Rabu, 19 Mei 2010

Menukar Pizza


.::Cerita Jurnalis Kampus Gagal::.


Adalah Andri teman saya yang kemaren tanggal 31 Maret rela datang ke rumah setelah adzan maghrib. Dia berencana mengajak saya main terserah dia mau kemana. Saya kebetulan kemaren sedang ada di rumah. Sedang menonton televisi setelah abis sholat maghrib tentunya. Andri datang langsung sehabis pulang dari kerjanya. Dia kerja di daerah Dago.

Suara motornya terdengar khas. Motor Supra yang knalpotnya sangat berisik. Maklum dia kan anak muda. Jadi kalo gak berisik itu artinya gak muda. Andri parkir motor di depan rumah saya. Karena kalo motornya di masukan ke rumah saya, pasti saya larang karena bakalan capek, kan sebentar lagi mau main, jadi gak usah di masukanlah.

“ayeuna wae Ndri?” kata saya pada dia di depan teras rumah. Dan dia Cuma jawab “hayu.” Dan saya langsung masuk ke rumah. Harus pake celana panjang dan jaket, yang pastinya jaket kulit. Andri masih duduk di teras. Dia gak ikut masuk, apalagi ganti celana segala, karena ini rumah saya bukan rumah dia. Rumah dia kan di sebelah situ, 500 meter dari rumah saya. Agak ke bawah sedikit.

“mawa helm atuh,” dia menasehati. Saya gak jawab. Itu artinya saya patuh sama dia. Saya langsung masuk ke rumah lagi. Cari helm. Helm gak ada. Saya tanya kakak saya.

“helm hejo mana?”
“di si Dadan,” kata kakak.

Saya keluar lagi menghampiri Andri setelah saya tahu bahwa helm gak sedang ada di rumah. Helm ada di teman saya, Dadan. Dadan itu rumahnya tidak jauh dari rumah saya. Dan helmnya ada di situ setelah dipake oleh kakak saya. Mungkin si kakak lupa membawa helm ke rumah.

“Ndri jalan kahandap, bari ka teun si Dadan nyokot helm,” kata saya pada Andri
“hayu sakalian urang ka imah heula nyokot voucher Pizza,” kata Andri.

Saya dan Andri otomatis meninggalkan rumah dan teras rumah saya. Rumah yang dibuat tahun 80-an oleh orang tua saya. Waktu itu saya belum lahir karena saya lahir tahun 87-an. Motor Andri dinyalakan. Saya naik ke motornya. Jalanan sedikit menurun. Emang begitu karena rumah saya dekat dengan jalanan pudunan (turunan). Saya dan andri menghampiri rumah Dadan dan langsung mengerjakan niat saya untuk mengambil helm. Kebetulan Dadan sedang nongkrong di warungnya. Ada Budi di situ lagi nongkrong juga dan ada yang lainnya juga saya lupa lagi.

“Dan, aya helm hejo,” kata saya sama Dadan, saya juga lihat itu helm sedang ngajugrug di warungnya.
“helm? Oh aya,” katanya sembari membawa helm itu dan mengasihkan kepada saya.

Saya pake helm hijau itu. Saya naik lagi motor Andri. Andri menyalakan lagi motornya setelah barusan dimatikan kerana saya harus mengambil helm ke Dadan. Saya pamit ke dadan dan yang lainnya yang sedang nongkrong di warung itu. Tak lupa Andri juga sedikit pamit.

“Dan hayu,” kata Andri sebagai kata pamit bukan ajakan seperti halnya kata hayu yang sesungguhnya.
“hayu,” kata Dadan tidak ikut di bonceng Andri.

Setelah meninggalkan rumah saya dan warung Dadan, akhirnya saya mampir dulu ke rumah Andri. Tapi saya tidak ikut masuk kerumahnya, soalnya dia hanya mau ngambil voucher Pizza yang saya kasih sama dia tadi pagi. Motor Andri diparkir dekat rumah Yadi. Yadi dan kakaknya sedang nongkrong di terasnya. Wah, ternyata banyak yang nongkrong dekat rumahnya masing-masing rupanya. Saya sedikit ngobrol sama Yadi dan kakaknya sekedar menunggu Andri datang.

“kamana De?” Yadi menyapa saya dengan panggilan Ade. Ade itu nama panggilan imut saya.
“biasa we ulin,” kata saya kepada mereka.

Yadi dan kakanya sedang ngobrol sambil nongkrong. Saya juga sedang duduk di jok motornya Andri. Saya sedikit ikuti pembicaraan mereka. Pembicaraannya seputar apa yang terjadi tadi pagi. Tentang ada razia di daerah Patal Cipadung. Saya juga tadi hampir mungkin di razia kalo tidak ada ojek Legit mengasih tahu saya bahwa ada razia di situ. Tadinya saya mau isi bensin di Patal. Tapi gak jadi, kan ada razia deket pom itu. Saya balik lagi dong.

Gak lama kemudian Andri datang. Membawa tas kecil, mungkin di dalamnya ada voucher Pizza yang saya kasih itu. Lumayanlah di tengah perjalanan nanti kalo kita lapar tinggal tuker aja vouchernya. Andri datang dan semakin mendekat dan mendekat. Dan akhirnya dia mengeluarkan statement.

“De mawa SIM teu?” tanya dia.
“teu,” jawab saya sambil berpindah duduk ke posisi selayaknya dibonceng.

Andri mengambil alih motornya. Mungkin tadinya saya yang harus mengendarai motornya. Tapikan saya jawab gak bawa Surat Izin Mengemudi yang disingkat SIM, jadi dia lagi yang bawa motornya dan saya tetap dibonceng. Dan rupanya dibonceng itu enak juga. Pantesan saja banyak cewek yang mau dibonceng sama saya. Biarinlah geer sedikit gak apa-apa kan?

“hayu Di,” kata saya pada Yadi sama kakaknya. Andri juga bilang gitu sambil pamit.
“hayu De, hayu Ndri,” jawab mereka.

Saya dan Andri meninggalkan rumah saya, warung Dadan dan tentu saja meninggalkan Yadi dan kakaknya yang sedang ngobrol itu. Kami berdua bermotor ditemani gerimis yang mengundang. Gerimis yang renyah menerpa kepala saya yang di bungkus helm hijau.

Tak lama kami sudah sampai di daerah sebelum Ujungberung. Andri membelokkan motornya ke arah Wareng. Andri berencana mau ke seseorang untuk urusan bisnis. Gak tau bisnis apaan, saya gak mau merasa ingin mengetahuinya.

Alkisah, Andri sudah beres dengan urusan bisnisnya yang ketemu sama seseorang di daerah Wareng itu. Wajah Andri berbunga-bunga. Mungkin bisnisnya lancar, karena saya lihat dia memegang beberapa uang. Saya duduk saja di motor melihat beberapa meter dari arah Andri transaksi bisnisnya itu, yang belakangan saya tau bahwa dia bisnis memory card komputer.

“ngajual naon Ndri?” tanya saya.
“memory jeung USB card, maneh butuh?” jawab dia sambil bertanya.
“euh manehmah,” jawab saya kesal karena dia gak bilang-bilang dulu ke saya.
“lain ngomong atuh, meuerun di jual ka ente,” jawab dia kesal juga kenapa saya gak ngomong duluan atau seenggaknya nanya sebelumnya.

Ya sudah kita gak bahas soal itu lebih jauh. Kami berdua langsung saja meneruskan rencana kita untuk menukar voucher Pizza. Tapi kami sempat bingung mau dibawa kemana itu voucher. Mendadak saya ingat beberapa konter Pizza setelah temen saya ngasih tau bahwa di Carefour juga ada konter pizza. Iya, saya salut sama temen saya itu, sepertinya dia itu tau segala tempat kuliner yang ada di Bandung, apalagi di daerah kampus UIN SGD, dia tau semuanya. Oh tuhan, kasihlah dia hadiah karena telah tau segala sesuatu tentang kuliner. Tapi kenapa dia tetap kurus? Gak tau !

Disusurilah jalan demi jalan yang menuju ke Carefour. Saya masih dibonceng. Saya masih dihujani juga sama gerimis. Andri juga masih. Motor yang lain juga masih. Mobil yang lain juga masih. Semua yang sedang berkendaraan masih dihujani gerimis. Dan Andri memilih jalan favorit saya, jalan Arcamanik. Jalan alternatif kawula muda untuk menuju ke berbagai arah.

Gak sampai berjam-jam untuk sampai ke carefour. Saya dan Andri langsung mencari konter Pizza. saya dan Andri langsung menghampirinya, mengahmpiri konter Pizza itu. Gila, antri banget atau antri sekali di konter itu. Mungkin memang harus antri karena tanggal 31 Maret itu hari terakhir untuk menukar voucher gratis Pizza.

Saya hampiri saja pelayannya. Pelayan yang cantik dan menggemaskan jiwa, raga dan pikiran. Badannya begitu jangkung dan semampai. Rambutnya pendek seperti bukan di iklan-iklan shampo. Saya sedikit melirik ke daerah papan namanya. Tertera di situ nama Shela. Nama yang cocok dan pas dengan wajah seperti itu.

“mbak, mau nuker voucher,” kata orang yang antri juga.
“langsung ke kassa aja,” jawab Shela. Sekali lagi saya kasih tau, Shela itu pelayan Pizza.

Saya pun langsung menghampiri kassa. Mereka juga yang lain menghampiri kassa. Begitu antri dan begitu bersemangat. Tapi kemanakah Andri? Ternyata dia sedang nunggu di sebelah kiri saya. Saya sedikit maju ke depan. Maksudnya keluar dari antrian. Mereka melotototi saya, mungkin mereka mau ngomong ini cowok gak antri banget sih, tapi mungkin mereka malu atau takut? Saya gak tau !

Saya sudah paling depan antrian. Di pinggir saya ada ibu-ibu juga sedang ngantri. Saya melihatnya dari atas sampai bawah. Tiba-tiba ibu itu langsung mengamankan tasnya. Tasnya dipeluknya. Kenapa si ibu seperti curiga sama saya? Saya kan bukan copet bu. Saya mundur lagi ke antrian paling belakang. Dam mereka dan wajahnya memancarkan kegembiraan karena saya balik lagi ke antrian saya yang dulu dan sebelumnya. Saya panggil Andri. Andri nyamperin saya dan ikut antri.

Orang-orang dan antriannya sudah beres. Giliran saya menukar voucher itu. Tapi si pelayan kassa itu namanya Tari. Tapi gak secantik dan se imut Shela.

Sebelum menerima voucher dari saya. Si tari menerima dulu pembayaran dari pelanggannya yang lain. Pelanggannya itu adalah lima orang bule yang belakangan saya tau mereka itu dari Australia. Saya tau karena saya sempat kenalan sama mereka. Mereka itu adalah artis dari ya itu saya sudah bilang dari Australia, sebuah grup band metal yang namanya Surrender. Saya dan Andri sempat berfoto sama mereka.

“tunggu bentar ya mas,” kata Tari. Saya ngangguk

Si bule-bule itu bayar ke Tari. Rupanya mereka habis makan Pizza juga. Tapi pasti gak dari voucher soalnya saya tau dan lihat dengan mata kepala hati jiwa sendiri bahwa mereka berlima itu ngehabisin uang 409. 000 rupiah untuk makan di situ. Astaga banyak banget.

“mbak speak English donk,” kata saya menyarankan ke si Tari.
“gak usah yang penting mah mereka bayar,” jawab Tari berapologi. Mungkin dia gak bisa.
“ tunggu satu jam lagi ya,” kata dia ke saya.
“oh,” Cuma itu kata saya kepada Tari setelah kasih voucher padanya.

Si para bule keluar. Saya juga ngikutin mereka. Di eskalator saya ajak ngobrol mereka.

“hi Mr, where are you from,” tanya saya sedikit ke barat-baratan.
“Australi,” jawab siapa saya lupa lagi namanya. Rambutnya gimbal.
“miko,” saya kasih tangan saya pada si gimbal mengajak kenalan. Dia juga ngasih.

Andri Cuma liatin saya aja waktu saya ngomong cas ces cos sama si para bule musisi itu. Mungkin Andri terkesima melihat obrolan saya dengan si bule itu.

“De tadi maneh ngomong naon urang mah teu kaharti, bisaan manehmah,” tanya Andri.
“biasa perkenalan awal,” kata saya. Padahal saya juga gak begitu mendengar percakapan saya tadi itu. Soalnya mereka itu begitu lancar dan pasih ngomong bahasa Inggisnya. Padahal mereka kan orang Australia bukan orang Inggris.

Saya dan Andri keluar sebentar sambil menunggu Pizza siap saji. Sekedar merokok dan bicara lain-lain. Andri bicara soal saudaranya yang jago bahasa Arab dan sudah bekerja di Bahrain. Andri menasehati saya supaya lebih jago lagi bahasa Inggris. Katanya, kalo jago bahasa Inggris itu gak bakal susah cari kerja. Saya Cuma manggut-manggut saja sambil menyedot rokok.

Saya dan Andri jalan-jalan ke parkir mobil. Mencari mobil yang paling bagus untuk dijadikan objek foto saya. Lumayan buat di tempel di facebook walau mobil orang juga yang penting gaya. Andri juga ikut-ikutan gaya-gaya di mobil orang. Saya yang foto dia. Dia juga foto saya.

Saya hampiri lagi Shela. Dia masih cantik gak berubah setelah saya tinggal satu jam. Saya dekati dia, semakin dekat dan dekat. Namanya masih Shela di papan namanya.

“mbak mau ngambil Pizza,”
“atas nama siapa?”
“miko dan Andri,”
“bentar ya,”
“iya.”

Shela mencari Pizza yang saya pesan. Saya pelototi dia sepenuh jiwa dan raga juga. Dia gak geer. Malahan dia sibuk mencari Pizza dari tumpukan Pizza yang lainnya. Akhirnya Shela ngasih juga Pizza saya. Dia ngasih dengan tangan kanan. Tak lupa saya bilang terimakasih sama dia. Andri juga bilang. Saya dan Andri meninggalkan Shela, dan Pizza di tangan saya.

Saya dan Andri pulang. Hujan masih gerimis. Di daerah Gedebage, kami tertimpa musibah. Ban kami tiba-tiba bocor. Andri dan saya rela jalan sedikit mencari tambal ban. Tambal ban ketemu. Motor ditambal. Andri dan saya duduk menunggu selesai penambalan. Hari itu Rabu. Hari yang gerimis. Banyak sms masuk. Tapi gak saya balas. Nirvana juga nge-sms. Sama, saya gak balas juga. Padahal sangat ingin saya balas.

-suaka, 01 April 2010, konon hari ini April Mop, apa itu April Mop, saya gak tau-

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda