Selasa, 26 Juni 2012

Boneka Motekar Yanto

Yanto Rukmana
ADAKAH seorang anak tukang becak yang berpenghasilan ratusan juta rupiah per bulan?

Jawabannya tentu saja ada, dialah Yanto Rukmana, seorang pengusaha boneka yang beralamat di jalan Sukamulya Indah 18 Bandung. Alur hidupnya patut dicontoh.

Pada 1995, Yanto hidup di lingkungan keluarga tidak mampu. Saat duduk di bangku kelas tiga SMP,  dia mencoba meringankan beban ekonomi keluarga dengan bekerja sebagai kuli di salah satu perajin boneka di jalan Sukamulya Bandung.

Namun karena merasa tidak cukup hanya bekerja di tempat orang lain, Yanto berencana membangun usaha secara mandiri. Kebetulan seorang pamannya memberikan pinjaman modal  Rp1,5 juta, Yanto pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu dengan membeli dua buah mesin jahit dan bahan baku.

“Menginjak SMA saya langsung membuka usaha sendiri, kebetulan paman saya memberikan pinjaman modal,” katanya Senin (25/6).

Bermodal tekad kuat dan kepercayaan diri, Yanto merekrut enam orang tetangganya untuk bekerja menjadi karyawannya. Dia meyakini usahanya itu akan maju seperti majikannya terdahulu. “Modalnya sederhana saja. Saya punya cita-cita untuk memajukan bisnis boneka lebih luas,” ungkapnya.

Inovasi seorang pemuda seperti Yanto memang patut diacungi jempol. Ketika Desa Sukamulya yang terkenal sebagai sentra boneka terbesar di Bandung itu kebanyakan memproduksi boneka hand made [buatan tangan]. Yanto memilih berproduksi dengan menggunakan mesin jahit. “Hasilnya dalam setahun saja saya sudah mendapatkan keuntungan enam kali lipat,” katanya.

Dihantam krisis
YANTO merupakan tipe pekerja keras dan tangguh. Walaupun berperawakan kecil namun semangatnya dalam berbisnis layak diperhitungkan. Setahun sudah Yanto mengelola usaha bonekanya, potensi bisnisnya sudah dapat terbaca dengan baik.

Dia berniat mengembalikan modal usaha pada sang paman. Pasalnya, dalam perjanjian sebelumnya, keuntungan dari pinjaman modal itu mesti dibagi dua. Dengan bijaksananya sang paman memberi dua opsi: keuntungan dibagi rata berbentuk uang, atau peralatan dan bahan baku.

“Saya tidak mengambil uang dari keuntungan pinjaman modal, tapi saya memilih peralatan [mesin jahit] dan bahan baku saja,” katanya.

Beberapa tahun kemudian, seusai lulus SMA, keinginan Yanto untuk melanjutkan pendidikannya ke universitas terpaksa ditunda beberapa tahun.

Dia kini fokus mengembangkan usaha boneka. Permintaan pasar sudah menumpuk di meja kerjanya. Dia tentu senang bukan main. Usaha yang dirintisnya dari nol mulai membuahkan hasil yang memuaskan.

Menginjak akhir 1997, Indonesia dilanda krisis moneter yang memporak-porandakan perekonomian negara. Sebagian pengusaha jungkir balik, harga kebutuhan pokok mulai meroket. Namun bagi Yanto, hal itu mendatangkan keuntungan tersendiri. “Tahun 1997 penjualan boneka produksi saya bagus,” katanya.

Permintaan pasar khususnya swalayan menjadi pelanggan tersendiri baginya. Itulah yang menyebabkan dirinya mematenkan usahanya di bawah CV. Motekar. Sebuah nama yang memiliki filosofi tersendiri. “Motekar itu artinya kreatif,” katanya.

Yanto mulai berbenah. Dia bereksperimen dengan produksi bonekanya. Dalam prinsip hidupnya, seorang pebisnis mesti lincah dan pandai bergaul. Dia mulai berkenalan dengan siapa pun termasuk melek internet guna mencari bahan-bahan desain untuk dijadikan inspirasi yang unik.

Memasuki 2008 boneka produksi Yanto dilirik mancanegara khususnya Jepang dan Singapura. Tiap bulannya Yanto mengirim satu kontainer boneka dengan nominal Rp500 juta. Yanto mulai keteteran pesanan, pelanggan dalam dan luar negeri kerap ditolak karena banyaknya permintaan.

Produksi boneka Yanto berubah drastis, dari hanya empat model boneka, kini dengan hasil inovasinya menghasilkan puluhan model boneka. Jenisnya beragam dari mulai terkecil hingga terbesar sekalipun. “Boneka produksi saya banyak ditiru orang,” katanya.

Di saat bisnisnya berkembang pesat. Dia memilih ekspor boneka disetop, pertimbangannya ongkos kirim sudah tidak lagi sepadan dengan keuntungan.

Kini, Yanto fokus menggarap pasar lokal yang menurutnya lebih menjanjikan karena margin laba lebih tebal dan ongkos kirim rendah. “Justru pangsa pasar lokal malah lebih menguntungkan,” tegasnya.

Harga boneka yang dijual Yanto relatif murah, mulai boneka terkecil seharga Rp6.000 hingga boneka terbesar yang dibanderol Rp250.000. Setiap bulannya produksi boneka Yanto di bawah CV. Motekar tersebut mampu menghasilkan 30.000 jenis boneka dari berbagai jenis dan ukuran. “Terkadang melebihi target,” katanya.

Pasar online
USAHA boneka yang digeluti Yanto di bawah bendera CV. Motekar memang sudah dikenal di mana-mana. Tak sedikit sejumlah perusahaan dan hotel di Indonesia memesan pernak-pernik dan gift kepada Yanto. Setiap perusahaan dan hotel mesti jauh-jauh hari jika ingin memesan boneka kepadanya, saking padatnya produksi yang dibuatnya.

Bukan itu saja, kini boneka produk Yanto banyak dipesan melalui pasar online. Sejumlah pesanan dari luar kota semakin membuat sibuk dapur produksi Yanto. Apalagi dengan kecerdikan Yanto, kini dia tengah memproduksi boneka yang tengah digandrungi pasar, yakni boneka emoticon Blackberry dan Angry Bird.

“Sekarang yang lagi ngetrend itu boneka jenis emoticon Blackberry dan Angry Bird. Pangsa pasarnya kebanyakan dari mahasiswa,” katanya.

Dari usaha bonekanya itu, Yanto kini mampu meraup omzet Rp500 juta perbulan. Sebuah angka yang sangat luar biasa bagi seorang anak tukang becak. Dari penghasilan ratusan juta tersebut, Yanto kini sudah menyabet gelar sarjana pada 2009 lalu dan mampu membahagiakan serta membuat bangga orang tuanya.

Bukan hanya itu saja, Yanto kini bisa hidup bahagia bersama istri dan keempat anaknya. Dia bangga bukan main telah memberikan lahan kerja bagi para tetangga dan saudaranya. Apalagi saat ini, pria bungsu dari tujuh bersaudara berusia 36 tahun itu sudah meraih cita-citanya yang diimpikan sejak dulu, yakni seorang Haji mabrur.

Label:

Senin, 11 Juni 2012

Rahmat Jabaril Penggagas Kampung Kreatif

Foto Istimewa

Rahmat Jabaril, begitu dia disapa. Rambutnya panjang sebahu. Janggut lebat dan berperawakan sedang. Di Bandung, dia terkenal sebagai penyair dan pelukis yang produktif. Buku-buku yang diterbitkannya sudah mencapai 4 judul buku.

Beragam bukunya yang terbit mengisahkan tentang realitas sosial yang tengah terjadi. Sebut saja antologi puisi yang berjudl Patah, kumpulan cerpen Terusir, dan Surat-surat Malam. Sedangkan yang akan segera terbit yaitu Kampung Urban, Kampung Kreatif dan Estetika Jalanan. Semua buku yang ditulisnya bertema kritik sosial.

Selain dikenal sebagai seniman, dia aktif di berbagai aktifis lingkungan. Citan-citanya yang ingin menjadikan Bandung sebagai kota kreatif sudah dia gagas sejak beberapa tahun lalu.

Sekitar tahun 2003 silam, isu pendiikan mahal menjadi buah bibir masyarakat. Dia geram mendengar isu tersebut yang bisa membuat masyarakat miskin menjerit. Tidak sedikit anak-anak putus sekolah mendengar isu tersebut. Dia berpikir jungkir balik untuk menyelamatkan anak-anak miskin agar terus melanjutkan sekolah.

Gayung pun bersambut, Ika Ismurdiyahwati, sang istri tercinta mendukung langkahnya menyelamatkan warga terdekat di sekitar rumahnya yang terletak di babakan Siliwangi Bandung. Mereka berdua sudah bertekad bulat untuk mendirikan sekolah gratis untuk anak jalanan yang tidak mampu mengenyam pendidikan. Masalah biaya tak mereka jadikan permasalahan. Yang penting, pendidikan harus dimiliki oleh semua anak-anak.

Selain itu, Rahmat juga membuka sekolah seni seperti musik, peran dan melukis. Tak tanggung-tanggung, dia menggaet seniman senior Harry Roesli (almarhum) sebagai pengampunya. Sejumlah mahasiswa relawan dari berbagai universitas dia ajak sebagai guru.

Dialog
Setelah berdiskusi banyak dengan istrinya, Rahmat ingin mengembangkan sekolah gratisnya ke berbagai daerah di Bandung. Dia survey sendiri tempat mana saja yang layak untuk didirikan sekolah gratis.

Ditemukanlah kawasan Dago Pojok yang beralamat di Kecamatan Coblong Bandung. Kawasan tersebut memiliki total 9 Rukun Tetangg (RT). Rahmat mencari tempat untuk dikontrakan sebagai pusat pendidikan sekolah gratisnya. Rumah berukuran sekitar 12x16 dengan harga sewa Rp20 juta per tahun sudah dia dapatkan. Sesegara mungkin dia memberi nama Taboo untuk sekolah gratisnya.

Beberapa waktu kemudian, anak-anak berbondong-bondong mengikuti sekolah gratis di Taboo. Rahmat membuka kelas dari mulai pendidikan anak usia dini (PAUD), sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah pertama (SMP). Warga sepertinya begitu antusias  melihat anak-anaknya mendapat pendidikan gratis.

Dago Pojok, nama sebuah tempat yang mayoritas penduduknya berpenghasilan rendah. Masing-masing kepala keluarga mayoritas berprofesi sebagai kuli bangunan. Tak jarang anak muda di kawasan itu kesehariannya nongkrong di gang-gang kecil. Tubuh bertatoo, telinga bertindik [pierching] sudah biasa. Banyak lulusan sekolah menengah atas (SMA) mencari lahan kerja ke kota. Melihat kondisi semacam itu, hati Rahmat miris. Sesuatu harus segera dilakukan.

Rahmat membaca kawasan tersebut cukup potensial untuk dijadikan pusat perekonomian, kebudayaan dan kesenian. Dia kembali memutar otak mencari bagaimana cara menghidupkan kawasan ini menjadi kampung kreatif. Kini Rahmat sendiri, istrinya sudah kembali ke Surabaya untuk kuliah dan mengajar di salah satu universitas di sana. Rahmat sedikit bingung, bagaimana mendapatkan uang untuk membangun kampung kreatif yang dicita-citakannya.

Sebagai salah satu langkah awal, dia mengajak berdialog kepada warga sekitar mengenai gagasannya. Bagaimana kampung Dago Pojok tersebut bisa menjadi lahan yang menjanjikan bagi masing-masing keluarga dalam mencari penghasilan. Bagaimana tata kampung bisa menjadi indah dengan estetika yang ditawarkan Rahmat.  Sayang, usahanya disambut negatif oleh sebagian warga. “Tidak sedikit usaha saya untuk menciptakan kampung kreatif ini dianggap sebagai kampanye partai politik tertentu oleh warga,” ungkapnya. “Padahal, saya sangat anti terhadap partai politi,” lanjutnya.

Namun Rahmat tak patah arang, dia terus mencoba berkomunikasi dengan cara pendekatan santun kepada warga. Dia mulai ajak anak-anak untuk membuat mural di tembok-tembok yang terlihat kusam dan kumuh. Dia ingin kawasan Dago Pojok terlihat artistik dan cerah penuh warna.

Disitulah, kepercayaan Rahmat terbangun. Tak sedikit warga meminta rumahnya digambar mural seperti yang tertera ditembok-tembok gang di Dago Pojok. “Ini poin yang cukup positif,” kata Rahmat. Pendekatannya rupanya berhasil. Dia semakin dekat dengan warga dan dipercaya untuk membangun sebuah kampung kreatif sebagai kampung wisata yang cukup menjanjikan seperti yang telah ditawarkannya.

Kerja sama
Kali ini, Rahmat sudah mulai tentram. Akhirnya warga mulai percaya dengan gagasan yang dibuatnya. Namun, yang menjadi kendala bukan hanya dari kepercayaan warga saja. Dia sebenarnya tak cukup modal untuk membangun kampung kreatif tersebut. Dengan bermodal nekad, dia gadaikan mobilnya walau dikira tak mampu menutupi kebutuhan. “Saya gadaikan mobil saya. Alhamdulillah dapat Rp20 juta, walau saya kira tak bakalan cukup,” katanya.

Dia mencoba membuat beberapa proposal yang disebarkan ke berbagai intansi terkait. “Proposal saya sebar, namun tidak yang cair,” katanya.

Rahmat berfikir tenang, dia kembali mengontak teman yang mempunyai satu gagasan dengannya. Fiki Satari, seorang muda sukses dan pengusaha clothing terkenal di Bandung, dia coba menghubunginya.

Gayung pun bersambut, Fiki menanggapi positif dengan gagasan Rahmat untuk membangun kampung kreatif. “Tunggu dalam waktu dua minggu, saya akan mencari dananya dulu, mudah-mudahan berhasil,” kata Fiki seperti yang diperagakan Rahmat.

Rasa was-was Rahmat sudah berkecamuk. Antusiasme warga Dago Pojok menyambut baik gagasannya tersebut sudah dinanti-nanti. Rahmat bakal malu bukan main jika gagasan tersebut tidak jadi dilaksanakan.

Dua minggu sudah berlalu. Telepon Rahmat bordering. Fiki, orang yang ditungu-tunggu akhirnya bersuara. Proposal yang diajukan Rahmat sudah cair. “Uang sudah cair Rp80 juta, tapi kalau bisa jangan hanya Dago Pojok saja yang dijadikan kampung kreatif,” kata Fiki.

Rahmat senang sekaligus bingung. Dia bahagia akhirnya mimpi membuat kampung kreatif di Dago Pojok akan segera terwujud. Di sisi lain dia bingung harus membangun kampung kreatif di daerah lain. “Satu kampung juga belum beres, ini malah diminta mencari kampung lain,” katanya sambil tersenyum.

Agenda yang segera harus dilakukan oleh Rahmat yaitu  mengajak warga untuk menggambar mural di sepanjang tembok di kawasan Dago Pojok. Dari mulai anak-anak hingga dewasa terlihat antusias mengikuti salah satu program itu.

Kemudian proses dialog dilakukan dengan warga untuk mencari jalan keluar bagaimana kampung tersebut bisa menjadi lahan perekonomian. Rahmat muali melakukan pelatihan dengan mendatangkan para ahli kreatif, mahasiswa dan seniman. Dia ingin kampung itu hidup. “Dulu kampung ini terkenal dengan keseniannya, saya ingin mengembalikan dan menghidupkan kesenian tersebut,” katanya.

Kampung Kreatif
Rahmat senang bukan main. Rumah Taboo yang didirikannya sebagai tempat sekolah gratis kini sudah mencapai lulusan sekitar 700 siswa. Kawasan Dago Pojok sudah menjadi kampung kreatif. Masing-masing warga kini sudah memiliki lahan penghasilan sendiri.

“Sebagian warga sudah memiliki pendapatan hasil sendiri, dari mulai berdagang telor asin, jualan kue, membuka warung sampai membuat kolam untuk memelihara ikan,” katanya.

Penghasilan masing-masing warga Dago Pojok bisa mencapai Rp2 juta per bulan. Warga yang dulunya mengandalkan pendapatan suami, kini masing-masing ibu rumah tangga mempunyai kesibukan sendiri-sendiri. Membuat kerajinan tangan, rajutan, boneka dan lain-lain.

Anak-anak yang dulunya menghabiskan waktu dengan play station (PS), kini sudah gemar memaminkan permainan anak-anak tradisional khas sunda seperti Egrang, Jajangkungan, Gatrik dan lain-lain. Sementara kesenian tradisional pun sudah hidup kembali  dengan munculnya beberapa grup Reog, Jaipong, Gondang, dan Celempung.

Namun, tugas Rahmat kini sudah tidak berat lagi setelah Fiki yang sekaligus ketua program Bandung Creative City Forum (BCCF) menjadi partner kerjasamanya membangun kampung kreatif di Bandung.

BCCF yang memiliki program Akupunktur Kota, menggalakan tema-tema Kampung-branding dengan mengekspose potensi-potensi sosial ekonomi dan kretaifitas warga Bandung dan sekitarnya.

Rahmat dan Fiki dalam bendera BCCF dan Taboo memperluas program kampung kreatif di setiap sudut kota di Bandung. Jenis hasil kreatifnya pun beragam. Sampai saat ini sudah tergagas 5 pusat kampung kreatif yang dibangun.

“Yang paling utama dibangun adalah Kampung Kreatif Dago Pojok sebagai kampung seni sunda, kemudian Kampung Leuwi Anyar sebagai kampung produksi oleh-oleh, Kampung Cicadas sebagai kampung wisata akustik, Kampung Taman Sari sebagai kampung wisata mural, Kampung Cicukang sebagai kampung wisata kereta api dan jajanan,” katanya.

Kini Rahmat tampak tersenyum lebar melihat kemajuan kampung yang sudah dia rintis dari kecil. Suara gaduh anak-anak yang sedang bermain Egrang di halaman rumahnya menjadi bukti keberhasilannya mengembalikan permainan anak-anak.

Sebuah warung nasi kuning yang dicat mural di samping rumahnya tampak sibuk melayani pelanggan yang sesekali datang membeli. “Lihat, warung nasi kuning itu! Pedagangnya  seorang wanita tua, dulu dia menganggur, tapi kami kasih modal supaya dia berpenghasilan,” tuturnya.

Label:

Minggu, 10 Juni 2012

Magnum Filter Urban Jazz Crossover 2012 Menghentak Bandung

foto oleh: Rachman/Bisnis Indonesia
Ribuan orang memadati antrean eskalator dan lift Trans Convention Center, The Trans Luxury Hotel Bandung. Penampilan mereka jauh dari kesan sederhana. Dari mulai remaja, dewasa hingga orang tua, cara berpakain mereka tampak glamor. Ada apa gerangan? Rupanya sebuah pertunjukkan musik jazz akan segera digelar.

Magnum Filter Urban Jazz Crossover 2012 bertema Jazz The Way You Like ini menginjak tahun kelima. Setelah sukses menggebrak di Medan di JW Marriot 25 Mei 2012 silam, kini giliran Bandung jadi kota kedua.

Sekitar pukul 20:30 penonoton sudah memadati area Trans Convention Center yang telah disulap menjadi panggung pertunjukkan mewah. Nuansa multimedia seperti hologram dan video mapping terlihat sempurna. Ditambah lighting berkekuatan 150.000 watt dan sound 60.000 watt menggema. Konser Magnum Filter Urban Jazz Crossover 2012 dimulai.

Bayu Risa, personil kelompok Pasto dan Kyriz Boogieman tampil sebagai artis pembuka dengan menggeber lagu Don’t Stop Till You Get Enough yang dipopulerkan Michael Jackson. Suguhan aransemen berbeda dari music director ternama Viky Sianipar mampu mengguncang penonton.

Aksi atraktif Kyriz dengan warna Rap tampak memukau ketika duet bareng Bayu dengan suara khasnya. Lagu Missing yang dipopulerkan Everything But The Girl kemudian menambah suasana riuh seluruh area panggung. Kerlap-kerlip lampu mampu mengimbangi warna musik yang tengah dimainkan.

Sejurus kemudian, suara gemuruh penonton makin memuncak ketika Intan Soekotjo tiba-tiba melengkingkan suara emasnya dengan lagu Bengawan Solo yang dikolaborasikan dengan lagu Unbelieveable milik EMF. Intan, putri penyanyi kroncong Sundari Soekotjo itu mampu membius ribuan penonton dengan hadiah teriakan dan tepuk tangan yang bergemuruh. Intan tampil cantik dengan gaun hijau dan sepatu berhak tinggi.

Malam semakin bergerak. Atmosfer penonton memanas ketika Yukie (Pas Band) tampil menyanyikan “Marilah Kemari” ciptaan Titiek Poespa dengan alunan yang berbeda. Suara serak Yukie mampu mengondisikan balutan aransemen yang digarap Viky. Apalagi, dalam lagu “Losing My Religion” milik R.E.M, Yuki mengajak penonton bernyanyi bersama, kuping penonton semakin dimanjakan.

Pesta bagi para penyuka musik jazz tidak sampai di situ, ketika Barry Likumahua muncul tiba-tiba dipanggung dengan membetot bass yang atraktif dan harmonis, membuat histeris para penonton yang berdiri sepanjang pertunjukan. Sabtu malam (9/6) memang benar-benar milik penonton. Area Convention Center, The Trans Luxury Hotel dikuasai penggemar berat jazz dari berbagai kota di Indonesia.

“Selamat malam Bandung,” kata Andien di sela aksinya. Dia kemudian membuat kejutan yang dramatis dengan menyanyikan lagu “Cinta Ini Membunuhku” milik D’Massive. Andien tampil glamor dengan gaun blink-blink bercorak perak. Bibirnya memukau dengan lipstik merah tebal.

Sementara, ketika duetnya dengan Intan Soekotjo saat membawakan lagu “Sweet Dreams” dari Eurytmics, lagi-lagi tepuk tangan penonton membahana di seluruh area panggung. Nada kroncong yang dimainkan Intan, memang harmonis dengan balutan gitar cakcuk dan flute yang elegan. Suasana pun kembali memanas saat Andien, Indra Lesmana dan Barry Likumahua berduet membawakan lagu “Dan” milik Sheila On Seven.

Jam menunjukkan pukul 21.20 WIB. Penyanyi senior  Harvey Malaiholo naik panggung mengenakan jas bercorak kotak-kotak. Lagi-lagi penonton dibuat kaget saat dia menyanyikan lagu “Begitu Indah” dari band Padi. Harvey mengakhiri aksinya dengan membawakan “Rolling in Deep” milik Adele. Tak bisa dibayangkan, tepuk tangan penonton bersorak lebih ramai. Aksi Harvey begitu mengesankan saat dia mengajak penonton menyanyikan lagu dari artis yang tengah naik daun itu.

Rieka Roeslan, penyanyi jazz asal kota Bandung yang tampil membawakan tiga buah lagu seperti “Pertama” dari Reza Artamevia, “Soldier of Fortune” milik Deep Purple dan “It’s My Life” dari Bon Jovi, benar-benar membuktikan bahwa Urban Jazz Crossover sangat tepat sebagai tema tahun ini. Perpaduan beragam jenis rock dan pop dibalut jazz tampak harmonis. Ditambah hentakan DJ Odotto mampu mewarnai sempurnanya perhelatan musik bergengsi tersebut.

Aksi yang ditunggu-tunggu akhirnya tampil juga. Tompi, sang maskot jazz Indonesia menghentak penonton dengan mengenakan kemeja merah muda dengan topi khasnya.  Apalagi ketika dia memanggil nama Barry untuk duet bareng dengan permainan nada musik mulutnya, mampu membuat aksi malam itu benar-benar hidup.

Vokal khas Tompi saat membawakan lagu “Bring Me to Life” milik Evanesence, dan “Gerangan Cinta” dari Java Jive, disambut hangat oleh penonton yang hadir. Suasana semakin memuncak ketika detik-detik terakhir dari konser tersebut akan segera berakhir. Namun Tompi mampu menyuguhkan klimaks dengan menyanyikan lagu Fire Works milik Katty Perry. Dan benar saja, penonton pun dibuat puas oleh penampilannya.




Label: