Senin, 12 Mei 2014

Unjuk Gigi Para Pelukis ISI

Lukisan Sejuta Anak Ayam terpajang paling depan di Gallery Kemang 58, Jakarta Selatan. Lukisan bercat minyak di atas kanvas dibuat pada 2014 itu tampak kasar dan khas. Bagi sebagian pecinta lukisan, karya berukuran 35x35 cm itu mudah ditebak. Pembuatnya tentu saja dialamatkan kepada Djoko Pekik. Seniman asal Yogyakarta yang dikenal sebagai pelukis satu miliar.

Bergeser ke sudut lain, tiga lukisan Soetopo berjudul Petan, Kerokan, dan Pasar Burung tampak khas terlihat. Tema-tema kerakyatan masih akrab pada goresan kuas Soetopo. Ketiga lukisan itu dibuat pada 2013 dengan ukuran 35x35 cm. Kesemua lukisan berkisah tentang kehidupan sehari-hari warga kampung.

Djoko Pekik dan Soetopo memang biasa dikenal sebagai pelukis bermedium kanvas besar. Kali ini, mereka ditantang untuk membuat karya lukis berukuran 35x35 cm dalam pameran ISI ISI yang digelar pada 19 Februari- 16 Maret 2014. Pameran ini melibatkan 139 seniman lukis dan patung asal Yogyakarta. “Kebanyakan yang terlibat adalah seniman Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dari berbagai periode,” kata D. Safitri A dari Talenta Organizer selaku penyelenggara pameran.

Pameran ISI ISI boleh disebut sebagai pameran seni egaliter. Meskipun di dalamnya terdapat pelukis besar. Para seniman diajak untuk guyub dan tidak dituntut untuk merasa paling senior atau terkenal. Semua karya lukis dan instalasi diseragamkan satu ukuran.

Lihatlah, karya seniman kawakan Djoko Pekik, Soetopo, Ipong Purnomosidhi, M. Agus Burhan, Dyan Anggraini, Ivan Sagita, atau Sigit Santoso yang dipajang sejajar dengan karya pendatang baru lainnya. Ini menunjukan pameran yang sudah direncanakan setahun lalu itu berhasil membuat kebersatuan para seniman secara utuh.

Memang, jika bicara ukuran, masing-masing seniman memiliki hak bagaimana melukis dengan medium dan ukuran yang dikehendaki. Namun pada pameran ini, keseragaman ukuran menjadi tantangan tersendiri. Semua seniman dipaksa bereksplorasi berkarya menggunakan ukuran 35x35 cm.

Pelukis realis Sigit Raharjo yang terbiasa menggunakan ukuran kanvas besar pun akhirnya berhasil menuangkan gagasannya dalam kanvas kecil. Dia membuat tiga lukisan berjudul Jago Klawu Bendo, Jago Wido Cempoko dan Semprong. Ketiga lukisan tersebut menggambarkan muka ayam jago dengan hasil yang sangat sempurna. Detail warna dan anatomi ayam jago digoresnya begitu rapi.

Bukan apa-apa, salah satu tujuan digelarnya pameran ini adalah untuk mendekatkan para seniman satu sama lain. Diharapkan, para pelukis pendatang baru yang memiliki bakat di atas rata-rata mampu mengikuti jejak para pendahulunya. Karya-karya yang ditampilkan pun beragam aliran. Dari mulai realis, ekspresionis hingga abstrak.

Kebersatuan inilah yang kiranya bakal menjadi pemersatu antara para seniman baik lukis atau pun patung di Yogyakarta. Mari simak, karya Rato Anggela berjudul Bye Good Night dan Hello Good Morning. Keduanya dipajang sejajar dengan barisan lukisan para pelukis pendahulu. Pelukis kelahiran 1990 ini tampak khas dengan karya yang berbicara tentang fenomena urban kota dan realitas masyarakat.

Oei Hong Djien, kolektor lukisan ternama mengatakan konsep dalam pameran ISI ISI memang berbeda dari pameran biasanya. Menurutnya, ada seniman yang lebih bagus berkarya dalam format kecil sehingga bisa lebih mudah dimiliki para kolektor. “Saya melihat Isen Isen atau ISI ISI merujuk kepada konten. Karena karya bagus itu memiliki konten,” katanya.

Sementara, kritikus seni rupa sekaligus dosen Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta Suwarno Wisetrotomo memaparkan bahwa pameran ISI ISI yang melibatkan ratusan seniman ini atas nama kebersamaan. Menurutnya, peristiwa tersebut bukan didorong oleh ikatan ideologi yang sama atau gerakan pemikiran.

Ukuran yang telah ditetapkan 35x35 cm bagi semua seniman merupakan keunikan tersendiri untuk berkreasi. Para seniman yang terlibat akan melahirkan energi bersama ketika hasrat individu ditekan. Bahkan, dia memaparkan para seniman yang tidak terlibat dipersilahkan untuk cemburu dan berempati atas perbedaan ruang personal dan sosial yang dibangun.

“Mereka, para seniman dengan tindakannya yang sederhana ini berpameran bersama memilih jalan tengah, tidak sok intelektual, juga tidak sok seniman dan juga bukan karena rendah diri,” paparnya.

*Bisnis Indonesia Weekend

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda