Rabu, 19 Mei 2010

Celana Dalam

.::Cerita Jurnalis Kampus Gagal::.


Entah dimulai dari mana, aku masih bingung, yang jelas, sekarang aku bangun jam tiga pagi. Mataku yang kanan susah untuk dibuka. Rasa sakit padahal udah hampir usai, tapi segerembolan belek masih menempel. Tapi aku yakin hari ini adalah hari terahirku menyandang predikat cowok bintitan.

Aku masih mikir. Sebelah mana aku harus mulai. Aku bakar dulu racun kecilku. The Jarum Cokelat. Dari dulu sampai sekarang ini racun tetep memakai logo Jarum. Karena kalau pake cap Linggis pasti namanya bukan The Jarum Cokelat, tapi The Linggis Cokelat. Dan mungkin juga di iklannya bukan Nidji, Padi, Gigi dan Nugi yang jadi artis. Kalo enggak grup band The Panas Dalam pasti Budi Anduk. Entahlah. Yang jelas sampai sekarang gak ada rokok yang namanya D’ Linggis Cokelat.

Di computer udah nunjukin jam tiga lebih empat puluh tiga menit. aku berniat menunda tulisanku sampai besok. Karena aku harus nerusin dulu sisa tidurku yang tadi udah kepotong oleh sesuatu.

Ya, ada sesuatu yang telah menyita tidurku malam ini. Sesuatu yang menyenangkan yang membuat celana dalam basah sampai tembus ke celana luar. Tapi sebenarnya sesuatu ini bukan hal yang harus dikonsumsi public. Tapi gak apa-apa, demi membuat tulisan ini lebih delicious, aku akan bagi-bagi sedikit tentang sesuatu itu.

Sesuatu itu adalah hal yang pasti dialami oleh kaum Adam kalo udah menginjak masa kedewasaannya. Sesuatu yang bisa membuat senyum-senyum sendiri kalo udah ngerasainnya. Sesuatu yang bisa dikatakan lucu, karena di dalam sesuatu itu para actor dan artisnya melakukan adegan-adegan yang mirip seperti di VCD terlarang atau file yang di hidden kan seseorang di komputernya.

Sesuatu itu adalah sebuah mimpi. Mimpi yang terjadi pada seorang cowok, yang setiap bulannya bisa sampai tiga kali pertemuan. Terkadang lebih. Mimpi itu tak kenal waktu. Bisa siang bisa juga malam.

Ada yang unik dalam mimpiku tadi. Aku mimpi dengan seseorang wanita. Yang aku kenal pula. Di mimpi itu, pemeran wanita yang aku kenal tadi melakukan pemaksaan. Kekerasan terhadap cowok. Si pemeran wanita tersebut, dalam mimpiku berani membuatku sampai terdiam dan tak berdaya. Preeeet.

Di mimpi itu tak berlangsung lama. Sekitar tujuh menitan. Abis itu aku langsung terbangun. Benar-benar terbangun. Terbangun dalam berbagai konteks.

Computer masih brang bring brong dengan lagu gak karuan. Kayaknya ini lagu hasil pilihan Godi. Aku mengangkat badan dan keluar dari kasur butut itu. Kasur yang sekaligus di jadikan kampas untuk melukis pulau oleh penghuni Suaka. Sekarang udah ada ribuan pulau di kasur itu. Kasur warisan Wicaksono. Dia orang jawa yang mulai betah berkecimpung di Sunda. Entah bener-bener betah atau paksaan kuliah. Yang jelas dia udah mulai menempuh semeseter degradasi.

Di kursi luar, ada sesosok mahluk yang di bungkus dengan sebuah sleeping bag. Awalnya aku nyangka dia Mahluk yang langka, gak taunya, di kursi itu, Godi lagi Molor alias bobo. Tidurnya pulas, kaya bangkai. Dasar bangke. Kayaknya kalo UIN ada yang ngebom juga pasti Godi gak bakal terbangun dari tidurnya. Caduuuuuuk.

Celana dalam masih basah dan lengket. Aku langsung buka dan menggantinya dengan celana pendek. Kebetulan aku bawa celana serep. Sekarang, dengan tanpa celana dalam, aku duduk di depan computer. Masih memikirkan dari mana aku harus mulai menulis. Padahal dari tadi siang banyak hal yang bisa ditulis. Tapi kayaknya sampai satu jam di computer, aku gak menemukannya juga.

Dari pada pusing, mending aku kembali lagi tidur. Lagian besok pagi aku harus latian band. Aku harus ke Cipacing, bertemu teman-teman. Mudah-mudahan Desi jemput aku ke Suaka. Hmmmm…. Ngantuk euy. Aku tidur lagi ah. Pasti besok pagi celana dalamku udah kering.

23 Mei 2009 (03:23)

Label:

Laptop Dewasa

.::Cerita Jurnalis Kampus Gagal::.


DUA ORANG sudah berada di alam mimpi. Posisi tidurnya tidak karuan. Kasurpun seolah tak terpakai. Tubuh dan kepala mereka tidak searah dengan busa agak empuk itu. Wicak dan Godi terbawa arus dunia alam bawah sadar. Sebuah bulatan yang berdetak di dinding menunjukan pukul dua dini hari lebih 10 menit. Jum'at 25 Desember bisikan angin mencubit kulit.

Di depan mereka, tak jauh dari posisi tidurnya, hentakan windows media player melaju pelan membunuh sunyi pagi di komputer Suaka. Alunan lagu The Panas Dalam—Tong Gandeng sudah berakhir. Giliran Munajat Cinta yang di teriakan Ahmad Dani dan kawan-kawan mengiringi saya dengan seksama. Djarum Cokelat masih setia menemani. Kadang abu rokoknya saya taroh di sembarang tempat. Sesekali saya menghisap dalam-dalam rokok terakhir pemberian Fajar Titik Fauzan itu.

Beberapa menit yang lalu, suara ponsel saya berdering. Fajar, yang akrab disapa Ozan memanggil dengan penuh semangat.

“Aya motor teu, urang jemput teun si Ifan, iyeu mawa leptop berat.” tawarnya.
“aya, dagoan sakeudeung.” tantang saya.

Sebuah kunci motor saya ambil. Segera saya jemput Ozan di Almishbah, tempat dimana ia menunggu untuk saya jemput. Suzuki Shogun yang terparkir tepat di teras Suaka saya nyalakan. Dengan berbekal celana pendek dan kaos yang tertancap di tubuh, saya tak hiraukan. Akibatnya sudah pasti serangan ganasnya angin itu merongrong kulit ini.

Di Almishbah, tempat dimana saya dibesarkan, Ozan sudah menunggu. Sebuah tas digendongnya. Isinya, persis apa yang ia katakan, leptop.

“buru naek, urang hoream napak” kata saya.
“weis...” jawabnya.

Tak lama saya tancap gas untuk kembali kesuaka. Sebenarnya Ozan membawa motor, namun katanya, lagi dipinjam sama temannya Ifan, selama ia bertandang ke rumah pujaan hatinya, Poppy, gadis asal Cipadung yang sudah lama ia pacari dan menjadi belahan jiwa hidupnya. Poppy adalah mahasiswa Muamalah semester tiga. Hubungannya dengan Ozan yang saya tahu dari sejak SMA.

“neangan warung hela uy, meuli rokok.” katanya.
“ke di hareup.” kata saya.

Saya berhenti sejenak disebuah warung dekat pangkalan ojek Cipadung. Ozan turun dari motor mendatangi warung itu. Beberapa batang rokok Djarum Cokelat dibelinya.

“jeung korekna, di Suaka eweuh korek.” teriak saya.
“mang korekna hiji.” katanya kepada pemilik warung.

Tak lama saya nyalakan motor kembali. Jalan raya terlihat sedikit lengang. Maklum sudah malam, namun beberapa orang terlihat lalu lalang sekedar mencari makanan di sekitar Cipadung.
****
DI RUANG Suaka, Wicak, Godi dan Hamdan sudah terlelap, namun ketika suara Ozan terdengar memecah konsentrasi mereka yang sedang tertidur itu. Seperti biasa suara tertawa yang terbahak-bahaknya itu mungkin menembus alur pikiran bawah sadar sehingga membangunkan fokus mimpi mereka. Wicak dan Godi pun sejenak terbangun. Saya langsung mempromosikan sebuah video wayang terbaru yang mungkin Ozan belum pernah melihatnya. Beberapa lakon dalang Asep Sunandar Sunarya yang sempat memekik dan mengguncang perut saya hingga terbahak-bahak. Ozan suka, dan sudah pasti ia tertawa juga melihat video wayang itu. Dan tak lama saya menyalakan leptopnya untuk sekedar berhotspotan ria. Ozan masih tengah menikmati wayang itu.

Di teras Suaka terlihat tiga orang yang asik duduk sembari hotspotan juga. Dengan listrik gratis dari Suaka, teras itu akhir-akhir ini selalu dijejali oleh orang-orang yang sengaja menumpang untuk berfantasi dengan dunia maya itu, facebook, yang tengah digandrungi oleh segenap lapisan masyrakat dari kakek-kakek sampe balita.

Setelah leptop dinyalakan, ternyata sinyalnya lemah. Loadingnya lambat sekali. Saya sedikit kesal. Padahal ketiga orang itu berasik ria, tapi kenapa leptop yang saya pegang tak kunjung connect juga. Sambil menunggu jaringannya nyambung. Saya sesekali membuka file dan folder yang ada di leptop Ozan. Setelah melihat-lihat beberapa folder. Saya menemukan ada kejanggalan yang tersentak setelah membuka folder 'tajam'. Rasa penasaran saya pun tertanamm segera saya membuka satu persatu file itu, ternyata semuanya video adegan yang khusus dewasa. Dengan tak menyianyiakan kesempatan. Saya memanfaatkan kesempatan itu dengan mem-play satu persatu video tersebut. Dan harus diketahui setelah saya cek size-nya ternyata video terlarang itu lebih dari lima giga. Duh pantesan saja dari tadi hotspot gak nyambung-nyambung. Ternyata banyak 'virus' yang bergentanyangan di leptop itu. Mudah-mudahan mata ini masih diterima disisiNya. Ya Alloh ampuni orang yang mempunyai leptop ini. Amin!


Jum'at 25 desember 2009 -tiris-

Label:

Sepotong Roti

.::Cerita Jurnalis Kampus Gagal::.


Teriakan Kurt Cobain masih membakar semangat saya. Lagu demi lagu merayap. Coba simak saja Love Buzz yang menjadi awal bangkitnya Nirvana awal 90’an. Disusul Smells Like Teen Spirit dan tembang-tembang lainnya yang menggemparkan belantika musik dunia. Saya suka Nirvana sejak SD. Saya puas. Kepala ini tak berhenti bergoyang. Sore yang dingin namun gerah. Thanks Nirvana.
***

Angka enam kurang kurang sepuluh menit. Sabtu yang resah. Dihari kedua Januari 2010. sudah dua jam saya berada di sini. Memang sudah dua hari juga saya tidak datang ke Suaka. Rasanya malas sekali kalau gak ada kendaraan.

sebelumnya, Jam empat sore, saya rela berjalan ke Suaka. Sehabis mandi, Sholat Ashar tentunya. Hujan mulai berlompatan di langit, turun bertubi-tubi menjitak kepala saya, namun kecil. Hujan yang gerimis.

“a, udah di Suaka kah?” Tanya Lilih lewat telepon genggamnya.
“udah.” Jawab saya simple, dengan empat huruf, U.D.A.H

Saya kira kampus gak seramai ini. Ternyata banyak aktifitas juga selama liburan. Di Aula Student Center, sebagian mahasiswa berkostum hitam-kuning tengah mengadakan sesuatu. Entah apa sesuatu itu, belakangan saya tau, mereka sedang mengadakan OPAB jurusan, tau sendirikan OPAB itu apa? Okelah saya artikan apa itu OPAB. Huruf ‘O’ berarti Orientasi. Huruf ‘P’ adalah Penerimaan sedangkan ‘A’ adalah anggota, dan sudah pasti ‘B’nya Baru. Jadi OPAB adalah Orientasi Penerimaan Anggota Baru. Itu juga kalau saya tidak salah.


“lagi OPAB a,” kata mereka pada saya setelah sebelumnya saya menanyakan “ada acara apa ini?”
“OPAB apa emang?” pertanyaan saya lagi.
“Administrasi Negara.” Kata salah satu peserta. Dan saya pun meninggalkan mereka.

Di Suaka terdapat Bayu, Firman dan Fikri. Wah kayaknya kumplit ni para jajaran Pemimpin Suaka, yang gak hadir Cuma Agus Trei. Sedangkan Iyan datang belakangan walau Cuma beberapa detik nongol ke Suaka lalu mengucapkan “hayu Mik, urang balik ti heula.” Tak lama kemudian Fikri dan Firman pun meningglkan saya, meninggalkan Suaka.

“ka Kosan heula.” Jawab Firman. Fikri mengikuti. Helm tak lupa mereka pasang di kepala. Pasti mereka bawa motor. Tinggal saya dan bayu berdua disini, di Suaka ini dan seonggok komputer yang sekarat, kadang hidup kadang mati. Maklum usianya udah 10 tahun. Komputer yang tua, tapi tak setua ‘peng-kebirian’ rektorat terhadap Suaka.

“assalamualikum.” Seseorang, pastinya perempuan, karena suaranya gak kedengaran laki-laki, mengucapkan salam. Itu pasti Lilih. Lilih adalah mahasiswa UIN SGD juga, tau sendiri kan UIN SGD? Jadi gak udah saya artikan kaya OPAB di atas. Ya, dia mahasiswa UIN, katanya jurusan Humas, anak buahnya Wicaksono. Tau sendiri kan Wicaksono panglima besar serta jenderalnya Humas, atau mungkin karuhunnya. Secara gituloh dia sangat cinta sekali terhadap Humas. Tau sendirilah buktinya. Heuheu…!!!

Lilih ngebet banget pengen lagu D’Cinnamons. Setelah saya suruh datang ke Suaka, karena saya pernah denger D’Cinnamons di Suaka. Entah kenapa dia mati-matian sekali minta lagu-lagu itu, padahal kalau di bandingkan dengan Nirvana, itu jauh sekali, seperti 1:1000. tuh kan coba. Tapi emang sih selera manusia tuh berbeda. Dan akhirnya setelah didengar-dengar lumayan juga tuh D’Cinnamons. Hmm…!!

“ada gak lagunya.” Katanya.
“bentar dicari dulu.” Bukan katanya, tapi kata saya.
“lagi di Install dulu komputernya.” Kata saya lagi.

Hujan masih tertawa terbahak-bahak namun pelan. Kali ini tidak menjitak kepalaku, karena saya sudah berada di ruangan. Jadi gak mungkin hujan menelusuri kepalaku melewati jendela. Bayu sedang asyik membaca. Saya juga baca sedikit majalah lama, Gatra dan Forum, yang ternyata kedua Pemrednya jebolan dari Tempo. Waktu itu Karni Ilyas jadi dedengkotnya Forum, dan Widi Yarmanto pegang Gatra setelah cabut dari Tempo. Isi berita dari keduanya gak jauh beda dari Tempo. Namun punya khas masing-masing.

Komputer pun selesai diinstal. Saya cari itu lagu-lagu D’Cinnamons. Yeah, Cuma ada beberapa biji di komputer. Tiga lagu kalau gak salah.

“nih pilih sendiri.” Kata saya.

Dia atau lilih mencari lagunya sendiri, karena saya yakin mencari lagu itu gak usah berdua, karena mouse-nya juga Cuma ada satu. Jadi barkanlah dia cari sendiri. Dan saya kembali melanjutkan membaca. Dan akhirnya Lilih pun selesai dengan kegiatan memasukan lagu D’Cinnamon nya ke MP3 nya. Katanya lagu itu buat bekal di perjalanan menuju Bogor, kota kelahirannya mungkin. Aneh juga, bekal kok lagu! Dia pun beranjak dari Suaka. “hati-hati di jalan.” Kata saya.

Bayu, masih membaca. Dan saya mencoba memutar lagu, tentunya Nirvana. Di samping saya, secara tidak saya sadari, terlihat sepotong roti. Namun menurut perkiraan saya, roti itu udah basi. Tergeletak dimana saja. Pantas gak ada yang memakannya. Warnanya pun sudah membusuk. Dan sedikit bau.

Konon, roti ini menjadi barang yang begitu berarti bagi para awak Suaka. Walaupun roti ini udah busuk dan berjamur, namun tetap saja, anak-anak Suaka sering menikmatinya dengan penuh lahap. Kadang roti itu pun disantap secara bersama-sama dan bergiliran. Saya pun sedikit merenungi dari manakah roti itu berasal?

Alkisah, tiga tahun yang lalu, ketika Wicaksono kebingungan mencari tempat kos, dia pun menemukan tempat yang sangat berarti bagi hidupnya. Listrik gratis. Wc gratis. Pemandangan gratis. Ya serba gratis. Namun SPP tidak gratis. Dan, di Suaka inilah Wicak menemukan tempatnya itu.

Sebuah roti dibawanya sebagai bekal sehari-harinya. Waktu itu, mungkin rotinya masih segar dan mulus. Tanpa ‘cap’ apapun. Mungkin masih perawan. Tak tersentuh oleh bibir orang yang mencicipi. Dan sekarang, setelah wicak pindah dari Suaka. Roti itu pun masih tersaji di Suaka. Mungkin, ia akan membagi-bagikan bagaimana roti itu enak sekali untuk disantap kala istirahat siang ataupun malam. Dan perlu digarisbawahi, sekarang roti itu sudah menjadi ‘welcome’ buat kaki-kaki nakal awak Suaka. Permukaannya hitam namun tetap menjadi tempat bersinggahnya jurnalis kampus ini dikala lelah.

Thanks ya roti tengik, kau emang menjadi penyelamat kami.
Tanpa kau, mungkin kami gak kan tidur nyenyak.
Tapi temanmu itu lho, bantal hijau itu
Sudah tidak berwujud lagi
Kadang dia jadi ‘kekesed’
Kadang jadi alas kepala.
Sekarang kau menjadi ‘peta’ nusantara.
Dan banyak sekali orang yang
Menabung iler didalam tubuhmu.


01 Januari 2010. –tanpa asap berkumandang-

Label:

SMS Dari Ndut

.::Cerita Jurnalis Kampus Gagal::.


Komputer masih menyala dari pagi. Walaupun gak ada sound-nya. Bete. Kayak di kuburan aja. Emang sih susah banget kalo ngurusin komputer jadul kaya gini. Udah bentuknya kaya tahu Sumedang. Kotak. Terus juga kadang-kadang mati sendiri. Ditambah monitornya yang kurang bersahabat. Suka ganti warna sendiri. Dasar. kaya bunglon aja.

Tapi emang ngaruh banget nih komputer. Dibanding ama mesin tik yang bikin jari bonyok, ini lebih mendingan. Kalo punya temen-temen sih kebanyakan dual core, core two duo, core two gapleh dan semacamnya lah. Tapi si aku tetep pede pake robot ini. Walau jelek tapi ini komputer tempat menampung segala unek-unek di kepala. Semuanya bisa tercurah di komputer tahu Sumedang ini.

Tetep. Lima menit berselang pikiran udah mentok. Mau nulis apa. Masih bingung. Hari ini emang banyak kejadian yang harus dicatet. Tapi apa. Otak masih belum jalan juga. Oke. Aku mulai dari tadi siang. Tepatnya sekitar jam sepuluhan. Tanggal sebelas Mei dua ribu sembilan.

Treeet. Triiit. Hape butut nyala lagi. Setelah semalem abis-abisan di cas. Pesan singkat dateng. Yapz, ini sms pertama hari ini. Untung, hape gak mati. Biasanya kalo ada sms dateng, layar langsung gelap. Mampus. Apalagi kalo ada yang nelpon, udah deh bikin orang suudzon aja. Sangkanya aku gak mau ngangkat tu telpon, padahal emang dari embahnya batere always low bet every time and every where.

Sampe-sampe aku selalu bawa tiga batere dikantong celana. Buat persiapan. Wow. jasfaking my phone. But, it’s really my friend forever. Damn. I love my telefon genggam. Huhu. Mix switching dikit.

“Tw lgu Shania Twain yg from this moment on gak? Sms-in lagh”

Busyet. Ini sms dari si Ndut. Kemana aja tu anak. Baru nongol. Baru ngesemes. Gak sopan banget. Ojol-ojol nge sms kaya gitu. Nanyain kabar kek. Lagi apa kek. Kemana aja kek. Ini mah maen nyuruh aja. Dasar Ndut. Kutil. Bikin kesel aja. Kemana aja sih di sms gak pernah bales mentang-mentang udah jadi artis papan bawah. Sombong lho. Kutil.

“tgu, d cari dlu” jawab ku singkat. Sms di kirim.

Gak lama aku bales tu sms. Aku nyari di komputer. Ngobrak-ngabrik lirik lagu. Shiiiiit. Aku lupa. komputer emang udah di install ulang ama si Ijong. Wadafak. Semua data raib abis. Termasuk puisi-puisi aku. Semuanya is dead. Sial aku gak punya kopiannya lagi. Di blog udah di apus. Damn. Damn. Damn. Sajak Sajak Tengil kayaknya di undur buat di cetak. Hmm… sabar-sabar.
Tanpa pikir panjang aku langsung lari ke kopma. Nyari warnet. Bukan warteg. Tapi warrrrrrneeeeet. Tuuuut. Aku berhenti sejenak. Orang-orang kayak semut semuanya. Sibuk. Recok. Ada yang makan. Ada yang minum. Ada yang ngobrol.

Tapi di meja kopma sebelah kiri pintu warnet, ada yang aku kenal deh. Huh. Tapi siapa ya. Langkah kaki ku percepat. Wiiiissss. Ternyata si Ajeng. Temen KKN-ku ama suaminya yang lagi makan. Yeah. Seperti biasa, sedikit senyuman aku kasih. Rencananya kita mu pada ketemuan gitu sesama kelompok KKN. Kita mu ke garut. Bertamasya ke kota kambing. Daerah kebangsaan dan tanah air si Ajeng. Prêt.

“tunggu bentar ya aku ke warnet dulu.” Kataku
“oke. Jangan lama bang.” Jawab Ajeng
“sip. Sepuluh menit.” Tambahku

Di kopma, mahasiswa UIN lagi pada sibuk ngenet. Kayaknya lagi nyari tugas. Tapi sepertinya lagi ngecek Facebook. Atau jangan-jangan lagi nyari situs yang 17+. Oh. No. jangan berburuk sangka gitu deh. Itu namanya gak baek. Mungkin mereka lagi bete, trus dateng ke warnet buat ngilangin keselnya mungkin. Biarin terserah mereka.

Pintu masuk warnet kopma Heurin banget. Alias pinuuuuuuh pisan. Gak peduli. aku sorobot saja itu pintu. Duh kayaknya gak ada yang kosong deh. “di ujung.” Kata Tuti, pegawai warnet. “sip.” Jawabku.

Aku langsung buka google.com. ketik kata kunci ‘lyrics’. Yes. Udah dapet. Lyrics.com. terus nyari judul yang tadi di pinta si Ndut. Dengan loding agak lambat, itu lirik akhirnya keluar juga.

Triiittt. Truuuut. Sms dateng lagi.

“cpt dwonx.”

Ya, si Ndut sms lagi. Aku suruh buru-buru. Kayak dikejar srigala. Sabar dikit napa sih. Sebenarnya males juga sih, tapi ya, aku gak enak ama si Ndut. Kasian dia. Katanya sih lagi praktek listening gitu di sekolahnya. Emang si aku ini suka di jadiin dukun sama si Ndut. Si Ndut suka minta jimat-jimat kalo ada tugas dari sekolahnya. Terutama bahasa Inggris. Gak gak gak. Menurutnya bahasa Inggris ku keren. Yow yow yow. Padahal nilaiku paling ambruk dikelas. Yeah. Kapan aku selesai kuliah. Wew.

Kata si Ndut, gurunya suruh nulis lirik apa yang dinyanyikan ama tu penyanyi. Tapi kenapa mesti Shania Twain sih. Kenapa gak Nirvana atau Silverchair aja gitu. Gak gaul banget tu guru. Ya minimal the cranberries lah. Atau gak celebrity skin-nya Hole gitu. Ih. Mentang-mentang sekolahan di gunung. Taunya Cuma britni spir aja. Payah.

Tak tik tuk tak tik tuk. Aku tulis lirik di hape buat di sms-in. Hah. Kirain ini lirik pendek. Gak taunya panjang kaya tiang listrik. Huh. Bisa nyampe sepuluh halaman nih kalo nulis di hape mah. Lagian kalo sms bahasa inggris pake singkat-singkat gitu, kayaknya si Ndut gak bakal ngerti dweh. Wrrrrrrr. Sabar. Rela. Ikhlas. Aku ketik itu lirik tanpa disingkat. Tat tit tut tat tit tut. Sending message…pulsa jebol. SIMpati gitu. Mahaaaaaaal.

Ndut…Ndut…Ndut… cewek ngegemesin yang bikin tulang rusuk suka mengkerut. Dulu rambutnya suka gonta-ganti. Sebentar-sebentar salon. Sebentar sebentar salon. Salon kok Cuma sebentar. Tapi gak tau sekarang rambutnya suka disambung apa enggak pake rambut palsu. Rambutnya poni apa enggak. Jerawat di pipi kananya udah meletus apa enggak. Masih suka kebut-kebutan apa enggak.

Yang jelas aku udah puas nyubit tangannya yang gempal. Pipinya yang kaya roti berisi kelapa nang marud. Hehehehe… kapan kita ngejam lagi. bawain lagu astrid lagi. Nyanyiin lgu T2 lagi. Gimana kabar Kapas Band. Kapan mu rekaman tweh Ndut. Kukukukukkkk. Kayaknya kamu sibuk ya. Mau Ujian ya. Mau di terusin kemana nih?. Dusssssssshhhhsssh.

Preet. Gak terasa, di warnet udah mau satu jam. Aku liat dulu blog bentar. Aku ketik mikoalonso.wordpress.com. yes. Agak mendingan sekarang. Penampilannya rada serem. Soalnya kemarin malem, aku udah ganti latar. Sekarang jadi item semua. Ada foto si sayah yang lagi narsis. Idih. Liat pengunjung Cuma segitu aja. Cuma nambah lima orang yang suka liat blogku. Hmmm… tarik nafas bentar. Aku keluarin semua windows. Klik stop. Mahasiswa masih terlihat sibuk browsing. Gudbay dunia.

“dua ribu lima ratus.” Kata Tuti. Aku langsung merogoh saku. Semuanya receh. “thank you.” Kataku sambil bayar trus melangkah keluar. “ yo, sama sama.” Katanya.

Di luar, mahasiswa berbagai merek. Suku. Ras. Warna kulit. Masih pada recok. Gak tau mereka ngomongin apa. Yang pasti si Ajeng udah gak ada di tempat. Waduh kemana tu anak. Katanya mu janjian ketemuan. Ya udah. Aku lanjutin langkah kakiku menuju kantor. Mungkin si Ajeng udah nunggu disana.

Gak lama kemudian suara sms bunyi lagi. Aku bertanya Tanya. Ini dari siapa lagi. Mau ngapain. Ada apa. Kayaknya Ajeng nge-sms. Aku rogoh saku celana. Ngambil hape butut. Baca sms. Tapi bukan dari Ajeng. Ini sms Ndut lagi. Duh. aDa apa Kutil.?

“masih pnjang tw…”

Pasti. Si Ndut bakal sms lagi. Soalnya aku gak sempet kirimin itu lirik ampe tamat. Pasti dia uring-uringan nyari sisa liriknya. Soalnya lagi itu lirik panjang banget. Jadi gak mungkin aku sms-in semua itu lirik. Sori ya Ndut. Kutil. Pulsanya abis. Gak cukup. Ntar aja deh aku kirim lirik lirik yang lho mau. Hehehe. Peace.

Label:

Bonus SMS

.::Cerita Jurnalis Kampus Gagal::.


Minggu 17 Januari, saya masih berguling-guling di sofa. Kadang pindah dari ujung kanan ke ujung kiri. Handphone tergeletak di meja. Selalu melirik, siapa tahu ada sms atau sekedar ada yang misscalled. Tidak, tidak sama sekali. Saya sadar ini nomor baru. Mana mungkin ada sms dari orang lain. Lagian saya juga gak pernah mengumumkan bahwa saya udah ganti nomor baru. Tadinya sih Cuma iseng beli kartu perdana. Lumayan, Cuma tiga ribu peraklah, ditambah nomor akhirnya yang saya suka: 347. hampir mirip nama sebuah distro gitu kan?

Sambil rebahan, mata terus tertuju pada si blacky (hape saya yang cukup menjengkelkan. Karena kadang dia suka bersahabat kalo lagi di charge. Tanpa di charge itu hape gak mau diajak kompromi. Sekedar nge-sms pun udah goodbye duluan. Tapi mau gimana lagi that’s my lovely friend indeed) di atas meja. Tapi tetep gak ada yang bergerak di meja itu. Karena, kalo ada pesan yang masuk, pastilah itu meja ikut bergetar.

Saya memberanikan diri untuk mengambil hape dari meja. Gak jauh sih, sekitar 50 senti meteran dari tempat saya rebahan. Coba cek bonus sms yang konon, kata teman-teman saya, perdana IM3 sekarang ada bonus sms gratisnya 50 biji tiap harinya. Yeah… perasaan senang muncul seketika. Rupanya saya belum pake itu bonus sms. Dari pada sayang itu bonus dimubazirkan, segeralah saya kirim sms semau saya.

“hai agy appz nieh?” ketik saya, dan mengirimnya secara acak. Dan menunggu balasan secara acak pula. Sambil membuang-buang pulsa. Preet.

Saya meluruskan kaki kembali dan menyadari hari ini cukup mem-bete-kan jiwa dan raga. Kepala agak terasa panas karena usai nyuci motor yang udah hampir seminggu belum dicuci. Matahari cukup menyetrika wajah saya tadi pagi. Alhasil, ide untuk merebahkan diri itu langsung muncul dibenak.

Di luar, ibu-ibu pengajian mulai memasuki areanya, yakni sebuah mesjid yang tepat di belakang rumah. Mesjid Istiqomah. Sayup-sayup terdengar dari ibu Lela, tetangga rumah, mengisi ceramah. Dan saya tidak mungkin ikut pengajian. Apalagi masuk ke mesjid, pasti ibu-ibu yang lain nyuruh saya pake krudung. Tapi ada hal penting dari setiap pengajian yang rutin digelar seminggu sekali itu, yakni sebuah harta rampasan perang jika pengajian diujung puncak acara. “Ade nambut piring” atau “Punten De pang miringankeun ieu eumameun” dan saya suka memesan pada si ibu-ibu itu. “nyobian hijinya karoketna.” Kata saya. Dan selalu si ibu-ibu itu bilang “oh mangga…mangga” (hmm… yummi)

Hal yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. ‘’capa ya?’’ rupanya itu sms balesan dari si Ndut. Emang sih si Ndut belum tau nomor saya yang baru, abisnya yang three (3) sekarang udah gak aktif lagi. Udah gak mau lagi dibilang kaum dhuafa.

‘’koben,’’ bales saya secara mendadak. (koben adalah nama gagayaan saya sama si Ndut hehe)
‘’kemana aja nih sombong,’’ lanjutnya.
‘’ada, kamu yang sombong,’’ hardik saya kembali.

Sms pun mengalir saling menyerang. Si Ndut juga curhat tentang baby-nya yang lahir beberapa minggu lalu. Dia juga lagi bete, sama halnya seperti saya. Jadi kita pabete-bete. Kita sehati Dut. Yapz…Batere Cuma tinggal dua baris. Masalah yang sangat riskan bagi hidup saya. Selain harus dicharge lama, kekesalan pun suka melanda dengan si blacky ini. Hemz…kalo ada ilham dari langit, saya ingin beli batere baru. (amiiiin)

‘’ada FB ga?’’

What! Saya sedikit terbangun setengah badan dari sofa. Tumben Si Ndut nanyain FB, biasanya dia paling anti ama masalah yang berbau net. Jangan kan FB atau yang begituan, dulu, buka Google pun dia gak nyaho. Terus kalo masalah internet-internetan pasti suka nyuruh saya. Tapi aneh sih kenapa saya gak bisa nolak kalo dia minta sesuatu (maksudnya dalam dunia pembikinan perFriendsteran. Padahal dia belum pernah minta apa-apa selain bikinin FB ama Friendster). Huhuhuhu… syukur deh kalo begitu mah berarti gak sia-sia donk kuliah di Unpas, hehehe sekarang mah rada ngota (up town girl) dikit ya non! (hihi calon guru niye)

Emang sih dulu saya sempet bikinin dia FB tapi passwordnya lupa lagi, lagian juga si Ndut dulu belum kegirangan amat deh. Ya udah deh FB yang dulu Angus.

‘’ada,’’ kata saya.
‘’ya udah add yang v aja ya, vriza66lovely@yahoo.com.’’
balesnya.

‘’okelah kalo begitu.” Kata saya. Hemz,, saya sempet mengernyitkan dahi, apa makna dibalik emailnya si Ndut? “vri itu aku, za itu anak v, kalo 66 itu tggal lhir v ama c baby.” Jawabnya.
“kok bisa kebtlan gitu seh lahirnya.” Kata saya.
“gag taw v juga, dulu smpet mnta ama alloh, eh dikabulin.” Jawabnya.

hape bergetar lagi, tapi ini bukan dari si Ndut. Nomor akhirnya 90, hmm,,, oh saya ingat itu dari Lilih, cewek mungil bermata empat. ‘’agy siap2 kursus,’’ smsnya.
‘’kursus apa, dimana ?’’ tanya saya.
‘’Korea di sadang,’’ balesnya.

Oh iya saya baru ingat, konon katanya cewek ini dikenal sebagai pengagum bahasa korea, intinya suka artis2 atau film2 korea gitu. Tapi rada aneh juga, saya baru denger kalo di Sadang ada tempat kursus bahasa Korea. “wah ikutan donk, daftarnya berapa, ada bahsa apa aja?” gertak saya.
“it’s 4 free, aslina.” Bentak dia.

Sama. Sms pun mengalir antara saya dan Lilih. Dari perbincangan lewat sms gratisan itu, munculah sebuah kesimpulan bahwa saya harus mendatangani itu tempat. Maklum mumpung tempatnya deket. Ditambah mau tanya-tanya masalah bahasa yang notabene penggunanya gak mungkin orang yang blotot ama item seperti saya apa adanya. Kesepakatan kedua, saya harus jemput ini cewek disarang huninya. ‘’oke saya jemput setengah dua, saya make-up-an dulu’’ saya berkata.

Handuk saya cubit. Lalu saya kalungkan dileher, mirip orang-orang desa jika hendak pergi ke pancuran sawah. Di asbak, sisa rokok saya santap, kali ini rasanya lebih menarik dari yang saya bakar sebelumnya. Biasa the Djarum Cokelat. Kebiasaan lain yang saya tidak pernah lewatkan adalah berlakunya pribahasa baru dalam diri ini. “ada asap ada wc” inilah pribahasa yang saya lakukan setiap saya bertapa sebelum mandi. Hal ini pula yang menjadi legenda baru bahwa jika buang hajat tanpa merokok, maka buang hajatnya pun gak akan afdol. Dan itu sudah terbukti.

Dan gak mungkin saya berlama-lama berdiam diri di WC, karena WC pun kiranya akan muak dengan apa yang saya lakukan jika berlama-lama di atas mulutnya.

Langit begitu gundah. Sepertinya air matanya akan meneteskan ke bumi ini. Dan sudah pasti ke genting rumah-rumah yang ada. Hentakannya semakin hebat. Walaupun hujan itu kecil, namun harus diketahui bahwa mereka suka bergerombol meludahi setiap mahluk dimuka bumi ini. Dan setelah mandi, sudah barang tentu saya memakai baju. Kalau tidak, semua orang yang melihat akan mendekati saya sambil berbisik “teu acan disunatan a?”

Hujan belum juga reda. Saya gak enak kalo membatalkan untuk jadi pergi ke Sadang. Entar disangka pembuat onar jadwal kursus orang lagi. Lagian si Lilih udah mau berangkat tadi jam satu. Dan kalo gak jadi, pasti dia gondok minta ampun. Tapi bagaimana mungkin kalo harus berbasah-basah ria begini. Lagian motor baru aja di cuci. Tapi untuk sebuah janji, apa boleh buat. Berusaha iklas sekuat tenaga. Sekalian main ke tempat saya mengajar, Sufikom, di Cicaheum itu. (maaf ya Tor, kapan-kapan saya cuci kamu lagi dengan lebih bersih) “I’ll be there in two minutes,” sms saya ke Lilih.

Stang motor saya pegang, lalu saya duduk di atas jok. Rintik hujan masih menyerang walau kecil-kecil. Permai lima sudah tiba. Lilih keluar dari sarangnya. Mungkin dia ngerti kalo matahari udah bersembunyi di balik hujan, makanya segala hal yang berbau kuning, dari sandal ampe sweater dia pake. Supaya dunia terasa terang benderang mungkin. Untung bukan sikuning yang mengalir di empang yang dia pake.

Saya duduk lagi di jok diikuti Lilih. Motor dinyalakan supaya maju. Karena kalu tidak dinyalakan mungkin tujuan yang akan ditempuh gak bakal nyampe. “kenapa belok sini, ke sana,” kata Lilih sambil menunjuk kearah luar kanan mulut jalan desa Cipadung.

Nah di sini saya mulai curiga. Sepertinya ada yang missunderstanding (nona dibawah berdiri). Saya kira Sadang itu adalah sebuah nama tempat yang ada di Cibiru, tapi ternyata bukan. Sadang itu adalah Sadang Serang. Wah, betul-betul kesalahan yang fatal antara kedua pihak. Karena tadi di sms Lilih menyebutkan bahwa tempat kursus itu di Sadang dan Sadang yang saya kenal adalah Sadang yang ada di Cibiru. It’s really complicated problem. Namun ada hal yang paling tidak menyesal, yakni “untung saya bawa helm,” kata saya dalam hati. Karena kalo ke Sadang yang ada di Cibiru itu gak usah pake helm juga gak apa-apa. Ternyata, insting masih berteman dengan saya. Bahwa saya harus bawa helem. Thanks ya Ting.

Hujan tetep aja masih menyiram. Jalanan agak licin. Valentino rossi kayaknya sedang tidak mud untuk kebut-kebutan (padahal gak ada keberanian untuk ngebut). Sesekali hantaman sisa air yang dicebor oleh ban nakal dan murahan kendaraan lain selalu mengguyur muka saya. Oh…shit.

Jam dua lebih beberapa menit, SMA Nasional pun terlacak. Sebuah sekolah yang lumayan nyaman yang ditunjuk mungkin oleh orang korea tadi bahwa inilah tempat kursus bahasa korea yang tepat. Wallahu a’lam. Motor saya parkirkan. Lilih turun dan menyerbu kelasnya. Di depan saya terlihat beberapa orang yang sipit. Saya hampiri salah satu dari dia. Kulitnya putih. Pasti orang korea. Dia tersenyum. Saya juga tersenyum. Bahasa Indonesianya kaku. “itu temennya,” katanya sambil menunjuk Lilih yang masuk kelas. Dan saya cukup menjawab “iya.”

Saya duduk di bangku. Dia juga duduk dibangku. Misi saya yang pertama menanyakan kapan pembukaan anggota baru. “nanti bulan Maret,” katanya lambat. Wah masih lama, dua bulan lagi donk. Di bangku itu kita berdua ngobrol pendek lebar. Di kelas, suara berisik terdengar tengah mengeja mungkin huruf-huruf Korea. Si Korea itu meninggalkan saya. Lalu datang anaknya yang masih kecil, Tanha namanya, umurnya kira-kira tiga tahun dan Angel yang saya tebak adalah kakaknya Tanha. Si Angel kelas dua SD. Bahasa Inggrisnya lumayan bagus. Saya sempat berfoto ria sama mereka. Dan mereka berdua tentu saja sipit. Titik.

Jam menunjukan pukul tiga. Saya sendirian di bangku. Di dalam kelas masih berisik. Saya rogoh saku celana untuk mencubit hape. Waktunya pergi ke Sufikom nih. “sya prgi duluan,” sms saya ke Lilih. Tapi dilaporan terkirim bertanda not sent. Saya cek pulsa ternyata nol. Sial. Saya cek bonus juga “kamu sudah mengirim 50 sms gratis,” itu tandanya gak ada sms gratis lagi hari ini. Saya ganti kartu kembali pake kaum dhuafa itu, dan tetep, sama, pulsa tidak mencukupi. Saya menyerah, sepertinya harus menunggu Lilih ampe keluar kelas. Habis mau ketuk pintu pamit ke kelas, kayaknya gak mungkin, saya sepertinya akan merasa malu.

“bu kopi bu,” pesen saya pada si ibu yang agak gendut di sebuah warung di luar sekolah. Saya lupa tidak menanyakan namanya. Buat apa nanya nama si ibu. Saya ambil sebatang Jarum Super. Tadinya mau the Jarum Cokelat tapi mata tertuju lebih cepat ke Super. Ya sudah deh, saya bakar itu rokok. Lumayan sedikit menghilangkan per-bete-an ini. Ditambah pemandangan menarik dari depan mata, yakni SPG Indomaret yang tengah membagikan brosur dengan gaya agak centil sedikit. Preet.

Saya lihat hape. Hape saya ada jamnya. Saya lihat jamnya. Jamnya menunjukan pukul tiga lebih empat puluh lima menit. Itu artinya sebentar lagi Lilih keluar kelas. Itu artinya lagi saya dan Lilih akan beranjak dari area Korea ini. Saya pindah posisi. Saya lihat seorang cewek yang saya pikir lagi ngerjain tugas Koreanya. “kursus di sini juga mbak?” basa basi saya. “iya, aa?” jawabnya dan tanyanya.
‘’enggak Cuma nganter temen, sekalian mau daftar, katanya gratis ya mba ?‘’ interview saya.
‘’iya, Cuma kita bayar uang kas aja lima ribu perminggu, itu juga nantinya buat kita.’’ Jawabnya sambil terus mencatat tugasnya.
‘’oh,,,, mba kuliah dimana ?’’ pertanyaan saya.
‘’Di UIN tapi sudah lulus,” jawaban cewek berjilbab dan agak sedikit kurus ini.

Saya sedikit kaget. sedikit. Ya sedikit. Rupanya si Lilih berbohong, katanya anak UIN nya Cuma dia doang padahal ada lagi anak-anak UIN lainnya yang kursus di sini.

“Owh…Jurusan apa Mba.” Sebrot saya.
“KPI,” timpal dia.
“angkatan berapa.” Tinju saya.
“2005,” takis dia.
“owh,,,sama donk sama saya,” tendang saya.
“Di UIN juga? jurusan apa ?” serbu dia.

Dan perbincangan pun mengalir sampai jauh. Biasa kalo ketemu ama orang yang satu suku bangsa di tempat orang lain pasti suka menanyakan temen-temennya. Contoh ‘’kenal sama Alin gak ?’’ seloroh saya dan sudah barang tentu dan pasti di jawab ‘’kenal’’. Dan dia pun berbuat hal yang sama dan wajar ‘’BSI ya, kenal sama Gina gak?’’ pertanyaannya. Ya, iyalah kenal dia kan seangkatan sama saya bu. Udah deh ini adalah basa basi jaman Fir’aun. Mending saya cari basa basi yang lain.

‘’Mba boleh liat bukunya ?’’ tantang saya.
‘’nih,’’ gertaknya sambil mengasihkan buku bahasa Korea itu. Dan saya baca-baca bahasa yang susah itu. Dan sumpah ini jauh beda sama bahasa Jepang. Jauh lebih rumit mungkin.

Satu persatu mahluk aneh pada datang menghampiri saya dan si anak UIN jurusan KPI itu. Saya sempat mendengarkan mereka. Mereka adalah murid kursusan Korea juga. Mereka centil-centil. Salah seorang cewek dari mereka membelakangi saya sambil bernyanyi tanpa rasa bersalah bahwa saya berada di belakang pantatnya. Saya Cuma diam tak berdaya. Karena disini saya tidak punya kapasitas apa-apa. Dan tiba tiba seorang cowok datang. “ayo yang kelas jam empat masuk,” ajaknya pada gerombolan centil ini. Saya tidak masuk karena saya buka murid.

Mereka pada masuk. Saya sendirian lagi. Lilih lama sekali. Saya memegang dagu sambil melotot kearah depan. Tanpa arah. Tiba-tiba lagi suatu suara terdengar.

“lagi ngapain?” kata Lilih.

Sungguh ini adalah pertanyaan yang konyol. Kok bisa-bisanya dia nanya begituan. Masa saya lagi nunggu pak rektor Nanat? Ya enggak lah. Ya nunggu dia lah. Karena saya bukan Jelangkung yang datang dijemput dan pulang tak diantar.

“pulang sekarang?” ringkus saya.
“bentar pipis dulu.” Jawabnya sambil lari terbirit-birit.

Lilih sudah pipis. Saya juga sudah pipis. Untung tidak pipis bareng. Sekalian wudu untuk menunaikan Sholat Ashar. Lumayan, pingin nyoba sholat di mesjid orang lain. Karena meski mesjid deket rumah, tetep saja saya jarang ke mesjid. Suka banyak setan soalnya yang ngajak “hei jangan ke mesjid.”

Hujan pun kiranya menyerah. Mereka yang suka bergerombol dan menyiram dunia ini sudah sembunyi di balik ketiak malaikat pengguyur hujan. Saya bawa motor di parkiran. Motor pun sudah tidak berada di parkiran lagi. Saya duduk di atas jok lagi, Lilih mengikuti duduk lagi. Kami meninggalkan SMA Nasional.

“kita ke Sufikom bentar ya?” jitak saya.
“apa?” berangusnya.
“kita ke Sufikom, tempat kursusan juga,” cerocos saya.

Jalanan agak sedikit macet. Cicaheum di depan mata. Di samping baso tomat, saya belokkan motor ke kiri. Ke arah Sufikom. “Assalamualikum,” salam saya. “waalikum salam,” jawab Vita. Vita adalah orang yang pertama kali menganjurkan saya untuk mengajar di Sufikom ini.

“tadi si bapa kesini gak?” tanya saya pada Vita. Bapa adalah yang punya Sufikom.
‘’tadi kesini nanyain miko,’’ katanya.
‘’oh,, ‘’ santai saya, ‘’oh iya saya mau pinjam modul bahasa inggris,’’ kata saya lagi.
‘’yang kemarin mana ?’’ kata Vita.
‘’lupa lagi nyimpennya,’’ imbuh saya.

Saya gak lama di Sufikom. Sekedar pinjem modul untuk hari senin dan selasa saya ngajar. Sebetulnya, sistem kursus di Sufikom itu jauh banget dengan sistem kursus standar. Apalagi pare. Jauh banget. Jadi kalo saya ngajar disana, saya tidak terlalu terpaku pada modul.

Saya pamit ke vita. Juga ke deva yang lagi ada di dalam. Modul dimasukan ke tas Lilih. Nitip maksudnya. Motor pun saya naiki kembali. Valentino rossi malah melaju lebih pelan. Yang penting selamat sampai tujuan. Dan Al-hasil Lilih kembali ke sarangnya dengan selamat. Saya juga selamat. Cuma ada beberapa hal yang saya lupa setelah saya berada di rumah. Modul masih di tas Lilih. Untung sekarang udah ditangan saya sambil merampok perahu kertasnya. []


--18012010--

Label:

Ada Sesuatu di Hidung

.::Cerita Jurnalis Kampus Gagal::.


Haduh ada yang panggil-panggil saya, menyuruh saya segera datang ke Suaka. Itu adalah Ikmah. Ada apakah gerangan ia menyuruh saya ke situ? Itu lho sms-nya bikin geregetan kaya lagunya Sherina. Itu sms provokatif banget. Ya, semacam propaganda gitu. Lihat nih:

“cpt k Suaka iQ N Tina ada perlu” Tuh kan bikin saya penasaran. Emang sih dia suka kaya gitu. Suka sms geje kaya gitu dan riweuh gak karuan.

“ukeh…ukeh.” Kata saya.
“cepetan.” Balesnya.
“lagi dijalan.” Tipu saya.

Wow, hujan belum juga reda, tapi saya penasaran apa yang terjadi di Suaka. Baiklah saya berangkat saja. Ambil kunci dan mencoba tancap gas walau susah.

“kamana?” tanya mama.
“kampus.”
“dijaket, dihelm.”
“enya.”
“dihelm meh teu migren deui.” Teriak Mama lagi.

Saya ambil helm si hijau. Helm yang biasa dipakai si Kurt Cobain. Betul, betul sekali, si Cobain terlihat lucu kalo pake itu helm. Berasa pengen nyubit terus menerus. Haduh selah motor susah banget. Saya kocok terus, terus dan terus ampe itu motor ngagerung. Ngeng…ngeng…! Kira-kira lima menitlah baru itu motor nyala. Jarak rumah ke Suaka pun Cuma lima menit. Tak lama kemudian sampailah saya di Suaka.

Aduh recok banget deh di Suaka. Sudah lama saya tidak ke situ. Eh, tapi kemarin hari minggu saya ke Suaka ding. Gak ada siapa-siapa, Cuma ada Tina yang lagi ikutan pelatihan wirausaha di SC. Dan suasana mulai mencair. Satu persatu saya salamin walau gak semuanya. Tapi ternyata Ikmah biasa saja ketika saya datang. Malah dia lagi asik ngobrol sama Indra. Huh sialan. Terus ngapain atuh saya di sms suruh ke sini. Gila !

Oh iya, ada Yane di situ. Juga Ratih. Juga itu siapa lagi saya lupa namanya. Ada Helda juga yang nyelonong gak karuan. Ujug ujug gitu deh.

“a miko tolongin Helda bikin SKTM.” Dia berkata.
“iya entar di coba.” Kata saya padat.

Saya duduk deket Yane dan sedikit menggodanya. Dia hanya senyum-senyum saja kaya gitu. Karena dia tuh keliatannya pendiem orangnya. Di kursi juga Ratih duduk duduk gitu sambil baca Gerak. Oh iya, Gerak ternyata sudah terbit. Bagus, bagus deh saya senang bacanya. Asik asik. Oh Ratih berkata, katanya hasil polling yang di adakan kemarin buat Fresh ada masalah katanya. Gak tau hilang gak tau apa saya lupa lagi.

Di ruang sebelah ada Fikri, ada Riza ada juga Femi. Mereka sedang curhat tentang masalah cinta rupanya. Betulkah masalah cinta? Mudah-mudahan betul, karena lihat mimik mukanya Femi itu memancarkan raut yang sedang jatuh cintrong gitu. Oh betul-betul Suaka penuh cinta. Asik asik saya senang. Kembangkanlah man !

Terus, Yane, Ratih dan yang satunya lagi, oh ya, Nia namanya saya baru inget, mereka pamit pulang dari Suaka. Mereka itu anak-anak magang yang kelihatannya pada rajin-rajin dan sangat potensial sekali. Mereka itu pada cerdas-cerdas dan semangat pula. Asik asik. Kembangkanlah.

Itu di dinding rupanya masih menempel cermin. Sudah lama saya tidak mencerminkan diri itu di cermin ajaib. Astaga ! ada sesuatu di hidung, haduh masa Alloh, jadi, dari tadi mereka yang ada di Suaka melihat sesuatu itu yang ada di hidung saya itu? Oh, sungguh keterlaluan sekali mereka, iya, kenapa mereka tidak memberi tahu saya sebelumnya, bahwa ada sesuatu di hidung saya, ketika saya sedang ngobrol-ngobrol sama mereka. Uh benar-benar tidak kritis mereka itu. Harusnya mereka itu berkata:

“a miko itu di hidung ada korong kecil.” Iya, setidaknya mereka berkata begitu daripada mereka itu underestimate sama saya. Huh sialan ! Oh, Yane, Ratih dan Nia belum benar-benar pulang. Mereka sedang pake sepatu rupanya. Saya hampiri mereka. Saya berlagak marahin mereka.

“hey kalian tuh gak bilang sih kalo ada korong di hidung saya.”
“ih aku mah gak tahu.” Kata salah satu dari mereka. Entahlah apa mereka tidak tahu atau pura-pura tidak tahu. Wallahu a’lam bissawab.
“hahaha... “ mereka tertawa nikmat.

Terus saja mereka nertawain saya seperti yang senang sekali. Saya juga ikut-ikutan ketawa gitu. Ah saya keluar saja, berniat mencari Kopma, mudah-mudahan Kopma tidak hilang, dan iya, emang tidak hilang, tapi saya tetap mencarinya. Mereka mengikuti saya dari belakang tapi tidak ikut masuk ke Kopma, walaupun ikut ya biarin saja, saya gak akan traktir mereka, toh mereka juga gak akan traktir saya. Okelah kapan-kapan kita saling traktir yuk !!

“a miko kita pulang ya.”
“iya.”

Saya masuk ke Kopma. Oh rupanya posisinya sudah berubah. Kopma agak sedikit luas sekarang. Hujan masih saja belum reda. Di situ saya memandang ke mesjid, ternyata di terasnya masih banyak orang dan pasti mahasiswa. Ada yang hotspotan pula. Biarinlah kan laptop mereka jadi saya gak usah melarangnya, kan saya bukan rektor, kalo saya jadi rektor pasti saya akan melarang mereka hotspotan, dan kalian jangan tanya kenapa saya akan melarang mereka. Saya kan rektornya, bebas melarang siapa saja.

“teh, super dua.” Saya kasih uang ke kasir, penjaganya wanita, saya gak tahu namanya, gak penting.

Ya sudah, saya langsung keluar lagi, karena ngapain lama-lama di Kopma, kan saya bukan pegawainya. Sudahlah saya mampir dulu ke warnet, Cuma masuk doang, Cuma stor wajah saja sama Dini yang jaga itu warnet. Oh dia lagi sibuk, saya keluar lagi deh, balik lagi ke Suaka. Aduh mereka itu: Fikri, Riza, Femi dan Helda sedang masih curhat saja. Ya sudah saya ambil saja ini catatan dan mencorat coretnya lagi sambil sms si Kurt Cobain.

“aih, rajinnya dirimu !! ni ada hadiah untukmu !! “
“hadiah apa ? mau mau :-) “
“ni ambil.“
“:-(“
“haduh, entar malem saya kirim“

--tak ada balesan lagi—

Suaka 22.03.2010 (22:14) –sendirian lagi, duh!-

Label:

Hanya Chat

.::Cerita Jurnalis Kampus Gagal::.


anak anak sedang ujian. Iya anak kursusan lagi ngisi soal gitu yang saya kasih. iya saya tunggu saja sambil facebookan. gak apaapakan daripada bete. lagian ini kepala pusing sekali. seperti ada yang nempeleng gitu. untung ada cangehgar yang setia menemani. anak-anak juga sambil ngisi, mereka sesekali tertawa gitu. oh iya, iniada catatan chat saya sama temen-temen. kalo kamu mau tahu, sok aja baca lah, saya mah bebas, gak akan marah.

ini pertama saya chat sama itu chiechie ashii, itu adiknya si Zaki, oh saya chat aja sama dia, tapi di chatnya maaf ya saya sensor sedikit, soalnya menyangkut hal pribadi sih. hehe... ini dia:

“hihihihihi...”
“kunaund a???
da yg slah...heu”
“pgn ktw aja”
“aq lucu ea, jd ktwa..hahahaaha”
“aih.... huhuhuhuu....”
“ak mu nanya nih”
“km teh adiknya zaki?”
“ea ade kandung...knp gtu a????g prcis ea.”
“oh, tolong salamin dari saya gitu, kangen berat.
oh, mirip-mirip.”
“hah,salamin sma spa???”
“sama jaki.”
“blang ja sndri...hahhahahah”
“gag ah pngen lewat kamu, kan biar romantis gituh”
“mni gelehh...heu”
“ih serius.”
-gak di bales lagi, dia off kayaknya, sorry jek, say amah suka bercanda orangnya-

Nah ini saya chat sama Deba Prajamitha, dia anak BSI juga, anaknya manis, lucu, imut, notenotesnya bagusbagus. Saya suka ngintipnya soalnya. Nih seperti ini nih chatnya:

“malem” bentak saya.
“malemmm” jawab dia.
“;)” dia senyum.
“deba kalo ketemu saya sombong banget jutek gitu” statemen saya.
“wwaaaaaaaa....masaaaaa? kapann???? ggaaaaa nggehhh hhhheee** mmaaaaffffff hhhhe*” ketik dia.
“kemaren saya, panggil pnggil, Deba Prajamitha. gitu, sangat teriak saya itu.” Ketik saya.
“aaahhh iyyaaa gtuu? dimannaa?” dia kaget.
“di FACULTY atuh” saya gak kaget.
“gag nggeehhh asli, hheee” bales dia.
“oh gitu, lain kali kamu harus ngeh ya, ph iya, ngeh itu kaya gimana sih, haduh saya susah, pengen tau banget itu ngeh, (ph) = oh” serbu saya.
“ahhhaaaa* ngeh=sadar ada yg manggil gkkgkgk” dia jawab gitu.
“aduh saya tidak melucu da, oh berti km kmren gak sadar ya. tapi kok bisa jalan gitu. gak diadu.”
“hhmm,,,, kesadaran dg kepekaan sedang menurun aktifitasnyaaaa...'” bales dia.
“oh begitu yah, lain kali kamu harus sadarkan diri.” Suruh saya.
“siaappppp,, nanti diri nya di kasi tau dulu hhee. offf ni kkaa mariii” tantang dia. Dia pamit dong.
“oh mau off? hatihati ya, jangan lupa di sign out” bujuk saya.

8:19pm Deba is offline.

Nah yang ini sama Shirly, anak BSI juga, seangkatan sama saya, maksudnya pas hari itu aja sih, pas kebetulan saya pengen ikut mata kuliah Advance gitu. Padahal saya gak ngambil itu mata kuliah. Tapi kan saya bilang daripada bête. Nih kayak gini chatnya, chat yang seadanya lah:

“hey” sapa saya.
“naon a miko Alonso” dia balas.
“maaf ni te sama serly BSI?” Tanya saya.
“yoyoi nama a'miko” jawabnya.
“ama harusnya sory salah ketik” bales dia yang salah ketik itu. Tadi dia ketik nama.
“oh , atuh apa kabar kalo gitu mah” seloroh saya.
“sudah lama kita gak ketemu” saya juga.
“saya kangen ini” masih saya.
“lebabbbbbb perasaan pas miggu kmren ketemu pas matkul apa ghitu” marah dia.
-dia juga off- 8:06 pm Sirly is offline.-

Kalo yang ini saya chat sama Rohmat, dia temen saya waktu SMA, dia udah lulus dan sarjana. Saya belum lulus karena masih ingin belum jadi sarjana. Pingin dulu merasakan detikdetik menuju sarjana dulu. Biarlah walau kamu ini sebut alas an. Yang penting saya dan Rohmat masih berteman. Kamu juga kan teman saya. Seperti ini kira-kira chat saya sama dia.
“hy” ini dia.
“hy cinta” kata saya.
“hiiiihhhh attut” jawab dia.
“kenapa” saya lagi.
“u gay?” bentak dia.
“iya” nales saya.
Rohmat is no longer online. The following was not sent:

Ada satu lagi nih, dia itu Itha, tapi ita mana saya gak tahu, yang jelas dia ngechat duluan sama saya, seperti inilah chatnya. Boleh kamu baca silahkan.

“OL kang???” ita nanya.
“sapa nih” Tanya saya balik nanya.
“itha” jawab dia.
“itha mana?” saya nanya lagi kan.
“mikoisme...” jawab dia juga.
“oh iya fans saya yah?” saya bales Tanya dia.
“hihihihi” tertawa dia.
“apa kabar” pertanyaan standar saya.
“kabar-kabari..” jawab gak standar dia.

8:37pmItha is offline.

Label:

Menukar Pizza


.::Cerita Jurnalis Kampus Gagal::.


Adalah Andri teman saya yang kemaren tanggal 31 Maret rela datang ke rumah setelah adzan maghrib. Dia berencana mengajak saya main terserah dia mau kemana. Saya kebetulan kemaren sedang ada di rumah. Sedang menonton televisi setelah abis sholat maghrib tentunya. Andri datang langsung sehabis pulang dari kerjanya. Dia kerja di daerah Dago.

Suara motornya terdengar khas. Motor Supra yang knalpotnya sangat berisik. Maklum dia kan anak muda. Jadi kalo gak berisik itu artinya gak muda. Andri parkir motor di depan rumah saya. Karena kalo motornya di masukan ke rumah saya, pasti saya larang karena bakalan capek, kan sebentar lagi mau main, jadi gak usah di masukanlah.

“ayeuna wae Ndri?” kata saya pada dia di depan teras rumah. Dan dia Cuma jawab “hayu.” Dan saya langsung masuk ke rumah. Harus pake celana panjang dan jaket, yang pastinya jaket kulit. Andri masih duduk di teras. Dia gak ikut masuk, apalagi ganti celana segala, karena ini rumah saya bukan rumah dia. Rumah dia kan di sebelah situ, 500 meter dari rumah saya. Agak ke bawah sedikit.

“mawa helm atuh,” dia menasehati. Saya gak jawab. Itu artinya saya patuh sama dia. Saya langsung masuk ke rumah lagi. Cari helm. Helm gak ada. Saya tanya kakak saya.

“helm hejo mana?”
“di si Dadan,” kata kakak.

Saya keluar lagi menghampiri Andri setelah saya tahu bahwa helm gak sedang ada di rumah. Helm ada di teman saya, Dadan. Dadan itu rumahnya tidak jauh dari rumah saya. Dan helmnya ada di situ setelah dipake oleh kakak saya. Mungkin si kakak lupa membawa helm ke rumah.

“Ndri jalan kahandap, bari ka teun si Dadan nyokot helm,” kata saya pada Andri
“hayu sakalian urang ka imah heula nyokot voucher Pizza,” kata Andri.

Saya dan Andri otomatis meninggalkan rumah dan teras rumah saya. Rumah yang dibuat tahun 80-an oleh orang tua saya. Waktu itu saya belum lahir karena saya lahir tahun 87-an. Motor Andri dinyalakan. Saya naik ke motornya. Jalanan sedikit menurun. Emang begitu karena rumah saya dekat dengan jalanan pudunan (turunan). Saya dan andri menghampiri rumah Dadan dan langsung mengerjakan niat saya untuk mengambil helm. Kebetulan Dadan sedang nongkrong di warungnya. Ada Budi di situ lagi nongkrong juga dan ada yang lainnya juga saya lupa lagi.

“Dan, aya helm hejo,” kata saya sama Dadan, saya juga lihat itu helm sedang ngajugrug di warungnya.
“helm? Oh aya,” katanya sembari membawa helm itu dan mengasihkan kepada saya.

Saya pake helm hijau itu. Saya naik lagi motor Andri. Andri menyalakan lagi motornya setelah barusan dimatikan kerana saya harus mengambil helm ke Dadan. Saya pamit ke dadan dan yang lainnya yang sedang nongkrong di warung itu. Tak lupa Andri juga sedikit pamit.

“Dan hayu,” kata Andri sebagai kata pamit bukan ajakan seperti halnya kata hayu yang sesungguhnya.
“hayu,” kata Dadan tidak ikut di bonceng Andri.

Setelah meninggalkan rumah saya dan warung Dadan, akhirnya saya mampir dulu ke rumah Andri. Tapi saya tidak ikut masuk kerumahnya, soalnya dia hanya mau ngambil voucher Pizza yang saya kasih sama dia tadi pagi. Motor Andri diparkir dekat rumah Yadi. Yadi dan kakaknya sedang nongkrong di terasnya. Wah, ternyata banyak yang nongkrong dekat rumahnya masing-masing rupanya. Saya sedikit ngobrol sama Yadi dan kakaknya sekedar menunggu Andri datang.

“kamana De?” Yadi menyapa saya dengan panggilan Ade. Ade itu nama panggilan imut saya.
“biasa we ulin,” kata saya kepada mereka.

Yadi dan kakanya sedang ngobrol sambil nongkrong. Saya juga sedang duduk di jok motornya Andri. Saya sedikit ikuti pembicaraan mereka. Pembicaraannya seputar apa yang terjadi tadi pagi. Tentang ada razia di daerah Patal Cipadung. Saya juga tadi hampir mungkin di razia kalo tidak ada ojek Legit mengasih tahu saya bahwa ada razia di situ. Tadinya saya mau isi bensin di Patal. Tapi gak jadi, kan ada razia deket pom itu. Saya balik lagi dong.

Gak lama kemudian Andri datang. Membawa tas kecil, mungkin di dalamnya ada voucher Pizza yang saya kasih itu. Lumayanlah di tengah perjalanan nanti kalo kita lapar tinggal tuker aja vouchernya. Andri datang dan semakin mendekat dan mendekat. Dan akhirnya dia mengeluarkan statement.

“De mawa SIM teu?” tanya dia.
“teu,” jawab saya sambil berpindah duduk ke posisi selayaknya dibonceng.

Andri mengambil alih motornya. Mungkin tadinya saya yang harus mengendarai motornya. Tapikan saya jawab gak bawa Surat Izin Mengemudi yang disingkat SIM, jadi dia lagi yang bawa motornya dan saya tetap dibonceng. Dan rupanya dibonceng itu enak juga. Pantesan saja banyak cewek yang mau dibonceng sama saya. Biarinlah geer sedikit gak apa-apa kan?

“hayu Di,” kata saya pada Yadi sama kakaknya. Andri juga bilang gitu sambil pamit.
“hayu De, hayu Ndri,” jawab mereka.

Saya dan Andri meninggalkan rumah saya, warung Dadan dan tentu saja meninggalkan Yadi dan kakaknya yang sedang ngobrol itu. Kami berdua bermotor ditemani gerimis yang mengundang. Gerimis yang renyah menerpa kepala saya yang di bungkus helm hijau.

Tak lama kami sudah sampai di daerah sebelum Ujungberung. Andri membelokkan motornya ke arah Wareng. Andri berencana mau ke seseorang untuk urusan bisnis. Gak tau bisnis apaan, saya gak mau merasa ingin mengetahuinya.

Alkisah, Andri sudah beres dengan urusan bisnisnya yang ketemu sama seseorang di daerah Wareng itu. Wajah Andri berbunga-bunga. Mungkin bisnisnya lancar, karena saya lihat dia memegang beberapa uang. Saya duduk saja di motor melihat beberapa meter dari arah Andri transaksi bisnisnya itu, yang belakangan saya tau bahwa dia bisnis memory card komputer.

“ngajual naon Ndri?” tanya saya.
“memory jeung USB card, maneh butuh?” jawab dia sambil bertanya.
“euh manehmah,” jawab saya kesal karena dia gak bilang-bilang dulu ke saya.
“lain ngomong atuh, meuerun di jual ka ente,” jawab dia kesal juga kenapa saya gak ngomong duluan atau seenggaknya nanya sebelumnya.

Ya sudah kita gak bahas soal itu lebih jauh. Kami berdua langsung saja meneruskan rencana kita untuk menukar voucher Pizza. Tapi kami sempat bingung mau dibawa kemana itu voucher. Mendadak saya ingat beberapa konter Pizza setelah temen saya ngasih tau bahwa di Carefour juga ada konter pizza. Iya, saya salut sama temen saya itu, sepertinya dia itu tau segala tempat kuliner yang ada di Bandung, apalagi di daerah kampus UIN SGD, dia tau semuanya. Oh tuhan, kasihlah dia hadiah karena telah tau segala sesuatu tentang kuliner. Tapi kenapa dia tetap kurus? Gak tau !

Disusurilah jalan demi jalan yang menuju ke Carefour. Saya masih dibonceng. Saya masih dihujani juga sama gerimis. Andri juga masih. Motor yang lain juga masih. Mobil yang lain juga masih. Semua yang sedang berkendaraan masih dihujani gerimis. Dan Andri memilih jalan favorit saya, jalan Arcamanik. Jalan alternatif kawula muda untuk menuju ke berbagai arah.

Gak sampai berjam-jam untuk sampai ke carefour. Saya dan Andri langsung mencari konter Pizza. saya dan Andri langsung menghampirinya, mengahmpiri konter Pizza itu. Gila, antri banget atau antri sekali di konter itu. Mungkin memang harus antri karena tanggal 31 Maret itu hari terakhir untuk menukar voucher gratis Pizza.

Saya hampiri saja pelayannya. Pelayan yang cantik dan menggemaskan jiwa, raga dan pikiran. Badannya begitu jangkung dan semampai. Rambutnya pendek seperti bukan di iklan-iklan shampo. Saya sedikit melirik ke daerah papan namanya. Tertera di situ nama Shela. Nama yang cocok dan pas dengan wajah seperti itu.

“mbak, mau nuker voucher,” kata orang yang antri juga.
“langsung ke kassa aja,” jawab Shela. Sekali lagi saya kasih tau, Shela itu pelayan Pizza.

Saya pun langsung menghampiri kassa. Mereka juga yang lain menghampiri kassa. Begitu antri dan begitu bersemangat. Tapi kemanakah Andri? Ternyata dia sedang nunggu di sebelah kiri saya. Saya sedikit maju ke depan. Maksudnya keluar dari antrian. Mereka melotototi saya, mungkin mereka mau ngomong ini cowok gak antri banget sih, tapi mungkin mereka malu atau takut? Saya gak tau !

Saya sudah paling depan antrian. Di pinggir saya ada ibu-ibu juga sedang ngantri. Saya melihatnya dari atas sampai bawah. Tiba-tiba ibu itu langsung mengamankan tasnya. Tasnya dipeluknya. Kenapa si ibu seperti curiga sama saya? Saya kan bukan copet bu. Saya mundur lagi ke antrian paling belakang. Dam mereka dan wajahnya memancarkan kegembiraan karena saya balik lagi ke antrian saya yang dulu dan sebelumnya. Saya panggil Andri. Andri nyamperin saya dan ikut antri.

Orang-orang dan antriannya sudah beres. Giliran saya menukar voucher itu. Tapi si pelayan kassa itu namanya Tari. Tapi gak secantik dan se imut Shela.

Sebelum menerima voucher dari saya. Si tari menerima dulu pembayaran dari pelanggannya yang lain. Pelanggannya itu adalah lima orang bule yang belakangan saya tau mereka itu dari Australia. Saya tau karena saya sempat kenalan sama mereka. Mereka itu adalah artis dari ya itu saya sudah bilang dari Australia, sebuah grup band metal yang namanya Surrender. Saya dan Andri sempat berfoto sama mereka.

“tunggu bentar ya mas,” kata Tari. Saya ngangguk

Si bule-bule itu bayar ke Tari. Rupanya mereka habis makan Pizza juga. Tapi pasti gak dari voucher soalnya saya tau dan lihat dengan mata kepala hati jiwa sendiri bahwa mereka berlima itu ngehabisin uang 409. 000 rupiah untuk makan di situ. Astaga banyak banget.

“mbak speak English donk,” kata saya menyarankan ke si Tari.
“gak usah yang penting mah mereka bayar,” jawab Tari berapologi. Mungkin dia gak bisa.
“ tunggu satu jam lagi ya,” kata dia ke saya.
“oh,” Cuma itu kata saya kepada Tari setelah kasih voucher padanya.

Si para bule keluar. Saya juga ngikutin mereka. Di eskalator saya ajak ngobrol mereka.

“hi Mr, where are you from,” tanya saya sedikit ke barat-baratan.
“Australi,” jawab siapa saya lupa lagi namanya. Rambutnya gimbal.
“miko,” saya kasih tangan saya pada si gimbal mengajak kenalan. Dia juga ngasih.

Andri Cuma liatin saya aja waktu saya ngomong cas ces cos sama si para bule musisi itu. Mungkin Andri terkesima melihat obrolan saya dengan si bule itu.

“De tadi maneh ngomong naon urang mah teu kaharti, bisaan manehmah,” tanya Andri.
“biasa perkenalan awal,” kata saya. Padahal saya juga gak begitu mendengar percakapan saya tadi itu. Soalnya mereka itu begitu lancar dan pasih ngomong bahasa Inggisnya. Padahal mereka kan orang Australia bukan orang Inggris.

Saya dan Andri keluar sebentar sambil menunggu Pizza siap saji. Sekedar merokok dan bicara lain-lain. Andri bicara soal saudaranya yang jago bahasa Arab dan sudah bekerja di Bahrain. Andri menasehati saya supaya lebih jago lagi bahasa Inggris. Katanya, kalo jago bahasa Inggris itu gak bakal susah cari kerja. Saya Cuma manggut-manggut saja sambil menyedot rokok.

Saya dan Andri jalan-jalan ke parkir mobil. Mencari mobil yang paling bagus untuk dijadikan objek foto saya. Lumayan buat di tempel di facebook walau mobil orang juga yang penting gaya. Andri juga ikut-ikutan gaya-gaya di mobil orang. Saya yang foto dia. Dia juga foto saya.

Saya hampiri lagi Shela. Dia masih cantik gak berubah setelah saya tinggal satu jam. Saya dekati dia, semakin dekat dan dekat. Namanya masih Shela di papan namanya.

“mbak mau ngambil Pizza,”
“atas nama siapa?”
“miko dan Andri,”
“bentar ya,”
“iya.”

Shela mencari Pizza yang saya pesan. Saya pelototi dia sepenuh jiwa dan raga juga. Dia gak geer. Malahan dia sibuk mencari Pizza dari tumpukan Pizza yang lainnya. Akhirnya Shela ngasih juga Pizza saya. Dia ngasih dengan tangan kanan. Tak lupa saya bilang terimakasih sama dia. Andri juga bilang. Saya dan Andri meninggalkan Shela, dan Pizza di tangan saya.

Saya dan Andri pulang. Hujan masih gerimis. Di daerah Gedebage, kami tertimpa musibah. Ban kami tiba-tiba bocor. Andri dan saya rela jalan sedikit mencari tambal ban. Tambal ban ketemu. Motor ditambal. Andri dan saya duduk menunggu selesai penambalan. Hari itu Rabu. Hari yang gerimis. Banyak sms masuk. Tapi gak saya balas. Nirvana juga nge-sms. Sama, saya gak balas juga. Padahal sangat ingin saya balas.

-suaka, 01 April 2010, konon hari ini April Mop, apa itu April Mop, saya gak tau-

Label:

Nonton Bola

.::Cerita Jurnalis Kampus Gagal::.


Hari itu adalah hari Rabu. Hari yang tidak konsisten, kadang hujan kadang tidak. Hari dimana saya pergi ke kampus setelah jam satu siang untuk mengikuti salah satu mata kuliah yang saya tidak ambil sebelumnya. Walaupun saya tidak tercatat sebagai salah satu mahasiswa di mata kuliah itu, tapi biarlah karena saya suka sekali ikut di mata kuliah Critical Theory.

Saya sudah ada di kampus, tepatnya di kelas, tapi duduk di luar, karena dosennya, pak Awang belum ada. Di situ, di bawah tangga yang mau masuk kelas, ada banyak teman-teman, ada Yefi di situ, dan tiba-tiba Ipenk datang. Yefi sedang merokok dengan nikmatnya bersama anak semester enam. Saya juga pingin merokok, tapi Yefi cuma punya satu batang. Saya suruh si anak semester enam itu untuk membeli rokok.

“daek meuli rooko,” kata saya.
“oh, mangga, rooko naon kang,” jawab dia mau.
“Super weh lah, “ kata saya lagi.

Dia ambil uang dari saya. Tak lama ia beli rokok. Hanya beberapa menit, karena warung si babeh dekat kelas yang saya sedang duduki. Ia kembali dengan membawa tiga batang rokok. Sambil sedikit meminta maaf pada saya, walaupun seharusnya tidak usah meminta maaf segala.

“duh kang, Super na ngan sabatang, ku Surya wehnya?” dia berkata.
“ah teu nanaon, cik hayang ngasaan Surya,” kata saya.
“haha, Surya jiga kuli wae,” kata Yefi atau kata Ipeng, saya lupa lagi suara itu.

Saya ambil sebatang dari bungkus itu. Dia juga ambil satu batang sambil malu-malu, walupun gak usah malu-malu, atau gak usah takut-takut karena saya senior. Saya sendiri benci dengan senioritas sebetulnya.

Waktu terus berputar. Sedot demi sedot saya kepulkan rokok ke atas. Mahasiswa banyak yang lalu lalang melewati saya yang sedang nongkrong dekat pintu masuk kelas. Ada pak Nurholis terlihat mau ngajar mata kuliah lain. Dia lihat saya sambil senyum. Saya juga balas dengan senyuman. Senyuman menggoda. Mudah-mudahan si bapak tergoda.

Di luar, anak-anak semester enam tiba-tiba berkumpul. Ternyata pak Awang datang. Mungkin dia sedang memberi petuah, atau juga sedang memberi tugas, karena dia tidak akan masuk. Dan ternyata betul, dia tidak akan masuk, akhirnya dia kasih tugas mata kuliah itu pada gerombolan mahasiswa. Saya hanya diam saja tidak ikut nimbrung.

Dengan tidak masuknya mata kuliah itu. Saya ajak Ipeng dan Yefi untuk nonton bola liga mahasiswa antar Jurusan. Kebetulan hari itu kesebelasan Bahasa dan Sastra Inggris atau BSI, jurusan saya sedang bertanding dengan kesebelasan Matematika. Kebetulan lagi lapangnya dekat, paling juga satu menit kalo pake motor dari kelas yang saya duduki tadi. Saya langsung tak ambil diam, menyalakan motor sekencang-kencangnya. Yefi ikut dibonceng. Ipeng juga naik motor kesayangannya.

Kami bertiga sudah nongkrong di belakang lapang. Penonton masih sedikit. Pertandingan belum menunjukkan sesuatu yang ramai. Sangat beda sekali ketika ada pertandingan bola di teve antara Chelsea melawan Barcelona beberapa hari yang lalu, walaupun jujur saya tidak menontonnya.

Pertandingan yang saya tonton itu sebetulnya tidak menarik, karena jurusan saya yang main, makanya saya bela-belain untuk nonton. Saya, Ipeng dan Yefi terlihat serius menontonnya walau kadang suka gemes melihat peluang-peluang yang hampir gol itu. Jadinya, ejekan-ejekan terlontar dari mulut kami. Karena seru sekali kalo nonton bola sambil ngetawain orang, terutama pemain. Karena, selain menjadi penonton kami juga merangkap sebagai kritikus atau komentator sepak bola.

Saya ambil uang di kantong celana denga tanpa kata saya sodorkan ke Yefi. Kalo dalam bahasa non verbal, saya suruh dia beli rokok, because watching without smoking is nothing. Yefi ambil uang itu, namun tidak secekatan dengan mahasiswa semester enam tadi yang langsung pergi ke warung. Yefi sedikit malas, agak loading, namun tetap pergi setelah saya paksa untuk pergi ke warung.

Para penonton tiba-tiba bersorak di stadion, itu menunjukan bahwa para supporter dari Matematika senang dan gembira setelah para pemainnya menggolkan kegawang BSI. Mereka terus bersorak kegirangan setelah gol berikutnya. Mereka semakin bersorak setelah gol ke tiga. Mungkin mereka puas. Bagaimana dengan supporter BSI? Mereka juga agak sedikit bersorak membalas sorakan dari supporter lawan.

Wasit meniup peluit, bertanda babak pertama usai. Saya angkat badan dari duduk. Yefi juga. Ipeng juga. Para pemain menyudut ke tempat yang disediakan panitia, karena pertandingan diistirahatkan dulu beberapa menit. Saya menyalakan motor lagi. Ipeng juga menyalakan lagi.

“ka suaka mik?”
“hayu,”

Saya ajak Yefi. Dia naik lagi dibonceng saya, namun dia turun di situ, di dekat Kopma, karena saya mau ke Suaka, tapi Yefi tidak ikut, dia mau pulang katanya. Di Suaka banyak orang, sedang rapat. Saya gak mau nyebutin namanya, karena banyak sekali, takut lupa, ntar yang lain sirik ada yang gak disebut.

Di ruang sebelah ada Ojan sedang dengerin lagu. Lagu apa gak jelas. Katanya sih lagu temennya. Dia terus menyanyikan apa yang dinyanyikan dalam lagu itu. Dia juga sedikit bertanya pada saya. Pertanyaannya gak jauh dari 5W+1H, seperti “darimana?” Saya juga langsung jawab, “habis nonton bola.” Dan ternyata dia tertarik untuk nonton babak kedua.

“hayu ah lalajo,” kata saya.
“hayu,” kata dia bergegas.

Saya dan Ojan pergi meninggalkan Suaka, berniat untuk nonton babak kedua. Di ruang tengah ada Ipeng sama Ikmah, mungkin lagi ngobrol tentang apa, biasa masalah pribadi mungkin. Ojan tanya sesuatu tentang financial sama saya di deket Kopma sambil berjalan menuju stadion.

“boga duit teu?” Ojan tanya kayak gitu untuk beli rokok mungkin. “eweuh beak tadi, maneh boga?” kata saya.
“eweuh beak,” katanya lagi.
“baelah, lalajo mah teu kudu bari udud,” kata saya lagi.

Kami terus berjalan menuju stadion tanpa sebatang rokok apapun. Uang kami sudah habis. Jadinya untuk nonton babak kedua ini kami harus rela tanpa kepulan asap berkumandang ria. Tak apalah yang penting hepi.

Saya mulai duduk di salah satu kursi beton stadion. Ojan juga ikut duduk di sebelah saya. Dia pake jaket kulit hitam dengan sedikit renda merah di arah lengan. Saya juga pake jaket kulit tanpa renda. Dibawah saya terlihat cewek-cewek lagi nonton juga, pasti dia semester dua. Wajahnya segar dan cantik cantik, centil juga, gak apalah biar rame.

Rupanya ada yang datang. Itu Ilma, Ipeng sama Ikmah. Dia ikut nonton juga rupanya padahal tadi mereka sedang duduk-duduk di Suaka. Gak apalah mereka kan pingin nonton, siapa juga yang melarang. Mereka juga kan sama bayar SPP. Mereka bertiga duduk di bawah saya. Tapi rupanya pindah keatas sejajar dengan saya dan Ojan setelah hujan gerimis sedikit menyerang.

Setelah gawang BSI terus kebobolan, Ojan mulai kesurupan, entah kenapa dia seperti seorang komentator sepak bola yang kawakan. Perpaduan antara sunda dan Indonesia dia pake.

“ternyata bolanya ngagulutuk sodara-sodara,” kata dia.
“oh terlalu tinggi mengangkat cokor,” kata saya sambil tertawa, Ojan juga ketawa. Kenapa sih ketawa? Bukannya liat pertandingan.

Ojan terus ngoceh gak karuan, Shandi, salah satu dosen BSi terus melirik dia aneh, mungkin dalam hati Shandi bertanya-tanya, “ini pria jurusan apa, perasaan di BSI gak ada orang kayak gini?”

Memang, Ojan itu anak PAI tetapi saya hipnotis dia supaya dukung BSI. Oleh karena itu dia mati-matian dukung kesebelasan yang saya dukung juga, walaupun kalah. Ipeng sama Ikmah juga terlihat pada ketawa melihat apa yang dilakukan Ojan.

Hujan masih gerimis kecil sekali, tapi henpon saya bunyi tiba-tiba. Ada sms masuk rupanya. Saya buka sms itu. Tadinya henpon disimpan di saku jaket. Tapi saya ambil karena ada sms.

“A dimana?” ketik seorang perempuan yang saya gak mau sebutin namanya.
“di stadion,” bales saya.
“huh, stadion wae, mo k 7uaka ga?” ketik dia, rada aneh kenapa Suaka, huruf ‘s’ nya diganti sama angka 7.
“tanggung lagi nonton bola,” jawab saya.
“akh klah jg, he, Qt ja2n yu,” rayu dia tiba-tiba ngajak jajan, aneh.
“bawa aja sini,” gurau saya.
“mo ap?” serbu dia lagi.
“rooko ma aer,” tawar saya.
“rkok pa?” serang dia.
“ga ah, bcnda ak,” ngelak saya.
“ikh gpp, bruan mo ap,” paksa dia.

Saya gak balas. Tanggung, lagi asik nonton. Tapi dia terus miskol. Dua kali dia miskol. Hape gak terasa bergetar mungkin ketimpah sama suara para supporter. Dia telpon lagi terus menerus. Gak saya angkat juga. Akhirnya dia sms lagi.

“dtggu dblkang stadion, buruan,” bentak dia. Saya tetap gak bales. Akhirnya dia telepon lagi. Akhirnya saya angkat juga.
“aku dibelakang stadion, kesini buruan,” kata dia.
“udah ah ga usah, aku becanda,” kata saya.
“ikh udah beli tanggung,” serobot dia
“iya atuh tunggu,” jawab saya sambil pergi ke bawah, ke belakang stadion. Di situ dia sedang pegang
kresek putih, berisi sebungkus rokok Starmild dan minuman apa lagi mereknya saya lupa, mungkin Ojan tahu. Kamu tahu Jan?

“nih aku mo ngembaliin flashdisk,” kata dia. Sambil juga ngasih itu kresek putih.
“udah ah gak usah,” jawab saya malu-malu kucing.

Iya, memang, rezeki itu jangan ditolak, kalo ditolak mungkin dosa, dia kan udah baik-baik mau ngasih, kenapa harus ditolak. Ya sudah saya ambil itu kresek sambil bilang terima kasih. Lalu saya kembali ke stadion sambil bawa kresek itu. Dan tak lupa duduk bersama mereka lagi.

Benar-benar hari yang bahagia, penuh canda dan tawa plus rezeki yang harus di syukuri. Saya ambil satu batang. Ojan ikut ambil. Ipeng silahkan ambil. Di belakang saya, rupanya ada anak si semester enam tadi, dia nonton juga, saya pinjem korek sama dia, tak lupa nawarin rokok rezeki tadi. Saya ambil minuman itu, tapi tak tau dimana lubang buat ditusuk oleh sedotannya. Ojan berkomentar sedikit.

“uh katinggali tara jajan ka minimarket na tweh,” katanya sambil menusukan sedotan ke area yang harus ditusuk. Saya ketawa mengiyakan.
“heueuh, biasa nginum cai herang atuh da urangmah,” kata saya.

Pertandingan masih berlanjut. Skor terus menggila: tujuh kosong buat Matematika. Penonton terus bersorak. Saya juga ikut bersorak walalupun tim saya kalah. Tapi yang penting bukan kalah atau menang. Yang penting itu bisa hepi dan bisa ketawa terbahak-bahak. Wasit meniup peluit. Pertandingan berarti selesai. Saya ambil lagi rokok dan menghisapnya dalam-dalam.

Kamar, 15 April 2010

Label:

Hari Bete Nasional

.::Cerita Jurnalis Kampus Gagal::.

Jika ada hari yang menyebalkan sedunia, maka hari itu adalah kemarin. Jika ada hari yang bikin gondok sedunia, maka hari itu adalah kemarin, tanggal 16 April 2010. entah kenapa saya nobatkan hari itu adalah hari yang tidak enak untuk dinikmati. Berbagai alasan memang cukup tidak masuk akal melanda hidup saya. Tapi tetap saja, Jum’at kemaren saya sebut hari yang bikin kesal dari kaki hingga ujung kepala. Saya sempat membulati kalender rumah sebagai tanda dongkolnya jiwa dan raga ini.

Untuk meringankan beban hati itu, saya dengan sengaja bermain ke tempat Gilang, pengusaha service handphone, dia teman saya. Tempatnya di Cipadung dekat baso Lotus. Saya ke sana dengan mengendarai si King. Motor yang kata orang membuat kuping resah akibat suaranya terlalu bising.

Gilang saat itu sedang makan siang, tak lama setelah itu dia ngajak saya ke warnet terdekat. Biasa, dia mau download sesuatu yang berkaitan dengan dunia handphone.

“ka warnet yuk!” Katanya.
“hayu, warnet mana?” jawab saya.
“hareupeun kifa,” kata dia. Kifa itu nama sekolahan deket kampus UIN SGD Bandung. Aslinya Kifayatul Achyar.
“naha teu di Gani net?” saya bertanya.
“didinya weh nu dekeut,” dia menjawab.

Saya pun langsung terjun ke bawah bersama dia. Gilang mampir dulu ke warung beli kertas yang berisi tembakau. Rokok super setengah bungkus saya pegang setelah dia ngasih ke saya. Saya juga ambil sebatang. Tak lama kami sudah sampai di warnet itu. Nama warnetnya Socha. Aneh juga memang, kenapa yang punya kasih nama Socha. Kalo dalam bahasa sunda Socha itu mata.

Saya duduk di room nomor empat. Sekedar buka facebook dan lain-lain untuk menghilangkan kegondokan yang berkecamuk di dalam pikiran. Atau bikin status yang sangat bedebah yang saat itu juga saya hapus kembali. Terus saya bikin status lagi dengan sangat kasar, kemudian saya hapus kembali. Gak tau kenapa saya ingin hapus terus status itu.

Bermain facebook ternyata gak enak juga, malah bikin bete. Akhirnya saya menyudahi permainan itu. Saya kembali duduk di komputer yang Gilang diami. Dia juga kayaknya lagi gak enak hati. Lagi bete juga. Buktinya mulutnya komat kamit kaya dukun, mengejek warnet yang loading itu.

Saya tak menghiraukannya, mata saya terus berkedip. Mulut saya terus menguap. Oh, alangkah ngantuknya siang ini, apalagi gerimis begitu menghantam genting rumah orang lain, hmm, cuaca yang enak untuk menggulingkan badan di kasur. Tapi tidak, saya harus menemani dulu Gilang sampe selesai download.

Saya ambil rokok lagi dan pasti membakarnya. Gilang juga berbuat sama dengan apa yang saya lakukan dengan rokok itu. Perlu kamu tahu rokok yang saya bakar itu hasil peminjaman korek yang oleh si pemilik warnet kasih. Gilang terus saja komat-kamit. Dan saya tetap tak berkutik, hanya diam saja mendengar celotehannya walalupun Gilang tahu bahwa kata-katanya gak perlu ditanggapi oleh saya.

Ternyata kegiatan mendowloadnya selesai, dan kami harus segera meninggalkan warnet Socha itu. Kami mengerti jika udah selesai, maka kami pun harus pamit dan tak lupa bayar, soalnya poin penting dalam melakukan usaha, baik warnet atupun yang lainya adalah membayar. Dan pasti si pemilik warnet akan senang, tapi tidak dengan saya dan Gilang. Kurang begitu senang.

Kami kembali ke bengkel servis Gilang. Dia segera menyalakan komputernya. Dia juga segera memasukan flashdisk kedalam colokan USB, kamu tau singkatan USB? Itu adalah Universal Serial Bus.
Setelah flashdisk terbaca oleh computer, saya mendengar kekagetan Gilang yang sangat dramatis sekali saat itu. Kebetulan juga di situ ada bapak-bapak yang saya tidak tahu namanya, dia mau service handphone juga.

“anjir, can ka kopikeun datana kana flesdis?” kata gilang kaget betulan. Sambil dia meyakinkan bahwa betul data yang tadi di download belum di kopikan ke flashdisk, mungkin masih disimpan di data komputer yang punya warnet itu. Saya juga kasih komentar sedikit.

“heueuh meureun can dikopikeun, ente disimpen dina C? kata saya. Gilang tidak menjawab, tapi langsung pergi, pasti pergi ke warnet tadi untuk ambil data lagi. Dan betul, Gilang kembali dengan selamat setelah beberapa menit dia ke sana, ke warnet itu.

“aya?” kata saya.
“aya,” jawab dia sambil mengecek dan meyakinkan lagi folder dan file yang sudah di download tadi.

Betul, data itu sudah ada dan sudah dikopi ke flashdisk. Baguslah kalo begitu, saya jadi ingin ngecas hape saya. Saya langsung cas hape. Casan punya Gilang, saya numpang sebentar.
Si bapak yang duduk di samping saya, yang ingin servis tadi langsung membuka percakapan. Tentunya ada sangkut pautnya dengan masalah hape.

“ieu spikerna teu jalan, tapi ari suara batur nelepon mah aya,” kata dia sambil mengasih lihat hapenya pada Gilang.
“Samsung?” tanyanya.
“sanes, akew,” kata si bapak, akew itu istilah untuk hape keluaran china.
“kela nya pak sakedap nginstal heula.” Gilang lagi.
“oh, kalem weh santai,” si bapak.

Suasana yang tidak bersahabat mulai terasa setelah Gilang mengutak-ngatik sebuah program yang entah diapakan oleh dia, yang jelas membuat dia bengong dan sedikit menyimpan kedua tangannya diatas kepalanya.

“anjiiiiiiiiiiiiir, gelo ka hapus,” kata dia.
“naona dut,” saya penasaran
“ieu kalahkah kahapus kabeh,” katanya lagi, saya juga gak ngerti macam apa program hape itu, soalnya

saya gelap banget dengan itu, istilahnya gaptek. Saya hanya diam saja melototi biar Gilang mengira saya sedikit care dengan kebeteannya. Nah, lengkap sudah, bukan hanya saya yang bete, dia juga sama kaya saya. Malahan dia pernah bilang, saking susahnya program yang akan dia install itu, dia kasih sedikit statement. “anjir, lewih-lewih ti diputuskeun kukabogoh aingmah,” ya, mungkin baginya program yang langka sekali didapat, membuat dia sedikit ngahuleng.

Si bapak yang tadi akhirnya pulang pamit. Mungkin dia juga bete melihat kami bete. Makanya dia pergi meninggalkan kami, untung saya bawa hape yang ada mp3 nya, alhasil saya putar lagu-lagu buat mencairkan suasana.

“kudu bari ngopi dut meh rada lancar,” kata saya.
“heueuh betul euy,” senyum dia.

Saya pun langsung bergegas ke bawah, ke warung terdekat untuk sedikit mengobati kegelisahan kita berdua. Segelas kopi hitam kental saya bawa dan tiga batang rokok lagi saya teng-teng di tangan. Musik masih berjalan di hape saya. Alunan almarhum mbah Surip terus meledak-ledak. Saya dan Gilang terpancing emosi mengikuti lagu itu. Judulnya bangun tidur.

Jam menunjukan pukul sembilan lebih. Itu artinya saya harus segera beranjak meninggalkan Gilang, walaupun dia menahan saya untuk jangan pulang dulu. Tapi saya tetap bersikukuh ingin pulang.

Saya tunggangi si King. Saya nyalain, tapi tak mau nyala. Saya sedikit maju ke depan, tepat di pinggir jalan samping lotus sambil dorong si King, tapi tetap tak mau nyala. Saya gak menyerah, terus dan terus kocok panyelahan motor itu. Oh, keringat saya terus mangalir. Tak ada yang bantu saya. Oh, saya lihat ada teman saya dari kejauhan naik motor juga, sepertinya dia mau menghampiri saya, mungkin dia mau Bantu.

Oh, ternyata tidak, dia tidak melihat saya, padahal kami begitu beradu wajah, oh begitu teganya dia membiarkan saya capek sendiri. Heuh, tobat gusti, kenapa kau tak mau membantuku? Apakah kau takut saya tanya “kamu habis dari mana?” walaupun saya tau kau itu baru beres kencan dengan siapa itu? Ah biarlah terserah kalian, saya gak mau ikut campur lagi dengan masalah-masalah kalian.

Akhirnya saya pulang dengan jalan kaki. Saya titip motor sama Gilang. Hmm, betul betul hari yang bikin jiwa enggan mau ngapa-ngapain. Hari yang enak untuk mencaci maki. Hari yang cocok untuk bertengkar. Oh, maafkanlah dengan diriku yang sama sekali gak kuat tahan emosi. Mudah-mudahan hari esok tak seperti hari ini lagi. Wassalam.

Bandung, 17 April 2010

Label:

Si Teteh dan Al-Asbun


.::Cerita Jurnalis Kampus Gagal::.


dalam suatu sore yang tidak hujan, saya baru saja pulang dari sebuah toko buku yang namanya Tobucil. saya ke sana berdua sama teman saya yang ganteng dan keren yang waktu itu dia, teman saya itu yang bernama Godi itu membawa tiga buah tas gendong. hari itu Godi terlihat berabe sekali dengan tas bawaannya, dan tas bawaannya itu isinya adalah macam-macam barang yang harus dibawa kerumahnya setelah dia pindah dari kosannya.

setelah meninggalkan Tobucil, saya ajak Godi mampir ke sebuah toko buku lagi, kali ini namanya Rumah Buku. kalian harus yakin bahwa Rumah Buku itu tempat jualan buku, dan saya sudah sampai di sana dalam waktu dekat. setelah Godi memarkirkan motornya, saya langsung masuk ke toko itu. melihat-lihat apa saja buku yang ada. ternyata banyak sekali buku di situ. saya jadi ingin beli semua buku yang ada di situ. tetapi nasib berkata lain. uang saya gak cukup untuk membelinya.

rak demi rak saya jelajahi untuk mencari buku yang saya inginkan. dalam hati yang paling dalam saya teringat bahwa hari ini saya ingin beli buku Al-Asbun. penulisnya adalah Pidi Baiq. katanya dia seorang haji. haji yang baik. haji yang suka ngasih uang kepada orang yang dia mau.

setelah sedikit lelah mencari apa yang saya cari, tapi ternyata belum ketemu juga. jadinya saya menghampiri penjaga toko yang mungkin sedang mengecek barang di sebuah katalog yang sudah menggunakan komputerisasasi. saya berdiri di sampingnya. dia masih juga sibuk dan sedikit menyapa saya tanpa melirik wajah saya.

"Iya?" dia buka percakapan.
"teh, ada buku Al-Asbun?" saya tanya. dia sedikit termenung. mungkin asing.
"coba cari A !" perintahnya sambil memberikan Mouse katalog untuk saya cari sendiri.
"ini ada teh, stoknya 19 lagi," kata saya pada dia.

yang jadi heran si teteh penjaga itu, kenapa Al-Asbun tidak terdaftar di rak-rak buku. kalo buku yang lainnya pasti ada nomor raknya yang dapat memudahkan si pembeli dapat langsung mencari di mana ia harus cari. tapi buku ini tidak. si teteh terus buka percakapan lagi.

"novel A?" dia nanya lagi. saya sedikit bingung jawabnya.
"iya teh." jawab saya.
"sebentar ya saya cari." kata dia sambil pergi ke rak bagian novel. saya ikuti dia.
"ada gak teh?"
"harusnya ada di sini," kata dia sambil mencari. saya di pinggirnya.
"masih di gudang kali teh." kata saya.
"enggak kok, barusan saya di gudang, gak ada."
"mungkin ketumpuk teh," kata saya.
"pokoknya harus ada teh, kalo gak, saya pasti dimarahin," bentak saya sedikit menakutinya.
"disuruh A?" dia malah bertanya.
"iya, orang yang nyuruh saya galak," kata saya senyum sendiri.

mendengar statemen saya seperti itu, si teteh penjaga yang manis dan enerjik itu mendadak jadi lebih semangat untuk mencari apa yang saya cari tadi. juga si teteh mengabaikan pekerjaannya yang tadi sedang mengecek barang tadi. si teteh penjaga pindah lagi ke rak yang lain. saya juga masih membuntuti si teteh penjaga itu. si teteh dengan hidmat mencari judul satu demi satu buku yang tertera di rak itu, rak yang lain itu. dalam hati saya hanya tersenyum saja.

"teh udah baca buku apa saja selama di sini?" pertanyaan basa-basi saya.
"aku baru di sini A," jawab dia.
"berapa bulan teh?"
"mau dua bulan," katanya.
"emang dulunya di mana gitu?"
"di CK."
"Circle K?" tanya saya lagi.
"iya," jawabnya sambil masih mencari apa yang saya mau tadi.
"wah, teteh harus bersyukur teh."
"emang kenapa gitu A?" jawab dia masih terus mencari dan mencari.
"iya, di sini kan gudang buku, jadi teteh bisa dapat banyak ilmu."
"hehe," dia malah senyum. senyum yang manis, semanis gula, gula merah juga gula putih.

si teteh mungkin sudah menyerah. kemudian dia bertanya pada temannya tentang keberadaan buku Al-Asbun itu. rupanya si temannya tahu tentang keberadaan buku itu. temannya itu menunjukan ke arah kumpulan buku yang bertuliskan bagian New Arrival. dan serentak si teteh itu pindah untuk mencari ke rak yang temannya tunjukkan tadi. saya juga masih membuntutinya seperti anak ayam ikut induknya. saya juga mau kok jadi anak si teteh, terus saja membuntutinya. tapi mungkin dianya yang gak mau.

"ada gak teh?" serobot saya.
"bentar A, cari dulu," kata dia seraya konsultasi sama teman yang satunya lagi.
"Al-Asbun ada gak?" tanya si teteh pada temannya, tapi teman yang satunya lagi.
"ada tadi di sini," kata temannya lagi sambil menunjuk rak New Arrival tadi.

wow, sungguh para penjaga yang baik hati. mereka bertiga rela membantu saya mencarikan apa yang saya cari. mereka terus mencari demi memuaskan para pelanggan seperti saya ini. namun, coba bayangkan kalo bukunya sudah ketemu, kemudian saya gak jadi beli, akan seperti apa raut wajah mereka, terutama si teteh pertama yang sedia kala membantu saya dari tadi, entahlah? tapi, ngomong-ngomong kemana si Godi? mungkin dia berada di rak lain.

"nah, ni ada A," kata si teteh yang dengan wajah bahagia telah menemukan Al-Asbun itu.
"tuh, itu ada, ah si teteh mah,"
"iya ini ketutup," kata dia sambil menunjuk salah satu buku yang menutup Al-Asbun,
yang membuat susah saya dan para penjaga itu mencarinya. si teteh juga senyum lagi sambil ngasih buku itu ke saya.

"ini tuh 55 ribu teh, ada diskon gak?"
"ada 25 persen A."
"jadi berapa teh?"
"itung aja A," si teteh malah menyuruh.
"aduh, matematika saya hancur teh."

si teteh mendadak menghitung harganya yang sudah didiskon itu. menghitung sambil mata menatap ke atap dan menggerakkan jari-jarinya. waktu itu si teteh memakai seragam toko. warnanya biru ada motif merahnya juga. dari tadi saya mencari papan namanya. tapi kok gak ada papan namanya di situ yang biasa tergantung di saku atau di leher. padahal saya ingin sekali tahu siapa namanya.

"jadi 41ribu A."
"40 ribu aja teh, pasin."
"ih, ini bukan toko saya Aa, kalo aku yang punya mah boleh."
"hehe, bercanda atuh teh."

begitulah suka duka saya mencari sebuah buku itu. sebuah buku yang saya sendiri tidak tahu menahu tentang isinya. sebuah buku yang bikin si teteh dan kedua teman penjaga itu harus bekerja ekstra mencarinya. namun di balik itu ada hikmah yang tersirat yang membuat saya harus beli dan bayar ke kasir yang kala itu si penjaga kasir sedang membawa tas.

"yang beli dapat tas ya?" saya bertanya pada dia.
"enggak A, ini mah yang nitip."
"oh, kirain di kasih hadiah tas."
"hehehe," dia tersenyum sambil mengembalikan uang kembalian saya.

hei, di pinggir saya ada Godi ternyata. rupanya dia sudah selesai melihat-lihat rak demi rak berisi buku tadi. ya sudah saya ajak Godi pulang saja meninggalkan Rumah Buku itu. karena bukunya kan sudah ketemu jadi saya dan Godi harus segera ke tempat parkir untuk pulang ke rumah masing-masing.

wahai Godi, wahai teteh yang baik hati, yang manis, yang cantik, yang enerjik, yang suka menolong para pembeli, saya ingin mengucapkan terima kasih terhadap kalian, karena hari ini saya bisa terus tersenyum melihat dan merasakan nikmatnya hidup. wahai kalian semua, sekarang hari Jum'at, sekarang jam 11:55, itu tandanya saya harus mandi dan pergi ke Mesjid untuk melaksanakan sholat Jum'at, sampai bertemu lagi dalam kesempatan dan waktu yang tidak di tentukan.

Bandung, 23 April 2010

Gerbong Enam Menuju Kediri

.::Cerita Jurnalis Kampus Gagal::.


Hujan baru saja reda. Persiapan sudah sempurna. Tidak ada yang ketinggalan setelah saya cek beberapa list barang-barang yang harus di bawa. Pakean, dari mulai handuk, baju koko, kaos, kemeja sampai celana dalam udah dimasukan ke dalam tas. Tas hadiah dari sponsor. Bertuliskan Ciptaden. Entah dari mana tas itu saya temukan. Mungkin hadiah dari Borma. Kakak saya kerja di sana soalnya.

“lagi pada di mana bos?” saya bertanya pada Nora melalui telefon genggam.

“di kosan. Jemput donk.” Jawabnya seenaknya.

“jemput pake apa gak bawa motor.” Timpal saya.

“ya udah jalan kaki aja.” Dia menyerah.

“oke saya segera kesana, ke kosan.” Saya bergegas.

Tidaklah lama saya berjalan ke kosan Nora. Dari rumah menuju kosannya. Sepuluh menit pun tidak. Tujuh menit mungkin iya. Jalanan masih becek akibat terceceri air hujan. Jadilah jalan Cipadung semakin terpuruk. Berlubang. Berkerikil. Berbatu. Untung tidak ada ikannya. Kalau ada, gawat. Bisa bisa jalanan itu menjadi kolam. Karena bolong-bolongnya pada dalam. Silahkan bapak-bapak pejabat kelas bawah urus itu jalan.

Saya sudah sampe di kosan Nora. Jaket hijau, kenangan KKN saya pakai. Beserta isinya, celana jeans dan kaos. Tak lupa sepatu bot saya tempel di kaki. Makin gagah lah penampilan sore itu. Sebuah tas saya gendong. Walaupun lumayan berat. Isinya ya itu tadi, keperluan selama di Pare.

Nora masih kebingungan mempersiapkan keperluannya. Terpaksa saya bantu dia memasukan beberapa barang yang harus di bawa. Tak jauh beda, pakean, peralatan alat mandi dan alat tulis dibawanya. Cuma ada yang sedikit berbeda dengan barang bawaanya. Poin plusnya adalah berbagai macam makanan ikut memeriahkan isi tas yang akan dibawa Nora. Ini menjadi informasi yang begitu penting buat saya. Sebab, secara otomatis makanan itu bakal memenuhi perut saya kelak selama di perjalanan.

Saya sudah siap. Begitu juga Nora. Saya solat dulu Maghrib disusul solat isya. Namanya kalau tidak salah dijamak. Setelah semua beres dan tidak ada yang ketinggalan, kami berdua berjalan menuju kampus. Nora tak lupa pamitan dengan teman sekosan dan ibu kos. Kami berdua seperti mau mudik. Seluruh badan dipenuhi barang bawaan.

“telefon Ista donk, kerjain dia, kamu gak jadi ikut gitu.” Saran saya pada Nora.

Nora bergegas mengambil hape dari kantong saku celananya. Dicarilah nomor Ista. Lalu di pijit tombol call oleh Nora. Percakapan dimulai.

“Ta, lagi dimana. Aku gak jadi ikut. Aku mendadak sakit.” Celoteh Nora. Saya tidak bisa membayangkan apa yang menimpa Ista ketika mendengar perkataan Nora tersebut. Wajahnya. Beungeutnya. Matanya.

“terus tiketnya disiapa?” jawab Ista so cool.

“dititip di a Miko.” Sandiwara Nora.

“ka Mikonya di mana.” Ista penasaran.

“di depan. Di nasgor depan kampus.” Nora barkata.

Saya dan Nora ketawa-ketiwi. Mungkin Ista shock berat mendengar telefon tadi. Terus, saya dan Nora tunggu di nasgor kampus. Beberapa selang kemudian datanglah Ista. Wajahnya pucat. Matanya merah. Mungkin usai nangis mendengar kabar tadi. Yang salah satu dari kami ada yang pura pura gak jadi ikut ke Pare.

Setelah mendapati kita berdua berdandan rapih sambil menyantap nasgor. Ista tersenyum pulih sambil megeluarkan kata-kata polosnya.

“jahat banget kalian ngerjain aku.” Katanya.

“haha…abis nangis ya.” Kata saya.

“gak, ngapain juga nangis.” Ista bela diri. Nora tetap tertawa kecil.

“lagian gak mungkin banget kamu (Nora) gak jadi ikut. Tadi sore juga gak apa apa.” Kata Ista lagi.

Akhirnya kami ketawa-ketawa lagi seperti biasa. Ista juga pesen makanan pada si emang nasgor. Tapi tidak, dia pesan capcai. Gak pake nasi. Saya hanya melihat mereka makan. Saya membakar rokok clasmild yang baru saya beli di kopma.

Beberapa menit kemudian datanglah satu lagi peserta Pare asal UIN SGD Bandung, Maher, membawa sebuah koper besar. Tapi gak kalah besar dengan tubuhnya yang gempal. Suasana mulai hangat. Saya baru kenal sama Maher. Begitupun Nora. Maher teman sekelasnya Ista di Humas.

Oh, ya. Saya akan kenalkan satu persatu dari mereka. Nora, mahasiswa Jurnalistik semester tiga. Ista mahasiswa Humas semester tiga juga. Sama-sama dari fakultas Dakwah dan Komunikasi. Maher, atau Heri Susanti saya kira cukup dijelaskan di atas. Saya sendiri, Miftahul Khoer, akrab disapa Miko jurusan Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora. Mereka bertiga ditambah saya sama-sama berambisius pingin ke Pare, Kediri. Tujuannya, macam-macam. Ada yang kursus, obesrvasi sama mencari pengalaman. Saya termasuk kedalam ketiga-tiganya. Tapi tidak semester tiga.

Di kereta.

Semua barang telah saya naikan ke atas kereta Kahuripan jurusan Bandung-Kediri. Saya, Nora, Ista dan Maher sudah berada di kereta gerbong enam. Paling belakang. Saya kebagian duduk bersebelahan dengan Nora, sementara Ista satu jok dengan Maher. Kami saling membelakangi.

Di depan saya, ada sepasang ibu dan bapak. Mungkin mereka sudah menikah. Kelihatannya begitu. Tetapi saya rasa pasangan ini lebih tua perempuannya ketimbang lelakinya. Mereka orang jawa. Katanya usai pulang dari rumah sodaranya di Bandung.

Di samping saya juga ada sepasang bapak dan ibu, tetapi mereka sudah beranak, atau mungkin kebetulan saja mereka bawa anak. Lumyan lucu-lucu anaknya. Yang pertama sekitar lima tahun, kedua sekitar Sembilan bulanan. Dan justru pasangan ini sebaliknya, perempuannya muda banget, saya rasa sekitar dua puluh tiga tahunan. Dan si suaminya sekitar empat puluh lima. Rambutnya memutih.

Tepat di belakang saya, Cuma terhalangi kain jok, Maher dan Ista sudah mulai ribut. Saya sejenak melihat mereka dengan menaiki jok sendiri, meyakinkan bahwa mereka sudah duduk di jok. Oh, rupanya mereka sudah berkenalan dengan teman yang berhadapannya. Belakangan saya tahu teman yang berhadapan dengan Ista. Itupun di akhir sekali saat kami turun dari kereta. Namanya Bima Ketut. Ini orang salah satu yang mengacaukan perjalanan kami dengan memberikan alamat palsu.

Panas. Padat. Ribut. Asap dan hal lainnya yang tidak positif bertebaran di kereta. Oh, inilah rasanya naik kereta. Tidak se ekstrim yang saya bayangkan rupanya. Tapi memang penat juga sih bagaimana berdesak-desakannya orang-orang. Semakin membuat gerah tubuh dan cepal. Saya sengaja membuka jendela kaca. Supaya semilir angin menghampiri saya dan Nora minimal.

Di depan, si ibu tetangga saya, kelihatannya sudah mengantuk, dia memutuskan untuk tidur. Membuat suaminya, yang saya kira lebih muda darinya itu beranjak dari joknya. Mungkin dia mengalah untuk istri tercinta. Si ibu berbaring di jok berukuran kira-kira 40X100 sentimeter itu. Kakinya dilipat sedikit karena tidak cukup. Sibapak, suaminya rela duduk di bawah.

Dipinggir saya ada seorang perempuan tengah duduk di lantai kereta. Umurnya seperti dua puluh empatanlah. Hati saya mulai iba. Seolah-olah kasihan sama dia. Saya langsung ambil hape dari kantong. Menuliskan beberapa kalimat namun tidak dikirimkan. “kasihan cewek di pinggir saya duduk di lantai.” Kata saya dalam SMS tersebut. Saya Cuma kasih lihat saja itu SMS pada Nora. Walau memang tidak perlu ngetik SMS segala. Berbisik pun bisa. Karena Nora kan satu jok dengan saya.

“ya udah suruh duduk saja si tetehnya. A Miko geser sedikit.” Kata Nora bijaksana. Saya langsung menyuruh duduk pada si teteh.

“teh, duduk….” Kata saya sambil menggeser.

“oh, gak apa apa nih.” Katanya. Senyum sedikit.

“oh, enggak dari pada di bawah.” Kata saya. Sedikit senyum.

Si teteh sudah duduk satu jok bersama kami. Tapi si teteh Cuma kebagian sedikit. Sekitar 30 persenanlah si teteh kebagian jok kami. Menyebabkan saya dan Nora rela menggeser ke kanan. Saya mencoba membuka percakapan. Sekedar basa-basi tapi bermanfaat. Oh, rupanya si teteh orang jawa. Saya tahu logatnya. Katanya dia mau pulang ke Jogja. Dia kerja di Bandung. Tapi saya lupa di mana.

Di depan saya, si ibu ternyata sudah tidur pulas. Suaminya entah kemana. Mungkin mencari area yang bebas rokok. Sebenarnya disini (di jok) juga bisa merokok, tapi di pinggir saya ada bayi. Kasihan, takut mengganggu mungkin. Itulah sebabnya si bapak mencari area lain. Sementara Nora terlihat tengah membuka cemilan yang dibawanya. Cemilan yang dikirim jauh-jauh dari Palembang ke Bandung. Satu paket, isinya kalau tidak salah: cokelat, madu, hand body dan yang lainnya. Saya yang membuka paketnya ketika dia menyuruh saya membukanya.

Tebak-tebakan.

Kereta api Kahuripan gerbong enam, mungkin beda dengan gerbong lainya. Soalnya, disini, terdapat orang-orang aneh. Salah satunya Ista. Dia memperhanangat suasana. Suaranya lebih keras dari orang biasanya. Bisa lebih dua kali lipat orang biasa. Maklum orang seberang emang suka kaya begitu.

Saya mendengar percakapan antara Ista bersama teman sejoknya yang berhadapan. Dari mulai Tanya sana Tanya sini sekedar basa basi sampai munculah sebuah tebak-tebakan dari mereka. Saya sempat terpingkal-pingkal mendengar obrolan mereka. Nora terlihat tertidur di pinggir saya.

“apa nama mesjid yang ada di tengah laut?” Tanya Ista.

“mesjid apa ya?” mereka berfikir. Saya juga berfikir apa nama mesjid itu.

“nyerah semuanya ya? Mesjid Al Mustahil.” Jawab Ista bangga.

Mulut saya melebar geli mendengar jawabannya. Walaupun terdengar garing. Tapi ya itu tadi, dengan logatnya yang unik, Ista bisa membuat hal biasa menjadi luar biasa. Orang-orang di dekatnya pun ikut terkekeh. Ista melanjutkan pertanyaan berikutnya. Ia merasa bangga dengan pertanyaan-pertanyaannya yang tidak bisa dijawab oleh orang lain.

“apa bahasa Koreanya alat pembuangan?” pertanyaan kedua muncul.

Saya kembali lagi berfikir. Mereka juga berfikir. Di depan, si ibu semakin nyenyak saja tidur. Di pinggir saya, sepasang suami istri yang membawa anak tadi juga mulai tertidur. Kedua anaknya juga tertidur. Sang suami, yang lebih tua itu juga tertidur. Ia rela tidur di bawah jok beralaskan Koran. Koran yang di beli seharga seribu perak dari pedagang asongan yang sengaja menyediakan untuk orang yang tidak kebagian jok.

“nyerah ya semuanya… jawabannya LiangTai.” Jawab Ista lebih bangga.

Ketawa saya lebih keras. Ketawa mereka lebih keras walaupun saya tahu mereka tidak mengerti apa maksudnya itu LiangTai. Karena kebanyakan mereka itu, penumpang yang berhadan dengan Ista itu orang Jawa. Jadi mereka itu tidak tahu apa artinya.

LiangTai dalam bahasa Indonesia berarti pantat. Bahasa Sunda berarti bujur. LiangTai sendiri artinya, dalam bahasa Sunda adalah bahasa kasar. Namun Ista bisa membuat hal seperti itu menjadi lebih menarik dan lucu. Meskipun, sekali lagi, terdengar garing. Justru dari kegaringannya itu membuat saya terbahak bahak.

Di sebelah kiri saya, si teteh yang satu jok dengan saya juga ikut ketawa. Dan dia juga pasti tidak mengerti apa yang dikatakan Ista. Si teteh sedikit berkomentar tentang Ista. Nora di sebelah kanan saya, masih tidur. Mungkin ia capek. Jam sudah menunjukan sekitar pukul sebelas malam lebih beberapa menit. Kereta masih gerah dan panas.

“itu temannya si Mas lucu sekali ya.” Komentar si teteh pada saya.

“iya, dia emang kaya gitu.” Kata saya.

-June 25, 2009-

Label: