Senin, 12 Mei 2014

Lukisan Bertolak dari yang Ada

Tidak ada yang bisa menghentikan kreatifitas seorang Putu Wijaya. Meskipun dihantam penyakit kelainan pembuluh darah pada akhir 2012 lalu, yang menyebabkan tangan kirinya tidak bisa bergerak, Putu masih menghasilkan karya-karya baik cerpen, esai hingga lukisan.

Pada Kamis malam (3/4) di Bentara Budaya Jakarta, Putu bersama anak lelakinya, Taksu Wijaya membacakan cerpen favoritnya, Merdeka dengan penuh atraktif. Meskipun tampil sambil duduk di kursi, semangat Putu masih terpancar dan menggebu-gebu. Demikian aksi Putu ketika membuka pameran lukisannya Bertolak Dari yang Ada 3-12 April 2014.

Sejatinya, Putu dikenal sebagai sastrawan, dramawan dan aktor panggung yang memiliki karakter khas. Karya-karyanya disebut sebagai pembaru kesusastraan Indonesia. Si peneror mental itu diam-diam memiliki aktvitas yang kini dilakoninya secara intens: melukis.

Dunia lukis sebetulnya bukan hal baru bagi Putu. Dia sempat belajar di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta selama setahun. Kini, kegiatan melukisnya tengah digarap kembali. Terbukti, 27 dari 40 lukisan yang diproduksinya tengah dipamerkan yang membuat sebagian kalangan cukup apresiatif dengan kehadiran karya lukisan Putu.

Salah satu lukisannya berjudul Jangan Sentuh Kami (100 x 100 cm, cat minyak di atas kanvas, 1974) hadir menghiasi pameran. Jika dibandingkan dengan karya-karya terbarunya, lukisan Putu ini akan tampak berbeda baik dari cara pemilihan warna, tema hingga isi lukisan.

Mungkin karena sudah terlihat tua, warna pada lukisan ini tampak usang. Namun, dari sini bisa terlihat bagaimana karakter lukisan awal Putu. Karyanya memberikan identitas sendiri dibandingkan dengan lukisan yang dihasilkannya pada masa berkeseniannya kini—Putu seolah asik bermain dengan warna cerah dan glamor dalam beberapa goresan di atas kanvasnya.

Memasuki 1998, Putu tampaknya sudah mulai menemukan objek dan tema lukisan. Dia mulai menggoreskan kuasnya dengan memilih tema pohon. Di sinilah relevansi antara karya sastra dan lukisnya terlihat. Bertolak Dari yang Ada, sesuai tema yang diusung pameran bisa dipahami sebagai ‘ideologi’ Putu dalam berkarya. Pada lukisan Cinta Tak Kenal Henti (60 x 70 cm, cat minyak di atas kanvas, 1990) Putu melukis pohon terbalik. Akar pohon yang seharusnya di bawah, dia jadikan di atas sebagai potret kondisi kekisruhan pada masa itu.

Pada 2000, karakter lukisan bertema pohon yang dihasilkan Putu tampak jelas. Lukisan Walau Angin Bertiup Kencang (60 x 70 cm, cat minyak di atas kanvas, 2000), menandakan Putu sudah menemukan bentuk objek lukisannya tersebut. Jika pada 1998 lukisannya masih mencari celah dan warna, pada lukisan ini, Putu sudah berani bereksplorasi dengan warna.

Hingga pada periode penyakit menyerang tubuhnya, pada 2012 itu, lukisannya sudah benar-benar berkarakter: pohon, warna dan garis yang cenderung ekspresif. "Lukisan saya kebanyakan menggambarkan tentang pohon. Tetapi saya mencoba keluar dari estetika yang ada. Saya melukis pohon tidak dengan warna yang seharusnya. Saya melukis daun dengan warna biru atau warna lainnya yang tidak melulu hijau," paparnya.

Meskipun tampak mendobrak estetika yang ada, namun lukisan-lukisan yang dipamerkan Putu setidaknya sejalan dengan apa yang dianutnya. Lukisan Matahari dan Pohon Kehidupan (120 x 90 cm, akrilik di atas kanvas, 2012) serta Wajah Kota yang Terbelah (120 x 90 cm, akrilik di atas kanvas, 2014) misalnya sangat terlihat tidak mencerminkan pohon pada umumnya. Tetapi, di sinilah sebenar-benarnya dunia Putu Wijaya yang tak mau sama dengan yang lain.

Kekhasan Putu, sekali lagi tidak bisa dilepaskan dengan cara berkesenian melalui sastra yang meneror mental. Maka menjadi wajar jika kurator pameran Ipong Purnama Sidhi mengatakan bahwa lukisan Putu diibaratkan seolah-olah pria kelahiran Bali itu sedang menata panggung teater. Bedanya, Putu tidak memainkan gerak, cahaya dan kata, tetapi lebih agresif bermain dengan warna dan garis.

Pada tafsiran Ipong, hasil karya lukis Putu merupakan memori yang terekam dalam otaknya. Terlebih, kreatifitas Putu pada lukisan semakin produktif ketika sakit menimpanya. Di situlah, lanjut Ipong, tangan kanan Putu dimaksimalkan untuk melukis dengan semangat dan daya imajinasi yang kuat.

"Apa yang dilukis Putu ketika berkesenian baik di teater atau pun dalam menulis karya sastra disimpan baik-baik di otaknya. Kemdian dia menjadikan objek gambar yang dipindahkan di atas kanvas," paparnya.

Namun, Ipong menegaskan bahwa pada lukisan tersebut, Putu tengah mencari kepuasan. Dia menilai Putu tidak sedang mencari pasar atau hal-hal yang lebih dari sekadar lukisan. Tetapi tidak menutup kemungkinan, pada pembukaan pameran yang dihadiri oleh para kolektor, seniman dan budayawan itu bakal menjadikan babak baru dalam kehidupan berkesenian Putu Wijaya. Pasar seni lukis sepertinya bakal hinggap kepada pendiri Teaeter Mandiri itu. Selamat ulang tahun Putu Wijaya.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda