Rabu, 23 Oktober 2013

... Dan Inilah Jakarta

Para perupa memandang Jakarta sebagai kota ‘seksi’ untuk dijadikan objek karya seni. Ini terbukti pada pameran bertajuk Ada Apa Jakarta? di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 21-29 Agustus 2013. Sejumlah perupa yang tergabung dalam Komunitas Artventure berhasil menafsirkan Jakarta ke dalam karyanya masing-masing.

Lukisan karya Afriani berjudul Melawan Tren (165 x 160 cm - 2012) memberikan kesan perlawanan terhadap serangan budaya modernitas yang tengah menggerogoti generasi masa kini. Lukisannya yang dituangkan melalui minyak di atas kanvas, menyempilkan pesan betapa pentingnya menjaga tradisi Ondel-ondel dari ancaman budaya barat.

Goresan kuas pada Melawan Tren menggambarkan para bocah tampak asyik bermain. Mereka berlarian seolah dikejar ondel-ondel. Tanpa alas kaki, raut muka polos dan penuh tawa, para bocah itu menikmati indahnya budaya tradisional Jakarta, Ondel-ondel.

Sepintas, lukisan tersebut tidak memiliki makna apa-apa atau hanya memotret fenomena belaka. Namun jika ditelaah lebih dalam, terdapat beberapa simbol tertentu yang ingin disampaikan Afriani. Ondel-ondel, tawa, dan pakaian para bocah adalah penanda kondisi Jakarta yang sesungguhnya.

Afriani sendiri mengaku dalam setiap pengkaryaannya, kerap melakukan riset ke lapangan. Dia masuk ke dalam kondisi keseharian Jakarta untuk menemukan ruang dan waktu penciptaan karya. "Kalau diperhatikan ekspresi Ondel-ondelnya saja, kita seolah-olah akan menangkap pesan yang mengingatkan kepada generasi muda untuk tetap mencintai budaya."

Yang ingin ditegaskan dalam lukisan ini adalah tradisi Ondel-ondel keliling. Mereka, para pelaku seni tradisi tersebut masih mempertahankan kesenian agar terus dihadirkan dalam kondisi kekinian Jakarta. Setidaknya, dalam penafsiran Afriani, hadirnya pengaruh budaya barat dengan mengguritanya permainan (game) anak-anak serba digital saat ini, masih bisa diimbangi dengan kesenian khas Jakarta.

Dalam penciptaan karya seni, tema berbau Jakarta memang tidak pernah habis dikupas dan ditelanjangi para seniman. Bermacam sudut pandang yang diambil pelaku seni berhasil diangkat dalam pameran Artventure ini.

Karya pelukis Z. Arifin berjudul Ironi (70 x 50 cm, oil on kanvas, 2013) bercerita tentang permasalahan banjir Jakarta. Ada beberapa penanda mewakili judul yang ingin disampaikan Arifin antara lain, Monumen Nasional (Monas), gedung-gedung menjulang, banjir, mobil dan burung.

Sebagian orang tentu tahu betul bahwa Jakarta adalah denyut jantungnya Indonesia. Simbol Monas dan gedung-gedung menjulang adalah sebuah kemewahan negeri ini. Namun, pada kenyataannya peradaban modern di negeri ini justru tidak singkron dengan permasalahan klasik yang terus berulang hampir setiap waktu, yakni banjir.

Di sinilah, Jakarta dan banjir, dalam pandangan Zaini tak bisa dipisahkan. Dengan sangat menukik, seniman ini menghadirkan simbol seekor burung dan kumbang yang tengah menyelamatkan diri dari genangan banjir di atas sebuah penunjuk jalan. Sementara, mobil-mobil mewah tenggelam dalam kubangan air banjir.

Karya lain, yang juga membedah sisi lain Jakarta adalah karya Rizal MS berjudul Jakarta Oh Jakarta (100 x 150 cm, oil on kanvas, 2012). Lagi-lagi, pelukis menghadirkan ikon Monas dan gedung-gedung tinggi di Jakarta.

Namun, yang menarik dalam karya Rizal adalah ironisme antara rumah-rumah kumuh yang disejajarkan dengan gedung-gedung menjulang tersebut. Goresan kuas Rizal sengaja lebih menonjolkan kawasan kumuh di Jakarta sebagai kritik terhadap fenomena yang terjadi selama ini.

Lukisan dengan tema serupa juga bisa dilihat dari karya T. Budhi berjudul Sisi Jakarta (145 x 150 cm, oil on canvas, 2013). Budhi mengangkat potret keseharian warga Jakarta yang hidup di dekat kali. Aktifitas keseharian warga seperti mencuci, kakus dan lainnya persis dituangkan secara implisit. Budhi ingin menghadirkan fenomena jamak yang dilakukan warga Jakarta.

Berbeda denga perupa lain, Yudi Hermunanto memamerkan karyanya  berjudul Blusuk’s Man (95 x 99 cm). Secara apik, Yudi menampilkan sosok Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo alias Jokowi pada synthetic paint di atas kaca.

Pada karya Blusuk’s Man ini, Yudi tidak terlalu banyak menuangkan goresan. Dia hanya menampilkan dua bayang Jokowi dari tubuh asli saat mantan Wali Kota Solo itu tengah berjalan dengan senyum khasnya. Blusuk sendiri adalah sebuah kata yang dipredikatkan kepada Jokowi yang selalu mengunjungi langsung warga Jakarta.

Tentu saja, dari puluhan lukisan yang dipamerkan, masing-masing karya memiliki pesan dan simbol tersendiri. Meskipun, seniman yang tergabung dalam Artventure ini tidak melulu mencipta karya sesuai tema yang diusung. Pada prinsipnya, komunitas Artventure membebaskan seniman untuk mengeksplorasi karya yang dibuatnya.

Sebagai contoh, lukisan karya Khoiri, berjudul Keagungan yang Mengiringi (140 x 140 cm acrylic di atas kanvas 2013). Dia bercerita tentang falsafah hidup dengan menghadirkan simbol pada setiap goresan abstrak lukisannya. Dalam karyanya, Khoiri menampilkan ruang-ruang kompleksitas hidup yang mengunci jiwa dan hati manusia. Tiga arsiran bulat dalam goresan kuasnya adalah simbol pengunci diri bagi kehidupan seseorang yang harus tetap berpegang teguh terhadap sang pemiliki alam, Tuhan.

Adapun karya Sohieb, berjudul Symphony (120 x 145 cm, oil on kanvas 2013), menggambarkan keakraban seorang bocah yang tengah meniup seruling dan seekor kucing di hadapannya. Keduanya menandakan bahwa manusia dan binatang harus tetap saling mencintai satu sama lain.


Label:

Dua Jam Bersama Renitasari

Hawa dingin dari air conditioner tiba-tiba menusuk kulit ketika memasuki Galeri Indonesia Kaya (GIK)—sebuah gedung milik PT Djarum yang rencananya diperuntukan sebagai tempat pertunjukan kesenian.

Lokasi GIK berada di Mal Grand Indonesia, Jakarta. GIK bukan hanya sekadar tempat pertunjukan saja, tetapi dirancang khusus sebagai cagar budaya bernuansa moderen yang sengaja dibangun di tengah mal agar bisa dinikmati banyak orang.

Memasuki GIK pada Agustus lalu, saya seolah merasakan nuansa kekayaan budaya Indonesia. Bangunan seluas 365 meter persegi itu difasilitasi dengan properti khas lokal Indonesia seperti dinding berlapis kain batik, kursi dari bahan rotan asal Cirebon, hingga pernak-pernik lainnya yang melambangkan kebudayaan asli Indonesia. Rencananya GIK ini akan diresmikan dan bisa dikunjungi publik pada Oktober mendatang.

Saat tengah asyik memerhatikan indahnya ruangan, seorang perempuan tinggi semampai menghampiri saya. Bibirnya merah bergincu. Rambutnya hitam lurus. Sebuah kalung cantik terikat di lehernya. Dia mengenakan jins dipadu atasan blouse hitam.

Sambil melempar senyum, dia menyalami saya dan mulai membuka high heels-nya serta duduk bersila laiknya lelaki. "Kita lesehan aja ya biar santai," ujarnya.

Perempuan itu bernama Renitasari. Sudah sejak lama, saya ‘mengincar’nya untuk wawancara. Gaya bicaranya hangat dan penuh keakraban. Dia tampak lelah karena baru saja melakukan pemotretan oleh sejumlah media termasuk Bisnis Indonesia. “Duh… hampir lima kali ganti baju nih untuk pemotretan,” katanya dengan nafas naik turun dan suara serak-serak basah.

Nama Renitasari belakangan akrab didengar pada ajang pertunjukan budaya. Sebut saja misalnya pagelaran Legenda Drama Tari Padusi garapan sutradara Rama Suprapto, Konser Maha Cinta Rahwana garapan dalang Sujiwo Tedjo hingga pertunjukan terbaru Sri Mimpi Indonesia karya Guruh Sukarno Putra, yang semua pagelaran tersebut Renita terlibat di dalamnya.

Bagi Renita, begitu dia disapa, bergelut dengan kebudayaan merupakan passion-nya dari dulu. Perempuan kelahiran Bandung, 39 tahun silam itu mengaku tertantang ketika ditugaskan mengelola Djarum Foundation. Hampir 3 tahun, dia menjabat sebagai Direktur Program Bakti Budaya, lembaga nirlaba milik salah satu perusahaan rokok terbesar negeri ini.

Salah satu misi yang diemban Renita di Djarum Foundation yaitu mengenalkan kebudayaan Indonesia agar diterima masyarakat luas. Dia menilai selama ini budaya yang terdapat di Tanah Air semakin terkikis atau hilang secara perlahan. Dia berpikir mesti ada pembenahan dari strategi kemasan budaya pertunjukan di Indonesia. Untuk itu, muncullah ide segar yang diamanatkan Djarum untuk memajukan kebudayaan, khususnya dalam ranah pertunjukan.

Renita mulai memutar otak mencari gagasan cerdas agar bisa merangkul beragam kebudayaan Indonesia untuk bisa dinikmati publik. Salah satunya melalui seni pertunjukan. "Kenapa pertunjukan? Karena dalam suatu pertunjukanlah, berbagai macam kesenian terakomodir," paparnya.

Renita mulai bergabung di PT Djarum pada 2007. Awalnya dia ditugaskan sebagai Corporate Communication Manager hingga 2011. Pihak perusahaan saat itu tengah membuka sebuah program yang berfokus kepada pengembangan kearifan lokal dan budaya Indonesia. Renita dipercaya memegang kendali. Pihak perusahaan meminta dia untuk mengurus program tersebut.

Ibarat pribahasa pucuk dicinta ulam pun tiba, Renita tak menyia-nyiakan tawaran. Dia menyetujui untuk mengelola program Djarum Bakti Budaya yang dibangun pada 2011. Meskipun, pada 1990-an, PT Djarum sudah jauh-jauh hari memberikan sponsorship untuk acara-acara bertema kebudayaan. Tugas pertamanya waktu itu adalah meriset seluruh kesenian yang ada di Indonesia. Dia mulai melakukan pendekatan kepada sejumlah seniman dan kantung-kantung kesenian di seluruh negeri ini.

Pihak Djarum Foundation pun mulai memberikan sponsor untuk acara pertunjukan dari skala kecil hingga besar. Lambat laun, proposal ajuan kerja sama perhelatan seni pertunjukan seperti konser, drama atau pun tari berdatangan dan menumpuk di meja kantornya.

Merasa banyaknya pihak yang ingin dibantu dalam permasalahan biaya pertunjukan, pihaknya mulai selektif menerima tawaran. Setiap proposal masuk, seleksi terlebih dahulu kelayakannya. "Karena kami sadar, dana yang dikelola tidak gede-gede amat."

Sistem kerja sama yang dilakukan Djarum Foundation yaitu mensubsidi biaya pre produksi. Dia tahu betul biaya sebuah pertunjukan tidak murah. Di sinilah pihaknya membantu para kelompok seni mulai dari tahap promosi media hingga pertunjukan digelar. Pihak Djarum Foundation tidak mengambil sepersen pun dari laba yang diperoleh penyelenggara. "Kami murni membantu. Urusan laba dari hasil penjualan tiket, semuanya kembali kepada pihak penyelenggara," ujarnya.

Menapakai Karir

Sebetulnya, karir Renita yang berkaitan dengan kebudayaan, berawal saat dia menjadi Public Relation (PR) Officer Hotel Panghegar, Bandung pada 1993-1994. Di Hotel Panghegar, setiap hari dia dimanjakan oleh beragam pertunjukan seni Sunda. Maklum, hotel tersebut konon menjaga tradisi kesundaan bagi para tamunya. Di situlah jiwa keseniannya tertanam. Untuk itu, Renita tidak terlalu cemas jika perusahaannya saat ini mempercayakan dia mengelola program di bidang kebudayaan. "Mungkin sepertinya hidup saya 'dikutuk' untuk tidak jauh dari budaya," paparnya seraya tertawa lepas.

Perjalanan karir sebagai PR mulai membawa dirinya terus ingin mencoba hal baru. Selepas dari Hotel Panghegar, ibu dari Nadya Natasha dan Raisha Zahra itu menapaki karir di ASEAN Business Forum yang digagas pengusaha Abu Rizal Bakrie. Renita didapuk sebagai Liaison Officer pada 1994-1995 yang bertugas mengurus pertemuan para taipan se-ASEAN di Singapura. Tak lama kemudian, pada 1996 dia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai Account Executive di MediaComm PR Communication selama setahun.

Boleh dibilang, sosok perempuan hobi masak ini menyukai tantangan. Begitu juga dengan pekerjaan, dia terus mencari pengalaman yang dirasa membuat dirinya tertantang. Iseng-iseng membaca lowongan pekerjaan di koran, pada 1997 dia memasukan lamaran untuk PT Delta Jakarta Tbk., sebuah perusahaan yang bergerak di minuman. Karir baru pun dia lakoni dengan penuh hati.

Di perusahaan ini adrenalinnya semakin terpacu. Dia merasa betul-betul tertantang mengelola perusahaan minuman berlakohol. Sebagai Key Account Manager, perlahan kinerjanya terus dibuktikan, sehingga pada 2001, dia diangkat menjadi Produk Manager minuman bir Carlsberg. “Orang bilang kan biasanya minuman alkohol selalu identik dengan lelaki, tetapi saya buktikan bahwa saya bisa,” paparnya.

Banyak pengalaman yang didapat saat perempuan lulusan Stamford College, Singapura, ini bergabung dengan PT Delta Jakarta Tbk. Pengalaman dan ilmu berharga mengenai dunia marketing, pelayanan, hingga brand management dia dapatkan selama 10 tahun di perusahaan tersebut. Sampai akhirnya dia sadar zona nyaman perlahan sudah mulai hilang dan harus mencari pekerjaan baru. “Akhirnya, di Djarum-lah saya menikmati pekerjaan sebenarnya.”

Pernah Tomboy

Mengenang masa kecil Renitasari sama saja dengan membuka kembali lembaran lama sebagai perempuan tomboy. Dengan penuh tawa yang memecah suasana, Direktur Program Bakti Budaya Djarum Fundation ini bercerita habis-habisan tentang pribadinya.

“Saya itu waktu masih duduk di SD hingga SMA suka bolos sekolah, berkelahi, main layangan dan… wah pokoknya beda banget sama sekarang ini. Sampai-sampai saya ‘dijebloskan’ ke pesantren sama orang tua,” ungkapnya.

Renita masih ingat betul saat beberapa kali keluar-masuk sekolah dari SMA satu ke SMA lain. Tak terhitung berapa kali pula pihak sekolah memanggil orangtuanya gara-gara dia suka bikin ulah di kelas, hingga dia dijuluki sebagai jagoan di sekolah.

Beruntung, sejak masuk salah satu pesantren di Tasikmalaya, Jawa Barat, pola pikirnya berubah. Banyak pelajaran yang didapat hingga perlahan dia mengubah sikap dan perilakunya.

Merasa dirinya lebih dewasa dan tidak ingin terus membebani orangtua, Renita serius melanjutkan pendidikan. Selepas lulus dari pesantren, dia terbang untuk kuliah mengambil jurusan Public Relations (PR), di Stamford College, Singapura. Pada 1990-an, jurusan PR memang tengah menjadi tren dan banyak dibutuhkan perusahaan.

Padahal sebelumnya, lanjut Renita, dirinya sangat tertarik di dunia Photography. Dia memandang menjadi fotografer memiliki kesan macho dan keren. Tetapi pihak orangtua melarang karena menganggap karir fotografer tidak akan berarti apa-apa untuk ke depannya.

“Dasar ya orangtua dulu mah suka menilai yang enggak-enggak. Sampai mereka bilang: Maneh teh rek jadi tukang foto keliling, make hayang jadi fotografer sagala [kamu itu mau jadi tukang foto keliling? Ngapain jadi fotografer?],” paparnya menirukan ucapan orangtuanya sambil tertawa lepas.

Namun akhirnya, Renita sadar dan bersyukur dengan apa yang dimilikinya saat ini. Terutama, keluarga yang mendukung dari mulai suami sampai kedua anaknya yang tidak mempermasalahkan karirnya sekarang.

Padahal, lanjutnya, berkarir yang banyak terlibat dengan kesenian terkadang menyita waktu untuk bersamaan dengan keluarga. “Tetapi saya beruntung masih bisa memanage waktu bagi anak-anak dan suami. Makanya, ketika memiliki kesempatan libur cukup, saya luangkan waktu sebaik-baiknya bagi keluarga,” paparnya.

Label:

Mengintip Joshua Pandelaki

Joshua Pandelaki dan saya di Markas Teater Koma Jakarta
Mungkin sebagian orang mengenal Joshua Pandelaki sebagai aktor yang kerap berperan di sinetron. Namun, lebih dari itu, karirnya sebagai aktor jauh malang melintang di atas panggung bersama Teater Koma. Seperti apa perjalanan karir pria ramah senyum ini? Wawancara ini dilakukan di studio Teater Koma bilangan Bintaro Jakarta. Berikut petikannya:

Bagaimana awal mula bergabung di Teater Koma?
Awal 1978 sanggar Teater Koma masih berada di kediaman orangtuanya Ratna istri Nano Riantiarno. Para seniman yang terlibat saat itu berasal dari latar belakang yang beragam dan bukan orang teater semua. Hanya saja karena tokohnnya Nano sama Ratna dari teater popular dan teater kecil, maka kedua unsur ini menjadi satu dan cocok. Teater Koma saat itu menjadi pionir teater modern Indonesia. Kita bisa mengelola penonton sehingga teater saat itu punya pasarnya sendiri.

Teater memang mesti hidup dari penontonnya. Seniman bukan hanya duduk di sanggar, menulis dan ngurusin undangan. Seniman juga mesti memikirkan bagaimana menarik penonton untuk hadir di setiap pertunjukan Teater Koma. Karena kesadaran itu, Teater Koma jadi produktif dalam berkarya. Memang strategi itu sudah dilakukan teater popular di bawah naungan Teguh Karya. Jadi dulu pada zaman Teguh Karya, teater sudah dipentaskan di hotel pada sekitar 1960-1970. Dan cara itu membekas sehingga diteruskan oleh Teater Koma.

Keterlibatan di Teater Koma, waktu itu saya main saat masih bujangan, sekitar era 1976-1977. Mas Nano sama Mba Ratna dulu belum menikah. Saya waktu itu main pada lakon “Maaf. Maaf. Maaf.” pada sekitar 1978.

Apa peran Anda pertama kali di Teater Koma?
Ketika bergabung di Koma, saya dulu masih di belakang panggung. Tidak terlibat langsung di atas panggung. Awalnya hanya mengurus perpustakaan, promo pertunjukan dan marketing untuk Koma. Misalnya, jika mau ada pertunjukan, saya bentuk tim dengan rekan lainnya. Setelah itu keliling memasang spanduk, poster iklan pertunjukan. Seperti itu saja kerjaannya.

Apa itu efektif?
Efeknya tentu saja ada, secara tidak langsung penyebaran poster membentuk komunitas penonton.  Sebagai contoh, dulu ada mahasiwa dari Bandung melakukan survey bahwa Teater Koma ternyata memiliki penonton sekitar 16.000 orang. Kebetulan waktu itu sudah ada internet mailing list yang ternyata efektif.  Dan itu menjadi sebagian pengelolaan penonton sehingga antara Teater Koma dan penonton memiliki sambung rasa. Pertunjukan Teater Koma paling tidak main selama 15 hari. Itu dilakukan karena adanya penonton. Mereka dengan sendirinya datang. Mereka ada yang bawa oleh oleh dan lain lain. Itu menyenangkan. Jadi kita terdorong untuk produktif terus menerus.

Lakon apa yang pertama kali Anda mainkan?
Saya pertama kali bermain pada lakon Pernikahan Darah karya Federico Garcia Lorca meskipun hanya berperan sedikit saja. Pengalaman yang didapat sangat berkesan. Ada juga perasaan bangga saat main bareng Rima Melati

Kapan keterlibatan Anda menjadi sutradara?
Karena saya suka berlama-lama di perpustakaan, saya jadi suka baca apapun yang ada. Sedikit-demi sedikit membawa saya menjadi pendamping sutradara dan ngurusin latihan. Setelah itu lama-lama saya menyukai divisi penyutradaraan dan tertarik di bidang directing. Setelah belajar lebih jauh, saya baru sadar ternyata penyutradaraan itu kompleks. Terutama tanggung jawab moral keseniannya. Di situlah kemudian saya terasah menjadi asisten sutradara. Sampai akhirnya naskah Raja Ubud menjadi lakon pertama yang saya sutradarai.

Bagaiamana perasaan Anda pertamakali  menyutradarai?
Awalnya memang sedikit gamang. Saya harus mengeksekusi konsep, produksi, sampai menentukan karakter pemain yang benar-benar cocok. Bahkan tanggung jawab kita ke produksi apakah pertunjukan akan laku atau tidak itu berada pada sutradara.

Karir keaktoran Anda didapat dari teater, film dan sinetron, mana yang Anda lebih sukai?
Saya melihat itu bukan persoalan mana yang paling saya sukai, tetapi ada hal lain yang sangat penting, yaitu ekspresi. Artinya ketika saya main di tiga media yang berbeda, maka kesadaran pertama adalah kesadaran ekspresi dan takaran. Maksudnya begini, secara teknikal ketika seseorang main di panggung, dia melakukan teknik yang berbeda, dan feelnya pasti terasa berbeda sebagai aktor dari masing-masing media yang dia perankan.

Apakah puncak peran seseorang ada di teater?
Beberapa aktor besar seperti Al Pacino, Robert de Nirro atau Dustin Hoffman memulai karir dari teater. Tapi tak lama kemudian, mereka banyak terlibat untuk film-film layar lebar. Dan peran mereka sangat berhasil. Namun tidak menutup kemungkinan, saya juga sering kecewa ketika aktor masuk sinetron. Meskipun ada yang sengaja masuk atau dicemplungin ke sinetron. Untuk itu saya berkewajiban mengingatkan dengan cara saya sendiri terlibat di sinetron.

Seorang aktor sejati baiknya main di peran apa?
Saya kira pilih-pilih peran seperti itu jangan dilakukan.

Apa penilaian Anda tentang aktor idealis?
Idealis itu artinya ukuran sebagai seniman. Misal, kala saya mau jadi aktor teater saja dan tidak bermain untuk yang lain, itu bukan idealis namanya, tetapi keputusan.

Apa yang Anda dapatkan selama 35 tahun bergelut di Teater Koma?
Belajar kehidupan. Hanya itu. Itu yang membuat kita tetap bertahan. Tetap cinta, dan kita terus menekuninya. Jika tidak, kita tidak bisa melayani kesenian itu sendiri.

Menurut Anda seorang aktor memang perlu finansial dari profesinya?
Prinsipnya begini, seni itu memanfaatkan apa yang ada. Maka jadilah bisnis itu, kalau saya sebagai aktor seni, saya mengelola apa yang saya miliki saya sebagai aktor. Itulah salah satunya yang membuat saya bertahan.

Label:

Menafsir Wayang di atas Kanvas

Agus Nuryanto dan para jurnalis di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki
Ridho Alloh terletak di bawah telapak kaki ibu. Peribahasa ini kerap terdengar dalam kultur masyarakat Islam. Inilah yang membuat pelukis asal Yogyakarta, Agus Nuryanto terinspirasi sebuah lukisan berjudul Restu Ibu.

Dalam lukisan Restu Ibu, enam malaikat bersayap tengah memperhatikan adegan seorang anak yang tengah sungkem terhadap ibunya. Tangan sang ibu memegang kepala dan punggung sang anak. Sementara sang anak duduk bersila memohon doa restu dengan penuh kesopanan.

Lukisan ini dibuat pada 2008 dalam medium akrilik di atas kanvas berukuran 150 x 150 cm. Karya ini merupakan satu dari sekian banyak lukisan yang paling disukai Agus selama bergelut dengan lukisan. Pesan yang ingin disampaikan begitu kuat. Pemilihan warna dibuat seapik mungkin. Agus seolah ingin memberikan kesempurnaan dengan apa yang ingin dilukisnya.

"Saya sangat jatuh cinta dengan lukisan ini. Boleh dibilang ini lukisan masterpice saya," ujarnya ketika berbincang pada pameran tunggalnya bertajuk The Spirit of Wayang belum lama ini.

Tampaknya, setiap lukisan yang dihasilkan sejak berkarir pada 1994 itu terinspirasi dari kisah sehari-hari. Agus juga terkadang menyisipkan kritik sosial pada lukisan yang dibuatnya. Ini bisa dilihat dari karya berjudul Chengho Return (100 x 100 cm, akrilik di atas kanvas, 2012).

Laksamana Chengho, seorang kaisar muslim Cina yang hidup pada era 1403-1424 itu sempat mampir ke Indonesia. Dengan sangat menohok, Agus memberikan penanda yang menyentil terhadap kondisi kekinian Indonesia. Dua tokoh pewayangan yang dia gambarkan sebagai masyarakat biasa tengah memegang bendera Merah Putih. Uniknya lagi, kedua wayang tersebut mengenakan pakaian modern.

Sementara latar belakang pada lukisan tersebut sengaja dibubuhkan ornamen gedung-gedung tinggi menjulang. Kondisi jalan yang tengah mereka gunakan berbeda dengan zaman dulu. Tak ada kerikil, tak ada bebatuan. "Di sini, Chengho saya gambarkan seolah tidak percaya dengan keadaan Indonesia masa kini," kata Agus berkisah.

Sentilan yang dikemukakan Agus melalui goresan kuasnya juga terlihat pada lukisan berjudul Pasti Jaya (100 x 100 cm, akrilik di atas kanvas, 2011). Lukisan ini sangat menarik perhatian. Seorang wayang tengah menunggangi burung Garuda, sebagai lambang negara Indonesia. Wayang tersebut tengah terbang di atas langit sambil menaburkan emas ke Bumi.

Uniknya, di atas langit tersebut sebagian pulau di Indonesia terlihat jelas, sehingga Agus ingin memberikan pesan bahwa Garuda yang ditunggangi diibaratkan sebagai kendaraan yang memberikan kemakmuran terhadap bangsa dan negara. Tentunya, Agus menyampaikan bahwa siapa saja yang menunggangi Garuda dengan baik akan membawa keberkahan bagi Indonesia.

Secara lembut dan penuh hati-hati, Agus menyampaikan kritikan terhadap pemimpin bangsa ini yang belum bisa mensejahterakan rakyat. Dalam pandangan pelukis, burung Garuda yang ada saat ini hanya simbol belaka. Semboyan yang ada di dalamnya belum berarti bagi kehidupan rakyat sepenuhnya.

Dalam pameran tunggal yang menampilkan sekitar 148 lukisan itu, ternyata Agus membubuhkan sebuah karya yang mampu mengocok perut. Lukisan berjudul Sedang On (100 x 110 cm, akrilik di atas kanvas, 2010) bercerita tentang seorang wayang yang dilanda rindu terhadap pasangan perempuannya.

Dua simbol hati pertanda cinta kedua lawan jenis hadir dalam goresan kecil di tengah kanvas. Ini menunjukkan jarak yang terlampau jauh antara wayang lelaki dan perempuan. Sementara wayang perempuan tengah berdiri dengan sama-sama merindukan sang kekasih. Simbol hati dalam lukisan ini merupakan jurang pemisah. Sehingga, pengunjung yang melihat secara detail akan mengerti bahwa kedua pasangan tersebut tengah saling berjauhan.

Lukisan Sedang On didominasi dengan warna merah. Agus sepertinya sadar betul memilih warna merah yang memiliki simbol berani dan tangguh. Dan, yang paling menandakan dari judul lukisan tersebut adalah jenis kelamin lelaki yang tegang sehingga pakaian yang digunakan terlihat menonjol.

Jika diperhatikan secara seksama, Agus Nuryanto merupakan seorang pelukis yang intens terhadap pewayangan. Maka tak heran jika setiap karyanya mengambil objek wayang. Dia mengibaratkan kehidupan pewayangan seperti halnya kehidupan manusia.

Dia sendiri mengaku sudah jatuh cinta terhadap dunia wayang sejak duduk di bangku sekolah dasar. Dia banyak dicekoki wayang purwo dan wayang beber. Kedua jenis wayang ini membuat inspirasinya terus mengalir dalam setiap goresan kuasnya. “Tetapi saya belum bisa membuat satu tokoh pewayangan. Wayang yang terdapat dalam setiap lukisan saya asumsikan hanya sebagai manusia biasa,” paparnya.

Label:

Niskala Cinta dan Ruang Kosong

Pengunjung memperhatikan lukisan Mas Padhik di Galeri Cipta Taman Ismail Marzuki
Apa relasi kata cinta dengan sosok para mantan pemimpin sebuah negara seperti Sukarno, Mahatma Gandhi, Abdurrahman Wahid dan Nelson Mandela? Bagi sebagian orang tentu akan langsung mencap mereka sebagai pejuang perdamaian dan hak asasi manusia bagi kehidupan dunia. Mereka adalah tokoh pembawa cinta. Cinta yang universal.

Maka tak heran jika pelukis Mas Padhik menuangkan gagasan keempat tokoh tersebut dalam sebuah lukisan. Dia ingin, apa yang telah diajarkan para pemimpin itu bisa diingat dan ditiru oleh generasi penerus bangsa.

Lukisan berjudul Orang-Orang Besar (140 x 140 cm, acrylic on canvas, 2012), merupakan salah satu dari 17 lukisan dalam pameran tunggalnya Niskala Cinta. Pameran ini digelar di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, pada 4-13 Oktober 2013. Tema cinta adalah semangat yang diusung Padhik dalam mendedahkan gagasannya.

Cinta, dalam pandangan berkesenian Padhik adalah ruang yang harus disampaikan ke khalayak. Dalam kehidupan, cinta senantiasa mengisi relung jiwa setiap insan. Dia meyakini, segala proses kehidupan tanpa didasari cinta akan berdampak buruk terhadap hasil yang dicapai. “Dalam pameran ini saya bercerita tentang cinta yang luas,” katanya. “Bukan cinta yang spesifik.”

Pada lukisan berjudul Adam dan Hawa (garis tengah : 210 cm, acrylic on canvas, 2012), Padhik dengan apik menafsirkan kisah manusia pertama. Tokoh Adam dan Hawa, sebagaimana dalam kisah yang diajarkan beberapa agama bercerita tentang proses manusia turun ke Bumi.

Dalam lukisan tersebut, sosok Adam tengah berdiri telanjang bulat tak jauh dari Hawa yang berbaring di atas batu. Sebuah apel merah tersimpan tepat di hadapan Hawa di bawah pohon terdapat di taman surga. Sementara sosok perempuan berekor ular ditafsirkan sebagai setan yang berbisik kepada Adam untuk mencicipi buah tersebut.

Uniknya, pada lukisan ini Padhik seolah mendobrak pakem mitos kisah Adam dan Hawa. Beberapa penanda yang berusaha dihilangkan adalah buah khuldi. Dalam mitos agama, buah khuldi menjadi penyebab diturunkannya Adam dan Hawa ke Bumi. Pemilihan objek dalam goresan Padhik justru menggantinya dengan buah apel yang jelas melawan arus kisah dalam mitos agama tersebut.

Selain itu, dia juga berani menampilkan sosok perempuan yang dianggap sebagai setan. Pemilihan sosok setan berekor ular merupakan tafsiran ekspresi seorang seniman. Dia menegaskan, lukisan Adam dan Hawa merupakan pelajaran menyikapi sebuah kehidupan yang mengawali proses cinta manusia. “Jika Adam tidak memakan buah itu, mungkin kita tidak akan berada di Bumi,” paparnya.

Lukisan lain berjudul Cinta yang Sunyi (122 x 122 cm, acrylic on canvas, 2013) menampilkan sosok Bunda Theresa, seorang misionaris cinta dan kasih dunia. Padhik ingin merekam jejak Bunda Theresa yang berjuang menolong warga miskin dunia. Lukisan tersebut menggambarkan lima orang perempuan tanpa wajah tengah memegang foto Bunda Theresa.

Pemilihan warna cokelat tua pada lukisan ini cukup mewakili judul lukisan. Kerutan wajah Bunda Theresa memberikan pesan kuat. Selama hidup, perjuangannya membela kaum miskin tak pernah goyah. Menjadi wajar jika Padhik memasukan lukisan ini dalam Niskala Cinta.

Tafsir cinta lain yang disampaikan pelukis kelahiran Bandar Lampung 1960 ini terdapat pada lukisan berjudul Bhinneka Tunggal Ika (150 x 300 cm, acrylic on canvas). Padhik berusaha mengkritik sistem pemerintahan yang terjadi saat ini. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang diusung seolah hanya slogan belaka. Dia mempertanyakan konsistensi dan makna semboyan tersebut

Lukisan menggambarkan sekumpulan orang berdiri di atas batu bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika. Seorang perempuan berdiri di tengah. Dia memiliki empat tangan yang tengah memegang alat musik dan wayang burung Garuda sebagai lambang negara. Sementara lainnya duduk dan berdiri sambil memainkan alat musik.

Padhik menjelaskan lukisan tersebut terlahir atas fenomena yang terjadi pada kondisi sosial di Indonesia. Menurutnya, Semboyan Bhinneka Tunggal Ika tidak berlaku untuk kondisi saat ini. Bhinneak Tunggal Ika yang berarti berbeda namun tetap satu tidak pernah terjadi. “Saya melihat arti cinta dari Bhinneka Tunggal Ika sudah tidak ada. Kekerasan terhadap suku, agama, ras bahkan kelompok masih saja terjadi.”

Kritik pedas lain yang digoreskan Padhik adalah mengenai kepastian hukum di Indonesia. Dalam lukisannya Timbang Menimbang (150 x 300 cm, acrylic on canvas), menggugat eksistensi para tokoh penegak hukum.

Jika dicermati lebih teliti, lukisan ini mirip Patung Liberty di New York, Amerika Serikat. Bedanya, jika Patung Liberty memegang obor pembebasan, sementara patung dalam lukisan karya Padhik memegang sebuah timbangan keadilan.

Menurutnya, hukum di Indonesia tengah mengalami ketimpangan besar. Negara ini, katanya, menjadi bobrok akibat sistem penegak hukum dipegang oleh orang salah. “Kita lihat berita terbaru, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang seharusnya menjadi pemegang kendali hukum justru malah ketangkap korupsi. Memalukan!”

Mas Padhik memang seniman yang konsisten berkarya dengan menampilkan ciri khas tersendiri. Sejak memamerkan karyanya pada 1990-an, konsistensi lukisannya membawa tema cinta dan ke-Indonesiaan. Dia bereksperimen untuk berkarya selepas menamatkan kuliah jurusan patung di STSRI/ASRI Yogyakarta 1980-1988.

Tak heran jika dalam karyanya selalu membawa unsur arca, patung atau bertema sejarah masa lalu. Bahkan pada 17 lukisan Niskala Cinta ini, basic dari setiap lukisan bertema arca dan patung. “Setiap pelukis memiliki ciri khas sendiri. Mungkin ciri khas saya ada pada arca,” katanya.

Karya lain dalam pameran tunggalnya seperti Konser Merpati (150 x 160 cm, acrylic on canvas), Tentang Cinta (100 cm x 150 cm, acrylic on canvas), Membaca Tanda-Tanda (110 x 110 cm, acrylic on canvas, 2013) dan yang lainnya juga mengangkat objek arca atau Buddha. Kesetiaanya menjadi pelukis menjadikan dirinya seorang seniman spesialis arca.

Label:

Sabtu, 05 Oktober 2013

Cokcok Gegara Warisan

Awal 2013 lalu, TB (62) dan DW (63) terjadi adu mulut. Kedua saudara kandung itu terlibat cekcok gara-gara permasalahan tanah warisan orangtua. Kejadian bermula saat TB mendengar kabar tanah miliknya akan dijual oleh DW.

Tanah yang diperebutkan itu memiliki luas 56 meter persegi. Awalnya memang tanah itu milik DW berupa jatah warisan dari orangtuanya. Namun, DW meminta untuk menukar tanah miliknya dengan tanah warisan untuk jatah TB, adiknya lantaran lokasi tanah TB berada dekat dengan rumah kediaman DW. Pada 1990-an, keduanya sepakat untuk menukar tanah warisan mereka dengan ukuran yang sama.

Namun, tanpa hujan tanpa angin, kabar akan dijualnya tanah milik TB oleh DW terdengar. TB memastikan apakah kabar tersebut hanya lelucon atau serius. Dia pun berunding terlebih dahulu dengan seluruh anggota keluarganya. TB meminta masukan dari anak dan istrinya sebelum menghadap DW untuk membereskan kasus tersebut secara kekeluargaan.

Pihak TB juga mengumpulkan beberapa saksi dari kerabat yang hadir saat proses perjanjian dulu. Sayang, bukti resmi tertulis tidak ditemukan, sehingga kasus tersebut cukup sulit untuk diselesaikan secara kekeluargaan. Dengan berbagai penjelasan dari saksi, tanah milik keduanya kembali menjadi milik masing-masing sesuai perjanjian penukaran.

Akibat permasalahan tersebut, hubungan persaudaraan keduanya menjadi renggang beberapa saat. Beruntung beberapa pihak dari kerabat dan tetangga mencoba memberikan solusi. Hingga akhirnya mereka berdua kembali akrab laiknya saudara.

Konflik warisan memang cukup sensitif terjadi di sejumlah keluarga. Terkadang perseteruan hingga adu fisik tak jarang ditemukan. Apalagi menyangkut harta warisan yang sebagian kalangan menilai harus dibagikan secara adil. Sementara kultur di Indonesia sendiri masih kuat dengan norma agama. Agama Islam misalnya dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 11, 12 dan 176 menyebutkan tentang pembagian warisan sesuai syariat.

Jenis konflik keluarga inilah yang seharusnya ditangani lebih bijak dan dewasa. Apabila tidak diatasi dengan baik dengan proses kekeluargaan, bisa-bisa menyebabkan pertikaian hingga permusuhan dan putusnya tali silaturahmi antar saudara.

“Di saat konflik warisan terjadi pada sebuah keluarga, satu-satunya jalan adalah mencari sosok mediator yang bijaksana dan mampu berpikir dewasa,” ujar Efnie Indrianie, Dosen Psikolog Universitas Maranatha kepada Bisnis.

Efnie menambahkan survey membuktikan tidak sedikit pertikaian antar keluarga banyak disebabkan oleh permasalahan harta warisan. Meskipun survey tersebut belum diketahui jumlahnya secara pasti, jenis konflik ini disebut sebagai pemicu keretakan keluarga.

Untuk itu, dia berpesan mediator dari permasalahan konflik warisan ini sebaiknya didatangkan dari pihak internal keluarga. Langkah pertama yang harus dilakukan saat menghadapi masalah adalah membuat kedua belah pihak duduk bersama.

Tetapi, lanjutnya, mediator diusahakan untuk tidak membicarakan kasus pembagian warisan yang tengah terjadi. Namun, sebisa mungkin menghadirkan kembali masa-masa romantisme persaudaraan yang telah dibangun sejak lama oleh orangtua mereka.

“Diusahakan mediator agar mampu meredam emosi kedua pihak yang bertikai. Waktunya memang cukup lama, bisa menghabiskan sekitar satu bulan proses yang harus dilakukan. Jika emosi keduanya sudah dingin dan reda, baru mediator mengajak untuk membicarakan soal pembagian harta warisan yang menjadi polemik tersebut,” katanya.

Dia menegaskan langkah tersebut dinilai cukup baik dibanding pihak keluarga menghadirkan mediator dari pihak luar. Selain psikolog yang mampu meredakan suasana hati kedua pihak, Efnie juga mengimbau agar pemuka agama dilibatkan pada konflik tersebut. “Tokoh agama juga perlu dihadirkan di saat kedua pihak sudah sama-sama paham duduk perkaranya,” ujarnya.

Efnie menyebutkan setidaknya kasus konflik warisan di tubuh keluarga ini menjadi penting untuk dicermati. Survey 1-2 dari 5 keluarga yang terlibat perseteruan konflik warisan menjadi contoh betapa perlunya seorang mediator atau penengah sebuah permasalahan. Berdasarkan analisa psikologi, mediator sendiri, khususnya dari pihak internal pihak yang bertikai, diharapkan sudah berusia 35 tahun.

“Karena jika seseorang yang sudah berusia 35 ke atas, dia cenderung memiliki pola pikir matang dan dewasa. Artinya setidaknya bisa mengatasi permasalahan di tengah keluarga yang sedang bertikai,” paparnya.

Label:

Asyiknya Nongkrong di Galeri Indonesia Kaya

Keberadaan ruang kebudayaan atau kantung-kantung kesenian di Jakarta masih bisa dihitung jari. Beberapa tempat yang sudah ada belum bisa merangkul penikmat seni secara umum.

Beberapa pusat pertunjukan kesenian macam Taman Ismail marzuki (TIM), Salihara, Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) dan beberapa tempat lainnya masih terkesan elitis hanya bisa dinikmati beberapa kalangan.

Memang, akan menjadi masalah klasik jika muncul pertanyaan mengapa ruang publik kebudayaan jarang dikunjungi kalangan muda-mudi, atau mengapa dalam setiap pertunjukan kebudayaan atau pameran kesenian tidak pernah mencapai jumlah pengunjung yang besar dibandingkan dengan pertunjukan musik modern?

Untuk menjawab semua contoh pertanyaan itu, perlu membutuhkan bermacam gagasan dan alasan dengan melihat realitas yang terjadi. Namun, setidaknya persoalan tersebut bisa terjawab dengan keberadaan Galeri Indonesia Kaya (GIK). Rencananya, galeri seluas 365 meter persegi ini akan dijadikan sebagai tempat kebudayaan yang memiliki warna baru.

Saat menginjakkan kaki ke GIK, saya mendapatkan suasana cukup berbeda dibanding dengan galeri kesenian lainnya. Pertama kali masuk, pengunjung GIK akan disapa secara otomatis dengan beragam bahasa daerah Indonesia.

Kehadiran GIK yang berada di mal Grand Indonesia Jakarta, menjadi tantangan tersendiri. GIK seolah menjadi antithesis kantung kesenian di Jakarta pada umumnya. Keberadaan GIK sendiri lebih diperuntukkan bagi kalangan remaja yang belum mengenal kebudayaan Indonesia.

Renitasari, Direktur Program Bakti Budaya Djarum Foundation mengatakan GIK merupakan sebuah ruang infotainment dan edukasi. GIK dibangun atas kepedulian PT Djarum terhadap kebudayaan di Indonesia. Dia melihat, bergeliatnya perkembangan teknologi saat ini dikhawatirkan akan mengancam nasib dan melupakan kebudayaan Indonesia.

“Ruang ini kami bangun untuk memfasilitasi pertunjukan, workshop, pameran seni dan budaya. Kami harap pengunjung yang datang akan mendapatkan nilai-nilai kesenian dan kebudayaan asli Indonesia, karena setiap pengunjung akan menikmati secara gratis,” paparnya.

Renita menjelaskan GIK didesain dengan sistem teknologi canggih. Pengunjung juga akan menikmati beragam wahana hiburan yang mendidik setiap kali masuk ke berbagai sudut galeri. Terdapat beberapa wahana musik daerah seperti Kecapi, Angklung, Kolintang dan Talempong yang bisa dimainkan secara digital touch screen.

Pengunjung juga bisa mendapatkan informasi tentang kekayaan alam dari 34 provinsi di Indonesia. Caranya dengan memilih menu pada peta yang sudah dikomputerisasi dengan baik. Di bagian lain, video mapping tentang pewayangan dengan latar pegunungan akan membuat hiburan tersendiri bagi pengunjung.

Untuk pengunjung yang ingin tampil narsis, disediakan juga boot foto enam pakaian adat Inonesia yang langsung bisa diunggah melalui media sosial.

Sementara, untuk tempat pertunjukan, GIK memiliki auditorium yang bisa menampung hingga 150 penonton. Dengan panggung berukuran kecil, penonton bisa melihat pertunjukan dari dekat. Ruang auditorium ini juga didesain dengan menghadirkan beberapa properti bernuansa Indonesia.

“Yang lebih menarik lagi, ruang auditorium didesain secara akustik. Jadi siapa saja yang ingin tampil, tidak perlu menggunakan pengeras suara,” katanya.

Renita menuturkan, GIK dibangun dari hasil pemikiran dan gagasan berbagai pihak. Tercetus pada 2012, GIK akan diremiskan pada 10 Oktober tahun ini. Kegiatannya sendiri akan mulai aktif pada 11 Oktober 2013. Para seniman yang tampil di GIK, lanjutnya, hasil diseleksi ketat kurator.

Garin Nugroho, sutradara film dan produser yang hadir pada diskusi pra peresmian GIK menjelaskan, keberadaan ruang publik yang menampung pertunjukan seni dan kebudayaan di Jakarta memang sudah berjalan meski kurang efektif. Dia percaya, keberadaan ruang publik di tengah ruang populer masyarakat akan menjadi alternatif. “Kehadiran GIK sangat diperlukan dan keberadaannya di mal sangat tepat,” katanya.

Dia berpendapat ruang publik yang ada saat ini kurang menyentuh masyarakat muda disebabkan beberapa faktor. Garin menyebut faktor jarak yang menghubungkan ruang dialog sangat penting untuk diperhatikan. Dia mencontohkan auditorium GIK sebagai tempat pertunjukan akan memberikan ruang dialog secara optimal.

“Panggung kecil ini sangat efektif dan akan memunculkan dialog yang intim. Saya yakin panggung kecil bakal menjadi nilai lebih di tengah ruang panggung komersial, sehingga bisa memunculkan potensi dan momen kreasi yang beragam,” katanya.

Label:

Terinspirasi Baseoki Abdullah

Para pelukis yang tergabung dalam Komunitas Artventure kembali menggelar pameran kelimanya bertajuk Baseoki Abdullah Inspiration di Museum Basoeki Abdullah, Jakarta Selatan pada 4-10 September 2013. Sebelumnya, komunitas ini memamerkan karya seni rupanya bertajuk Ada Apa Jakarta? Di di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 21-29 Agustus 2013.

Basoeki Abdullah dikenal sebagai pelukis realis-naturalis. Dia banyak menghasilkan karya bertema tentang kehidupan sehari-hari, alam, legenda, mitos hingga perjuangan. Penciptaan karya Basoeki Abdullah banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial politik pada masanya. Pelukis bergaya nyentrik ini lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 25 Januari 1915 dan meninggal di usia 78 tahun pada 5 November 1993.

Pameran Artventure V dibuka dengan pertunjukan dari Syamsul Rizal, seorang seniman lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Dia memainkan beberapa instrumen melalui alat musik cello pada nada mayor. Para pengunjung mendadak termenung dengan gesekan bow yang dimainkan Rizal. Beberapa instrumen bernada sunyi dan menyayat dari Mozart dan Metallica dibawakan apik selama hampir 15 menit.

Pembukaan pun dilanjutkan dengan atraksi dari pelukis Agusugih. Seniman kelahiran Bandung itu mempertunjukan petikan gitar akustik yang dimainkan laiknya sebuah kecapi. Gitar yang dipetik terdengar chaos tetapi tidak mengurangi harmonisasi nada yang dihadirkan.

Pembukaan pameran dilanjutkan dengan atraksi dari pelukis Sohieb. Dalam tempo kurang dari 20 menit, Sohieb melukis wajah Basoeki Abdullah di atas kanvas secara on the spot. Pengunjung pameran mendadak terpukau oleh ketangkasan Sohieb sore itu.

Tema yang diusung pada pameran Artventure V ini mengangkat Basoeki Abdulah sebagai maestro pelukis Tanah Air. Semangat dan keteladanan Basoeki Abdullah dinilai membawa pengaruh besar terhadap perkembangan seni lukis baik pada zamannya hingga pada saat ini.

Namun, sejumlah karya yang dipamerkan Komunitas Artventure tidak terpaku pada sosok Basoeki Abdullah saja. Para seniman lebih mengedepankan kebebasan dalam proses penciptaan karya. Artinya, keragaman proses kreatif setiap pelukis dinilai sebagai hasil wujud semangat sang maetro.

Lihat saja pada lukisan milik Afrizal, 49, berjudul Tersingkap (80 x 100 cm). Dia menggoreskan kuasnya pada minyak di atas kanvas. Objek yang dilukisnya yaitu seorang perempuan setengah telanjang, dengan hanya mengenakan penutup tubuh oleh kain biru. Afrizal menambahkan latar candi Borobudur sebagai pemikat karyanya. Latar candi yang dihadiran Afrizal seakan ingin memberikan pesan implisit dan daya kejut dalam lukisannya.

Estetika yang dihadirkan Afrizal pada lukisan Tersingkap ini ada pada pemakaian warna. Warna biru mencolok lebih ditonjolkan dengan arsiran warna seperti cokelat, kuning langsat, dan campuran warna lainnya.

Berbeda dengan karya Agusugih berjudul Barong and Passion (60 x 80 cm). Dia lebih memainkan pemilhan warna yang beragam. Lukisan mengambil dua objek perempuan menari sebagai objek utama. Sedangkan ekspresi barong—salah satu kesenian asli Indonesia, dihadirkan sebagai objek bayangan.

Karya peukis yang sempat melanglang buana di berbagai pameran ini dibuat pada 2013. Pemilhan corak warna merah pada kain kebaya perempuan menjadi estetika utama yang ditonjolkan. Sementara warna lain, sekadar dihadirkan sebagai unsur tambahan. Yang lebih menarik, warna merah pada bagian tubuh perempuan seakan sengaja dibuat transparan, sehingga puting payudaranya terlihat jelas.

Sementara pada lukisan Bouqe of Yellow Lily karya Widyo D Soeryo (45 x 60 cm), goresan kuas di atas kanvas yang dibuat pada 2008 ini tampak jelas bergaya naturalis. Corak warna kuning, sesuai judul lukisan terlihat lebih kuat dibandingkan dengan warna lainnya.

Benang merah pada pameran lukisan ini dapat ditemukan pada semangat penciptaan karya. Tema Basoeki Abdullah Inspiration tampak melekat dari setiap gagasan yang diusung setiap pelukis.

Ariana Restu Handari, Koordinator Komunitas Artventure menuturkan dari 23 pelukis, total karya yang dipamerkan sebanyak 30 karya. Perupa yang tergabung dalam Komunitas Artventure berasal dari berbagai kalangan
Antara lain mahasiswa, dosen hingga masyarakat umum.

Dia membentuk komunitas tersebut sebagai wadah kreatifitas para pelaku seni yang tertarik di bidang seni rupa. Komunitas Artventure, kata Ariana, menyatukan suku, bangsa dan keragaman budaya dalam setiap pengkaryaannya.

“Tak ada yang kami bedakan di Artventure. Kami rangkul siapa saja yang ingin bergabung, karena keragaman itulah yang menjadi ciri khas kami dalam berkesenian.”

Tata Sutabri, pemerhati seni dan budaya, menjelaskan setiap karya yang dipamerkan dalam pameran Artventure V merupakan hasil kontemplasi para seniman. Dia mengaku beberapa kali telah mengikuti pameran komunitas tersebut. Namun pada pameran kali ini, lanjutnya, ruh dari Basoeki Abdullah secara tersirat hadir pada setiap karya.

“Saya yakin setiap pelukis yang memamerkan karyanya memiliki kegundahan masing-asing. Tentunya dengan sudut pandang dan keragaman gaya yang berbeda-beda. Di sinilah sosok Basoeki Abdullah hadir tanpa di sadari berupa semangat maupun keragaman bentuk estetika,” ujarnya.

Label:

Bahaya Petting

Setiap kali berkunjung ke Jakarta, MDA selalu menyempatkan berkunjung ke kosan AS di kawasan Radio Dalam. Gadis berusia 30 tahun itu tak jarang menginap di kosan AS, pria yang usianya lebih muda 3 tahun dibawahnya.

AS bukanlah kekasih MDA. Tetapi teman akrab yang setiap kali bertemu, keduanya melepas rasa kangen. Maklum, AS, yang kini bekerja di salah satu perusahaan swasta di Jakarta tengah menjalani hubungan jarak jauh dengan kekasihnya. MDA sendiri tak keberatan jika sesekali dia menemani AS sepanjang malam.

“Kalau sudah berduaan di kosan, dia suka macam-macam,” kata MDA. “Tapi jujur, aku gak munafik kok kalau aku juga suka sama dia. Cuma tidak terikat status aja.”

Meski kerap berduaan di kosan semalam suntuk, MDA masih punya batas kewajaran. Dia masih menutup rapat-rapat mahkota yang dia miliki. Hubungan yang dilakukan MDA dengan AS hanya sekadar petting alias melakukan hubungan seksual tanpa penetrasi. “Paling ciuman aja. kalau sampai grepe-grepe (raba-raba), aku suka marahin dia,” ujarnya.

Wita Wanita, konsultan dan YouTuber seks online mengatakan bahwa petting merupakan hubungan badan tanpa melakukan penetrasi. Bentuk petting bisa berupa ciuman, belaian atau stimulasi di daerah sensitif dengan menggunakan jari atau lidah pada vagina wanita.

Menurutnya, tidak ada aturan-aturan tertentu dalam melakukan petting. Setiap pasangan yang melakukan petting menikmati hasrat seksual kedua belah pihak. Petting, lanjutnya akan berbahaya jika masing-masing dari pasangan memiliki penyakit menular. “Sejauh pelaku yang melakukan dalam keadaan sehat, petting aman dilakukan,” paparnya.

Lebih jauh Wita menambahkan, pasangan yang melakukan petting tidak akan berdampak pada kehamilan, karena pasangan tersebut tidak melakukan penetrasi langsung ke dalam vagina.

Petting sebenarnya merupakan langkah awal menuju hubungan seksual. Petting juga kerap dilakukan sebagai alternatif dari hubungan badan langsung. Biasanya, dilakukan saat salah satu pasangan sedang hamil atau datang bulan. Tak jarang pasangan muda belum menikah pun kerap melakukan petting.

“Pada dasarnya petting merupakan cara indah menstimulasi hasrat seksual, terutama bagi pasangan muda atau yang baru mengenal seks. Tetapi bagi orang yang sudah berpengalaman, petting bisa menimbulkan frustasi karena mereka tidak bisa langsung melakukan seks, melainkan hanya belaian-belaian semata,” ujarnya.

Nur Syahid, Staf Pengajar dari Fakultas Kedokteran Unversitas Indonesia, Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (FKUI RSCM) mengatakan petting akan berbahaya jika masing-masing pasangan dalam kondisi tidak bersih.

Dia menjelaskan para pria yang belum menikah kebanyakan melakukan petting dengan memasukan jari atau menjilat vagina pasangannya. Meskipun tanpa ada penetrasi dari penis, tetapi vagina wanita akan berisiko tinggi.

 “Vagina itu kan dilapisi oleh mukosa atau lapisan yang berada di daerah kemaluan. Jika jari masuk ke dalamnya secara tidak hati-hati, maka vagina akan lecet dan infeksi,” paparnya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, kebanyakan pasangan muda memiliki tingkat eksperimen yang tinggi dalam berhubungan. Dia memberikan contoh, tak sedikit ketika pria orgasme memuntahkan cairan spermanya di area vagina.

Padahal, lanjutnya, bagi pasangan yang belum siap menikah, perilaku tersebut bakal berisiko pada kehamilan. “Yang perlu diketahui adalah bahwa sperma bisa berenang. Jika kebetulan nyembur di area vagina, maka ada resiko sperma masuk ke dalam. Sperma itu sifatnya mengejar,” paparnya.

Label:

Cerdas Kelola Biaya Pendidikan

Pasangan Ujang Suhara dan Lela Maleha memiliki empat orang anak. Keempat buah hatinya masing-masing tengah melangsungkan pendidikan di tingkat SD, SMP dan SMA. Setiap bulan, keduanya harus merogoh kocek ekstra untuk membayar keperluan sekolah anaknya.

Biaya sekolah zaman sekarang memang tidak semurah harga kacang goreng. Apalagi jika sekolah berkualitas tinggi atau pun jurusan yang diambil anak macam berbau teknologi atau kejuruan. Tentunya, biaya-biaya tambahan setiap bulan harus dipersiapkan lebih.
Lela Maleha adalah salah seorang yang meraskan betapa mahalnya biaya sekolah. Meskipun dia berprofesi sebagai pegawai negeri swasta (PNS), akan tetapi gaji yang diterima setiap bulan tidak mencukupi kebutuhan.

Dia pernah punya pengalaman yang hampir setiap tahun terjadi. Pada musim sekolah tahun lalu, anak pertamanya Saldia Maida Qotrunnida memasuki SMA.

Sementara anak kedua, Nafisa Salma Sahara lulus dari SD dan masuk ke pesantren. Si bungsu dan anak kedua terakhir Firyal Hasna Thufalia serta Adiba Giska Rahmani naik kelas dari tingkat SD. Lela sempat dibuat pusing dengan biaya sekolah yang harus dikeluarkan. Mengingat, dana yang harus disetorkan untuk anak pertama dan keduanya saja hampir jutaan rupiah.

"Seandainya kehabisan ide, saya dulu akan menggadaikan SK PNS saya untuk meminjam uang untuk keperluan biaya sekolah anak. Tapi alhamdulilla gak jadi, karena ternyata masih punya sedikit tabungan," ujarnya mengenang.

Bagi keluarga seperti Lela Maleha, di satu sisi, anak memang membuat keluarga laiknya sebuah surga yang menciptakan keindahan dan kebersamaan. Namun di sisi lain, ketika memasuki akhir bulan, dirinya berjuang sekuat mungkin menyisihkan uang bareng suami dengan menabung secukup mungkin. Beruntung, pasangan ini memiliki satu rumah kontrakan yang bisa diandalkan guna menutupi biaya sehari-hari.

Kasus serupa juga pernah dialami oleh Omayah. Ibu rumah tangga yang memiliki lima orang anak. Padahal dirinya hanya seorang ibu rumah tangga yang mengandalkan suaminya kerja menjadi buruh di pabrik. Omayah mengenang ketika kelima anaknya berusia belasan. Hampir setiap bulan dia ketar-ketir memikirkan biaya sekolah.

"Saya sebetulnya tidak mengerti, kenapa selalu saja dicukupkan oleh Tuhan. Padahal dulu, empat dari lima anak saya semuanya sekolah," ujarnya. "Tetapi pandainya suami saya, selalu menyimpan meski sepeser dua peser uang untuk kebutuhan anak."

Sebetulnya, keringanan biaya sekolah saat ini sudah mulai diterapkan oleh pemerintah. Adanya program Bantuan Operasi Sekolah (BOS), sekolah gratis hingga pemberian beasiswa tegah digembor-gemborkan. Namun, tetap saja tak sedikit kalangan yang merasa pendidikan di Indonesia masih mahal.

Melihat fenomena seperti ini, Financial Advisor Fin-Ally, Fioney Sofyan Ponda menuturkan, ada baiknya setiap keluarga secara ideal memiliki dua anak. selain mengurangi beban biaya hidup, dua anak dirasa cukup dan dapat mengurangi urbanisasi.

Keuntungan dari dua anak juga bisa menumbuhkan tingkat rasa percaya diri anak dari kasih sayang dan perhatian orang tua. Bahkan, katanya, kesuksesan negara Cina salah satunya saat ini tengah menerapkan warga untuk memiliki satu anak saja.

Lebih jauh Fioney menjelaskan keluarga juga harus pandai mengelola keuangan yang baik bagi kebutuhan biaya pendidikan. Dia menyarankan, selain menabung, pihak keluarga mesti terlibat di investasi yang berjangka panjang.

“Biaya pendidikan bisa saja ke depannya semakin mahal. Maka saya sarankan ikut dalam asuransi pendidikan saja tidak cukup. Maka berinvestasilah, minimal di reksa dana,” ujarnya.

Menurutnya, sumbangsih pendidikan terhadap inflasi dinilai cukup besar atau sekitar 20%. Hal tersebut dirasa perlu disikapi dengan baik yang salah satunya oleh kesadaran diri masyarakat. Caranya, agar tidak keteteran setipa bulan atau tahun, pihak orangtua mesti memisahkan dana secara khusus untuk kebutuhan biaya pendidikan.

Label:

Lemah Sahwat

Apa yang membedakan antara ejakulasi dini dengan disfungsi ereksi? Terkadang, orang salah menafsirkan arti kedua istilah tersebut. Ponco Birowo dari RS Asri, Jakarta mengatakan ejakulasi dini terjadi ketika penis pria mampu melakukan penetrasi pada vagina meskipun hanya sebentar karena ejakulasi atau proses keluarnya sperma dikarenakan orgasme. Sementara disfungsi ereksi (DE) yaitu ketika penis pria tidak cukup keras untuk melakukan penetrasi ke vagina.

"Sebagian besar pasien yang datang ke saya bermasalah dengan ejakulasi dini. Mereka keliru dan menganggapnya mengalami DE. Dan penting untuk disampaikan bahwa DE atau lemah sahwat itu merupakan sebuah penyakit yang harus diperhatikan," katanya dalam jumpa pers Pasien Disfungsi Ereksi Kini Mempunyai Harapan Sembuh Tanpa Obat di Jakarta belum lama ini.

Akibat dari lemah sahwat yang dialami pria menyebabkan banyak keluhan terutama dari kaum wanita. Keluhan itu tak lain adalah permasalahan kepuasan seksual. Wanita, dalam hal ini istri tidak mendapatkan hak seksual laiknya pasangan suami istri pada umumnya.

Menurutnya, lemah sahwat merupakan salah satu gangguan fungsi seksual yang umum ditemukan pada pria berusia di atas 40 tahun. Data menyebutkan hampir 39% pria lemah sahwat berusia 40-70 tahun memiliki tingkat gradasi (keparahan) sedang dan berat, sementara tingkat keparahan ringan sampai berat sebanyak 52%.

Ponco menuturkan, bahkan diperkirakan pada 2025 menurut hasil studi yang dilakukan di Amerika menyebut sebanyak 322 pria akan mengalami lemah sahwat. Sementara penderita DE yang terjadi saat ini perbandingannya antara 24 orang per 1.000 pria. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat angka penderita lemah sahwat pada 1995 diperkirakan mencapai 152 juta pria di dunia.

Untuk itu, katanya, seorang pria harus mengenal lebih jauh apa saja penyebab dari DE. Beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya lemah sahwat dialami pria antara lain kelainan fisik seperti diabetes melitus, kolestrol tinggi, gangguan fungsi ginjal, proses penuaan dan gaya hidup.

Beberapa akibat dari DE terbagi ke dalam dua katagori yakni faktor organik seperti hilangnya minat pada aktivitas seksual, ukuran testis mengecil, penurunan tanda-tanda seksual sekunder seperti bulu rambut, kekuatan otot, kadar testosteron rendah, atau masalah hormonal lainnya.

Sedangkan faktor psikogenik antara lain pasangan sulit mendapatkan orgasme, hubungan suami istri kurang harmonis, dapat menyebabkan stress pada pasangan, depresi, perasaan bersalah, dan perasaan takut akan keintiman. Meskipun, lanjutnya bagi pria penderita DE secara psikogenik kemungkinan mampu ereksi jika melakukan hubungan dengan wanita lain. “Tapi yang kasihan kan istrinya di rumah,” ujar Ponco.

Dia menjelaskan saat ini cukup banya pengobatan untuk pria penderita lemah sahwat yang beragam. Berbagai kemajuan dalam bidang pengobatan baik terapi obat minum dan non minum telah banyak menolong penderita.

Bahkan, kini terdapat jenis pengobatan untuk terapi DE dengan ditemukannya obat minum yang baru dan terapi gen. Meskipun, jenis terapi tersebut, ungkap Ponco, belum teruji atau sebatas tahap uji coba.

Terapi lemah sahwat sendiri terbagi menjadi beberapa bagian, antara lain terapi tahap pertama yang mengobati penyebab disfungsi ereksi, perbaikan gaya hidup seperti berenti merokok dan memperbanyak olahraga, dan melakukan pengobatan tetap. Sementara tahap selanjutnya yaitu injeksi langsung ke bagian penis, injeksi ke saluran kencing hingga melakukan pembedahan protesis dan terapi hormon atau terapi seks.

Nur Rasyid, Urolog Senior dari RS Asri dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (FKUI RSCM) menambahkan pada zaman modern ini sudah hadir jenis terapi bagi penderita lemah sahwat yang ampuh. Jenis terapi tersebut dinamakan Low-Intensity Extracorporeal Shockwave Therapy (LI-ESWT) yang sebetulnya sudah hadir pada 1980-an untuk penatalaksanaan batu ginjal. LI-ESWT juga sempat digunakan untuk ortopedi pada 1990-an.

“Teknik LI-ESWT pada dasarnya mengembalikan penis untuk bisa berdiri kembali dilakukan dengan cara memasukan gelombang kejut pada penis yang akan membentuk pembuluh darah baru,” katanya.

Penderita lemah sahwat akan mendapatkan terapi dengan alat sejenis robot di mana penisnya pada bagian puncak, tengah dan pangkal ditembakan gelombang tadi. Caranya, sebanyak 12 kali penderita diberikan tembakan selama 9 minggu dengan biaya terapi menghabiskan sekitar Rp30 juta.

“Nanti pasien akan diterapi selama 2 x seminggu pada 3 minggu pertama. Kemudian istirahat selama 3 minggu dan kembali dilakukan penembakan selama 3 minggu. Hasilnya, sekitar 50% pasien lemah sahwat kami di Rumah Sakit Asri mampu kembali ereksi tanpa proses pengobatan,” ungkapnya.

Label:

Detik Terakhir si Binatang Jalang

Chairil Anwar, penyair yang dinobatkan sebagai sastrawan Indonesia angkatan 45 memang tak pernah habis dibicarakan. Sosoknya yang nyentrik dan urakan menjadi ciri khas sastrawan pada zamannya.

Sosok Chairil Anwar selalu dikaitkan dengan seorang kritikus sastra H.B Jassin. Melalui penilaian Jassin, karya-karya Chairil yang konon tidak lebih dari 100 itu cukup mempengaruhi kepenyairannya. Tak jarang Chairil mengirim puisinya untuk dimuat di majalah mingguan Mimbar Indonesia yang terbit pada 1940-an.

Di mata kawannya, dalam sebuah buku yang ditulis Nasjah Djamin, yang juga seorang sastrawan seangkatannya, Chairil diibaratkan laiknya tokoh Anwar, yang sembrono dan kurang ajar dalam roman Achdiat Kartamihardja, Atheis. Nasjah punya kenangan tersendiri saat pertama kali bertemu Si Binatang Jalang itu.

Nasjah bertemu Chairil di Yogyakarta pada 1947 ketika semangat revolusi masih berkobar. Saat Nasjah bersama seniman lukis di sanggar Seniman Indonesia Muda (SIM) seperti Zaini, A. Wakidjan, Nashar dan lainnya, Charil mampir dengan seorang wanita bule. Dia ingat betul Chairil mengenalkan wanita itu sebagai seorang wartawan. Keduanya berbicara bahasa Belanda cukup pasih. Chairil juga sempat mengenalkan S. Soedjojono pada perempuan bule itu sebagai Bapak Seni Lukis Indonesia Baru.

Dalam buku tersebut, Nasjah lebih mengedepankan penjelasan kehidupan Chairil selama berkesenian dengan para seniman sezamannya. Gayanya yang bohemian, seolah ingin keluar dari kemapanan hidup yang dilakoninya.

Selain dikenal sebagai penyair, Chairil juga tahu banyak seluk beluk sastra dan seni dunia. Pengetahuannya di bidang seni bisa dilihat ketika Chairil berapi-api berbicara tentang kesenian dengan rekannya sesama seniman. Dia juga merupakan seorang yang rajin berkunjung ke ruang Balai Pustaka, tepatnya di ruang redaksi yang dipimpin pelukis Baharudin. Di percetakan Balai Pustaka, Chairil menguasai laiknya rumah sendiri. Dia datang seenaknya, duduk, bicara ngalor-ngidul hingga marah-marah.

Di ruang itu, yang menjadi sasaran adalah Baharudin. Chairil kerap meminjam uang kepada Baharudin jika dirinya sedang tidak punya uang. Beruntung, Chairil selalu diberi pinjaman sekadar untuk makan. Sekalipun Baharudin sedang kempes, Chairil terus membuat seribu alasan agar Baharudin meminjamkan uangnya.

Kelakuan sehari-hari Chairil memang banyak ditonjolkan dalam buku Hari-hari Akhir Si Penyair, yang dicetak untuk kedua kalinya ini. Buku ini terbit pertama kali pada 1982. Nasjah, sang penulis, banyak menggambarkan sosok Chairil melalui pandangan mata ketika sedang bersamanya dan rekan seniman lainnya.

Dalam buku ini juga dijelaskan kebiasaan Chairil membawa catatan berisi puisi yang ditulis tangannya ke mana pun dia pergi. Dalam setiap perkumpulan sesama seniman, Chairil selalu menjadi pusat perhatian karena sering berulah aneh dan terkadang menjengkelkan.

Namun, kepenyairan Chairil tidak diimbangi dengan kondisi kesehatannya yang buruk. Pernah suatu hari, ketika Nasjah sedang makan di sebuah warung dengan Chairil, tiba-tiba perut penyair itu sakit dan terasa melilit hingga Chairil buang air besar campur darah. Sampai akhirnya teman sesama seniman, Sam Soeharto membawa Chairil ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta yang dulunya dikenal dengan sebutan Centraal Burgerlijk Ziekenhuis (CBZ).

Tidak diketahui persis penyakit apa yang dialami Chairil, yang jelas saat itu dia diopname selama hampir seminggu. Dan tepat pada 28 April 1949, Soeharto mengabarkan ke para seniman yang tengah berada di Sanggar Affandi perihal kepergian penyair besar itu. Hingga akhirnya pada 29 April 1949, Chairil Anwar, Si Binatang Jalang dikebumikan di Pemakaman Karet Bivak, Jakarta Pusat.

Pada hari berkabung itu, Jakarta tengah terkena sengatan matahari sangat terik. Rombongan pengantar jenazah dari mulai para seniman hingga siswa sekolah memadati kuburan. Penyair besar yang sempat menuliskan sepenggal sajaknya berjudul Yang Terampas dan Yang Putus dengan larik: Di karet, di Karet, sampai juga deru dingin, itu seakan telah meramalkan kematian melalui secarik puisi karyanya.


Label:

Musik dan Rupiah a la Anindya Indranila

“Without music, life would be a mistake.” Begitu kata filsuf eksistensialis asal Jerman, Friedrich Nietzsche. Ya, musik merupakan salah satu jenis kesenian yang banyak digemari orang. Dengan musik, hidup menjadi indah dan berwarna bahkan bisa mendatangkan pundi-pundi rupiah.

Itulah sepertinya yang dimanfaatkan oleh Anindya Indranila. Pada 2011, dia dengan keluarga memberanikan diri membangun sebuah penyewaan studio dan sanggar musik yang berlokasi di area ruko Summarecone Mall, Serpong, Tangerang.

“Usaha ini saya jalankan bersama dengan Kakak saya, Anita, beliau sekaligus menjadi guru music di situ. Suami saya juga terlibat yang bertugas untuk operasional studio,” paparnya kepada Bisnis.

Bisnis jasa studio dan sanggar musik memang cukup menjanjikan. Ini bisa dilihat dari banyaknya grup-grup musik baik sekadar untuk iseng atau serius. Grup band ini biasanya butuh tempat latihan bahkan rekaman sebagai wujud eksistensi berkeseniannya.

Melihat peluang tersebut, Anindya tak menyia-nyiakan kesempatan. Artinya, dengan jasa sewa studio saja, rupiah mengalir hampir setiap harinya. Dia melihat potensi di kawasan Tangerang memang cukup banyak musisi berbakat.

Studio musik yang dibangunnya diberi nama Musikitalo. Sebuah nama yang diambil dari bahasa Finlandia, berarti rumah musik. Ide nama itu diberikan oleh mendiang almarhum ayahnya. Awalnya, sang almarhum berencana membuat studio sebagai penghargaan terhadap kakaknya, Anita. “Tetapi ternyata takdir berkata lain, ayah harus pergi dengan cepat karena kanker paru–paru,” ujarnya.

Anindya galau. Sejak kepergian ayahnya, dia bingung harus mengoperasikan bagaimana studio tersebut. padahal tempat dan alat sudah disediakan oleh sang ayah. Beruntung, sepulang Michael, sang suami tercinta dari Australia, dia diberi ide untuk menambahkan studio dengan menggunakan soundproof yang sesuai untuk rekamanan.

Dari situlah mereka bertiga memulai usaha jasanya di bidang musik. Anindya sendiri lebih berperan mengelola untuk studio dan sanggar. Dia mengaku, terjun di bidang musik bukanlah sesuatu yang mudah. Terlebih, di kawasan Serpong banyak usaha serupa yang lebih terkenal macam Yamaha dan Rhaspody musik school.

“Tetapi dengan adanya mereka, malah membuat kami harus tahu dimana kami akan menaruh posisi Musikitalo dalam jajaran sekolah musik lainnya,” paparnya.

Studio Musikitalo dibangun dengan modal awal sebesar Rp250 juta. Duit sebanyak itu dimanfaatkan untuk konstruksi pembenahan studio dan membeli beberapa alat musik. Uang sebesar itu juga merupakan simpanan dirinya dan suami yang sebelumnya direncanakan untuk membeli rumah. Namun, katanya, dia dan suami sepakat menggunakannya dahulu untuk Musikitalo.

Produk jasa yang diberikan Musikitalo saat ini adalah pengajaran sebagaimana laiknya kursus one by one untuk gitar dan piano. Setiap sessionnya berlangsung 45 menit berlangsung dalam satu minggu sekali. Pihaknya memberikan session pertama secara gratis. Setiap anak, diperbolehkan memilih guru mana yang sesuai dengan mereka untuk menentukan metode dan level berapa yang akan diajarkan.

Produk kedua yang ditawarkan adalah studio musik untuk latihan dan juga untuk recording. Musikitalo menggunakan alat–alat yang sesuai guna memenuhi keperluan recording. Ruangan studio pun didesain guna menghasilkan hasil recording dengan kualitas yang baik.

Kelebihan sanggar musik Musikitalo adalah dari segi metode pengajaran private yang lebih efektif dan juga flexible. Para murid yang menggunakan metode ini dipercayai sangat sesuai buat anak–anak yang memerlukan special care. “Ditambah dengan fasiltas buku yang kami pilih dan import dari luar yang dapat menjadi tools terbaik untuk belajar.”

Studio Musikitalo juga telah dilengkapi dengan peralatan yang bisa memenuhi keperluan pelanggan, baik untuk sekedar ingin latihan ataupun yang ingin melakukan recording.

Studio sendiri beroperasi dari jam 10 pagi hingga Jam 8 malam pada Senin sampai Sabtu. Dalam sehari,  rerata 4 kali band baik yang menyewa studio ataupun rekaman. Sementara dalam sebulan, band-band baik yang tengah naik daun atau pun dari grup non komersil, banyak yang melakukan recording.

Studio Musikitalo mematok biaya registrasi sebesar Rp300.000 untuk kursus gitar dan piano. Pihaknya membagi ke dalam tiga tingkatan antara lain grad 1 dengan biaya Rp350.000, grad 2 Rp400.000 dan grad 3 sebesar Rp500.000 per bulannya. Semakin tingkatan tinggi, biaya semakin mahal karena perhatian dan knowledge yang diberikan akan jauh lebih rumit untuk pengembangan murid.

Sementara untuk biaya rental, Studio Musikitalo mematok dengan harga Rp65.000 per jam dan biaya recording Rp650.000 per jam. Pihaknya juga memberikan harga spesial bagi penyewa yang khusus mengambil paket-paket yang telah ditawarkan.

Selama ini, untuk sanggar Musikitalo pihaknya menargetkan anak–anak pada usia mulai dari 4 tahun sampai juga orang dewasa yang masih mempunyai keinginan belajar musik. Sementara, untuk studio ditargetkan untuk anak–anak SMA dan musisi muda yang membutuhkan tempat berkreasi dan ingin merekam hasil karya yang sudah mereka buat.

Terjun bisnis di jasa penyewaan studio musik membuat dirinya seolah mendapat pelajaran berharga. Dia memiliki pengalaman yang tak pernah dilupakan sebagai modal usaha ke depan. Anindya sempat dibuat resah dan kebingungan, sampai harus mondar mandir seperti orang stress yang tanpa tujuan. "Saya dulu gak tau harus mulai dari mana karena belum pernah diajarin sama orangtua gimana memulai bisnis," ujarnya.

Namun, setelah dijalani, membangun Studio Musiikitalo ternyata membuat batin Anindya tenang dan bangga. Selain bisa berkumpul dengan para seniman setiap hari, dia juga mendapat kenalan banyak orang yang berjiwa seni dan berbakat. Terkadang, ketika sedang berkumpul bareng para seniman, dia banyak mendapat masukan dan pencerahan mengenai musik. Masukan-masukan itu kerap dijadikan ide segar untuk mengembangkan bisnisnya.

Bahkan, tambah Anindya, pihaknya berencana memperluas ekspansi bisnisnya lebih besar lagi. Dari bisnis jasa studio musik yang dibangun, dia akan membuka jasa sewa sound system untuk acara-acara keperluan di luar. "Dan untuk sanggar, kita percaya musik bisa membantu perkembangan beberapa orang mengembangkan dirinya. Oleh karena itu kami sedang undergo research untuk membuat curriculum yang sesuai dan tepat," paparnya.

Strategi
Anindya Indranila punya strategi tersendiri agar bisnis jasa studio Musikitalo yang dibangunnya pada 2011 terus hidup. Dia mengakui persaingan bisnis serupa memang menjadi tantangan tersendiri. Tetapi sebagai pengusaha, dia terus berjuang mengambil hati para pelanggan.

Dalam setiap bisnis, tentunya yang paling utama adalah kepuasan pelanggan. Apalagi bisnis di sektor jasa, pelanggan harus benar-benar dimanjakan. "Salah satu yang saya tonjolkan dalam usaha ini adalah pelayanan. Terutama untuk sanggar, kami datangkan guru dari lulusan berkualitas dari luar negeri," katanya.

Untuk pelayanan studio rental musik, dia memperkerjakan 5 orang ahli yang paham betul dengan seluk beluk musik. Poin terpenting adalah perawatan alat-alat musik. Terkadang, di kebanyakan jasa rental studio musik, pemeriksaan setelah sebuah grup bermain, sangat jarang dilakukan.

Dia memberi contoh, hal-hal sepele semacam senar gitar, stik drum, sampai kualitas hi-hat pada drum harus diperhatikan agar pelanggan berikutnya bisa puas menggunakan studio miliknya. Meskipun sedikit terlalu ribet, lanjutnya, tetapi pengecekan sedetail mungkin memang perlu dilakukan.

"Setiap usaha pasti memiliki karakternya sendiri-sendiri. Misal yang tengah saya jalani, bisnis di usaha jasa studio musik ya sedikitnya harus tahu musik seperti apa sampai hal terkecil," ujarnya.

Selain memiliki usaha di jasa studio musik, memang Anindya punya kesibukan lain dengan membuka gerai makanan kemasan berbentuk fried chicken ala Jepang. Dia mengaku tengah berusaha membagi waktu antara mengurus studio dan mengembangkan sayap usaha lainnya.

Terjun di bisnis, lanjutnya membuat wanita ramah senyum itu semakin menyukai tantangan. Hidupnya kini dipenuhi gagasan-gagasan bagaimana mengembangkan potensi diri untuk bisa diraih dan bermanfaat bagi banyak orang.

Filosofi hidup yang dimilikinya yaitu melihat segala sesuatu memiliki tantangan yang berbeda. Tetapi justru, tantangan tersebut harus dihindari. Dia berpesan, seseorang yang berjiwa bisnis harus pandai mencari bagaimana jalan keluar dari tantangan yang dimiliki saat awal berkarir.

"Prinsip saya, jangan pernah malu bertanya pendapat orang, memang tidak semua pendapat harus dilakukan, tetapi sampai detik ini berkat teman dan saudara sekitar lah saya bisa membangun dan berjalan di usaha saya saat ini. Satu hall saya percaya adalah there is always light in the dark, jadi jangan pernah menyerah mencari cahaya itu," ujarnya.

Label:

Makanan Siap Saji?

Indonesia terkenal sebagai salah satu negara kuliner. Tak sedikit tangan-tangan para entrepreneur Tanah Air mampu menciptakan ekonomi kreatif di bidang makanan.

Sebut saja misalnya, Kebab Turki, yang dirintis Hendy Setiono sejak 2003. Hingga saat ini, makanan siap saji yang diproduksinya memiliki 1001 gerai. Namun tentunya, dengan pengeloaan bisnis yang digeluti, terkadang konsumen perlu mempertanyakan keamanan dan kesehatan bahan baku yang terkandung.

Perihal keamanan dan kesehatan dalam makanan yang diperjualbelikan setidaknya tercantum dalam Undang-Undang Nomor 36/2009 tentang Kesehatan atau Peraturan Pemerintah 28/2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan.

Bahkan dalam Permenkes terbaru 30/2013 tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam dan Lemak serta Pesan Kesehatan untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji, pemerintah tengah serius mengapanyekan kesehatan guna melindungi konsumen dari risiko penyakit tidak menular.

Hendy Setiono, selaku founder dan CEO Baba Rafi yang menaungi brand Kebab Turki mengatakan kendati baru mendengar beleid 30/2013 tersebut, pihaknya merasa sosialisasi yang dilakukan pemerintah tidak merata. "Saya justru baru tahu kalau ada Permenkes seperti itu," ujarnya.

Akan tetapi, dia menjamin, sejak pertama kali terjun di bisnis makanan siap saji, pihaknya sudah membereskan segala perizinan termasuk memperoleh label halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Sebab, sambungnya, kepercayaan konsumen merupakan sebuah harga mati dari bisnis yang dibangunnya. Kebab Turki sendiri mendapatkan label halal sejak 2008 yang telah diperpanjang pada tahun ini.

"Label halal adalah yang terpenting dari usaha makanan. Kami ingin konsumen memiliki trust dengan usaha yang kami lakoni," papar Hendy, yang tahun ini akan memperluas gerai bisnisnya di Malaysia, Filipina dan Belanda.

Sistem distribusi bahan baku Kebab Turki berada di dua titik, yakni Jakarta dan Surabaya. Per harinya saja, Hendy mendistribusikan 2 ton daging sapi ke seluruh gerai di Indonesia. Pengecekan kesehatan dan proses seleksi bahan baku seperti sayuran, saus dan mayones dilakukan seteliti mungkin setiap harinya. “Distribusi bahan baku kami lakukan secara integrasi dalam satu pintu,” paparnya.

Ardantya Syahreza, Master Franchise Yogurt Sour Silly Mini menuturkan pihaknya baru akan memeroleh serifikasi halal dari MUI. Namun, dia mengklaim selama ini bahan baku yang diproduksi sudah aman dan sehat.

Yogurt yang diproduksi, lanjutnya tidak terlalu mengandung bahan yang membahayakan, bahkan cenderung aman. “Bahan baku utama yogurt kan susu, semua orang tahu bahwa susu merupakan minuman halal,” ungkapnya.

Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Huzna Zahir memaparkan, pihaknya beberapa kali menerima pengaduan dari konsumen tentang pengalaman pelayanan gerai makanan dan restoran.

Aduan tersebut antara lain tentang kebersihan tempat dan penemuan sejumlah binatang yang terdapat di dalam makanan. Meskipun dinilai bukan dilakukan secara sengaja, tetapi kelalaian tersebut meski diperhatikan para pelaku usaha.

Dia meminta kepada para pejabat pemerintah, khususnya di daerah untuk memberikan imbauan dan pembelajaran kepada pelaku usaha. Edukasi perlu diberikan oleh pemangku kebijakan khususnya di setiap daerah tentang edukasi kesehatan makanan.

“Pelaku usaha makanan terutama gerai-gerai waralaba yang menggunakan gerobak harus mengetahui kandungan bahan dan penggunaan bahan baku itu sendiri. Karena satu hal, jaminan keamanan dan kesehatan bagi konsumen itu mutlak,” paparnya.

Ferry Sofwan Arif, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jabar mengklaim terkait keamanan dan kesehatan usaha makanan waralaba di kawasan Jabar sudah terjamin. Justru pihaknya tengah memberikan penyuluhan kepada para pelaku usaha rumahan.

Dia memberikan contoh, penggunaan minyak goreng oleh sebagian pelaku usaha ayam goreng yang diwaralabakan jauh lebih higienis dibandingkan dengan penjula ayam goreng perorangan.

“Bisnis waralaba itu yang saya tahu sudah ada standar operasional prosedur (SOP). Jadi sudah terintegrasi baik dari cara pendistribusian maupun pengeloaan usahanya. Saya pikir di Jabar sudah relatif aman,” ujarnya.



Label:

Berbincang dengan Ibu-ibu Doyan Nulis

Minggu sore, 4 Agustus 2013, Stasiun Bandung dipadati pengunjung. Saya menduga sebagian dari mereka adalah calon pemudik yang ingin merayakan Lebaran di kampung masing-masing.

Tak lama, ponsel saya berbunyi. Tanda sebuah pesan Blackberry Messenger masuk. "Mas, saya tunggu di depan Indomaret [area stasiun] ya. Saya pakai kerudung ijo," katanya. "Sip Mbak saya segera ke sana," jawab saya.

Mata saya melirik kanan-kiri mencari perempuan berkerudung hijau. Benar, ketika saya masuk pintu Stasiun Bandung, tepat seorang perempuan berdiri. Dia tengah sibuk memainkan gadjet di genggaman. Saya mendekati dia dan langsung menyapanya sambil sesekali berbasa-basi."Lygia," katanya mengenalkan diri.

Keberadaan kami berdua di stasiun bukan untuk keperluan mudik seperti sebagian orang yang tampak sibuk itu, melainkan untuk sebuah keingintahuan saya tentang komunitas bernama Ibu-ibu Doyan Nulis (IIDN).

Kebetulan, Lygia Nostalina, nama lengkapnya, menjabat sebagai Marketing Communilcation IIDN. Dia memilih stasiun sebagai tempat kami mengobrol. Sekalian juga dia tengah menjemput seorang kawannya, Herry Sumartono yang akan datang dari Yogyakarta. Herry adalah tim Information dan Technology (TI) IIDN.

Senja perlahan mulai gelap. Beduk magrib terdengar. Saya sejenak membeli minuman untuk buka puasa. Kami memilih duduk di sebuah taman kecil tak jauh dari pintu masuk stasiun. Sambil menikmati buka puasa, Lygia mulai bercerita. “Sambil santai saja ya,” ujarnya yang sesegara saya balas mengiyakan.

Saya tidak sabar untuk segera tahu seperti apa kegiatan IIDN. Posisi duduk kami saling berhadapan. Dia menyimpan salah satu ranselnya. Satu tasnya lagi dia apit dalam genggaman. Dia mulai mengisahkan bahwa terbentuknya IIDN dimulai pada 2010.

Awalnya, seorang kawan penulis bernama Indari Mastuti, yang juga punya usaha agensi naskah berlabel Inscript memiliki ide untuk membuat komunitas. Lygia mengatakan dirinya ditarik untuk membantu dalam menggerakan komunitas tersebut, tanpa pikir panjang, dia mengiyakan.

“Inscript sebetulnya hanya sebuah agen saja yang biasa mengajukan sejumlah naskah buku ke penerbit. Nah kebetulan, Inscript ini kelimpungan menerima tawaran dari penerbit. Maka kami kumpulkanlah para penulis-penulis itu,” ujarnya.

Lygia menuturkan, dibentuknya IIDN ini juga sekaligus untuk membuat generasi ibu-ibu khususnya yang berrumah tangga agar tetap produktif di sela kesibukan mengurus keluarganya. Dan benar saja, antusiasme para ibu-ibu tersebut pada tahun pertama cukup mengejutkan. “Ternyata banyak juga yang tertarik,” katanya.

Lygia mulai mengenalkan komunitas IIDN melalui sosial media. Dia mencoba menjaring minat ibu-ibu yang senang menulis. “Setelah memiliki anggota cukup banyak kami mulai kopdar [kopi darat] dan mulai membentuk kegiatan riil,” ungkapnya.

Peminat yang terlibat di komunitas IIDN ini sangat beragam. Dari mulai ibu-ibu penulis yang sudah menerbitkan buku hingga yang benar-benar belajar dari nol. Mereka kebanyakan ingin tahu bagaimana seluk beluk menulis dan membagi waktu dengan keluarga.

Kegiatan yang biasa digelar yaitu seminar tentang kepenulisan dengan pembicara dari beberapa tokoh besar. Selain itu ada juga diskusi rutin bulanan. “Kami juga punya jadwal khusus mendiskusikan karya masing-masing yang nantinya diberikan komentar dari setiap anggota,” ujarnya.

Cara yang biasa dilakukan adalah setiap anggota memposting karya melalui grup. Nanti satu persatu anggota lain memberikan masukan. Masukan dari anggota beragam, ada yang memberi ide cerita, memuji, bahkan berkomentar pedas, dalam artian kritik membangun.

Hingga kini anggota IIDN sudah mencapai 7.500 anggota. Anggota sebanyak itu perlahan terbangun seiring proses pengenalan setiap anggota. Juga dari bantuan media sosial. “Hampir setiap kota-kota besar kami punya korwilnya sendiri-sendiri,” paparnya.

Selama tiga tahun komunitas ini dibentuk, hampir 20% anggota yang sudah menerbitkan buku. Jenis buku yang ditulis beragam. Mulai dari cerpen, novel, kumpulan catatan pribadi dan buku motivasi. Sistem penulisan pun bermacam-macam. Setiap buku yang diterbitkan ditulis oleh sendiri dan ada juga yang keroyokan.

Lygia sendiri sampai saat ini sudah menerbitkan 10 buku antara lain berjudul A Cup of Tea, Story Cake Ramadan, Amazing Mom, For the Last Mom, Story Cake for Back Packer dan lainnya. Satu lagi, Emak Backpacker yang masih dalam proses penulisan.

Perempuan yang mengaku single parent itu dalam setiap bulannya ditarget membereskan satu buku oleh penerbit. Namun dia sudah tidak terlalu kebingungan untuk mendapatkan ide cemerlang. Apalagi tentang menulis, dia sudah memiliki jadwal tersendiri. “Satu kuncinya jika ingin pandai menulis: konsisten,” katanya.

Itulah yang ingin diterapkan perempuan dengan nama pena Lygia Pecanduhujan itu kepada setiap anggota IIDN. Secara perlahan strategi tersebut berhasil. Anggota IIDN sudah mulai memiliki produktifitas menulis yang baik.

Ke depan, ibu tiga anak ini memiliki rencana untuk menggelar Musyawarah Nasional (Munas) IIDN yang hingga saat ini belum juga terlaksana. Karena sebagian besar, lanjutnya, gathering hanya bisa dilakukan di setiap kota saja. “Cukup sulit menyatukan ribuan ibu-ibu ini ya ternyata,” ungkapnya sambil tertawa kecil. “Tapi mudah-mudahan tahun ini jadi,” paparnya.

Sudah hampir setengah jam lebih kami duduk di taman kecil Stasiun Bandung. Mendengarkan perempuan lulusan Hukum Universitas Padjajaran itu berkisah. Sejenak dia memberhentikan obrolannya dengan saya. Segera dia membuka ponselnya. Mungkin ada pesan masuk.

Benar saja, kawannya bernama Herry Sumartono itu sudah tiba. Lygia melambaikan tangan kirinya. Tangan kanannya memegang ponsel yang tengah menelpon. “Mas Herry, saya di sebelah kiri. Coba menengok ke kiri,” katanya.

Tanpa lama-lama, saya mengenalkan diri pada pria yang gaya bicaranya medok itu. Dan bergegas pamit setelah basa-basi sejenak. Saya segera menyalakan motor. Meninggalkan stasiun. Udara Bandung, seperti biasa, dingin menusuk kulit.

Label:

Bercermin kepada Dharono

Bisnis sepatu boot yang dikelola Dharono bukan usaha pertama yang dilakoninya. Jauh sebelumnya, suami dari Mirawati Supriatna itu memiliki usaha travel. Maklum, sebagai seorang yang hobi melancong, Dharono rajin menulis kisah perjalanan di blog pribadinya www.duniajalanjalan.com di sela kesibukannya sebagai News Producer Global TV.

Pada 2009, seorang pengusaha travel ternama di Jakarta mulai melirik blognya yang kemudian mengajaknya bekerjasama memulai usaha biro travel. Awalnya dia mengaku, membuat usaha tersebut hanya sampingan semata.

Dia menjelaskan beberapa paket perjalanan yang ditawarkan dalam blog tersebut kebanyakan untuk paket luar negeri  seperti tour ke Hongkong, Macau, Kuala Lumpur dan beberapa negara Asia lainnya. Respon pembaca blognya pun antusias dan banyak yang memesan beragam paket yang ditawarkan.

“Awalnya saya bingung bagaimana caranya menghadapi konsumen. Beruntung saya diajarkan oleh partner saya bagaimana mengelola seluk beluk travel,” ujarnya.

Setelah mendapatkan celah bisnis, akhirnya Dharono serius mengelola usaha paket wisata melalui blog. Hasilnya lumayan. Dia pun merasa cara kerjanya tidak begitu berat. “Tapi sayangnya kegiatan ini sering mengganggu jadwal kerja saya di Global TV,” ungkapnya.

Kesibukan menjadi seorang entrepreneur sudah dirasakan Dharono. Dia rela mengundurkan diri dari pekerjaannya yang dilakoninya selama 8 tahun di TV tersebut. Tepat awal 2012, dia resmi membuka travel sendiri dengan menyewa sebuah kios di kawasan Blok M, Jakarta.

Namun, setelah menggeluti usahanya sendiri, dia kelimpungan dalam mengatur pembukuan keuangan.  Maklum, pembukuan yang dipelajari selama ini hanya teori. Akhirnya, dia memutuskan untuk menutup kios dan kemudian menumpang di sebuah tempat milik teman di kawasan Kebayoran Jakarta Selatan dan di rumah pribadinya di Bandung.

Hingga sekarang, lanjut Dharono, pihaknya masih  tetap bermitra dengan pengusaha travel yang telah mengajak kerjasama tersebut. Bahkan, saat ini dia telah melebarkan sayap usahanya bekerjasama dengan beberapa travel di Singapura, Hongkong dan China.

Ayah dari Al Far dan Firmansyah itu sadar betul, hingga kini konsumen banyak membeli paket wisata via online.  Untuk itu, dia berencana membuka kios lebih banyak lagi di Jakarta. Dia kini sudah yakin dan siap mengelola usahanya secara mandiri.

Dharono percaya, konsumen yang sudah banyak memesan paket melalui jasanya akan tetap setia. Terlebih, penjualan via online lebih praktis, cepat dan saling percaya. “Dan dari usaha travel ini saya membuka usaha baru, yang masih sesuai hobi saya, yaitu jualan sepatu boot,” ungkapnya.

Label:

Sepatu Boot Dharono

Kecintaan Dharono Trisawego terhadap sepatu boot membuat otak bisnisnya berputar. Pria hobi jalan-jalan itu terpikir untuk mencoba terjun membuat sepatu boot sendiri.

Sebagai kolektor boot, dia paham betul sepatu berkarater jangkung tersebut jarang beredar dibandingkan jenis sepatu lainnya. “Saya nekat dan percaya bahwa usaha di bidang boot cukup menjanjikan,” ujarnya.
 Usaha yang berawal dari sebuah rasa cinta memang membuat kesenangan tersendiri bagi si pelaku. Tak terkecuali bagi Dharono. Berbagai majalah dan bacaan lainnya yang mengupas tentang boot, dia kumpulkan dan menjadikannya sebagai referensi desain untuk usahanya.

Dia mengaku ide usahanya memang sudah datang dari jauh-jauh hari, meskipun keberaniannya itu dituangkan sejak Agustus tahun lalu. Waktu itu, lanjutnya, gagasan memulai usaha boot sebatas renca saja yang kemudian baru terlaksana sekitar Oktober 2012. “Maklum bergerak di usaha sepatu boot ini harus tahu pasarnya dulu,” ungkapnya.

Dari modal pas-pasan sekitar Rp2 juta, Dharono mulai memproduksi dan menawarkan produk jadinya kepada teman-teman dekat. Respon pasar pun positif. Banyak permintaan produksi dan pesanan cukup membludak.

Sejak saat itulah pria lulusan Fakultas Ekonomi Unpad itu serius berbisnis sepatu boot. Jenis sepatu yang diproduksi khusus itu dirancang untuk pria dan wanita dewasa. Untuk pria, Dharono memproduksi mulai dari ukuran sepatu 39—44 sedangkan untuk wanita ukuran 37—40.

Sepatu boot yang diproduksinya terbagai ke dalam beberapa desain antara lain olicomb, tampo, chokoking, CT, high cut, chuka wine, tosuka, klasika kombinasi, trexx, long edison, safety dodoz, rain moccasin dan jenis lainnya. Masing-masing desain memiliki corak dan warna tersendiri.

Harga dari setiap desain berkisar antara Rp250.000—Rp500.000. Kesemua boot yang diproduksi cocok untuk bersantai atau digunakan pada kegiatan outdoor. Dalam sebulan, Dharono mampu meraup omzet puluhan juta rupiah dari hasil penjualan.

Produk boot hasil buah tangan pria kelahiran Surabaya, 1962 itu memiliki kelebihan dan keunikan tersendiri. Untuk memanjakan pelanggan, desain sepatu yang diproduksi menggunakan bahan dari kulit berkualitas nomor wahid yang tentunya dibuat secara manual. “Kelebihan lain yakni pelanggan bisa memesan sesuai keinginan,” tuturnya.

Melihat respon pelanggan terhadap sepatu boot ini semakin diminati, Dharono lambat laun sudah bisa membaca pasar. Otaknya kembali berputar untuk membuka akses pelanggan agar lebih mudah. Dari situ, pria penyuka musik pop itu mencoba men-display produknya melalui online dengan alamat rumahboot.com, yang sekaligus dia jadikan sebagai brand produknya.

Sejak usahanya melalui online ini dilakukan, dia mulai kelimpungan pesanan. Pelanggan mulai mengunjungi dan banyak memesan produk-produk sepatu boot buatanya. Bahkan, dari situlah Dharono mulai merasakan bagaimana menjadi seorang entrepreneur.

“Banyak pengalaman unik yang saya rasakan. Terkadang pelanggan yang memesan boot tidak pas dengan ukurannya, akhirnya sepatu yang dipesan ditukar ulang,” ujarnya.

Pengalaman lain yang pernah dia alami yaitu ketika pelanggan memesan sepatu untuk diantar ke rumah, tetapi, ungkapnya, ketika diantar alamat tujuan ternyata palsu. “Pokoknya banyak yang saya alami dari usaha ini,” ungkapnya.

Dharono mengakui, usaha yang digeluti memang belum maksimal. Jatuh bangun usahanya sendiri mulai dirasakan terutama dari segi produksi yang banyak tersendat. Dia sadar, sumber daya manusia dan alat produksi menjadi salah satu penyebabnya.

Namun bapak dua anak itu tak patah arang. Dia meyakini, sebagai seorang entrepreneur, berbagai hambatan dan cobaan kerap datang menerpa yang justru dia jadikan sebagai tantangan usahanya.

“Bisnis yang saya geluti ini harus dilakukan dengang hati. Jadi jatuh bangun menjalankan usaha ini sudah biasa. Saya akui produksi tidak berjalan dengan konsisten. Karena konsumen sepatu boot itu tertentu, jadi produksi pun tidak stabil,” ungkapnya.

Akan tetapi, dengan melihat pangsa pasar yang menjanjikan. Dharono meyakini usahanya bakal terus berkembang seiring banyaknya pelanggan berdatangan. Ke depan, dia akan membenahi strategi manajemen produksi dan penjualan.

Bahkan, lanjutnya, dia akan membuka gerai guna melebarkan sayap usahanya. Dharono mengakui saat ini dirinya terlalu memfokuskan penjualan via online. Tetapi hal tersebut dilakukan sebagai tes pasar semata.

“Memang tak sedikit yang tidak puas hanya melihat gambar via online. Mereka ingin melihat sepatunya secara langsung. Karena itu saya sedang siapkan gerainya,” ujarnya.

Dharono juga berencana untuk membuka bengkel sepatu yang akan bekerjasama dengan pengrajin sepatu di Bandung. Dia menilai, bagi penggemar sepatu boot fanatik, usaha tersebut bakal memberikan peluang usaha baru. “Saya kadung mencintai sepatu boot. Jadi apa pun usahanya yang terkait dengan boot, saya akan lakukan,” paparnya.

Label:

Mempercantik Rumah di Suasana Fitri

Bagi sebagian umat Muslim, ritual Lebaran biasa dijadikan sebagai momen untuk mempercantik rumah. Banyak hal yang dilakukan mulai dari mengecat ulang dinding, menambah perabotan, hingga memajang aksesori tertentu.

Lukman Nurdin, Desainer Interior dari Design Scape Studio tak mau ketinggalan menyulap rumah yang terletak di bilangan Kebayoran Lama, Jakarta. Seminggu sebelum Lebaran tiba, dia dibantu istri membersihkan dan merapikan setiap sudut rumah. Tak lupa, dia memberikan cat baru pada tembok eksterior dan interior dengan warna putih dan hijau.

“Saya dan keluarga tidak terlalu berlebihan membuat rumah untuk tampak cantik. Paling menambah penghalang ke beberapa area private saja, mengingat banyak tamu atau kerabat yang berkunjung ke rumah,” paparnya.
Pada dasarnya, setiap orang ingin mengikuti tren atau tradisi kebaruan dalam suasana Lebaran. Hal tersebut dilakukan seiring menyambut hari suci dan jiwa yang bersih. Sandang, pangan dan papan pun terdorong untuk tampil lebih segar dan baru.

Idealnya, apabila melihat filosofi lebaran, sebagian umat Muslim menafsirkan dengan makna rebirth atau kelahiran kembali. Lebaran direpresentasikan dengan warna kesucian atau kemurnian. Rumah pun, sambungnya memiliki nilai sama, yakni lebih baik dicat dengan warna polos. Penggunaan warna putih atau warna lain yang cenderung monochrome bisa jadi pilihan paling relevan sesuai tema.

“Namun pada kenyataannya tidak seideal demikian, toh hal ini bersifat intangible, atau sesuatu tidak bisa diukur. Jadi bisa diaplikasikan dengan warna-warna sesuai selera,” ujarnya.

Dia memaparkan yang paling penting memilih salah satu warna utama dan dua warna pengiring. Warna utama dipilih sebagai vocal point, yang bisa lebih menarik perhatian. Sedangkan warna pengiring bisa menggunakan warna putih, abu atau krem.

Tradisi masyarakat Indonesia, momen Lebaran memang dijadikan sebagai ajang silaturahmi antara kerabat, teman atau sanak saudara. Berkunjung dari satu rumah ke rumah lain adalah hal biasa. Momen seperti inilah yang biasa ditangkap umat Muslim dalam memberikan kesan baik untuk rumah yang dihuni.

Lukman mengutarakan, momen silaturahmi Lebaran memang tidak bisa terduga, meski kebanyakan dilakukan pada semingu sebelum atau sesudah lebaran. Terkadang sebulan setelah lebaran pun masih banyak yang berkunjung dan bersilaturhmi ke masing-masing rumah kerabat.

“Jadi tak ada salahnya jika ada yang baru mengecat rumah setelah Lebaran juga. Yang paling penting dan mendasar adalah kebersihan dan kerapihan rumah itu sendiri. Sebenarnya tidak hanya cantiknya yang harus didapat, tetapi ada hal lain yang lebih fungsional yaitu kesiapan ruang dalam menjamu kerabat ataupun tamu yang datang,” ungkapnya.

Namun, melihat suasana Lebaran, kira-kira sudut rumah mana saja yang seharusnya tampil cantik? Menurutnya, lebih banyak area publik yang akan di-treatment, berhubung aktivitas sosial yang meningkat selama hari-hari tersebut, area ruang tamu tentunya menjadi sudut paling penting. “Living room juga bisa menjadi salah satu sudut yang mesti disulap untuk berkumpul dengan kerabat yang datang,” katanya.

Sementara itu, situs edupaint.com juga menawarkan alterantif pilihan warna yang bisa diaplikasikan pada ruang tamu maupun ruang keluarga pada momen lebaran, di luar putih, abu, dan krem. Salah satunya adalah kuning.

Warna kuning merupakan kelompok warna hangat cerah yang pas diaplikasikan pada ruangan yang termasuk living room salah satunya adalah ruang tamu. Warna ini memiliki karakter ceria, dapat menaikkan mood seseorang.

Kombinasi warna kuning dengan putih dan coklat akan memberi nuansa ruangan yang nyaman. Warna kuning bisa diaplikasikan pada seluruh permukaan dinding. Jadi, pemilik rumah tak perlu khawatir warna kuning akan terlihat berlebihan serta mengganggu kenyamanan, karena kehadiran paduan warna putih dan coklat dapat menetralisir efek negatif dari warna ini.

Selain kuning, biru juga bisa dipilih untuk mereka yang ingin menghadirkan nuansa damai dan segar di ruang tamunya. Penggunaan warna biru hampir di seluruh elemen ruangan memberikan nuansa damai lebaran terasa kuat di ruang tamu.

Selanjutnya, buat biru semakin tampak segar dengan menambahkan warna putih misalnya pada plafond, hiasan dinding, dan vas. Nah, redam kesan yang terlalu dingin dengan mensisipkan warna coklat yaitu lewat kehadiran meja, rak pajangan, serta bagian lantai.

Label:

Mengatur Pencahayaan Lampu Ruangan

Pencahayaan buatan atau lampu merupakan hal yang tidak dapat diabaikan begitu saja dalam proses penataan rumah. Teknik yang tepat, dapat meningkatkan mood penghuni sekaligus memaksimalkan konsep interior sebuah ruangan.

Her Pramtama, arsitek dari US&P Architects, mengatakan pada dasarnya penerapan teknik pencahayaan tersebut bergantung pada tingkat aktivitas penghuni di ruangan tertentu. Jenis pencahayaan pun dibagi menjadi general, yang menerangi seluruh ruangan, dan dekoratif atau task lighting yang hanya menerangi sudut-sudut tertentu.

Pencahayaan general pada umumnya menggunakan lampu yang memancarkan cahaya berwarna putih, sedangkan pencahayaan dekoratif cenderung memanfaatkan lampu yang mengeluarkan cahaya berwarna kuning yang memunculkan kesan hangat.

Untuk kamar tidur, kedua jenis pencahayaan itu dapat digunakan untuk dua macam kegiatan yang berbeda. Pencahayaan general untuk kegiatan seperti membersihkan ruangan, sementara lampu dekoratif dapat dipasang di sudut-sudut ruangan dalam bentuk lampu meja (desk lamp) atau lampu berdiri (standing lamp).

Kamar mandi, lanjut Her, tentunya membutuhkan perlakuan yang berbeda. Aktivitas di ruangan ini, seperti mandi maupun berdandan, sebagian besar memerlukan cahaya yang cukup banyak. Dengan demikian, tentu saja pencahayaan general dengan berwarna putih dijadikan  pilihan.

Setelah kamar mandi, ruang tamu juga membutuhkan perhatian terkait jenis pencahayaan yang digunakan. Untuk ruang tamu formal, biasanya cukup memanfaatkan pencahayaan dekoratif yang didapat dari lampu gantung atau chandelier.

Sedangkan yang informal, tekniknya kurang lebih sama dengan kamar tidur, yakni menempatkan lampu bercahaya kuning di sudut-sudut ruangan untuk menimbulkan kesan hangat.

"Sederhananya, ruangan-ruangan yang digunakan untuk bekerja, seperti dapur, garasi, ruang kerja pribadi, harus diberikan cahaya yang utuh lewat pencahayaan general tersebut," ungkap Her.

Lukman Nurdin, Desainer Interior dari Design Scape Studio menjelaskan secara fungsi pencahayaan yang dihasilkan dari lampu harus pas. Jangan terlalu gelap atau terang, sebab dapat membuat mata lelah. Apalagi pencahayaan yang digunakan untuk bekerja mengakibatkan hasil yang kurang maksimal.

"Secara estetika, pemilihan lampu tergantung selera. Namun yang perlu dicatat, ada baiknya penghuni mengatur pencahayaan langsung (direct lighting) dan tidak langsung (indirect lagting)," ujarnya.

Mengatur pencahayaan dalam ruangan memerlukan hitungan agar pas dan sesuai dengan kebutuhan, terutama untuk kesehatan pandangan. Pencahayaan yang ideal, lanjutnya, bisa dihitung dari luas ruangan. Penghuni sebaiknya mengonsultasikan kepada ahli pencahayaan.

Lukman memberikan gambaran, bagi pencahayaan yang digunakan saat waktu tidur, pemanfaatan direct dan indirect lighting bisa digunakan. Estetika cahaya indirect lighting atau yang biasa disebut pencahayaan tersembunyi memberikan nilai dan kesan unik.

"Bagi penyuka cahaya remang, ruangan tidur sebaiknya menggunakan indrect lighting. Karena sebagian orang biasanya baru bisa tidur nyenyak ketika cahaya tidak terlalu terang," paparnya.

Perlu Perawatan

Her menambahkan, setelah memilih tipe cahaya yang tepat untuk tiap ruangan, kini saatnya untuk memikirkan perawatan yang diperlukan untuk mempertahankan efisiensi lampu yang digunakan. Laman energyefficiencyasia.com menggarisbawahi bahwa perawatan yang benar itu penting bagi efisiensi lampu.

Menurut laman tersebut, tingkat pencahayaan menurun dengan bertambahnya waktu akibat penuaan lampu serta penumpukan debu pada peralatan, permukaan lampu, dan ruangan.

Faktor-faktor tersebut secara bersamaan dapat menurunkan pencahayaan total sebesar 50%  atau lebih, sementara lampu terus-terusan memakai energi penuh.

Maka dari itu, ada beberapa langkah perawatan dasar yang diusulkan antara lain membersihkan peralatan, lampu, dan lensa. Jika lensa sudah nampak kuning, itulah saat yang tepat untuk menggantinya dengan yang baru.

Selain itu, bersihkan atau cat ulang ruangan kecil setiap tahun dan ruangan yang lebih besar setiap 2 hingga 3 tahun. Debu yang terkumpul pada permukaan akan menurunkan jumlah cahaya yang dipantulkan.

Yang terakhir, pertimbangkan pemasangan kembali lampu secara berkelompok. Lampu yang umum, terutama lampu pijar dan neon, kehilangan keluaran cahayanya sekitar 20% hingga 30% dikarenakan umur layanannya.

Para pakar pencahayaan merekomendasikan penggantian seluruh lampu dalam sistem pencahayaan dalam suatu waktu. Cara ini akan menghemat tenaga dan menjaga agar penerangan tetap cukup.

Mau menghemat lebih banyak energi? Coba gunakan lampu LED, yang kini menjadi sebuah alternatif yang banyak digemari.

Menurut Her, penggunaan lampu di masa mendatang memang mengarah ke optimalisasi lampu jenis ini. "Lampu LED efisiensinya lebih tinggi, sehingga dapat mengurangi biaya listrik di rumah tersebut juga," jelasnya.

Berbagai perkiraan potensi penghematan energi lampu ini, berdasarkan energyefficiencyasia.com berkisar dari 82% hingga 93%.

Label: