Rabu, 23 Oktober 2013

Dua Jam Bersama Renitasari

Hawa dingin dari air conditioner tiba-tiba menusuk kulit ketika memasuki Galeri Indonesia Kaya (GIK)—sebuah gedung milik PT Djarum yang rencananya diperuntukan sebagai tempat pertunjukan kesenian.

Lokasi GIK berada di Mal Grand Indonesia, Jakarta. GIK bukan hanya sekadar tempat pertunjukan saja, tetapi dirancang khusus sebagai cagar budaya bernuansa moderen yang sengaja dibangun di tengah mal agar bisa dinikmati banyak orang.

Memasuki GIK pada Agustus lalu, saya seolah merasakan nuansa kekayaan budaya Indonesia. Bangunan seluas 365 meter persegi itu difasilitasi dengan properti khas lokal Indonesia seperti dinding berlapis kain batik, kursi dari bahan rotan asal Cirebon, hingga pernak-pernik lainnya yang melambangkan kebudayaan asli Indonesia. Rencananya GIK ini akan diresmikan dan bisa dikunjungi publik pada Oktober mendatang.

Saat tengah asyik memerhatikan indahnya ruangan, seorang perempuan tinggi semampai menghampiri saya. Bibirnya merah bergincu. Rambutnya hitam lurus. Sebuah kalung cantik terikat di lehernya. Dia mengenakan jins dipadu atasan blouse hitam.

Sambil melempar senyum, dia menyalami saya dan mulai membuka high heels-nya serta duduk bersila laiknya lelaki. "Kita lesehan aja ya biar santai," ujarnya.

Perempuan itu bernama Renitasari. Sudah sejak lama, saya ‘mengincar’nya untuk wawancara. Gaya bicaranya hangat dan penuh keakraban. Dia tampak lelah karena baru saja melakukan pemotretan oleh sejumlah media termasuk Bisnis Indonesia. “Duh… hampir lima kali ganti baju nih untuk pemotretan,” katanya dengan nafas naik turun dan suara serak-serak basah.

Nama Renitasari belakangan akrab didengar pada ajang pertunjukan budaya. Sebut saja misalnya pagelaran Legenda Drama Tari Padusi garapan sutradara Rama Suprapto, Konser Maha Cinta Rahwana garapan dalang Sujiwo Tedjo hingga pertunjukan terbaru Sri Mimpi Indonesia karya Guruh Sukarno Putra, yang semua pagelaran tersebut Renita terlibat di dalamnya.

Bagi Renita, begitu dia disapa, bergelut dengan kebudayaan merupakan passion-nya dari dulu. Perempuan kelahiran Bandung, 39 tahun silam itu mengaku tertantang ketika ditugaskan mengelola Djarum Foundation. Hampir 3 tahun, dia menjabat sebagai Direktur Program Bakti Budaya, lembaga nirlaba milik salah satu perusahaan rokok terbesar negeri ini.

Salah satu misi yang diemban Renita di Djarum Foundation yaitu mengenalkan kebudayaan Indonesia agar diterima masyarakat luas. Dia menilai selama ini budaya yang terdapat di Tanah Air semakin terkikis atau hilang secara perlahan. Dia berpikir mesti ada pembenahan dari strategi kemasan budaya pertunjukan di Indonesia. Untuk itu, muncullah ide segar yang diamanatkan Djarum untuk memajukan kebudayaan, khususnya dalam ranah pertunjukan.

Renita mulai memutar otak mencari gagasan cerdas agar bisa merangkul beragam kebudayaan Indonesia untuk bisa dinikmati publik. Salah satunya melalui seni pertunjukan. "Kenapa pertunjukan? Karena dalam suatu pertunjukanlah, berbagai macam kesenian terakomodir," paparnya.

Renita mulai bergabung di PT Djarum pada 2007. Awalnya dia ditugaskan sebagai Corporate Communication Manager hingga 2011. Pihak perusahaan saat itu tengah membuka sebuah program yang berfokus kepada pengembangan kearifan lokal dan budaya Indonesia. Renita dipercaya memegang kendali. Pihak perusahaan meminta dia untuk mengurus program tersebut.

Ibarat pribahasa pucuk dicinta ulam pun tiba, Renita tak menyia-nyiakan tawaran. Dia menyetujui untuk mengelola program Djarum Bakti Budaya yang dibangun pada 2011. Meskipun, pada 1990-an, PT Djarum sudah jauh-jauh hari memberikan sponsorship untuk acara-acara bertema kebudayaan. Tugas pertamanya waktu itu adalah meriset seluruh kesenian yang ada di Indonesia. Dia mulai melakukan pendekatan kepada sejumlah seniman dan kantung-kantung kesenian di seluruh negeri ini.

Pihak Djarum Foundation pun mulai memberikan sponsor untuk acara pertunjukan dari skala kecil hingga besar. Lambat laun, proposal ajuan kerja sama perhelatan seni pertunjukan seperti konser, drama atau pun tari berdatangan dan menumpuk di meja kantornya.

Merasa banyaknya pihak yang ingin dibantu dalam permasalahan biaya pertunjukan, pihaknya mulai selektif menerima tawaran. Setiap proposal masuk, seleksi terlebih dahulu kelayakannya. "Karena kami sadar, dana yang dikelola tidak gede-gede amat."

Sistem kerja sama yang dilakukan Djarum Foundation yaitu mensubsidi biaya pre produksi. Dia tahu betul biaya sebuah pertunjukan tidak murah. Di sinilah pihaknya membantu para kelompok seni mulai dari tahap promosi media hingga pertunjukan digelar. Pihak Djarum Foundation tidak mengambil sepersen pun dari laba yang diperoleh penyelenggara. "Kami murni membantu. Urusan laba dari hasil penjualan tiket, semuanya kembali kepada pihak penyelenggara," ujarnya.

Menapakai Karir

Sebetulnya, karir Renita yang berkaitan dengan kebudayaan, berawal saat dia menjadi Public Relation (PR) Officer Hotel Panghegar, Bandung pada 1993-1994. Di Hotel Panghegar, setiap hari dia dimanjakan oleh beragam pertunjukan seni Sunda. Maklum, hotel tersebut konon menjaga tradisi kesundaan bagi para tamunya. Di situlah jiwa keseniannya tertanam. Untuk itu, Renita tidak terlalu cemas jika perusahaannya saat ini mempercayakan dia mengelola program di bidang kebudayaan. "Mungkin sepertinya hidup saya 'dikutuk' untuk tidak jauh dari budaya," paparnya seraya tertawa lepas.

Perjalanan karir sebagai PR mulai membawa dirinya terus ingin mencoba hal baru. Selepas dari Hotel Panghegar, ibu dari Nadya Natasha dan Raisha Zahra itu menapaki karir di ASEAN Business Forum yang digagas pengusaha Abu Rizal Bakrie. Renita didapuk sebagai Liaison Officer pada 1994-1995 yang bertugas mengurus pertemuan para taipan se-ASEAN di Singapura. Tak lama kemudian, pada 1996 dia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai Account Executive di MediaComm PR Communication selama setahun.

Boleh dibilang, sosok perempuan hobi masak ini menyukai tantangan. Begitu juga dengan pekerjaan, dia terus mencari pengalaman yang dirasa membuat dirinya tertantang. Iseng-iseng membaca lowongan pekerjaan di koran, pada 1997 dia memasukan lamaran untuk PT Delta Jakarta Tbk., sebuah perusahaan yang bergerak di minuman. Karir baru pun dia lakoni dengan penuh hati.

Di perusahaan ini adrenalinnya semakin terpacu. Dia merasa betul-betul tertantang mengelola perusahaan minuman berlakohol. Sebagai Key Account Manager, perlahan kinerjanya terus dibuktikan, sehingga pada 2001, dia diangkat menjadi Produk Manager minuman bir Carlsberg. “Orang bilang kan biasanya minuman alkohol selalu identik dengan lelaki, tetapi saya buktikan bahwa saya bisa,” paparnya.

Banyak pengalaman yang didapat saat perempuan lulusan Stamford College, Singapura, ini bergabung dengan PT Delta Jakarta Tbk. Pengalaman dan ilmu berharga mengenai dunia marketing, pelayanan, hingga brand management dia dapatkan selama 10 tahun di perusahaan tersebut. Sampai akhirnya dia sadar zona nyaman perlahan sudah mulai hilang dan harus mencari pekerjaan baru. “Akhirnya, di Djarum-lah saya menikmati pekerjaan sebenarnya.”

Pernah Tomboy

Mengenang masa kecil Renitasari sama saja dengan membuka kembali lembaran lama sebagai perempuan tomboy. Dengan penuh tawa yang memecah suasana, Direktur Program Bakti Budaya Djarum Fundation ini bercerita habis-habisan tentang pribadinya.

“Saya itu waktu masih duduk di SD hingga SMA suka bolos sekolah, berkelahi, main layangan dan… wah pokoknya beda banget sama sekarang ini. Sampai-sampai saya ‘dijebloskan’ ke pesantren sama orang tua,” ungkapnya.

Renita masih ingat betul saat beberapa kali keluar-masuk sekolah dari SMA satu ke SMA lain. Tak terhitung berapa kali pula pihak sekolah memanggil orangtuanya gara-gara dia suka bikin ulah di kelas, hingga dia dijuluki sebagai jagoan di sekolah.

Beruntung, sejak masuk salah satu pesantren di Tasikmalaya, Jawa Barat, pola pikirnya berubah. Banyak pelajaran yang didapat hingga perlahan dia mengubah sikap dan perilakunya.

Merasa dirinya lebih dewasa dan tidak ingin terus membebani orangtua, Renita serius melanjutkan pendidikan. Selepas lulus dari pesantren, dia terbang untuk kuliah mengambil jurusan Public Relations (PR), di Stamford College, Singapura. Pada 1990-an, jurusan PR memang tengah menjadi tren dan banyak dibutuhkan perusahaan.

Padahal sebelumnya, lanjut Renita, dirinya sangat tertarik di dunia Photography. Dia memandang menjadi fotografer memiliki kesan macho dan keren. Tetapi pihak orangtua melarang karena menganggap karir fotografer tidak akan berarti apa-apa untuk ke depannya.

“Dasar ya orangtua dulu mah suka menilai yang enggak-enggak. Sampai mereka bilang: Maneh teh rek jadi tukang foto keliling, make hayang jadi fotografer sagala [kamu itu mau jadi tukang foto keliling? Ngapain jadi fotografer?],” paparnya menirukan ucapan orangtuanya sambil tertawa lepas.

Namun akhirnya, Renita sadar dan bersyukur dengan apa yang dimilikinya saat ini. Terutama, keluarga yang mendukung dari mulai suami sampai kedua anaknya yang tidak mempermasalahkan karirnya sekarang.

Padahal, lanjutnya, berkarir yang banyak terlibat dengan kesenian terkadang menyita waktu untuk bersamaan dengan keluarga. “Tetapi saya beruntung masih bisa memanage waktu bagi anak-anak dan suami. Makanya, ketika memiliki kesempatan libur cukup, saya luangkan waktu sebaik-baiknya bagi keluarga,” paparnya.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda