazarudin Azhar memanfaatkan fasilitas publik jejaring sosial Facebook dengan membuat sebuah akun grup Fiksimini Basa Sunda.

Niatnya tak muluk-muluk, hanya ingin menghidupkan kembali bahasa dan sastra Sunda yang hingga saat ini dipandang tidak berkembang dalam kehidupan masa kini.

“Awalnya saya riskan terhadap perkembangan sastra Sunda yang mulai stagnan, oleh karena itu dengan berawal dari keisengan membuat akun grup di Facebook saya pikir bakal kembali membangkitkan gairah sastra Sunda,” katanya.

Konsep fiksi mini bahasa Sunda dan fiksi mini bahasa Indonesia yang digagas Agus Noor memiliki perbedaan yang cukup menonjol. Jika dalam @fiksimini setiap orang yang memposting memiliki batasan jumlah huruf dengan 140 karakter, maka dalam Fiksimini Basa Sunda ada keleluasaan dalam jumlah kata.

Dalam catatan Nunu, anggota Fikmin Basa Sunda saat ini sudah 3.000 orang lebih yang berlatar belakang berbeda-beda. Dari mulai ibu rumah tangga, pedagang, guru hingga rektor dan tentu saja penggiat sastra.
Nunu dan kedua rekannya sesama pemerhati sastra Sunda Dadan Sutisna dan Godi Suwarna mencatat postingan karya setiap harinya bisa mencapai 100 cerita.

“Di Fiksimini Basa Sunda ini sangat terbuka, siapa saja boleh berkarya bahkan rektor Unpad Ganjar Kurnia pun rutin memposting karyanya,” katanya.

Namun, sempat terjadi perdebatan di antara kalangan pegiat sastra Sunda di Jawa Barat tentang kehadiran fiksi mini bahasa Sunda ini. Sejak dirintisnya grup Facebook istilah fiksi mini lagi-lagi menjadi perbincangan terutama pada jumlah karakter dan tema cerita.

Akhirnya, disepakati secara bersama bahwa fiksi mini bahasa Sunda khususnya yang hendak berkarya di Fikmin Basa Sunda harus mengikuti aturan untuk memposting karya tidak lebih dari 150 kata.

Selain itu, dalam Fikmin Basa Sunda setiap orang bisa memposting karya secara grafis, artinya cerita yang dibuat bisa sekaligus dibarengi dengan gambar atau ilustrasi yang mengacu kepada tema karya.

“Perbedaan fiksi mini bahasa Sunda yakni ada keluasan pengarang dalam berkarya, selain itu pada setiap postingan, setiap pembaca bisa langsung mengomentari dan mengkritisi karya masing-masing,” ujarnya.

Tak jauh beda dengan antusias komunitas @fiksimini, anggota Fiksmini basa Sunda pun sudah menerbitkan antologi Fiksimini Basa Sunda yang diseleksi melalui tahap ketat dari para pesohor sastrawan Sunda.

Sementara, sebagai bentuk apresiasi, sejumlah pameran karya fiksi mini bahasa Sunda sudah digelar dalam bentuk grafis yang dilaksanakan beberapa waktu lalu di Bandung.

Budayawan Sunda Hawe Setiawan mengungkapkan rasa bangganya ketika Fiksimini Basa Sunda mulai menyebar dan mampu membangkitkan kembali animo masyarakat terhadap bahasa dan sastra Sunda.

“Hadirnya Fiksimini Baha Sunda ini sekaligus membuktikan bahwa bahasa dan sastra Sunda tidak redup seperti yang dibicarakan orang,” katanya.

Hawe memaparkan bahasa dan sastra Sunda sudah saatnya dikenalkan lewat dunia yang luas khususnya di era digital internet.

Dia menjelaskan Fiksimini Basa Sunda merupakan ajang pembelajaran bagi masyarakat yang sudah sejak lama sulit mengakses karya sastra Sunda bisa lebih gampang dengan adanya bantuan internet. Terlebih dengan akses tersebut, masing-masing pihak bisa berkomunikasi langsung dengan sang kreator.

Munculnya Fiksimini Basa Sunda ini justru sangat positif bagi perkembangan budaya dan pendidikan. Pasalnya, sejak sejumlah akademisi seperti guru dan dosen menjadi anggota, para pengampu tersebut menjadikan bahan ajar khususnya mata pelajaran bahasa Sunda di sejumlah sekolah di Bandung.

Selain itu Hawe mengatakan agar setiap para pecinta Fikmin Basa Sunda bisa belajar lebih banyak lagi terhadap karya sastra Sunda terdahulu yang sarat akan makna dengan kualitas bahasa yang masih utuh dan baik.

“Dengan adanya gerakan fiksi mini ini saya kira cukup bagus, tetapi diharapkan teman-teman penggiat sastra Sunda baiknya membaca karya yang dulu-dulu agar kualitas karya yang ditulisnya bisa lebih bagus,” ungkapnya.

Label: