Rabu, 23 Oktober 2013

Menafsir Wayang di atas Kanvas

Agus Nuryanto dan para jurnalis di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki
Ridho Alloh terletak di bawah telapak kaki ibu. Peribahasa ini kerap terdengar dalam kultur masyarakat Islam. Inilah yang membuat pelukis asal Yogyakarta, Agus Nuryanto terinspirasi sebuah lukisan berjudul Restu Ibu.

Dalam lukisan Restu Ibu, enam malaikat bersayap tengah memperhatikan adegan seorang anak yang tengah sungkem terhadap ibunya. Tangan sang ibu memegang kepala dan punggung sang anak. Sementara sang anak duduk bersila memohon doa restu dengan penuh kesopanan.

Lukisan ini dibuat pada 2008 dalam medium akrilik di atas kanvas berukuran 150 x 150 cm. Karya ini merupakan satu dari sekian banyak lukisan yang paling disukai Agus selama bergelut dengan lukisan. Pesan yang ingin disampaikan begitu kuat. Pemilihan warna dibuat seapik mungkin. Agus seolah ingin memberikan kesempurnaan dengan apa yang ingin dilukisnya.

"Saya sangat jatuh cinta dengan lukisan ini. Boleh dibilang ini lukisan masterpice saya," ujarnya ketika berbincang pada pameran tunggalnya bertajuk The Spirit of Wayang belum lama ini.

Tampaknya, setiap lukisan yang dihasilkan sejak berkarir pada 1994 itu terinspirasi dari kisah sehari-hari. Agus juga terkadang menyisipkan kritik sosial pada lukisan yang dibuatnya. Ini bisa dilihat dari karya berjudul Chengho Return (100 x 100 cm, akrilik di atas kanvas, 2012).

Laksamana Chengho, seorang kaisar muslim Cina yang hidup pada era 1403-1424 itu sempat mampir ke Indonesia. Dengan sangat menohok, Agus memberikan penanda yang menyentil terhadap kondisi kekinian Indonesia. Dua tokoh pewayangan yang dia gambarkan sebagai masyarakat biasa tengah memegang bendera Merah Putih. Uniknya lagi, kedua wayang tersebut mengenakan pakaian modern.

Sementara latar belakang pada lukisan tersebut sengaja dibubuhkan ornamen gedung-gedung tinggi menjulang. Kondisi jalan yang tengah mereka gunakan berbeda dengan zaman dulu. Tak ada kerikil, tak ada bebatuan. "Di sini, Chengho saya gambarkan seolah tidak percaya dengan keadaan Indonesia masa kini," kata Agus berkisah.

Sentilan yang dikemukakan Agus melalui goresan kuasnya juga terlihat pada lukisan berjudul Pasti Jaya (100 x 100 cm, akrilik di atas kanvas, 2011). Lukisan ini sangat menarik perhatian. Seorang wayang tengah menunggangi burung Garuda, sebagai lambang negara Indonesia. Wayang tersebut tengah terbang di atas langit sambil menaburkan emas ke Bumi.

Uniknya, di atas langit tersebut sebagian pulau di Indonesia terlihat jelas, sehingga Agus ingin memberikan pesan bahwa Garuda yang ditunggangi diibaratkan sebagai kendaraan yang memberikan kemakmuran terhadap bangsa dan negara. Tentunya, Agus menyampaikan bahwa siapa saja yang menunggangi Garuda dengan baik akan membawa keberkahan bagi Indonesia.

Secara lembut dan penuh hati-hati, Agus menyampaikan kritikan terhadap pemimpin bangsa ini yang belum bisa mensejahterakan rakyat. Dalam pandangan pelukis, burung Garuda yang ada saat ini hanya simbol belaka. Semboyan yang ada di dalamnya belum berarti bagi kehidupan rakyat sepenuhnya.

Dalam pameran tunggal yang menampilkan sekitar 148 lukisan itu, ternyata Agus membubuhkan sebuah karya yang mampu mengocok perut. Lukisan berjudul Sedang On (100 x 110 cm, akrilik di atas kanvas, 2010) bercerita tentang seorang wayang yang dilanda rindu terhadap pasangan perempuannya.

Dua simbol hati pertanda cinta kedua lawan jenis hadir dalam goresan kecil di tengah kanvas. Ini menunjukkan jarak yang terlampau jauh antara wayang lelaki dan perempuan. Sementara wayang perempuan tengah berdiri dengan sama-sama merindukan sang kekasih. Simbol hati dalam lukisan ini merupakan jurang pemisah. Sehingga, pengunjung yang melihat secara detail akan mengerti bahwa kedua pasangan tersebut tengah saling berjauhan.

Lukisan Sedang On didominasi dengan warna merah. Agus sepertinya sadar betul memilih warna merah yang memiliki simbol berani dan tangguh. Dan, yang paling menandakan dari judul lukisan tersebut adalah jenis kelamin lelaki yang tegang sehingga pakaian yang digunakan terlihat menonjol.

Jika diperhatikan secara seksama, Agus Nuryanto merupakan seorang pelukis yang intens terhadap pewayangan. Maka tak heran jika setiap karyanya mengambil objek wayang. Dia mengibaratkan kehidupan pewayangan seperti halnya kehidupan manusia.

Dia sendiri mengaku sudah jatuh cinta terhadap dunia wayang sejak duduk di bangku sekolah dasar. Dia banyak dicekoki wayang purwo dan wayang beber. Kedua jenis wayang ini membuat inspirasinya terus mengalir dalam setiap goresan kuasnya. “Tetapi saya belum bisa membuat satu tokoh pewayangan. Wayang yang terdapat dalam setiap lukisan saya asumsikan hanya sebagai manusia biasa,” paparnya.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda