Rabu, 28 November 2012

Pagi

Dari sudut mata yang lelah
Aku masih saja menawarkan rindu untukmu
Sejak dingin dan angin mengiringi tubuhku

Ini pagi bukan awal dari segalanya
Esok atau lusa, kau akan masih di sini
Di sampingku
Sampai kau sadar dan merasa
Aku ada untukmu

Dan berhenti mengumbar tangis itu
Air mata yang terus kau sembunyikan
Selalu

-02:40-
27-11-2012

Label:

Rabu, 21 November 2012

Perempuan Berjaket Merah

Ini terjadi ketika saya hendak pulang dari kerja. Biasanya saya pulang melewati jalur Soekarno-Hatta. Tapi entah saya mendadak ingin mengambil jalur Cicaheum. Oh, iya, alasannya karena hujan sedang melanda Kota Bandung. Saya berfikir jalur Soekarno-Hatta bakal macet. Karena hujan.

Tepat di kawasan pasar Cicadas. Ada sebuah motor Mio menyalip saya. Pengendaranya perempuan. Mengenakan jaket kulit berwarna merah. Rok hitam pendek. Mulus dan seksi.

Sejenak saya mengejarnya. Sekadar ingin tahu seperti apa wajahnya. Namun usaha saya tak kesampaian. Motornya lebih kencang dari yang saya pakai. Maklum motornya masih bermesin bagus. Sementara motor saya sudah tua dimakan usia. Sabar!

Namun, saya tak kehabisan akal. Saya terus berusaha mendekatinya. Setidaknya memalui kaca spion yang ada di motornya. Beruntung saya pun bisa melihat raut wajahnya yang manis. Pipinya putih. Karakter alisnya tebal. Bibir tipis. Dia tidak sadar kalau saya melihatnya sepanjang jalan.

Gerimis tetap saja turun dengan sederhana. Saya terus membuntutinya di belakang. Terminal Cicaheum pun sudah saya lalui. Oh tidak, lampu merah membuat saya kehilangan jejak perempuan berjaket merah itu. Kemana dia?

Pasrah sudah saya menghadapi kenyaatan pahit. Usaha saya untuk melihat lebih dekat dirinya pun sirna. Sepanjang jalan Cicheum-Cibiru saya masih membayangkan bagaimana jika saya melihatnya lebih dekat lagi.

Beruntung, saya masih bisa mencatat plat nomornya D 6903 GS. Mungkin suatu waktu jika memang dipertemukan di jalan, saya bisa melihatnya lagi mengenakan jaket kulit warna merah.

Tetesan hujan terus membasahi kepala saya. Jok motor sudah lama tidak bersahabat. Jika hujan, tentu saja air menggenang. Celana saya suka basah dibuatnya. Sekali lagi saya harus bersabar.

Namun, kejutan pun muncul. Tepat di depan Borma Cipadung, saya melihat kembali jejaknya. Itulah dia, hey si perempuan berjaket merah. Saya harus mengejarnya. Sayang, ia terus berpacu dengan kecepatan tinggi. Sementara motor saya hanya berjalan seperti bekicot.

Tapi setidaknya malam itu saya sudah melupakan kemacetan dan dinginnya gerimis yang membasahi tubuh saya. Selamat jalan perempuan berjaket merah. Kapan saya bisa membuntutimu lagi?

Hujan terus membesar di kawasan Cipadung. Tubuh saya basah. Kaus kaki jadi bau. Sepatu apalagi. Saya bergegas ke kosan kekasih saya. Sekadar membuang kangen malam itu. Tak lupa saya sedikit menggombalinya seperti biasa. 19 November, malam yang basah.


Label:

Jumat, 02 November 2012

SATRU: Drama Sunda yang Menukik Realitas Keborokan Pilkada

Foto/Darma Legi
Karyana, seorang calon Kuwu atau Kepala Desa Sukadana tampak kesal dan marah-marah karena pakaian yang ia kenakan mirip dengan seorang calon Kuwu saingannya, Raden Suminta.

Dia meminta istrinya untuk membuang jauh-jauh pakaian yang tengah dikenakannya itu. Ia merasa gengsi jika apapun atribut yang dipakainya sama dengan saingannya itu.

"Pokoknya saya tidak sudi jika pakaian yang saya kenakan ini sama dengan si Suminta. Tolong buang ini Bu, kalau perlu bakar saja," ujar Karyana kepada istrinya sambil membuka pakaiannya.

Itulah adegan pembuka drama sunda berjudul Satru karya Nunu Nazarudin Azhar yang dipentaskan di Gedung Sawala Unpad Bandung, Minggu (28/10) malam.

Menyaksikan drama yang disutradarai Gusjur Mahesa tersebut, saya seolah dibawa ke dalam panggung Pilkada yang penuh satir dan daya kejut yang menohok.

Betapa tidak, dari mulai adegan pembuka hingga akhir pertunjukan, nuansa kritik terhadap panggung politik yang tengah terjadi di masyarakat khususnya Indonesia ini tampak mirip seperti apa yang dipertontonkan.

Drama Satru merupakan karikatur kecil demokrasi Pilkada di Indonesia. Realitas yang dipertunjukan oleh aktor-aktor politik benar-benar ditampilkan sempurna oleh para seniman malam itu.

Melihat pertunjukan tersebut, saya sebagai penonton dihadirkan dengan sebuah pertanyaan sederhana, apakah ini benar-benar terjadi pada Pilkada di Indonesia?

Pada adegan lain misalnya, Raden Suminta pun tak mau kalah. Dia dengan gencarnya menjelek-jelekan saingannya di ajang Pilkada Desa Sukadana itu. Ia melihat sosok Karyana yang berambisius menjadi Kuwu di desa tersebut tidak akan berhasil mengingat dirinya sebagai incumbent selama dua periode.

Saling menyerang antar kedua calon Kuwu tersebut merupakan pemandangan nyata yang terjadi selama Pilkada di Indonesia. Realitas ini berhasil dimainkan di atas panggung.

Menurut sang sutradara, Gusjur mengatakan Pilkada adalah tragedi komedi yang ironis. Tragedi karena melihat para kandidat berkelahi memperebutkan kekuasaan dengan segala cara.

“Drama ini bisa juga disebut komedi karena cara dan metode yang dilakukan tim sukses masing-masing calon sangat lucu dan mengocok perut penonton,” katanya.

Sungguh saya melihat pertunjukan itu merupakan sebuah sentilan pedas terhadap para kandidat. Satir-satir yang dihadirkan ketika tim sukses berkampanye dari kedua kandidat itu merupakan orang-orang yang sama.

Tim sukses yang dimainkan dalam Satru tersebut seolah hanya ingin memeras uang para kandidat belaka. Mereka hanya menyamar dan berpura-pura mendukung salah satu kandidat.

Kritik sosial lainnya yang dihadirkan dalam pertunjukan tersebut antara lain seks dan perdagangan agama dalam kancah politik Pilkada. Fenomena VCD porno yang melibatkan anggota para pejabat tinggi sudah tidak asing lagi. Para ulama yang terlibat dalam politik memperdagangkan agamanya.

Hal tersebut terlihat ketika seorang perempuan seksi bernama Imas Vibrator tampil di atas panggung. Penyanyi dangdut ini terkenal dengan goyangan panasnya yang tampil dalam agenda kampanye Raden Suminta.

Di sisi lain, adegan kampanye kedua kandidat yang melibatkan tim sukses merupakan kisah nyata dari realitas Pilkada. Gelontoran sumbangan dari kedua kandidat kepada masyarakat Sukadana adalah potret nyata.

Betapa tidak, seorang Kyai pada drama tersebut yang mulanya menolak saat menerima sumbangan perbaikan masjid dari kedua kandidat sangat mencerminkan realitas para pemuka agama di Indonesia, terutama selama ajang Pilkada berlangsung.

Namun, dalam cerita Satru ini setelah terjadi saling menyerang antar kedua kandidat, akhirnya berakhir dengan bahagia.

Konflik pemilihan Kuwu di Desa Sukadana antara Raden Suminta dan Karyana bisa diselesaikan oleh kedua anak kedua calon kandidat tersebut, Rahmat dan Dini yang salih jatuh cinta.

Generasi muda yang tidak mau lagi menerima warisan konflik secara turun temurun itu berusaha menghentikannya. Anak muda itu berpendapat bahwa konflik apapun bisa diselesaikan oleh cinta dan kasih sayang.

Ya, semoga kisah Satru di desa kecil ini bisa menular pada tataran besar. Semoga padaPilkada baik pemilihan bupati, wali kota, gubernur bahkan presiden pun bisa diselesaikan oleh cinta dan kasih sayang.

Tak terasa, pertunjukan pun usai dengan happy ending. Tampak sebagian penonton menguraikan air mata haru. Raden Suminta dan Karyana berpelukan hangat, mereka punbersaing menjadi kandidat calon Kuwu dengan damai. ***