Rabu, 23 Oktober 2013

Niskala Cinta dan Ruang Kosong

Pengunjung memperhatikan lukisan Mas Padhik di Galeri Cipta Taman Ismail Marzuki
Apa relasi kata cinta dengan sosok para mantan pemimpin sebuah negara seperti Sukarno, Mahatma Gandhi, Abdurrahman Wahid dan Nelson Mandela? Bagi sebagian orang tentu akan langsung mencap mereka sebagai pejuang perdamaian dan hak asasi manusia bagi kehidupan dunia. Mereka adalah tokoh pembawa cinta. Cinta yang universal.

Maka tak heran jika pelukis Mas Padhik menuangkan gagasan keempat tokoh tersebut dalam sebuah lukisan. Dia ingin, apa yang telah diajarkan para pemimpin itu bisa diingat dan ditiru oleh generasi penerus bangsa.

Lukisan berjudul Orang-Orang Besar (140 x 140 cm, acrylic on canvas, 2012), merupakan salah satu dari 17 lukisan dalam pameran tunggalnya Niskala Cinta. Pameran ini digelar di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, pada 4-13 Oktober 2013. Tema cinta adalah semangat yang diusung Padhik dalam mendedahkan gagasannya.

Cinta, dalam pandangan berkesenian Padhik adalah ruang yang harus disampaikan ke khalayak. Dalam kehidupan, cinta senantiasa mengisi relung jiwa setiap insan. Dia meyakini, segala proses kehidupan tanpa didasari cinta akan berdampak buruk terhadap hasil yang dicapai. “Dalam pameran ini saya bercerita tentang cinta yang luas,” katanya. “Bukan cinta yang spesifik.”

Pada lukisan berjudul Adam dan Hawa (garis tengah : 210 cm, acrylic on canvas, 2012), Padhik dengan apik menafsirkan kisah manusia pertama. Tokoh Adam dan Hawa, sebagaimana dalam kisah yang diajarkan beberapa agama bercerita tentang proses manusia turun ke Bumi.

Dalam lukisan tersebut, sosok Adam tengah berdiri telanjang bulat tak jauh dari Hawa yang berbaring di atas batu. Sebuah apel merah tersimpan tepat di hadapan Hawa di bawah pohon terdapat di taman surga. Sementara sosok perempuan berekor ular ditafsirkan sebagai setan yang berbisik kepada Adam untuk mencicipi buah tersebut.

Uniknya, pada lukisan ini Padhik seolah mendobrak pakem mitos kisah Adam dan Hawa. Beberapa penanda yang berusaha dihilangkan adalah buah khuldi. Dalam mitos agama, buah khuldi menjadi penyebab diturunkannya Adam dan Hawa ke Bumi. Pemilihan objek dalam goresan Padhik justru menggantinya dengan buah apel yang jelas melawan arus kisah dalam mitos agama tersebut.

Selain itu, dia juga berani menampilkan sosok perempuan yang dianggap sebagai setan. Pemilihan sosok setan berekor ular merupakan tafsiran ekspresi seorang seniman. Dia menegaskan, lukisan Adam dan Hawa merupakan pelajaran menyikapi sebuah kehidupan yang mengawali proses cinta manusia. “Jika Adam tidak memakan buah itu, mungkin kita tidak akan berada di Bumi,” paparnya.

Lukisan lain berjudul Cinta yang Sunyi (122 x 122 cm, acrylic on canvas, 2013) menampilkan sosok Bunda Theresa, seorang misionaris cinta dan kasih dunia. Padhik ingin merekam jejak Bunda Theresa yang berjuang menolong warga miskin dunia. Lukisan tersebut menggambarkan lima orang perempuan tanpa wajah tengah memegang foto Bunda Theresa.

Pemilihan warna cokelat tua pada lukisan ini cukup mewakili judul lukisan. Kerutan wajah Bunda Theresa memberikan pesan kuat. Selama hidup, perjuangannya membela kaum miskin tak pernah goyah. Menjadi wajar jika Padhik memasukan lukisan ini dalam Niskala Cinta.

Tafsir cinta lain yang disampaikan pelukis kelahiran Bandar Lampung 1960 ini terdapat pada lukisan berjudul Bhinneka Tunggal Ika (150 x 300 cm, acrylic on canvas). Padhik berusaha mengkritik sistem pemerintahan yang terjadi saat ini. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang diusung seolah hanya slogan belaka. Dia mempertanyakan konsistensi dan makna semboyan tersebut

Lukisan menggambarkan sekumpulan orang berdiri di atas batu bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika. Seorang perempuan berdiri di tengah. Dia memiliki empat tangan yang tengah memegang alat musik dan wayang burung Garuda sebagai lambang negara. Sementara lainnya duduk dan berdiri sambil memainkan alat musik.

Padhik menjelaskan lukisan tersebut terlahir atas fenomena yang terjadi pada kondisi sosial di Indonesia. Menurutnya, Semboyan Bhinneka Tunggal Ika tidak berlaku untuk kondisi saat ini. Bhinneak Tunggal Ika yang berarti berbeda namun tetap satu tidak pernah terjadi. “Saya melihat arti cinta dari Bhinneka Tunggal Ika sudah tidak ada. Kekerasan terhadap suku, agama, ras bahkan kelompok masih saja terjadi.”

Kritik pedas lain yang digoreskan Padhik adalah mengenai kepastian hukum di Indonesia. Dalam lukisannya Timbang Menimbang (150 x 300 cm, acrylic on canvas), menggugat eksistensi para tokoh penegak hukum.

Jika dicermati lebih teliti, lukisan ini mirip Patung Liberty di New York, Amerika Serikat. Bedanya, jika Patung Liberty memegang obor pembebasan, sementara patung dalam lukisan karya Padhik memegang sebuah timbangan keadilan.

Menurutnya, hukum di Indonesia tengah mengalami ketimpangan besar. Negara ini, katanya, menjadi bobrok akibat sistem penegak hukum dipegang oleh orang salah. “Kita lihat berita terbaru, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang seharusnya menjadi pemegang kendali hukum justru malah ketangkap korupsi. Memalukan!”

Mas Padhik memang seniman yang konsisten berkarya dengan menampilkan ciri khas tersendiri. Sejak memamerkan karyanya pada 1990-an, konsistensi lukisannya membawa tema cinta dan ke-Indonesiaan. Dia bereksperimen untuk berkarya selepas menamatkan kuliah jurusan patung di STSRI/ASRI Yogyakarta 1980-1988.

Tak heran jika dalam karyanya selalu membawa unsur arca, patung atau bertema sejarah masa lalu. Bahkan pada 17 lukisan Niskala Cinta ini, basic dari setiap lukisan bertema arca dan patung. “Setiap pelukis memiliki ciri khas sendiri. Mungkin ciri khas saya ada pada arca,” katanya.

Karya lain dalam pameran tunggalnya seperti Konser Merpati (150 x 160 cm, acrylic on canvas), Tentang Cinta (100 cm x 150 cm, acrylic on canvas), Membaca Tanda-Tanda (110 x 110 cm, acrylic on canvas, 2013) dan yang lainnya juga mengangkat objek arca atau Buddha. Kesetiaanya menjadi pelukis menjadikan dirinya seorang seniman spesialis arca.

Label:

1 Komentar:

Blogger Milliyya mengatakan...

Great article, Miko :)

24 Oktober 2013 pukul 07.44  

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda