Selasa, 28 Februari 2012

Redaktur Palsu

Yoga memang gila. Tingkahnya sangat usil. Mentang-mentang dia pake simcard Mentari yang bisa dipaketkan secara murah, lantas dia iseng telpon sana-sini orang-orang yang dia kenal.

Selasa 21 Februari 2012, saya sedang bersama Nabilla, Yoga dan Herton di sebuah asrama tua di kawasan Cipadung, asrama 2 Saudara. Bangunannya agak kumuh. Tembok masing-masing kamar mulai terkelupas. Kami bertiga tengah bersantai di lantai 2. Membakar rokok, browsing dan bercanda. Yoga tiba-tiba berceloteh untuk menelpon orang-orang yang dekat dengannya. Berbekal pulsa paketan dari Mentari, ia meminta rekomendasi nomor-nomor dari produk Indosat. Herton menyarankan Restu untuk dikerjai, sementara saya menyarankan Ojan.

Yoga memulai keisengannya dengan menelpon seorang penyair kawakan, Beni F. Syarifuddin. Ia mula-mula ingin mengerjai jika dirinya adalah redaktur Radar Banten. Yoga hendak mengkonfirmasi bahwa sajak-sajak Beni sudah dimuat, namun, ditengah percakapan, tiba-tiba Yoga memberikan hapenya pada saya, tapi saya gak kuat menahan ketawa membayangkan keseriusan Beni menanggapi Yoga. Herton Juga, ia menutup mulutnya untuk meredam tawanya. Serius, kami tertawa terbahak-bahak, betapa jail dan nistanya diri kami ini. Namun, ternyata Beni sepertinya curiga bahwa Yoga tengah mengerjainya. Ini mungkin kali kedua Yoga mengerjai penyair senior ini. Awalnya Yoga mengaku bahwa ia adalah Acep Zam-Zam Noor yang sengaja mengirim sms pada Beni sekedar silaturahmi.

Korban selanjutnya adalah Ojan, seorang pria yang sedang dilanda cinta lokasi di zona KKM-nya di kawasan Majalaya. Yoga tengah kangen sama Ojan dan Restu, makanya dia isengin kedua pria itu. Sebelum menelpon Ojan, Yoga berlatih dahulu percakapan apa yang hendak dibicarakan nanti. Saya menyarankan “bilang aja ada rapat tentang pencairan dana dengan pihak rektorat,” kata saya. Yoga mengamini. Ia langsung menelpon Ojan dengan nada serius. Mulut Yoga di tutup selimut untuk penyamaran agar suaranya tidak ketahuan. Saya, Nabilla dan Herton geli menahan tingkah laku Yoga. Dan memang berhasil. Ojan tidak curiga jika itu suara Yoga. Terjadi kesepakatan bahwa jam satu nanti Ojan bela-belain ke kampus hanya untuk mendatangi rapat fiktif ini.

Tidak puas dengan aksinya, giliran penyair, cerpenis dan esais tampan Restu A Putra jadi korban. Dengan modus yang sudah terlatih, Yoga mengaku jadi redaktur Khazanah Pikiran Rakyat. Dengan nada sok akrab, ditelponlah Restu yang tengah berada di kota Subang itu. Serangan demi serangan mulai tertuju. Yoga sengaja masuk ke dalam retorika yang ia mau, penyamaran sebagai redaktur Khazanah pun berbuah manis. Restu tak curiga. Ia rela manggut-manggut pada apa yang dikatakan Yoga. Puisi dan Cerpennya di facebook agar segera dikirim ke email Khazanah. “untuk dimuat di minggu ini,” kata Yoga. Lagi, saya, Nabilla dan Herton cekikikan tak bisa membayangkan ekspresi wajah Restu.

Waktu berjalan pelan. Nabilla sudah pulang ke kosannya. Pukul 11.47, saya sms Ojan sebelum dia benar-benar menyengaja datang dari Majalaya ke Cibiru.

“rapat bareng rektorat dibatalkan,” ketik saya.

“maksudna? Bener?” balasnya.

“si oga heureuy,” balas saya.

“bener ieu teh tong ngabobohong,” balas Ojan.

“bohonk,” jawab saya.

***

Saya pikir keusilan ini sudah beres. Ojan tidak jadi bakal datang ke Cibiru. Saya sedikit ngantuk ternyata. Dalam keadaan setengah sadar, Yoga nelpon saya. Suruh baca sms yang dia kirim ke saya, itu sms yang dikirim Ojan ke Yoga. “maaf pak. Tadi pas dihubungi saya lagi jalan. Sekarang saya sudah di lantai 2 jami’ah. Nunggu,” ini sms yang dikirim Ojan ke Yoga dan di forward ke saya. Saya tertawa kecil membacanya. Saya pikir ini sms balesan Ojan untuk mengerjai Yoga yang Yoga pikir Ojan masih dalam proses keusilannya, karena saya juga berfikir bahwa Ojan sudah sadar (Yoga hanya bercanda) dengan sms saya tadi bahwa Yoga sedang mengerjainya. Namun ternyata, ini benar-benar terjadi. Ojan memang datang ke Al- jami’ah dan menanyakan ke pihak rektorat perihal rapat itu. Dan sepertinya Ojan kikuk ketika pihak rektorat menyangkal adanya rapat itu. Tak bisa dibayangkan.

***

Sore sehabis hujan reda. Saya sedang baca-baca koran Kompas di Suaka. Tiba-tiba Ojan datang. Ia marah-marah sama saya. Ia bela-belain datang jauh-jauh meninggalkan kewajiban akademisnya untuk Suaka. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Saya kena semprotnya. Tak lama ia di Suaka. Ia langsung kembali ke Majalaya.

Ojan, maafkan saya. Saya tidak bermaksud ngerjain kamu. Saya salut sama kamu, demi Suaka, kamu rela ninggalin KKM. Saya sayang kamu. Kita masih bisa berteman kan Jan? Jan, saya harap kamu bisa nemuin kekasih yang baik hati di sana, di tempat KKM sana. Maafin saya Jan. :(

Label:

Someone Like You Adele vs Tenda Biru Desi Ratnasari

Jujur saja saya baru ngeh kalau lagu Someone Like You yang dinyanyikan oleh Adele begitu menusuk, itu pun ketika saya melihatnya di sebuah video yang saya unduh di Youtube hasil cover ulang seorang wanita hijaber yang kemudian saya tahu namanya: Indah Nada Puspita. Saya belum tahu sosok Adele saat itu. Namun dari balutan musik sederhananya, dengan nada piano yang minimalis, lagu ini berhasil membuat kuping saya agak merinding. Seolah-olah saya masuk ke dalam iramanya. Ke dalam dunianya. Ke dalam imajinasi tokoh tersebut. Bukankah ini yang disebut katarsis?

Beberapa hari yang lalu saya menyengaja mengunduh video live Adele di acara Brit Award 2011. Dan pastinya original. Tidak lipsync seperti yang selalu saya lihat di acara-acara musik di Indonesia. Saya terkesima. Suara rekaman dan aslinya tidak jauh beda. Saya sempat melongo dibuatnya dan memutarnya berkali-kali. Lalu saya mencoba mencari teks liriknya dan ikut bernyanyi berulang-ulang.


Someone Like You

I heard
That you're settled down
That you
Found a girl
And you're
Married now

I heard
That your dreams came true
Guess she gave you things
I didn't give to you

Old friend
Why are you so shy?
Ain't like you to hold back

Or hide from the light

I hate to turn up out of the blue uninvited
But I couldn't stay away, I couldn't fight it.
I had hoped you'd see my face and that you'd be reminded
That for me it isn't over

Never mind
I'll find someone like you
I wish nothing but the best for you too
"Don't forget me," I begged
"I'll remember," you said
"Sometimes it lasts in love
But sometimes it hurts instead."
Sometimes it lasts in love
But sometimes it hurts instead,
Yeah.

You know how the time flies
Only yesterday
It was the time of our lives
We were born and raised
In a summer haze
Bound by the surprise
Of our glory days

I hate to turn up out of the blue uninvited
But I couldn't stay away, I couldn't fight it.
I had hoped you'd see my face and that you'd be reminded
That for me it isn't over.

Never mind
I'll find someone like you
I wish nothing but the best for you too
"Don't forget me," I begged
"I'll remember," you said
"Sometimes it lasts in love
But sometimes it hurts instead."

Nothing compares
No worries or cares
Regrets and mistakes
They are memories made.
Who would have known
How bittersweet this would taste?


Adele, seorang penyayi asal Inggris, kelahiran 5 Mei 1988. Lebih muda satu tahun dari saya. Namun wajahnya saya pikir terlalu tua untuk seumuran segitu. Badannya agak gemuk, jauh dari postur penyanyi seksi yang kerap mempertontonkan tubuhnya. Setelah saya telusuri, ternyata bakat menyanyinya sudah terbentuk sejak ia kecil. Pantas saja di umurnya yang remaja ini karirnya cukup diperhitungkan. Melejit bak meteor yang melesat ke angkasa. Adele adalah salah satu pengecualian dari mitos “menjadi penyanyi itu mesti langsing dan erotis.”

Dari hasil pembacaan berulang-ulang, lirik Someone Like You mengisahkan seorang perempuan yang tengah dilanda kesedihan yang dalam. Kenangan yang dibangun si Aku lirik tampaknya begitu berat menghadapi kenyataan setelah ‘kepergian’ seseorang yang dikasihinya secara diam-diam (You). Dalam hal ini, antara keikhlasan dan kenaifan begitu tipis. Karena si Aku lirik tidak bisa berbuat apa-apa lagi setelah menerima kenyataan bahwa seseorang yang dicintainya menikah dengan orang lain.

Kalau saya boleh menafsir, lagu ini bercerita tentang cinta bertepuk sebelah tangan. Si Aku lirik (yang barangkali teman dekat si (You) di masa lalu) menyimpan perasaan cinta pada si (You), namun si Aku lirik tidak pernah menyatakannya. Sampai pada suatu momen yang begitu sakral, sebuah pernikahan yang membuat hancur perasaan si Aku lirik, dengan seolah berpura-pura memasang wajah dan mimik muka yang tidak mencerminkan kegalauan. Malahan dari beberapa baris liriknya, justri si Aku lirik menyadari tentang kekurangan yang ia miliki, baik dari segi fisik maupun materi atau yang lainnya. Ini bisa dilihat pada “I didn't give to you” yang jelas membandingkan dirinya sendiri dengan istri si (You) tersebut. Pada “That your dreams came true” yang saya bayangkan bahwa pernah ada keinginan dari si (You) untuk mempunyai seorang pendamping hidup yang bisa membahagiakannya, tapi sayangnya, dambaannya itu bukanlah si Aku lirik tersebut, malah orang lain yang menjadi istrinya sekarang itu, yang jauh lebih sempurna.

Fenomena yang terjadi, khusunya di Indonesia atau barangkali di Negara lain, ada sebuah nuansa lain jika kita menghadiri sebuah acara pernikahan, dalam hal ini kedua mempelai yang menjadi permasalahan adalah orang yang (pernah memiliki kedekatatan/hubungan spesial dengan kita) bisa jadi mantan kekasih atau orang yang masih kita cintai. Ini saya pikir terjadi dalam lirik/lagu yang dilantunkan Adele ini. Betapa terpukulnya si Aku lirik menghadapi kenyataan yang sangat berat. Namun si Aku lirik tetap memaksa dirinya untuk tetap tegar dengan kenyataan itu dan merelakan apa yang sudah ditakdirkan. Dan berharap bisa menemukan sesosok yang memiliki kesamaan dengan seseorang yang ia dambakan. “I wish nothing but the best for you too” Sampai akhirnya, keduanya bersikap saling dewasa satu sama lain. Meskipun berbagai kenangan pahit dan manis tak bisa dilupakan. Bayangkan saja, semisal dalam pemberian ucapan selamat di hadapan kedua mempelai, kita masih sempat membangun komunikasi yang semestinya kurang begitu tepat untuk diutarakan seperti halnya si Aku lirik dan si (You), "Don't forget me," I begged … "I'll remember," you said. Bukankah percakapan ini memiliki maksud yang penuh harap dari si Aku lirik? Bukankah "Sometimes it lasts in love But sometimes it hurts instead" adalah sebuah realitas dari sebuah hubungan percintaan?

Setelah memutar lagi ingatan, akhirnya saya menemukan bahwa kisah dalam lirik/lagu Someone Like You ini ada kemiripan tema dengan lagu lawas yang pernah dilantunkan Desi Ratnasari, seorang artis, penyanyi yang kadang mengisi sebagai pembawa acara, yang judulnya Tenda Biru. Saya sering mendengarnya diputar di rumah tetangga. Maklum, dulu saya tidak punya tape apalagi VCD yang sempat booming saat itu. Saya hanya memiliki radio dengan pemutar kaset yang kadang tidak berfungsi, jika nyetel kaset, vitanya selalu kusut.


Tenda Biru

Tak sengaja lewat depan rumahmu
Ku melihat ada tenda biru
Dihiasi indahnya janur kuning
Hati bertanya pernikahan siapa

Tak percaya tapi ini terjadi
Kau bersanding duduk di pelaminan
Airmata jatuh tak tertahankan
Kau khianati cinta suci ini

( korus)

Tanpa undangan , Diriku kau lupakan
Tanpa utusan . . . Diriku kau tinggalkan
Tanpa bicara . . . Kau buat ku kecewa
Tanpa berdosa . . . Kau buatku merana
Ku tak percaya . . . Dirimu tega
Nodai cinta . . . Khianati cinta


Kesamaan tema antara Someone Like You dan Tenda Biru ini bercerita tentang seorang perempuan yang ditinggal oleh seorang dambaan hatinya yang berakhir di sebuah pelaminan. Dalam lirik Tenda Biru, si Aku lirik merasa dikhianati tanpa kabar apapun yang datang padanya. Dalam sebuah ketidaksengajaan si Aku lirik mendapati rumah sang dambaan hatinya dipenuhi dengan hiasan-hiasan ornamen pernikahan. Ada tenda biru dan janur kuning yang melambangkan sebuah pesta pernikahan tengah terjadi. Dan dengan mata kepala si Aku lirik sendiri, ia melihat dengan jelas sang dambaan hatinya tengah duduk satu pelaminan dengan mempelai wanita. Betapa pedih dan lukanya hati si Aku lirik tersebut. Air matanya mengalir deras tanpa henti. Sebuah pengkhianatan jelas berada di depan matanya.

Kisah yang terjadi dalam lirik Tenda Biru ini mungkin sering kita jumpai dalam cerita-cerita sinetron, cerpen, novel dan yang lainnya. Namun, realitas tentunya menjadi acuan yang sangat dekat untuk sebuah proses kreatif. Alur yang dibangun sudah barang tentu apa yang ada dan terjadi di sekitar kita, tak terkecuali dari kisah kedua lirik di atas. Betapa mahalnya sebuah kesetiaan. Betapa pentingnya sebuah penghargaan cinta.

Jika dilihat dengan kasat mata, ada kesamaan bentuk dan pola antara lirik dan puisi. Masing-masing mempunyai unsur rima, aliterasi, irama, repetisi dan sebagainya, yang menurut Lindley (dalam Coyle, 1990:188) menyebutkan bahwa lirik termasuk ke dalam salah satu jenre puisi. Malahan dalam tradisi Yunani Kuno, lirik menjadi semacam budaya yang dinyanyikan sebagai himne-himne tertentu. Ringkasnya, lirik adalah, ungkapan seseorang yang mengekspresikan jiwa, pikiran dan perasaan (Abrams, 1999:146) yang kemudian lirik menjadi asal-usul dari lagu seperti yang kita kenal masa kini. Dengan iringan instrument-instrumen musik tertentu.

Namun kemudian, dari ekspresi perasaan yang dilantunkan Adele dan Desi dari kedua lirik di atas, dominasi keterpurukan dan kepedihan hati si Aku lirik berpusat pada diksi “married” atau “pernikahan” yang keduanya, meskipun memiliki perbedaan budaya, namun kesakralannya meluluhkan dan menjadi titik akhir atas nama sebuah hubungan. Masing-masing dari keduanya menyadari bahwa pernikahan adalah, hak mutlak, yang tidak bisa diganggu-gugat, yang pada akhirnya si Aku dari kedua lirik tersebut mau tidak mau menerima dan merelakan kenyataan, walau ada jejak dan bekas yang [mungkin] tidak bisa dilupakan dan diterima oleh hati yang terbuka dan bijaksana.

Inilah yang menjadi perbedaan dari kedua lirik tersebut. Walau pun kedua subjek pertama, si Aku lirik sama-sama mengalami kegundahan, keterpurukan dan kepedihan hati, namun pada Someone Like You, si Aku lirik berperan sebagai sosok yang legowo dan menerima keputusan yang terjadi. Meskipun ada sebuah penyesalan yang tidak bisa dipungkiri, bagaimana sosok pria yang pernah menjadi teman dekatnya itu tidak bisa menjadi pendamping hidup sepenuhnya. Ia hanya bisa berharap dan mencintai sepihak, dan dengan bijak, ia menyadari dan meyakini bahwa ia pun mampu mendapatkan dambaan hatinya seperti yang ia dambakan sebelumnya “never mind … I’ll find someone like you.”

Ini berbeda dengan kasus yang dialami si Aku lirik pada Tenda Biru. Ia serasa ditikam dari belakang. Peristiwa yang bisa melululuh-lantahkan jiwa seorang (perempuan). Merusak tatanan psikologis dan batin. Apalagi dalam hal ini yang menjadi korban adalah sosok perempuan, yang, sudah barang tentu dicap sebagai mahluk perasa. Mahluk yang mendominasi unsur-unsur emosi dan perasaan. Betapa tertusuknya hati si Aku lirik ini. Cinta yang dinodai. Pengkhianatan yang tak bisa dimaafkan. Lihat saja diksi-diksi kelam yang dihayati Desi: Lupakan, tinggalkan, merana, dosa, khianati, tega, airmata. Bukankah ini adalah diksi-diksi romantik yang menukik?

***

Tulisan ini dibikin seenaknya saja, sambil menunggu koneksi modem yang lelet, yang kuotanya udah abis. Hiks…shiks… Oh, Adele, oh Desi, lebih baik kalian berdua menjadi istri saya saja. saya jamin, saya tidak akan membuat kalian kecewa. Saya yakin kalian berdua masih merasa kesepian, bukan?

Label:

Selasa, 07 Februari 2012

Little Kiss For Mama (curi-curi pandang)

Ini berawal ketika saya sedang berada di apotek Kemuning rumah sakit Hasan Sadikin. Antrian cukup panjang dan berjejer. Saya tinggal menunggu panggilan. Untuk membunuh rasa kesal, saya menyengaja menyalakan laptop. Mengetik catatan harian yang sudah terekam dalam otak. Saya duduk di kursi paling belakang. Tiba-tiba dua orang wanita setengah tua dan seorang gadis duduk di antara saya. Mungkin mereka ibu dan anak. Sang ibu berada di sisi kiri saya, sementara si anak di sebelah kanan saya.

Sudah dapat beberapa paragraf saya mengetik, saya merasa ada yang memperhatikan. Si gadis di sebelah saya matanya memandang pada jari saya yang terus mengetik. Tak lama saya langsung mematikan laptop. Saya merasa agak malu jiga ia mencuri pandang terus pada tulisan saya. Saya sekilas melihat wajahnya. Ia tersenyum. Saya balas dengan senyuman kembali. Ia dan ibunya mungkin tengah antri mengambil resep juga. Tapi entah untuk siapa. Mungkin untuk keluarganya.

Apoteker memanggil nama ibu saya. Saya cepat-cepat mengambil resep. Dua selang infus dan tiga labu natrium klorida. Segera saya pergi ke ruangan mama. Menggantikan labu kosong dan mengatur posisi mama yang kurang enak.

Besoknya, pagi-pagi sekali, sehabis bangun tidur, saya duduk-duduk di kursi lobi. Membaca-baca buku “Bermain-main Dengan Cinta” karya Bagus Takwin yang entah kenapa ada di tas saya. Oh, mungkin pacar saya nitip saat kami berdua berkunjung ke ITB Fair kemarin.

Setelah baca beberapa lembar, di depan saya terlihat si ibu dan si gadis melangkah melewati saya. Si gadis lagi-lagi mencuri tatap pada saya. Saya lalu menatap matanya. Ia memalingkan wajah sambil sedikit menyembunyikan senyum dengan punggung tangan kanannya. Dalam hati, saya ketawa ada apa dengan gadis itu.

Setelah dapat rujukan dari rumah sakit Ujung Berung, mama, sejak hari Kamis tanggal 3 Februari 2012 dipindahkan ke Hasan Sadikin. Kebetulan ruangan mama mudah dilewati orang-orang lewat yang hendak ke mushola. Ruangan mama saya pikir nyaman sekali. Hari pertama sampai hari ke empat, di ruangan ini hanya diisi oleh dua pasien. Dan itu sangat kondusif sekali jika dibandingkan ruangan lain.

Di suatu sore yang bercuaca baik, ketika saya berada di samping mama. Saya melihat si gadis hendak pergi ke mushola. Saya melihatnya dari jendela. Si gadis, mungkin tak sengaja melihat saya juga. Ia menatap saya. Tatapannya agak sedikit beda. Lalu bergegas pergi. Saya tak menghiraukannya.

Setelah maghrib berkumandang, seperti biasa saya mencari angin di belakang mushola. Membakar rokok dan minum kopi. Si gadis datang lagi membawa mukena. Mengambil wudhu dan mungkin langsung sholat. Saya matikan rokok dan pindah duduk menuju dekat jendela ruangan mama, yang pasti bakal dilewati sama si gadis itu. Saya duduk di sebuah selasar. Si gadis, kira-kira sepuluh meter dari saya tengah berdiri dan memainkan hape. Sesekali ia memencet nama-nama di phonebook. Lalu berbicara “haloo”. Ah, ia sedang menelpon seseorang. Saya masih duduk memandangnya. Ingin tahu bagaimana reaksinya. Ia lalu mencuri pandang. Saya segera membalasnya. Ia bergegas melempar pandangan dan berlari-lari kecil sambil tersenyum. Saya tak kuat menahan ketawa. Tadinya saya mau cegat dan pura-pura pinjam charger jika ia melewati saya setelah ia sholat. Namun ternyata ia kembali ke ruangannya bareng si ibu. Setelah melewati saya yang tengah duduk. Saya sedikit berdehem kecil. “ehmm.” Dan menunggu apa ia bakal melirik kebelakang atau tidak? Ah ternyata tidak. Saya lalu kembali masuk ke kamar mama dan tidak berhenti senyum-senyum sendiri.

Label:

Little Kiss For Mama (membaik)


Saya baru beres mandi setelah saya bangun tidur. Sholat ashar. Minum kopi dan segera meluncur ke Suaka untuk sekedar mencari suasana dan menghirup udara segar. Di Suaka terlihat beberapa orang sedang mengerubuti krupuk anclom. Krupuk yang dibawa Godi dengan bumbu macam-macam. Kuahnya lumayan enak. Pedas. Cocok untuk saya yang baru bangun tidur. Di sana ada Pimen, dia baru keluar dari tempat kerjanya di Jakarta. Ada Alin, Nirra, Godi dan Norman. Saya bersalaman sama Pimen sekaligus nyindir dia dan memeras hasil uang kerjanya.

Di ruang tengah ada Ikbal. Ia terlihat awkward sekali entah kenapa. Alin juga pindah ke ruang tengah (ruang kerja Suaka) Alin ikut-ikutan kikuk setelah saya sindir dia dengan tragedi 3 Februari. Oh ya, ada sedikit cerita dengan tanggal 3 Februari. Ada sesuatu yang mungkin sangat penting dalam hidup Alin dan Ikbal. Mereka berdua akhirnya telah mendeklarasikan hari bahagia mereka. Jalinan kasih mereka sekarang sudah tercatat dalam administrasi hati mereka berdua. Ini mungkin kebetulan, antara Nabilla sang kekasih pujaan hati saya akhirnya mencanangkan diri kalau saya dan dia juga sepakat untuk memulai hidup dari nol lagi setelah beberapa waktu break sejenak.

Saya tak lama di Suaka. Setelah adzan maghrib berkumandang, saya segera siap-siap untuk pergi ke rumah sakit lagi. Jagain mama dan membawa beberapa keperluan di sana. Saya berangkat mengajak Iwan Engko tetangga saya.

Cukup beberapa waktu untuk sampai ke rumah sakit Hasan Sadikin. Saya sudah mulai merasa terbiasa pulang pergi Pasteur-Cibiru. Dan Alhamdulillah hari ini tidak ada razia. Jalanan terasa lancar tanpa hambatan.

Beberapa waktu kemudian, Ali, Doni dan Mas Manijan datang menjenguk. Ayah dan mama merasa senang. Pancaran wajahnya sumringah. Saya juga ikut-ikutan senang melihat mama mulai senyum kembali. Ada hal yang berbeda jika mama kedatangan orang-orang yang menjenguk. Mungkin dukungan dan doa mengalir ketika mereka datang. Dan itu sudah cukup mengobati mama yang lumayan baikan.

Label:

Minggu, 05 Februari 2012

Bila

Bila malam ini angin berhembus semakin kencang, apakah kau akan kedinginan? Sementara aku masih belum bisa memahamimu dari jauh. Aku belum bisa menggenapkan keutuhan rasa kangen ini yang semakin menjalar ke setiap celah-celah hatimu yang penuh tanda tanya.

Bila ada tanda cinta yang belum juga kau rasakan dariku, itu semua hanya setumpuk prasangka yang sepatutnya tak kau kumpulkan dalam deretan curigamu. Aku bisa mengerti semua itu. Semakin paham dan akan terus aku hilangkan setahap demi setahap. Agar malam ini kau tidur dengan nyenyak tanpa debar yang keras di dadamu, atau kau bisa tidur lelap tanpa tugas-tugas yang terus menumpuk.

Bila, bergegaslah kau mengejar sesuatu yang pasti, yang pada suatu saat nanti aku bisa menggenggam erat jari tanganmu. Yang pada suatu nanti aku selalu ada saat kau kedinginan. Memelukmu dari belakang. Menyimpan jari-jari tanganmu di sela-sela jari-jariku. Bahkan sebaliknya, kau bisa mengecup mata dan pipiku berulang-ulang sepuas yang kau mau. Aku akan rela dan tentu saja senang jika kau mau. Dan pasti kau akan sangat mau. Jika tidak, aku akan sedikit memaksa agar kau berusaha menutupi keenggananmu.

Dan, Bila, aku sadar betul kau pasti tahu. Tentang rasa yang lindap pada diri kita masing-masing. Aku dan kamu sama-sama (mungkin) akan selalu memahat malam dalam ranjang yang (saat ini) belum bisa kita satukan. Namun, itu pun cukup untuk pembelajaran masa depan kita tentang pentingnya hari esok. Hari di mana kita saling berpagutan, saling mangggangguk, seiya-sekata, saling melempar senyum dan banyak lagi kebahagiaan yang mesti kita kemas dari sekarang.

Bila, bila kita saling memahami dan mengerti akan sikap yang tak senantiasa khilap dalam setiap ucap, kita bisa menelaah ulang dan memperbaikinya jika memang perlu (tapi aku sadar itu benar-benar perlu). Agar suatu nanti jika kita terpeleset ke dalam salah tafsir perasaan kita, itu akan sangat mudah kita susun ulang. Ingatlah, aku dan kamu sama-sama manusia. Sama-sama punya jurang kesalahan. Kita terlahir untuk saling melengkapi karena cinta adalah proses memanusiakan diri, aku, kamu, antara kita berdua adalah sepasang ruh yang diciptakan tuhan untuk saling berkejaran di indahnya dunia, di ranumnya surga.

Bila, bila kita sepakat, tentang apa yang pernah kita tentukan, rencanakan dan janjikan. Dia, yang di atas sana sudah pasti senantiasa mendengar apa yang kita ucapkan dalam hati kita masing-masing.[] ^_^






Label:

Little Kiss For Mama (bercakap-cakap)

Adzan maghrib sudah berkumandang. Suaranya melengking merdu berasal dari pengeras suara ruangan Kemuning, kamar Dahlia tempat mama dirawat. Baru saja ibu-ibu pengajian pamit pulang setelah menjenguk mama. Mereka bergerombol sekitar 16 orang. Ruangan agak terlihat sempit. Dan pastinya ibu-ibu itu memberikan support dan doa pada mama. Sekarang tinggal ayah dan saudara-saudara yang lain; Bi Ai, saya dan Wahyudin. Tapi Seketika Wahyudin dan istrinya pamit pulang.

Saya buka tas dan ambil sarung, berencana ambil wudhu untuk sholat di mushola. Mushola kecil berada di belakang ruangan mama. Tapi mushola masih penuh. kamar kecilnya juga masih antri. Niat untuk berwudhu, saya pending sementara. Saya pergi sejenak ke belakang mushola untuk membakar rokok sambil menunggu antrian wudhu. Saya bergabung dengan seorang pria dewasa yang juga sama sedang menghisap rokok. Wajahnya terlihat lelah dan gelap. Rambut kriting. Awalnya kami berdua diam tanpa kata. Namun saya mencoba membuka percakapan.

“saha nu dirawat A?” Tanya saya.
“pun bojo,” jawab pria yang berambut kriting itu. Wajahnya gelap seperti saya. Tapi dia lebih gelap.
“panyawat naon?”
“tabrakan.”
“alah, tabrakan?” saya kaget.
“muhun A.”
“ayeuna di mana A?”
“di lantai 2.”
“oh.”
“Aa saha nu dirawat?”
“mamah A, infeksi pencernaan,” jawab saya.
“oooh,” ia mengangguk-angguk.
“ngangge Jamkesmas A?”
“muhun ngangge.”
“lumayan atuh nya teu kedah repot ngaluarkeun biaya?”
“muhun,” ia cukup mengangguk sambil mengepulkan asap ke udara.

Di depan kami berdua terlihat seorang pria setengah tua berjalan menghampiri kami. Duduk di tengah kami. Si pria setengah tua itu membuka sebungkus rokok. Saya melihatnya. Rokok itu bermerk Djarum Cokelat. Rokok kaum proletar. Rokok yang cocok untuk pria setengah tua itu.

“aduh eta ucing kat dikarungan kitu,” si pria setengah tua membuka obrolan.
“oh eta teh anu ciak-ciakan teh ucing?” Tanya saya sambil menunjuk sebuah box di depan kami.
“muhun ucing eta pedah sok maokan wae dahareun di kamar pasien.”
“enya kudunamah dibalangkeun, hehehe.” Timpal saya. Mereka sedikit tersenyum agak terpaksa.

Udara mulai terasa dingin. Kendaraan di belakang saya sibuk berlalu-lalang. Kami bertiga duduk berteman asap rokok masing-masing. Lumayan, cukup sedikit mengusir angin yang menusuk kulit. Si pria kriting tiba-tiba mematahkan keheningan yang sejenak terjaga.

“ai bapa ti mana?” Tanya si pria kriting.
“abimah ti Ciamis, tebih,” jawab si pria setengah tua.
“eta gening tebih,” kata saya sembari menatap wajahnya.
“saha kitu pa nu dirawat?” tambah saya.
“pun bojo, tumor,” jawabnya. Seketika saya dan si pria kriting menatap wajah si pria tua.
“ngangge naon pa, Jamkesmas?” saya Tanya.
“muhun Jamkesmas, wah mun teu aya etamah (Jamkesmas) mah ripuh,” jawabnya.

Saya, si pria kriting dan si pria setengah tua mulai ngobrol ngalor-ngidul. Menceritakan semua apa yang terjadi tentang si pasien yang kami jaga. Si pria kriting rupanya sudah ingin cepat-cepat membawa pulang istrinya. Kaki istrinya membengkak. Di kampungnya, Cikalong ia berencana membawa istrinya ke bengkel patah tulang. Tapi sayang, pihak rumah sakit belum mengizinkan. Demikian juga istri si pria setengah tua, ia jauh-jauh dari Ciamis datang ke rumah sakit Hasan Sadikin dengan sabar dan ikhlas. Apapun yang terjadi yang penting istrinya sembuh. Diantara kami, istri si pria setengah tualah yang paling lama dirawat di sini.

Sedang asik-asiknya bercakap ke sana-ke mari. Seorang pria berpeci, umur sekitar 50 tahun duduk bergabung bersama kami. Ia sepertinya sosok orang yang mudah akrab. Terlihat dari gaya bicaranya. Ia juga sepertinya sengaja duduk di belakang mushola ini untuk membuang rasa kantuk. Ia membakar rokok. Tapi saya lupa dan saya tidak melihat rokok apa yang ia hisap.

“ti mana A?” Tanya si pria berpeci pada si pria kriting.
“Cikalong pa,” jawab si pria kriting.

Mereka mendadak asik ngobrol berdua. Entah apa yang mereka bicarakan. Sementara saya sama si pria setengah tua bercerita tentang seputar masing-masing pasien yang kami jaga.

Rokok yang saya hisap sudah mulai habis. Barangkali tiga hisapan lagi, rokok sudah mesti dimatikan. Saya melihat sekilas ke kamar mandi yang jarak pandangnya tak jauh dari depan tempat kami duduk. Dengan menekan rokok ke tanah dan menginjaknya, saya pamit pada mereka, si pria kriting, setengah tua dan berpeci untuk melaksanakan sholat maghrib. Mereka menggangguk serempak. Saya melangkah meninggalkan mereka dengan posisi tangan sudah berada di saku sweater merah milik seorang teman yang baru saja saya cuci tadi siang.

-Diketik di Apotek Kemuning sambil menunggu resep dan panggilan dari apoteker-

Label:

Sabtu, 04 Februari 2012

Ganffest ITB (Lumayan)Tidak Seru

Semalam saya pulang dari rumah sakit sekitar jam delapan lebih sekian. Saya langsung pergi ke ITB menemui pacar yang sudah lama dari siang melototin film yang diputar. Ganffest ITB (lumayan seru). Banyak stand dan performance art di sana. Acara tahunan yang rutin digelar mahasiswa ITB. Saya seumur hidup baru berkunjung. Tapi mood saya agak kurang baik. Saya jadi tidak menikmati acaranya.

Saya telpon pacar kalo saya sudah berada di pasar malam ITB. Nabilla, pacar saya ternyata sudah melahap film-film indie yang disuguhkan. Saya tidak lama-lama di ITB. Saya langsung ajak Nabilla pulang karena malam sudah larut. Sewaktu saya mau bayar parkir, saya baru inget kalo saya sudah tidak membawa STNK selama empat hari berturut-turut. KTP saya mesti ditahan karena peraturan parkir ITB tidak memperkenankan bagi kendaraan bermotor tanpa STNK.

“pak kalo STNK saya gak dibawa gimana?”
“paling KTP atau KTM ditahan.”
“oh iya pak,” kata saya sambil buka dompet dan nyerahin KTP.
“diambilnya kapan pak?”
“terserah mau sekarang atau kapan?”
“besok aja deh pak,” jawab saya sama penjaga parker.

Saya sama Nabilla meluncur perlahan. Menghindari kawasan rawan razia. Entah kenapa saya paling takut sama razia. Bukan soal takut sama polisinya. Tapi sudah muak berhadapan dengan seragam berbau hijau itu. Saya malah trauma jika di jalanan melihat tukang parkir yang sama persis memakai seragam hijau. Padahal ketika saya berangkat ke rumah sakit, di jalan bawah jembatan Pasteur ada razia. Tapi Alhamdulillah saya tidak kena tilang. Saya lewat begitu saja mesti detak jantung berdebar sangat kencang.

Label:

Little Kiss For Mama (terkunci di luar)

Jam di ruangan rawat inap gedung Kemuning menunjukkan pukul enam sore. Seharusnya saya sudah bersama kekasih saya di Ganffest ITB. Saya sudah berjanji menemuinya pukul empat di sana. Tapi sayang sekali, saya mesti masih menunggu dan jagain mama.

Semalam saya begadang jagain mama. Ayah sudah tidur duluan. Mata saya sudah tidak kuat menahan kantuk. Tapi berusaha sekuat tenaga melek sampai subuh. Pagi harinya saya pamit pulang duluan dan berencana kembali lagi sekitar pukul sebelas.

Sesampainya di rumah, sekitar pukul Sembilan, rumah terkunci. Saya bergegas ke rumah tetangga yang biasa dititipin kunci oleh orang rumah. Tapi ternyata kunci rumah tidak ada.

Saya langsung tidak habis pikir. Menyalakan motor kembali untuk mencari makan. Rencananya saya mau ke warung padang, tapi mata berhenti di warung nasi Bahari. Saya langsung memesan telor dadar dan tumis kentang. Saya juga memberanikan diri meminta kuah tumis jengkol pada si mang penjaga warung.

Saya kembali lagi ke rumah. Duduk di teras dan segera membuka bungkusan nasi. Dengan lahap, saya habiskan semua nasi dan lauknya. Oh ya, saya juga tak lupa membeli kerupuk ke warung ceu Enih, warung dekat rumah saya dan membeli dua batang rokok Dji Sam Soe. Kerupuk bagi saya adalah teman sejati yang membawa kenikmatan tersendiri ketika saya menyantap makanan. Sementara rokok adalah ritual penutup setelah aktifitas makan saya selesai. Namun saya sekarang tengah mengurangi merokok.

Daripada kesal menunggu di luar, saya menyalakan laptop dan browsing. Bermain Facebook dan posting tulisan baru di blog. Lumayan sedikit membunuh kantuk walau mata sudah mulai redup.

Label:

Jumat, 03 Februari 2012

Little Kiss For Mama (pindah ruangan)

Baru saja saya beres menyuapi mama makan malam. Menunya bubur, ati ayam, tahu dan sayuran, hari ini mama dipindahkan ruangannya ke kamar sebelah. Saya tidak tega melihat mama kesakitan seperti itu. Baru sampai mulut saja, mama sudah muntah-muntah. Segala makanan tidak pernah masuk. Sepertinya mama merasa sebal dengan semua makanannya. Lambung mama ada masalah.

Sudah tiga hari mama dilarikan ke rumah sakit Hasan Sadikin; ruang Instalasi Gawat Darurat. Setelah berlama-lama di tempatkan di ruang sementara, di ruang Kemuning, kamar mama sudah pindah lagi. Cukup nyaman dan bersih, Ruangan Dahlia.

Sewaktu pindah, mama sepertinya tidak sadar kalo ia berak di kasur. Saya sedih. Saya ingin menangis. Mama seperti bayi yang tidak tahu apa-apa. Bicara mama ngawur. Kadang tidak nyambung. Saya harus bersuara keras jika ingin didengar oleh mama.

Jam menunjukkan pukul 12 malam. Ayah sama saya bagian jagain mama. Ayah mencoba menggelar karpet yang sengaja dibawa dari rumah. Dari kemarin ayah jagain terus mama. Saya di samping mama sambil ngetik. Sengaja saya bawa laptop biar bisa ngobatin rasa kesal dan suntuk. Sesekali saya bisa menulis apapun yang saya lihat, dengar dan rasakan.

Barusan suster periksa perkembangan mama. Ia Tanya-tanya segala macam. Mama menjawab ke sana-ke mari. Saya sesekali bantu jawab.

Saya selalu bingung jika suster Tanya penyakit yang diderita mama. Sampai sekarang pun penyakit mama belum diketahui, setidaknya belum diinformasikan pada pihak keluarga. Saya tidak tega lihat mama menderita. Badan mama lemah. Jalan kaki saja mesti dipapah.

Mata mama semakin tajam. Kecoklat-coklatan. Wajah mama menipis dagingnya seperti hilang sedikit demi sedikit. Pipi mama sudah tidak gempal lagi. Berat badan mama turun tujuh kilo.

Setiap ingin buang air besar dan kecil, mama merasa tersiksa sekali. Ada rasa nyeri ketika mama turun dari kasur. Ia meringis. Matanya memejam timbul tenggelam. Saya hanya bisa pasrah jika sudah melihat kondisi seperti itu.

Label:

Rabu, 01 Februari 2012

Little Kiss For Mama

Malam ini telah saya lipat menjadi tiga bagian. Walau biasanya saya juga sering membuat partisi hari-hari yang susah, senang, sedih, bahagia atau kombinasi dari semuanya.

Jam empat pagi saya mesti sudah berada di rumah sakit ujung berung. Mengambil nomor antrian untuk pasien penyakit dalam. Mama saya sudah cukup lama mengidap penyakit (lambung naik, darah kadang naik dan turun) yang saya sangat tidak tega melihat reaksi ketika mama merasa sakit. Saya berusaha datang sepagi mungkin ke rumah sakit. Berharap mendapatkan nomor paling awal. Namun ternyata saya mesti mendapatkan nomor urutan ke 22. Nomor yang berada di tengah-tengah dari total antrian 50.

Saya bergegas pulang ke rumah. Memberi tahu orang rumah kalau mama dapat nomor urut ke 22. Tapi jam tujuh pagi saya harus berangkat lagi ke rumah sakit, registrasi cek laboratorium. Periksa darah mama untuk mengetahui hasil perkembangannya.


Label: