Senin, 12 Mei 2014

Demonstran

Teater Koma mementaskan lakon Demonstran karya sutradara Nano Riantiarno di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Jakarta pada 1-15 Maret 2014. Lakon Demonstran berkisah ihwal pencarian identitas mantan aktivis bernama Topan yang kelak sudah mapan atas hasil jerih payahnya turun ke jalan selama 20 tahun.

Tokoh Topan diperankan Budi Ros. Semenara Bunga, istrinya dimainkan oleh Cornelia Agatha. Keduanya menikah dan berumah tangga. Bunga sangat setia terhadap Topan selama berjuang menjadi demonstran. Kondisi ekonomi Topan dan Bunga sudah mapan setelah menjadi saudagar sukses dan terkenal. Topan tidak mau lagi demonstrasi karena menganggap sudah tak ada lagi yang dia cari.

Beberapa kawan anak buah seperjuangannya, Niken, Wiluta dan Jiran masih bersemangat berdemonstrasi. Beberapa kali mereka membujuk Topan untuk turun ke jalan. Namun, Topan menolak bahkan menyuruh mereka mencari sosok demosntran baru. Padahal, sosok Topan setiap tahunnya diperingati sebagai seorang pahlawan. Sampai-sampai, seorang Pejabat-T membuatkannya Patung Topan sebagai penghormatan. Topan dianggap berjasa telah menumbangkan rezim otoriter 20 tahun silam.

Kondisi berubah. Bunga, sang istri Topan yang dekat dengan Pejabat-T menjadi titik balik seorang Topan untuk kembali turun ke jalan. Dia merasa hasil yang telah diraupnya itu tidak berarti apa-apa. Niat busuk Pejabat-T yang ingin menjadi presiden menjadikan Topan sebagai tumbal. Di tangan ajudan Pejabat-T bernama Bujok, Topan tewas terkena timah panas di kepalanya.

Lakon Demonstrans ditulis Nano Riantiarno pada 1989. Awalnya lakon ini berjudul Topan, Sang Demonstran. Namun nano mengubahnya menjadi Demonstran saja. Lakon Demonstran mengandung satir, kritik dan sindiran yang pedas. Kisahnya sangat relevan dengan kondisi dan fenomena yang terjadi di Indonesia.

Bukan Teater Koma nananya jika setia lakon yang dipentaskan tidak keras mengkritik. Bahkan hal yang tak terpikirkan misalnya, ketika Topan diwawancarai para jurnalis yang mendorongnya maju sebagai calon pemimpin. Usai Topan diwawancara, para jurnalis tersebut dibagi hadiah dan amplop berisi uang. Cerminan tersebut cukup menyentil fenoman media di Indonesia.

Namun itu tak seberapa, dalam Demonstran, beberapa adegan malah lebih banyak lagi menyindir situasi politik dan ekonomi Indonesia. Kecurangan, korupsi, kolusi dan nepotisme nampak hadir menghiasi sepanjang pementasan lakon. Konon, upaya sindirian dan kritikan pedas sudah menjadi ciri khas Teater Koma.

Lakon yang diproduksi ke-132 ini berdurasi sekitar 180 menit. Tata panggung yang cukup wah memberikan kesan tersendiri terhadap penonton. Improvisasi tim artistik cukup berhasil menata tata letak yang dibutuhkan. Sehingga, pertunjukan berjalan tanpa gangguan pandangan penonton.

Lakon Demonstran juga mampu mengatur waktu dan jeda beberapa adegan. Pemilihan adegan serius dan humor sebagai pemanis lakon berhasil membuat sebagian penonton betah untuk menuntaskan lakon hingga usai. Sayangnya, dalam Demonstran, Teater Koma sepertinya masih belum percaya diri menampilkan tokoh utama yang diperankan oleh generasi muda.

Dalam Demonstran, bisa dilihat para aktor muda sebagian besar diposisikan sebagai pemeran pembantu. Sementara beberapa aktor senior dipercaya menjadi pemeran uatama. Tentu saja, sebagai teater yang fenomenal dan masih kuat bertahan, Teater Koma punya asalan sendiri memilih siapa aktor utama. Namun, sebagian penonton tentu saja ingin menyaksikan bagaimana sepak terjang para aktor pendatang baru. Bukan hanya menyajikan para aktor senior yang sudah diakui keaktorannya.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda