Senin, 12 Mei 2014

Seni Rupa yang Bebas Bentuk

Pistol itu tergeletak di atas sebuah keramik. Warnanya hitam pekat. Sepintas, jika dilihat dari kejauhan, wujudnya menyerupai pistol asli. Namun, pistol itu hanya mainan yang terbuat dari kantung plastik.

Di tangan Tisa Granicia, limbah plastik bisa dijadikan karya seni. Dia mencoba merajut plastik itu menjadi sebuah bentuk yang bermakna. Seperti limbah lainnya, dia mencipta karya seni dalam medium plastik berbentuk pistol berjudul I Don't Dream Violence (2013).

Karya perempuan lulusan Program Studi Seni Rupa FSRD ITB itu terpajang pada pameran Di Antara/In Beetwen yang digelar di Galeri Salihara 9 Februari 2014 - 28 Februari 2014. Dia ingin menyampaikan bahwa hasil karyanya merupakan sebuah bentuk sindiran terhadap pemerintah. “Dalam karya ini saya ingin memperpanjang hidup si kantung plastik hitam sambil menunggu dirinya terurai,” paparnya.

Pameran Di Antara/In Between menampilkan karya para pemenang dan finalis Kompetisi Karya Trimatra Nasional yang digelar Komunitas Salihara bekerjasama dengan Kemenparekraf. Kompetisi tersebut dimulai pada 2013. Karya yang dipamerkan menunjukan bagaimana perkembangan seni patung di Indonesia.

Karya Faisal Habibi yang didaulat sebagai salah satu pemenang utama berjudul Hanky Panky (2013) cukup menarik untuk disimak. Faisal memilih medium kursi sebagai proses kreatifnya. Dia membuat karya sederhana dengan hanya membangun sebuah kursi bulat dengan kaki yang tanpa arah.

Jika biasanya kita mengenal kursi memiliki kaki empat dengan sandaran untuk menyeimbangkan tubuh agar tidak terjatuh, Faisal memberi bentuk lain dalam karyanya. Dia sadar bahwa apapun bentuk kursi meski tidak memiliki kaki seperti kebanyakan kursi lain, publik akan menamakan benda tersebut sebagai kursi.

Hanky Pangky, sebagai judul dalam karyanya tersebut dia artikan sebagai intrik. Istilah tersebut dia ambil guna merepresentasikan pola pikir yang sudah terbangun dalam masyarakat akan sebuah benda baik bentuk ataupun fungsinya. “Kita tidak bisa menghindar dari pikiran tentang kursi walaupun fungsinya sebagai tempat duduk telah hilang,” ujarnya.

Karya lain dari Octora berjudul Gadis Komando (2013). Octora merupakan pematung lulusan Program Studi Seni Rupa FSRD ITB. Dalam karyanya, dia meminjam bentuk sepatu hak tinggi yang biasa dipakai perempuan. Karya yang dihasilkan Octora terbuat dari besi yang dicampur dengan nikel.

Dalam karyanya, dia menyoroti bagaimana perempuan ketika memakai sepatu yang dinilai cukup berbahaya ketika dikenakan. Manusia, khususnya perempuan, dalam hal ini diimbau untuk selalu berhati-hati. Simbol sepatu yang dimaksud Octora adalah hak yang tajam seperti pisau sehingga bisa berbahaya bagi manusia lain. 

Jika disimak secara seksama, karya patung yang dipamerkan tidak melulu mewujud sebagaimana patung yang biasa dipahami. Karya-karya tersebut cenderung bebas medium dan bentuk. Para peserta pameran seolah dibebaskan untuk berkreasi sedemikian rupa.

Karya Fariduddin Atthar berjudul Unlock (2013) misalnya. Dia hanya menggunakan medium beton dan tulangan baja. Dia membangun sebuah imitasi kunci gembok raksasa. Karya ini cukup simple. Tetapi pesan yang disampaikan cukup dalam.

Dalam Unlock (2013), Fariduddin ingin memberikan pesan bahwa membuka potensi diri adalah sebuah sikap yang sangat mulia. Simbol kunci yang terbuka menandakan manusia memiliki tingkat kesadaran yang luas.

Asikin Hasan, kurator seni rupa Komunitas Salihara mengatakan karya yang dipamerkan dapat dinilai sebagai karya yang melampaui konvensi seni patung. Dia melihat ada perubahan konvensi baik dari segi teknik, metode, proses dan bentuk.

Menurutnya, karya-karya tersebut tidak bisa dikatagorikan sebagai seni patung modern. Namun, dia melihat ada sesuatu yang lain dari karya yang dihasilkan para peserta. “Mereka jauh dari bayang-bayang guru dan generasi beberapa tingkat di atas mereka,” ujarnya.

*Bisnis Indonesia Weekend

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda