Sabtu, 05 Oktober 2013

Asyiknya Nongkrong di Galeri Indonesia Kaya

Keberadaan ruang kebudayaan atau kantung-kantung kesenian di Jakarta masih bisa dihitung jari. Beberapa tempat yang sudah ada belum bisa merangkul penikmat seni secara umum.

Beberapa pusat pertunjukan kesenian macam Taman Ismail marzuki (TIM), Salihara, Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) dan beberapa tempat lainnya masih terkesan elitis hanya bisa dinikmati beberapa kalangan.

Memang, akan menjadi masalah klasik jika muncul pertanyaan mengapa ruang publik kebudayaan jarang dikunjungi kalangan muda-mudi, atau mengapa dalam setiap pertunjukan kebudayaan atau pameran kesenian tidak pernah mencapai jumlah pengunjung yang besar dibandingkan dengan pertunjukan musik modern?

Untuk menjawab semua contoh pertanyaan itu, perlu membutuhkan bermacam gagasan dan alasan dengan melihat realitas yang terjadi. Namun, setidaknya persoalan tersebut bisa terjawab dengan keberadaan Galeri Indonesia Kaya (GIK). Rencananya, galeri seluas 365 meter persegi ini akan dijadikan sebagai tempat kebudayaan yang memiliki warna baru.

Saat menginjakkan kaki ke GIK, saya mendapatkan suasana cukup berbeda dibanding dengan galeri kesenian lainnya. Pertama kali masuk, pengunjung GIK akan disapa secara otomatis dengan beragam bahasa daerah Indonesia.

Kehadiran GIK yang berada di mal Grand Indonesia Jakarta, menjadi tantangan tersendiri. GIK seolah menjadi antithesis kantung kesenian di Jakarta pada umumnya. Keberadaan GIK sendiri lebih diperuntukkan bagi kalangan remaja yang belum mengenal kebudayaan Indonesia.

Renitasari, Direktur Program Bakti Budaya Djarum Foundation mengatakan GIK merupakan sebuah ruang infotainment dan edukasi. GIK dibangun atas kepedulian PT Djarum terhadap kebudayaan di Indonesia. Dia melihat, bergeliatnya perkembangan teknologi saat ini dikhawatirkan akan mengancam nasib dan melupakan kebudayaan Indonesia.

“Ruang ini kami bangun untuk memfasilitasi pertunjukan, workshop, pameran seni dan budaya. Kami harap pengunjung yang datang akan mendapatkan nilai-nilai kesenian dan kebudayaan asli Indonesia, karena setiap pengunjung akan menikmati secara gratis,” paparnya.

Renita menjelaskan GIK didesain dengan sistem teknologi canggih. Pengunjung juga akan menikmati beragam wahana hiburan yang mendidik setiap kali masuk ke berbagai sudut galeri. Terdapat beberapa wahana musik daerah seperti Kecapi, Angklung, Kolintang dan Talempong yang bisa dimainkan secara digital touch screen.

Pengunjung juga bisa mendapatkan informasi tentang kekayaan alam dari 34 provinsi di Indonesia. Caranya dengan memilih menu pada peta yang sudah dikomputerisasi dengan baik. Di bagian lain, video mapping tentang pewayangan dengan latar pegunungan akan membuat hiburan tersendiri bagi pengunjung.

Untuk pengunjung yang ingin tampil narsis, disediakan juga boot foto enam pakaian adat Inonesia yang langsung bisa diunggah melalui media sosial.

Sementara, untuk tempat pertunjukan, GIK memiliki auditorium yang bisa menampung hingga 150 penonton. Dengan panggung berukuran kecil, penonton bisa melihat pertunjukan dari dekat. Ruang auditorium ini juga didesain dengan menghadirkan beberapa properti bernuansa Indonesia.

“Yang lebih menarik lagi, ruang auditorium didesain secara akustik. Jadi siapa saja yang ingin tampil, tidak perlu menggunakan pengeras suara,” katanya.

Renita menuturkan, GIK dibangun dari hasil pemikiran dan gagasan berbagai pihak. Tercetus pada 2012, GIK akan diremiskan pada 10 Oktober tahun ini. Kegiatannya sendiri akan mulai aktif pada 11 Oktober 2013. Para seniman yang tampil di GIK, lanjutnya, hasil diseleksi ketat kurator.

Garin Nugroho, sutradara film dan produser yang hadir pada diskusi pra peresmian GIK menjelaskan, keberadaan ruang publik yang menampung pertunjukan seni dan kebudayaan di Jakarta memang sudah berjalan meski kurang efektif. Dia percaya, keberadaan ruang publik di tengah ruang populer masyarakat akan menjadi alternatif. “Kehadiran GIK sangat diperlukan dan keberadaannya di mal sangat tepat,” katanya.

Dia berpendapat ruang publik yang ada saat ini kurang menyentuh masyarakat muda disebabkan beberapa faktor. Garin menyebut faktor jarak yang menghubungkan ruang dialog sangat penting untuk diperhatikan. Dia mencontohkan auditorium GIK sebagai tempat pertunjukan akan memberikan ruang dialog secara optimal.

“Panggung kecil ini sangat efektif dan akan memunculkan dialog yang intim. Saya yakin panggung kecil bakal menjadi nilai lebih di tengah ruang panggung komersial, sehingga bisa memunculkan potensi dan momen kreasi yang beragam,” katanya.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda