Kamis, 17 Mei 2012

IM Books, dari Toko Buku Sampai Aksara Sunda Kuna

Sinta Ridwan dan Mardiansyah sedang berpose di toko buku IM Books



Di sebuah gedung tua peninggalan sejarah, di mana Soekarno pernah diadili oleh pemerintah Belanda, terpaut nama Gedung Indonesia Menggugat (GIM). Sebuah bangunan warisan sejarah yang kini menjadi salah satu tempat terpenting bagi sentra seni dan budaya di Bandung.

Setiap minggunya, di GIM selalu ada gelaran dan seni budaya. Para penggiat sastra misalnya mengadakan pengkajian sastra di bawah naungan Majelis Sastra Bandung (MSB). Acara rutin ini diadakan setiap bulan. Mulai dari membahas karya sastra yang ditulis penyair muda, bedah karya sampai pembacaan puisi. MSB yang digawangi penyair asal Bandung, Matdon sudah menelurkan tiga buah antologi puisi.

Selain itu, GIM juga kerap digunakan sebagai tempat para seniman kreatif menggelar acaranya. Tidak sedikit para perupa dan pelukis memamerkan karya lukisannya. Ada juga para peminat seni sunda karinding mengadakan kursus musik tradisional itu. Kadang-kadang di setiap tahunnya menggelar performance art dan pertunjukan teater.

Geliat sastra dan seni di Bandung menjadi gelagat yang mengindikasikan Bandung sebagai corong kesusastraan dan kesenian di Jawa Barat. Pasalnya, di Bandung kini banyak berlahiran komunitas seni dan satra yang cukup signifikan.

Komunitas sastra di Bandung contohnya, bermunculan dari jenis latar belakang. Ada yang murni dari hobi masing-masing penggiat sastra, ada juga yang lahir di kampus-kampus. Namun berbeda dengan IM Books, komunitas ini lahir pada April 2011 lalu dengan konsep toko buku dan komunitas. Pencetusnya adalah seorang gadis bernama Sinta Ridwan.

Konsep dan kegiatan IM Books sangatlah berbeda dengan komunitas lain yang ada di Bandung. Sinta melalui 4 rekannya kerap mengadakan kegiatan yang dinilai positif bagi kaum muda Bandung.

GIM yang berada di Jl. Perintis Kemerdekaan 5 Bandung, menjadi tempat di mana markas IM Books berkegiatan. Nama IM Books sendiri diambil dari Indonesia Menggugat (IM) yang separuhnya dari nama GIM itu sendiri.

Ketika Sinta mengajak keempat rekannya Mardi, Wiyan dan Bebe untuk bergabung, maka tugas dan kegiatan pengelola IM Books semakin luas. Apalagi IM Books kini sudah mempunyai lahan yang cukup strategis di lantai 2 GIM.

“Masing-masing dari kami mempunyai tugas tersendiri. Saya misalnya bertugas dalam bidang diskusi mingguan yang diadakan IM Books,” ungkap Mardi.

Lokasi IM Books yang satu atap dengan GIM cukup strategis untuk menjadi lahan usaha penjualan buku. Pengelola IM Books sendiri bisa membaca pasar bagi para penggemar buku-buku sastra, budaya dan sejarah.

Buku-buku yang tersedia juga merupakan terbitan yang jarang disediakan oleh sejumlah penerbit besar di Bandung. Kebanyakan IM Books menyediakan buku terbitan edisi terbatas dan buku-buku indie.

Sejak berdirinya IM Books, beberapa penerbit yang konsisten dalam penerbitan sastra, budaya dan sejarah mulai menitipkan buku terbitannya a.l penerbit Ultimus, Lawang, penerbit Ombak, L-KIS dan Komodo Books. Dan di setiap buku yang dijual, pembeli akan mendapatkan diskon 10%-30%.

Promosi dan penjualan IM Books dimulai dari jejaring sosial seperti Twitter, Facebook  sampai blog pribadi. Selain buka stand di sejumlah event yang digelar di Bandung, Juga memanfaatkan orang-orang yang sering nongkrong di kafé GIM yang bersebelahan dengan IM Books.

“Kadang-kadang kami ajak teman-teman kami untuk berkunjung ke IM Books, lalu dengan sedikit candaan kami paksa mereka, dan setelah mereka tahu buku-bukunya murah, kadang pada ngeborong,” tutur Mardi.

Kegiatan
Karena IM Books berbasis komunitas dan toko buku, maka setiap minggunya seringkali menggelar kegiatan yang cukup menarik.

Kegiatan yang dilakukan tak jauh dari ideologi IM Books sendiri. Pemutaran film misalnya, Mardi mengungkapkan film-film yang diputar bukan film biasa, namun film yang berkualitas untuk pengetahuan penonton yang senang di bidangnya.

Selain itu, Mardi mengatakan jika sedang punya rezeki lebih, IM Books sering mengundang orang-orang untuk berduskusi sambil minum kopi gratis. Di sana, setiap orang bisa membicarakan apapun. Bertukar pikiran, berbagi cerita, hobi dan berbagi pengetahuan.

Sementara, untuk kelas aksara sunda kuna (aksakun) dipegang oleh Sinta Ridwan, dia yang ahli di bidang aksakun adalah lulusan filologi Unpad sebagai pengampunya. Menurut Sinta, aksakun beberapa waktu ini terkesan terlupakan oleh orang sunda sendiri. Dia menginginkan warisan budaya leluhur itu jangan sampai hilang.

Saat ini, peserta aksakun sudah mencapai ratusan orang dari berbagai angkatan. Output kelas aksakun ini pun menjadi menarik yang dihasilkan oleh para peserta.

“Setelah mereka (peserta) ikutan aksakun, mereka membuat sendiri tulisan sunda kuna, lalu dibikin kaos,” kata Sinta.

Dia menambahkan yang selama ini kita hanya tahu aksara kuna dari penunjuk jalan di Bandung, akan lebih dipelajari di aksakun.

Sinta, yang saat ini sudah menamatkan pendidikan S2-nya, bercita-cita ingin membangun museum digital naskah sunda kuna. Menurutnya, cita-cita itu merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi warisan budaya sunda.  

Namun saat ini, dia tengah mengumpulkan bahan-bahan naskah yang tersebar di seluruh Indonesia. Dia juga sudah menghubungi pemerintah dan dinas kebudayaan setempat untuk diajak kerja sama dalam penyusunan naskah sunda kuna tersebut.

Dan untuk IM Books, lanjut Sinta, mulai bulan ini akan membuka kelas bahasa Prancis, kelas tari tradisional pria dan wanita, kelas seni musik seruling dan kelas kecapi.

Label:

Bandung Berisik: Sekilas Tentang Ujungberung Rebel

Kimung Karinding Attack (kiri) dan Ucok ex-Homicide (kanan) dalam acara Milangkala LPIK ke-16

Perhelatan musik underground terbesar se-Asia Tenggara, Bandung Berisik MMXII  yang akan digelar pada 18-19 Mei 2012 di Lapangan Udara Sulaeman Kabupaten Bandung akan dilaksanakan atas kerja sama Atap Promotion dan komunitas Ujungberung Rebel.

Kiprah Ujungberung Rebel sendiri dalam dunia musik khususnya underground sudah tidak diragukan lagi. Kimung, seorang musisi underground sekaligus salah satu pendiri Ujungberung Rebel yang sekarang bergabung dengan Karinding Attack menuturkan kisah berdirinya komunitas tersebut.

Komunitas Ujungberung Rebel lahir sekitar 1990-an. Ketika itu wilayah Ujungberung yang terletak di kawasan Bandung Timur berada di wilayah agraris yang tiba-tiba pemerintah setempat menjadikannya kawasan semi industri.

“Keputusan tersebut menyebabkan ketanggungan budaya,” katanya dalam sebuah diskusi yang bertajuk Eksistensi Musik dalam Era Budaya Pop, hari ini di Ruang Publik JL. A.H Nasution 105 Bandung.

Sejak kawasan itu tidak jelas arahnya, lanjut Kimung, Ujungberung tidak berada dijalur industri juga agraris, kultur orang di Ujungberung menjadi tidak terarah. Munculnya preman dan kelompok-kelompok radikal seperti gangster terbilang banyak. Hadirnya budaya barat menjadikan warga Ujungberung khususnya anak muda sangat labil.

“Alkohol dan narkotika banyak beredar di situ (Ujungberung),” katanya.

Namun ada hal positif dari perubahan kawasan tersebut. Dari seni musik misalnya, di era itu muncul jenis musik rock menjadi gaya hidup yang cukup penting. Sebagian anak muda di Ujungberung memanfaatkan momen tersebut dengan hal yang bermanfaat.

Ketika musim rock berkembang di Ujungberung, sebagian kalangan anak muda, tutur Kimung ada yang memberontak dari pakem musik yang ada. Mereka mendobrak tradisi dari para pendahulunya. Musik, katanya harus lahir dari kejujuran. Ketika para pendahulunya menuhankan musik rock semacam Guns N Roses, yang jika sebuah grup band bisa mirip dengan apa yang digandrunginya, maka gelar musisi sudah berada di depan mata.

Namun, Kimung dan kawan-kawan, merasa hal itu harus segera dihentikan. Bermusik yang jujur, yang datang dari hati, melalui kreasi hasil sendiri adalah sebuah keharusan. Maka, saat itu munculah underground.

“Sejak saat itu banyak yang bermunculan band-band yang berpotensi. Namun komunitas Ujungberung Rebel mempunyai pendirian dengan mencari identitas bermusiknya sendiri. Ujungberung Rebel membuat warna baru sendiri dengan moto do it yourself,” paparnya.

Ketika musik underground sudah berkembang, orang yang berkecimpung di Ujungberung Rebel sudah tidak ragu dalam mengembangkan fesyen yang dinilai brutal seperti rambut mohawk, mengenakan piercing di telinga dan hidup nyeleneh. Sebetulnya, lanjut Kimung, komunitas Ujungberung Rebel sendiri menjadi besar bukan dari komunitasnya tapi dari masing-masing individunya sendiri.

“Dalam bermusik, kita ingin menyampaikan pesan dengan bahasa kita sendiri,” ungkapnya.

Nama Ujungberung Rebel, kini sudah terkenal luas sebagai sentra musik underground di Indonesia. Dari mulai genre metal, hardcore, punk sampai black metal bertaburan di Ujungberung. Hingga kini, nama Ujungberung Rebel menjadi referensi musik cadas yang berpusat di Bandung Timur itu.

“Kenapa kami dipandang sebagai komunitas yang kompak, karena kami bersatu dengan cara turun ke jalan langsung. Kami, dari berbagai jenis musik yang berbeda, saling berbagi satu sama lain,” katanya.

Hal itulah, ungkap Kimung yang menjadikan Ujungberung Rebel semakin kuat. Menurutnya, sebuah ketenaran merupakan sebuah hadiah yang bukan jadi sasaran utama dalam bermusik. Kecintaan terhadap musik, jelasnya merupakan faktor utama dalam berkarya.

Dari sanalah beberapa band dari komunitas Ujungberung Rebel semakin intens menciptakan lagu yang jujur mengungkapkan isi hatinya. Ujungberung Rebel mempunyai prinsip dalam bermusik, hal-hal yang detail, kata Kimung menjadi hal utama untuk mencapai kesempurnaan dalam bermusik.

Sekarang Ujungberung Rebel sudah 20 tahun konsisten dalam musik underground. Beberapa generasi baru bermunculan. Sejumlah genre musik pun lahir. Dalam beberapa tahun, sejumlah nama grup band besutan Ujungberung Rebel sudah merancah ke mancanegara. Dan yang paling penting, sejumlah event underground sudah digelarnya dengan acungan jempol dari berbagai penikmat musik underground dunia.

Label:

Kamis, 10 Mei 2012

Si Kumis, Dari Pelayaran Sampai Konveksi


Bangunan seluas 20x15 meter persegi itu terletak di Jl. Pesantren Al-Jawami Tanjakan Katel No.10 Cileunyi Kab. Bandung. Untuk sampai ke sana, kita harus melewati sebuah tanjakan yang agak curam. Awalnya, kita akan menduga tak ada hunian satu pun di kawasan kebun itu, namun ternyata, di sana terdapat sebuah bangunan yang memproduksi konveksi bernama Fachri Konveksi.

Seorang pria berkumis, bernama Syamsuddin Hamka tampak serius mengontrol 12 karyawannya yang tengah bekerja. Ada yang potong kain, menyablon dan menjahit bahan kaos yang sesegera mungkin akan dikirim kepada pemesan.

Ketika didatangi Bisnis di tempat usahanya, sosok Syamsuddin begitu ramah. Senyumnya mengalir tulus diiringi sapaan hangat. Sejurus kemudian, dia mempersilahkan duduk kepada Bisnis. Sementara, para pegawainya asik bekerja sambil sesekali melemparkan senyum.

Fachri Konveksi berdiri sejak tahun 2001 dengan hanya bermodalkan Rp5 juta. Dia mengaku bermodal nekad untuk membangun usahanya itu.

“Dulu saya hanya punya uang Rp5 juta buat bikin usaha konveksi ini, saya beli lima mesin jahit, itu juga bekas. Tapi saya yakin, rezeki itu sudah ada yang mengatur,” katanya semangat.

Sebagai pengusaha rumahan, Syamsuddin mengaku usaha yang digelutinya merupakan sebuah rasa syukur yang sedang dia jalani. Pasalnya, sebelum terjun ke dunia konveksi, pria lulusan Sekolah Pelayaran itu sempat berharap menjadi pegawai negeri sipil (PNS).

“Tahun 98, saya mencoba ikutan tes PNS, namun barangkali tuhan berkata lain, saya banting stir ke dunia konveksi,” katanya.

Sebetulnya, sekitar tahun 1997, pria yang mempunyai tiga anak ini sempat menjadi asisten personalia di sebuah perusahaan garmen di daerah Caringin, Bandung selama dua tahun. Namun, dia memilih untuk mengundurkan diri, karena dia memutuskan untuk bikin usaha sendiri.

“Ya dari situ awalnya saya dapat ilham untuk bikin usaha sendiri, saya cukup punya ilmu sejak kerja di situ,” tuturnya.

Produksi
Fachri Konveksi, sesuai namanya berfokus di produksi konveksi seperti kaos, jaket, tas dan goody bag. Produksinya sehari bisa sampai ribuan. Pengerjaan produksinya pun kebanyakan dari pesanan pelanggan dari mulai para calon legislatif, partai dan beberapa event organizer (EO).

Dari ke-12 pegawai, masing-masing mempunyai tugas yang berbeda. Ada bagian potong kain, menjahit dan menyablon. Para pegawai biasa mulai bekerja pada pukul 08:00. Di Fachri Konveksi ini, para pegawai dibayar sesuai produksi yang didapat. Jika hasil produksinya banyak, penghasilan karyawan juga banyak.

Ketika Syamsuddin mendirikan usahanya, sebagian besar dia memproduksi barangnya di rumah kediamannya. Namun, seiring berjalannya waktu, dan penghasilannya bertambah, dia mencoba menyewa tempat khusus untuk produksi.

“Dulu, tempat usaha saya bersatu dengan rumah, walaupun berisik dengan suara mesin, ya itu resiko. Namun, sekarang saya menyewa tempat ini, lumayanlah luas, murah lagi,” katanya.

Tekad Kuat
Syamsuddin Hamka, lahir tahun 1970 di Semarang yang berdarah Minang dan Batak. Dia anak kesembilan dari 12 bersaudara. Watak yang kuat dan pantang menyerah itu terpatri dalam hidupnya

Ketika kedua orang tuanya meninggal, dia mesti bekerja keras untuk menghidupi diri. Rasa malu kerap menghampiri ketika dia sering numpang hidup bersama saudaranya. Dia pun mencoba berusaha dengan menggeluti pekerjaan yang dilakoninya. Dari mulai jadi pekerja di pelayaran, testing PNS, sampai bekerja di tempat orang. Kini, dengan tekad yang kuat, dia jalani usahanya bersama istri tercintanya.

Tidak cukup sampai di situ, sekarang istrinya pun mulai mengikuti suaminya dengan membuka usaha yang tidak jauh beda dengan dirinya.

“Istri saya sekarang juga buka bisnis. Dia membuat pakaian sendiri, dan menjual sendiri. Kalau produksinya di tempat saya,” katanya.

Dengan keuletan dan kegigihannya dalam berbisnis konveksi, dia mensyukuri kehidupannya bersama istri dan ketiga anaknya. Kini, sebuah rumah, mobil dan fasilitas kendaraan penopang kerjanya sudah dia miliki.

Manjakan pegawai dan pelanggan
Fachri Konveksi sendiri diambil dari anak pertamanya yang bernama awalan Fachri. Nama itu menurutnya serasa membawa berkah tersendiri dalam usahanya. Dalam prinsip usahanya, dia ingin memberikan kepuasaan pegawai dan pelanggan.

Dari 12 pegawai yang bekerja di konveksinya, dia menyediakan fasilitas gratis untuk para pegawainya. Dari mulai tempat tidur, kamar mandi, listrik dan makan ditanggung penuh olehnya.

“Saya kasih kamar gratis buat mereka (para pegawai), tugas mereka ya bekerja saja di sini, jangan mikirin apa-apa lagi, kalau mau makan tinggal ambil,” katanya.

Dalam hidup Syamsuddin, pelanggan adalah raja, makanya dia sangat menghargai istilah itu. Di setiap tembok di tempat usahanya misalnya, dia menulsikan beberapa kata-kata bijak yang memotifasi para pegawai: “Kontrol Hasil Pekerjaan, Kepuasan Konsumen, Adalah Kunci Kemajuan Usaha Kita”.

Dan yang paling penting, menurutnya, kepuasan pelanggan harus tetap dijaga.

Label: