Rabu, 23 Oktober 2013

Mengintip Joshua Pandelaki

Joshua Pandelaki dan saya di Markas Teater Koma Jakarta
Mungkin sebagian orang mengenal Joshua Pandelaki sebagai aktor yang kerap berperan di sinetron. Namun, lebih dari itu, karirnya sebagai aktor jauh malang melintang di atas panggung bersama Teater Koma. Seperti apa perjalanan karir pria ramah senyum ini? Wawancara ini dilakukan di studio Teater Koma bilangan Bintaro Jakarta. Berikut petikannya:

Bagaimana awal mula bergabung di Teater Koma?
Awal 1978 sanggar Teater Koma masih berada di kediaman orangtuanya Ratna istri Nano Riantiarno. Para seniman yang terlibat saat itu berasal dari latar belakang yang beragam dan bukan orang teater semua. Hanya saja karena tokohnnya Nano sama Ratna dari teater popular dan teater kecil, maka kedua unsur ini menjadi satu dan cocok. Teater Koma saat itu menjadi pionir teater modern Indonesia. Kita bisa mengelola penonton sehingga teater saat itu punya pasarnya sendiri.

Teater memang mesti hidup dari penontonnya. Seniman bukan hanya duduk di sanggar, menulis dan ngurusin undangan. Seniman juga mesti memikirkan bagaimana menarik penonton untuk hadir di setiap pertunjukan Teater Koma. Karena kesadaran itu, Teater Koma jadi produktif dalam berkarya. Memang strategi itu sudah dilakukan teater popular di bawah naungan Teguh Karya. Jadi dulu pada zaman Teguh Karya, teater sudah dipentaskan di hotel pada sekitar 1960-1970. Dan cara itu membekas sehingga diteruskan oleh Teater Koma.

Keterlibatan di Teater Koma, waktu itu saya main saat masih bujangan, sekitar era 1976-1977. Mas Nano sama Mba Ratna dulu belum menikah. Saya waktu itu main pada lakon “Maaf. Maaf. Maaf.” pada sekitar 1978.

Apa peran Anda pertama kali di Teater Koma?
Ketika bergabung di Koma, saya dulu masih di belakang panggung. Tidak terlibat langsung di atas panggung. Awalnya hanya mengurus perpustakaan, promo pertunjukan dan marketing untuk Koma. Misalnya, jika mau ada pertunjukan, saya bentuk tim dengan rekan lainnya. Setelah itu keliling memasang spanduk, poster iklan pertunjukan. Seperti itu saja kerjaannya.

Apa itu efektif?
Efeknya tentu saja ada, secara tidak langsung penyebaran poster membentuk komunitas penonton.  Sebagai contoh, dulu ada mahasiwa dari Bandung melakukan survey bahwa Teater Koma ternyata memiliki penonton sekitar 16.000 orang. Kebetulan waktu itu sudah ada internet mailing list yang ternyata efektif.  Dan itu menjadi sebagian pengelolaan penonton sehingga antara Teater Koma dan penonton memiliki sambung rasa. Pertunjukan Teater Koma paling tidak main selama 15 hari. Itu dilakukan karena adanya penonton. Mereka dengan sendirinya datang. Mereka ada yang bawa oleh oleh dan lain lain. Itu menyenangkan. Jadi kita terdorong untuk produktif terus menerus.

Lakon apa yang pertama kali Anda mainkan?
Saya pertama kali bermain pada lakon Pernikahan Darah karya Federico Garcia Lorca meskipun hanya berperan sedikit saja. Pengalaman yang didapat sangat berkesan. Ada juga perasaan bangga saat main bareng Rima Melati

Kapan keterlibatan Anda menjadi sutradara?
Karena saya suka berlama-lama di perpustakaan, saya jadi suka baca apapun yang ada. Sedikit-demi sedikit membawa saya menjadi pendamping sutradara dan ngurusin latihan. Setelah itu lama-lama saya menyukai divisi penyutradaraan dan tertarik di bidang directing. Setelah belajar lebih jauh, saya baru sadar ternyata penyutradaraan itu kompleks. Terutama tanggung jawab moral keseniannya. Di situlah kemudian saya terasah menjadi asisten sutradara. Sampai akhirnya naskah Raja Ubud menjadi lakon pertama yang saya sutradarai.

Bagaiamana perasaan Anda pertamakali  menyutradarai?
Awalnya memang sedikit gamang. Saya harus mengeksekusi konsep, produksi, sampai menentukan karakter pemain yang benar-benar cocok. Bahkan tanggung jawab kita ke produksi apakah pertunjukan akan laku atau tidak itu berada pada sutradara.

Karir keaktoran Anda didapat dari teater, film dan sinetron, mana yang Anda lebih sukai?
Saya melihat itu bukan persoalan mana yang paling saya sukai, tetapi ada hal lain yang sangat penting, yaitu ekspresi. Artinya ketika saya main di tiga media yang berbeda, maka kesadaran pertama adalah kesadaran ekspresi dan takaran. Maksudnya begini, secara teknikal ketika seseorang main di panggung, dia melakukan teknik yang berbeda, dan feelnya pasti terasa berbeda sebagai aktor dari masing-masing media yang dia perankan.

Apakah puncak peran seseorang ada di teater?
Beberapa aktor besar seperti Al Pacino, Robert de Nirro atau Dustin Hoffman memulai karir dari teater. Tapi tak lama kemudian, mereka banyak terlibat untuk film-film layar lebar. Dan peran mereka sangat berhasil. Namun tidak menutup kemungkinan, saya juga sering kecewa ketika aktor masuk sinetron. Meskipun ada yang sengaja masuk atau dicemplungin ke sinetron. Untuk itu saya berkewajiban mengingatkan dengan cara saya sendiri terlibat di sinetron.

Seorang aktor sejati baiknya main di peran apa?
Saya kira pilih-pilih peran seperti itu jangan dilakukan.

Apa penilaian Anda tentang aktor idealis?
Idealis itu artinya ukuran sebagai seniman. Misal, kala saya mau jadi aktor teater saja dan tidak bermain untuk yang lain, itu bukan idealis namanya, tetapi keputusan.

Apa yang Anda dapatkan selama 35 tahun bergelut di Teater Koma?
Belajar kehidupan. Hanya itu. Itu yang membuat kita tetap bertahan. Tetap cinta, dan kita terus menekuninya. Jika tidak, kita tidak bisa melayani kesenian itu sendiri.

Menurut Anda seorang aktor memang perlu finansial dari profesinya?
Prinsipnya begini, seni itu memanfaatkan apa yang ada. Maka jadilah bisnis itu, kalau saya sebagai aktor seni, saya mengelola apa yang saya miliki saya sebagai aktor. Itulah salah satunya yang membuat saya bertahan.

Label:

1 Komentar:

Anonymous Dle mengatakan...

Cieeeeee cieeee langsung upload dehhhhhh :D :D

4 November 2013 pukul 00.57  

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda