Selasa, 09 April 2013

Menyelamatkan Mahakarya Sultan Agung

"Save the painting of Sultan Agung for the future, untuk generasi muda agar mereka dapat menikmati pekerjaan besar ini."

Kalimat itu spontan keluar dari mulut Rose Pandanwangi, istri sang maestro pelukis Indonesia, S. Sudjojono, saat memperingati 100 tahun Mahakarya S. Sudjojono: "Pertempuran Antara Sultan Agung & J.P. Coen Abadikan atau Lupakan?" di Museum Sejarah Jakarta, Selasa (09/04/2013)

Rose masih ingat betul betapa sang suami bahagia mendapat tawaran dari pemerintah DKI Jakarta yang kala itu masih dijabat Gubernur Ali Sadikin, untuk membuat lukisan bertema perjuangan berukuran 3x10 meter tersebut. "Waktu dia dengar tawaran itu, seharian dia diam," ujarnya.

Namun demikian, rasa bahagia itu semakin menjadi-jadi. Bukan hanya tawaran pembuatan lukisan, tapi bersamaan dengan itu, Lembaga Persahabatan Indonesia-Belanda pada 1973 mengundang Jon, sapaan akrabnya untuk menggelar pameran di Belanda.

Momen itu pun disambut baik oleh Jon. Selain bisa memamerkan karyanya, dia berharap di Belanda mendapat banyak literatur dan bahan untuk proyek pembuatan lukisan Sultan Agung.

"Tapi ya dia agak panik, [soalnya] ada dua hal yang harus diambil antara [mengerjakan pesanan] lukisan dan ikut pameran," ungkapnya.

Meskipun sudah lanjut usia, cara Rose berkisah tentang proses pembuatan mahakarya lukisan sang suami tersebut masih berapi-api. Akan tetapi, mantan penyanyi seriosa itu bertutur dengan terbata-bata.

Satu hal yang menjadi karakter Sudjojono, ungkap Rose adalah ketelitian dan fokus berkarya. Dalam membuat lukisan, Sudjojono kerap melakukan riset dan perenungan yang kuat.

Untuk itu, dengan adanya tawaran pameran di Belanda, Sudjojono memanfatkan momen tersebut untuk mendapatkan lebih banyak lagi referensi pembuatan mahakarya Pertempuran Sultang Agung  dan J.P. Coen itu.

"Di Belanda, Pak Jon sibuk [berkunjung] dari museum ke museum lain mencari referensi pakaian, senjata dan sebagainya terkait sejumlah tokoh yang akan dilukisnya, sampai akhirnya, dia pulang ke Indonesia dengan membeli kebutuhan lukisan," tutur Rose.

Akan tetapi, lukisan yang rampung pada 1974 itu hingga sempat tidak terawat. Beberapa bagiannya mulai dari kanvas, frame dan warna sudah mulai pudar.

Rose berharap pihak museum mampu merawatnya dengan baik, karena apa yang dilakukan Sudjojono dengan menghasilkan karya Sultan Agung adalah sebuah warisan budaya yang cukup penting. "Dan saya bilang bahwa pengerjaan lukisan Sultan Agung adalah puncak karir Pak Jon," tuturnya.

Dia berharap agar restorasi lukisan itu harus dilakukan dengan serius untuk kepentingan dan kelangsungan perkembangan seni rupa ke depan. "Kami sangat berharap dengan sendirinya lukisan itu diselamatkan dari kehancuran, karena itu salah satu lukisan terbaik di Indonesia," paparnya.

Ing Wardiman Djojonegoro, Mantan Menteri P&K dan Anggota Tim Pemesanan lukisan Sultan Agung merupakan salah satu orang yang berkaitan dengan mahakarya Sultan Agung tersebut.

Dalam kesempatan yang sama, Ing mengisahkan bagaimana dirinya menjadi salah satu pengusul agar Sudjojono membuat karya monumental tersebut. "Pak Jon ini sangat teliti, ketika dilibatkan membuat lukisan Sultan Agung, dia langsung riset ke Belanda," ungkapnya.

Ing masih ingat betul kala dirinya menyaksikan secara langsung proses pembuatan lukisan itu di Bengkel Sudjojono di Pasar Minggu pada 1973.

Konteks lukisan yang ditawarkan Pemerintah DKI saat itu yakni pertempuran yang melibatkan Sultan Agung dan J.P. Coen sebelum terjadinya kemerdekaan.

Meskipun, lanjut Ing, hingga saat ini mahakarya dari maestro Indonesia yang dipajang di museum belum dijadikan priorotas utama. "Sehingga pada 2000-an lukisan tersebt sudah mulai rusak, dimakan rayap. Untung saat ini pihak museum sudah merestorasi menjadi bagus seperti sekarang," katanya.



Miftahul Khoer | Bisnis Indonesia
Phone | 082130812642
Twitter | @mikoalonso
Powered by Telkomsel BlackBerry®














Berbincang dengan Rose Pandanwangi

Rose Pandanwangi tengah duduk di jajaran paling belakang bersama beberapa hadirin usai menjadi salah satu pembicara di acara seabad Mahakarya S. Sudjojono di Museum Sejarah Jakarta, Selasa (09/04/2013).

Kulit wajahnya sudah mulai keriput. Rambut putih dan bicara agak terbata-bata. Saat dihampiri, dia mempersilakan saya duduk di sampingnya.

"Kuping saya yang masih bisa mendengar sebelah kanan, coba Anda duduknya sebelah kanan saya," katanya.

Awalnya, Rose bercerita seputar lukisan Sultan Agung yang dibuat suaminya pada 1974 silam. Dia berharap lukisan tersebut menjadi salah satu heritage untuk perkembangan kebudayaan ke depan. "Ya, lukisan ini harus dipertahankan dan diselamatkan dong," katanya.

Pembicaraan saya dan Rose sebenarnya tidak jauh-jauh amat seperti yang sudah dia utarakan saat menjadi pembicara. Namun, saya sempat melemparkan pertanyaan kepadanya: bagaimana jika suatu saat ada orang yang ingin mengadaptasi film dari lukisan suami anda?

"Kalau untuk kepentingan sejarah sih boleh-boleh saja, karena memang itu kejadian. Tapi Sudjojono Center tidak mengimbau untuk itu, masih banyak cerita lain," ujarnya.

Rose yang juga merupakan salah satu panyanyi seriosa itu hafal betul bagaimana sang suami melahirkan mahakarya monumental tersebut.

Dia berpendapat, tidak menutup kemungkinan, jika memang saja hasil adaptasi film itu terjadi, maka akan menjadi pendidikan sejarah bagaiman sosok Coen yang kejam saat itu.

"Untuk pengetahuan historic anak-anak muda juga bagus, maksudnya mereka harus tahu bahwa pertempuran Sultan Agung dan Coen pernah terjadi," paparnya.

Dia menambahkan sosok Sudjojono sangat cekatan dalam merampungkan sebuah karya, paling tidak selama masa hidupnya, Jon, sapaan akrbanya berhasil mengoleksi 500 lukisan. "Yang tidak bagus paling cuma 2%," katanya.

Namun, saat disinggung terkait desas-desus lukisan telanjang dirinya yang heboh dibicarakan belum lama ini, Rose masih keras berpendapat bahwa itu palsu.

"Itu masih jadi tanda tanya besar. Pokoknya, saya bilang itu bukan," tegasnya.

Rose mengaku, sempat beredar kabar bahwa dirinya tidak tahu menahu soal itu dikarenakan sudah lanjut usia, udzur, yang membuat daya ingat dirinya pudar dan pikun.

Namun ia membantah dirinya telah pikun, sebab hingga saat ini dia keras berpendapat bahwa lukisan telanjang tersebut palsu. "Sebagai yang dilukis, saya itu tahu," katanya.

Sampai sekarang, lukisan berjudul Sabda Alam tersebut masih dalam proses penelitian keasliannya oleh beberapa ahli. Meskipun, Rose sendiri mengaku tidak mengalami kerugian secara materil. "Saya cuma bisa bilang bahwa lukisan itu bukan saya," tegasnya.



Miftahul Khoer | Bisnis Indonesia
Phone | 082130812642
Twitter | @mikoalonso
Powered by Telkomsel BlackBerry®













Bayu Widagdo dan Kesederhanaan di Lantai 7

Suatu hari, di lantai 7 ruang makan kantor Bisnis Indonesia, saya sedang mengerjakan hasil wawancara liputan. Beduk magrib terdengar.

Tiba-tiba, datanglah Wakil Pemred, Bayu Widagdo. Dia duduk di samping saya sambil membuka makanan bekalnya. "Makan siang dulu, Miftahul Khoer," katanya.

Mungkin seharusnya bekal yang dibawa Pak Bayu untuk disantap siang. Tetapi mungkin ada kesibukan, rapat atau entahlah, dia baru bisa menyempatkan makan sore itu.

Sebetulnya saat itu saya ingin sekali melihat menu apa saja yang dilahap Pak Bayu, tapi malu dan saya rasa tidak usah, meskipun sesekali saya mampir ke sebelah kanan, dia sedang menghabiskan sisa ayam goreng terakhirnya.

"Pak, tulisan enterpreneur tentangh 24 Jam Bersama Ciputra juara sekali. Mantap," kata saya membuka percakapan.

"Iya, nulis itu harus sederhana dan mudah dibaca orang," begitu kira-kira kata Pak Bayu.

"Siapa aja yang berangkat ke Singapura, menemani Ciputra?" Tanya saya.

"Saya, Kompas, Jawa Pos, (satu lagi saya lupa dia sebut siap)" ujarnya.

Begitulah kira-kira percakapan saya dengan Pak Bayu sore itu. Saya sesekali melanjutkan pekerjaan saya di ruang makan, sambil melihat pemandangan yang terlihat dari ketinggian.

"Cuci dulu piring," ucap Pak Bayu sambil meninggalkan kursinya.

Jujur, saat itu saya mendadak kaget bukan main. Seorang Wakil Pemred Bisnis Indonesia, makan dengan menu sederhana dari bekal yang dipersiapkan istrinya.

Cuci piring sendiri tanpa memperlihatkan kemewahan apapun. Sungguh luar biasa dan sangat berbeda jika saya bandingkan dengan petinggi-petinggi lainnya.

Oh ya, dan malam ini baru saja saya ngobrol cukup banyak dengan redaktur Regional, Tomy Sasangka. Salah satu hal yang saya dapat dari dia adalah: The Power of Simplicity.




Miftahul Khoer | Bisnis Indonesia
Phone | 082130812642
Twitter | @mikoalonso
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Senin, 01 April 2013

Kurang Seratus

Malam ini aku ingin bercerita tentang seorang penjual mie rebus yang hidup sendiri di Ibu Kota.

Aku tak sempat menanyakan namanya. Perawakannya gemuk, tinggi dengan logat bahasa Jawa kental terasa.

Ia datang dari Cilacap. Mengadu nasib pikuknya Jakarta. Memiliki dua orang putra. Satu bekerja di sebuah show room motor. Satu lagi masih duduk di bangku SMP. Suaminya bekerja serabutan di Aceh.

"Kenapa tidak sekalian jual nasi goreng bu?" Kataku mengawali percakapan.

"Capek, kurang tenaga," ungkapnya sambil duduk memperhatikanku makan mie rebus.

Terhitung sudah empat kali aku jajan di warung si ibu. Lokasinya tidak jauh dengan kosanku. Warung sederhana. Berada di samping jalan kecil Karet Tengsin Jakarta Pusat. Warung buka mulai beduk magrib hingga menjelang pagi. Sementara tempat tinggalnya di bawah kosanku. Tak jauh dari tempat jualannya. Ia menyewa kamar kontrakan Rp500.000 per bulan.

Dini hari ini, aku mendadak ingin bercengkrama dengannya. Jam menunjukan pukul 01.00 WIB. Aku memesan semangkuk mie rebus tanpa telor. Dan satu gelas Marimas rasa jeruk.

Aku lihat keringatnya bercucuran. Pagi ini, dia mengenakan kaus hijau dan celana pendek. Ia hidup sendiri di Jakarta. Katanya, dalam sehari ia bisa meraup sekitar Rp200.000-Rp300.000.

"Saya sudah empat tahun jualan di sini. Ini warung bekas. Dulunya yang punya warung jualan di sini. Sekarang orangnya sudah meninggal," katanya.

Tak terasa, mie rebus yang kusantap sudah habis. Aku segera bergegas membayarnya. Tak lupa aku pesan sebatang rokok Djarum Super.

"Jadi berapa bu?" Tanyaku.
"Jadi goceng," katanya.
"Waduh, kurang Rp100 bu, besok aja ya?" Kataku sambil menyerahkan uang Rp5900.
"Ya udeh gak apa-apa!" Timpalnya.

Seketika, aku langsung pulang ke kosan. Di tengah jalan, aku raba-raba saku jeans yang kupakai. Ternyata, memang benar. Uang receh pun sudah raib di kantong celana. Besok pagi, aku harus bergegas cek ATM. Semoga, ada mukjizat turun dari langit.




Miftahul Khoer | Bisnis Indonesia
Phone | 082130812642
Twitter | @mikoalonso
Powered by Telkomsel BlackBerry®