Rabu, 19 Mei 2010

Bonus SMS

.::Cerita Jurnalis Kampus Gagal::.


Minggu 17 Januari, saya masih berguling-guling di sofa. Kadang pindah dari ujung kanan ke ujung kiri. Handphone tergeletak di meja. Selalu melirik, siapa tahu ada sms atau sekedar ada yang misscalled. Tidak, tidak sama sekali. Saya sadar ini nomor baru. Mana mungkin ada sms dari orang lain. Lagian saya juga gak pernah mengumumkan bahwa saya udah ganti nomor baru. Tadinya sih Cuma iseng beli kartu perdana. Lumayan, Cuma tiga ribu peraklah, ditambah nomor akhirnya yang saya suka: 347. hampir mirip nama sebuah distro gitu kan?

Sambil rebahan, mata terus tertuju pada si blacky (hape saya yang cukup menjengkelkan. Karena kadang dia suka bersahabat kalo lagi di charge. Tanpa di charge itu hape gak mau diajak kompromi. Sekedar nge-sms pun udah goodbye duluan. Tapi mau gimana lagi that’s my lovely friend indeed) di atas meja. Tapi tetep gak ada yang bergerak di meja itu. Karena, kalo ada pesan yang masuk, pastilah itu meja ikut bergetar.

Saya memberanikan diri untuk mengambil hape dari meja. Gak jauh sih, sekitar 50 senti meteran dari tempat saya rebahan. Coba cek bonus sms yang konon, kata teman-teman saya, perdana IM3 sekarang ada bonus sms gratisnya 50 biji tiap harinya. Yeah… perasaan senang muncul seketika. Rupanya saya belum pake itu bonus sms. Dari pada sayang itu bonus dimubazirkan, segeralah saya kirim sms semau saya.

“hai agy appz nieh?” ketik saya, dan mengirimnya secara acak. Dan menunggu balasan secara acak pula. Sambil membuang-buang pulsa. Preet.

Saya meluruskan kaki kembali dan menyadari hari ini cukup mem-bete-kan jiwa dan raga. Kepala agak terasa panas karena usai nyuci motor yang udah hampir seminggu belum dicuci. Matahari cukup menyetrika wajah saya tadi pagi. Alhasil, ide untuk merebahkan diri itu langsung muncul dibenak.

Di luar, ibu-ibu pengajian mulai memasuki areanya, yakni sebuah mesjid yang tepat di belakang rumah. Mesjid Istiqomah. Sayup-sayup terdengar dari ibu Lela, tetangga rumah, mengisi ceramah. Dan saya tidak mungkin ikut pengajian. Apalagi masuk ke mesjid, pasti ibu-ibu yang lain nyuruh saya pake krudung. Tapi ada hal penting dari setiap pengajian yang rutin digelar seminggu sekali itu, yakni sebuah harta rampasan perang jika pengajian diujung puncak acara. “Ade nambut piring” atau “Punten De pang miringankeun ieu eumameun” dan saya suka memesan pada si ibu-ibu itu. “nyobian hijinya karoketna.” Kata saya. Dan selalu si ibu-ibu itu bilang “oh mangga…mangga” (hmm… yummi)

Hal yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. ‘’capa ya?’’ rupanya itu sms balesan dari si Ndut. Emang sih si Ndut belum tau nomor saya yang baru, abisnya yang three (3) sekarang udah gak aktif lagi. Udah gak mau lagi dibilang kaum dhuafa.

‘’koben,’’ bales saya secara mendadak. (koben adalah nama gagayaan saya sama si Ndut hehe)
‘’kemana aja nih sombong,’’ lanjutnya.
‘’ada, kamu yang sombong,’’ hardik saya kembali.

Sms pun mengalir saling menyerang. Si Ndut juga curhat tentang baby-nya yang lahir beberapa minggu lalu. Dia juga lagi bete, sama halnya seperti saya. Jadi kita pabete-bete. Kita sehati Dut. Yapz…Batere Cuma tinggal dua baris. Masalah yang sangat riskan bagi hidup saya. Selain harus dicharge lama, kekesalan pun suka melanda dengan si blacky ini. Hemz…kalo ada ilham dari langit, saya ingin beli batere baru. (amiiiin)

‘’ada FB ga?’’

What! Saya sedikit terbangun setengah badan dari sofa. Tumben Si Ndut nanyain FB, biasanya dia paling anti ama masalah yang berbau net. Jangan kan FB atau yang begituan, dulu, buka Google pun dia gak nyaho. Terus kalo masalah internet-internetan pasti suka nyuruh saya. Tapi aneh sih kenapa saya gak bisa nolak kalo dia minta sesuatu (maksudnya dalam dunia pembikinan perFriendsteran. Padahal dia belum pernah minta apa-apa selain bikinin FB ama Friendster). Huhuhuhu… syukur deh kalo begitu mah berarti gak sia-sia donk kuliah di Unpas, hehehe sekarang mah rada ngota (up town girl) dikit ya non! (hihi calon guru niye)

Emang sih dulu saya sempet bikinin dia FB tapi passwordnya lupa lagi, lagian juga si Ndut dulu belum kegirangan amat deh. Ya udah deh FB yang dulu Angus.

‘’ada,’’ kata saya.
‘’ya udah add yang v aja ya, vriza66lovely@yahoo.com.’’
balesnya.

‘’okelah kalo begitu.” Kata saya. Hemz,, saya sempet mengernyitkan dahi, apa makna dibalik emailnya si Ndut? “vri itu aku, za itu anak v, kalo 66 itu tggal lhir v ama c baby.” Jawabnya.
“kok bisa kebtlan gitu seh lahirnya.” Kata saya.
“gag taw v juga, dulu smpet mnta ama alloh, eh dikabulin.” Jawabnya.

hape bergetar lagi, tapi ini bukan dari si Ndut. Nomor akhirnya 90, hmm,,, oh saya ingat itu dari Lilih, cewek mungil bermata empat. ‘’agy siap2 kursus,’’ smsnya.
‘’kursus apa, dimana ?’’ tanya saya.
‘’Korea di sadang,’’ balesnya.

Oh iya saya baru ingat, konon katanya cewek ini dikenal sebagai pengagum bahasa korea, intinya suka artis2 atau film2 korea gitu. Tapi rada aneh juga, saya baru denger kalo di Sadang ada tempat kursus bahasa Korea. “wah ikutan donk, daftarnya berapa, ada bahsa apa aja?” gertak saya.
“it’s 4 free, aslina.” Bentak dia.

Sama. Sms pun mengalir antara saya dan Lilih. Dari perbincangan lewat sms gratisan itu, munculah sebuah kesimpulan bahwa saya harus mendatangani itu tempat. Maklum mumpung tempatnya deket. Ditambah mau tanya-tanya masalah bahasa yang notabene penggunanya gak mungkin orang yang blotot ama item seperti saya apa adanya. Kesepakatan kedua, saya harus jemput ini cewek disarang huninya. ‘’oke saya jemput setengah dua, saya make-up-an dulu’’ saya berkata.

Handuk saya cubit. Lalu saya kalungkan dileher, mirip orang-orang desa jika hendak pergi ke pancuran sawah. Di asbak, sisa rokok saya santap, kali ini rasanya lebih menarik dari yang saya bakar sebelumnya. Biasa the Djarum Cokelat. Kebiasaan lain yang saya tidak pernah lewatkan adalah berlakunya pribahasa baru dalam diri ini. “ada asap ada wc” inilah pribahasa yang saya lakukan setiap saya bertapa sebelum mandi. Hal ini pula yang menjadi legenda baru bahwa jika buang hajat tanpa merokok, maka buang hajatnya pun gak akan afdol. Dan itu sudah terbukti.

Dan gak mungkin saya berlama-lama berdiam diri di WC, karena WC pun kiranya akan muak dengan apa yang saya lakukan jika berlama-lama di atas mulutnya.

Langit begitu gundah. Sepertinya air matanya akan meneteskan ke bumi ini. Dan sudah pasti ke genting rumah-rumah yang ada. Hentakannya semakin hebat. Walaupun hujan itu kecil, namun harus diketahui bahwa mereka suka bergerombol meludahi setiap mahluk dimuka bumi ini. Dan setelah mandi, sudah barang tentu saya memakai baju. Kalau tidak, semua orang yang melihat akan mendekati saya sambil berbisik “teu acan disunatan a?”

Hujan belum juga reda. Saya gak enak kalo membatalkan untuk jadi pergi ke Sadang. Entar disangka pembuat onar jadwal kursus orang lagi. Lagian si Lilih udah mau berangkat tadi jam satu. Dan kalo gak jadi, pasti dia gondok minta ampun. Tapi bagaimana mungkin kalo harus berbasah-basah ria begini. Lagian motor baru aja di cuci. Tapi untuk sebuah janji, apa boleh buat. Berusaha iklas sekuat tenaga. Sekalian main ke tempat saya mengajar, Sufikom, di Cicaheum itu. (maaf ya Tor, kapan-kapan saya cuci kamu lagi dengan lebih bersih) “I’ll be there in two minutes,” sms saya ke Lilih.

Stang motor saya pegang, lalu saya duduk di atas jok. Rintik hujan masih menyerang walau kecil-kecil. Permai lima sudah tiba. Lilih keluar dari sarangnya. Mungkin dia ngerti kalo matahari udah bersembunyi di balik hujan, makanya segala hal yang berbau kuning, dari sandal ampe sweater dia pake. Supaya dunia terasa terang benderang mungkin. Untung bukan sikuning yang mengalir di empang yang dia pake.

Saya duduk lagi di jok diikuti Lilih. Motor dinyalakan supaya maju. Karena kalu tidak dinyalakan mungkin tujuan yang akan ditempuh gak bakal nyampe. “kenapa belok sini, ke sana,” kata Lilih sambil menunjuk kearah luar kanan mulut jalan desa Cipadung.

Nah di sini saya mulai curiga. Sepertinya ada yang missunderstanding (nona dibawah berdiri). Saya kira Sadang itu adalah sebuah nama tempat yang ada di Cibiru, tapi ternyata bukan. Sadang itu adalah Sadang Serang. Wah, betul-betul kesalahan yang fatal antara kedua pihak. Karena tadi di sms Lilih menyebutkan bahwa tempat kursus itu di Sadang dan Sadang yang saya kenal adalah Sadang yang ada di Cibiru. It’s really complicated problem. Namun ada hal yang paling tidak menyesal, yakni “untung saya bawa helm,” kata saya dalam hati. Karena kalo ke Sadang yang ada di Cibiru itu gak usah pake helm juga gak apa-apa. Ternyata, insting masih berteman dengan saya. Bahwa saya harus bawa helem. Thanks ya Ting.

Hujan tetep aja masih menyiram. Jalanan agak licin. Valentino rossi kayaknya sedang tidak mud untuk kebut-kebutan (padahal gak ada keberanian untuk ngebut). Sesekali hantaman sisa air yang dicebor oleh ban nakal dan murahan kendaraan lain selalu mengguyur muka saya. Oh…shit.

Jam dua lebih beberapa menit, SMA Nasional pun terlacak. Sebuah sekolah yang lumayan nyaman yang ditunjuk mungkin oleh orang korea tadi bahwa inilah tempat kursus bahasa korea yang tepat. Wallahu a’lam. Motor saya parkirkan. Lilih turun dan menyerbu kelasnya. Di depan saya terlihat beberapa orang yang sipit. Saya hampiri salah satu dari dia. Kulitnya putih. Pasti orang korea. Dia tersenyum. Saya juga tersenyum. Bahasa Indonesianya kaku. “itu temennya,” katanya sambil menunjuk Lilih yang masuk kelas. Dan saya cukup menjawab “iya.”

Saya duduk di bangku. Dia juga duduk dibangku. Misi saya yang pertama menanyakan kapan pembukaan anggota baru. “nanti bulan Maret,” katanya lambat. Wah masih lama, dua bulan lagi donk. Di bangku itu kita berdua ngobrol pendek lebar. Di kelas, suara berisik terdengar tengah mengeja mungkin huruf-huruf Korea. Si Korea itu meninggalkan saya. Lalu datang anaknya yang masih kecil, Tanha namanya, umurnya kira-kira tiga tahun dan Angel yang saya tebak adalah kakaknya Tanha. Si Angel kelas dua SD. Bahasa Inggrisnya lumayan bagus. Saya sempat berfoto ria sama mereka. Dan mereka berdua tentu saja sipit. Titik.

Jam menunjukan pukul tiga. Saya sendirian di bangku. Di dalam kelas masih berisik. Saya rogoh saku celana untuk mencubit hape. Waktunya pergi ke Sufikom nih. “sya prgi duluan,” sms saya ke Lilih. Tapi dilaporan terkirim bertanda not sent. Saya cek pulsa ternyata nol. Sial. Saya cek bonus juga “kamu sudah mengirim 50 sms gratis,” itu tandanya gak ada sms gratis lagi hari ini. Saya ganti kartu kembali pake kaum dhuafa itu, dan tetep, sama, pulsa tidak mencukupi. Saya menyerah, sepertinya harus menunggu Lilih ampe keluar kelas. Habis mau ketuk pintu pamit ke kelas, kayaknya gak mungkin, saya sepertinya akan merasa malu.

“bu kopi bu,” pesen saya pada si ibu yang agak gendut di sebuah warung di luar sekolah. Saya lupa tidak menanyakan namanya. Buat apa nanya nama si ibu. Saya ambil sebatang Jarum Super. Tadinya mau the Jarum Cokelat tapi mata tertuju lebih cepat ke Super. Ya sudah deh, saya bakar itu rokok. Lumayan sedikit menghilangkan per-bete-an ini. Ditambah pemandangan menarik dari depan mata, yakni SPG Indomaret yang tengah membagikan brosur dengan gaya agak centil sedikit. Preet.

Saya lihat hape. Hape saya ada jamnya. Saya lihat jamnya. Jamnya menunjukan pukul tiga lebih empat puluh lima menit. Itu artinya sebentar lagi Lilih keluar kelas. Itu artinya lagi saya dan Lilih akan beranjak dari area Korea ini. Saya pindah posisi. Saya lihat seorang cewek yang saya pikir lagi ngerjain tugas Koreanya. “kursus di sini juga mbak?” basa basi saya. “iya, aa?” jawabnya dan tanyanya.
‘’enggak Cuma nganter temen, sekalian mau daftar, katanya gratis ya mba ?‘’ interview saya.
‘’iya, Cuma kita bayar uang kas aja lima ribu perminggu, itu juga nantinya buat kita.’’ Jawabnya sambil terus mencatat tugasnya.
‘’oh,,,, mba kuliah dimana ?’’ pertanyaan saya.
‘’Di UIN tapi sudah lulus,” jawaban cewek berjilbab dan agak sedikit kurus ini.

Saya sedikit kaget. sedikit. Ya sedikit. Rupanya si Lilih berbohong, katanya anak UIN nya Cuma dia doang padahal ada lagi anak-anak UIN lainnya yang kursus di sini.

“Owh…Jurusan apa Mba.” Sebrot saya.
“KPI,” timpal dia.
“angkatan berapa.” Tinju saya.
“2005,” takis dia.
“owh,,,sama donk sama saya,” tendang saya.
“Di UIN juga? jurusan apa ?” serbu dia.

Dan perbincangan pun mengalir sampai jauh. Biasa kalo ketemu ama orang yang satu suku bangsa di tempat orang lain pasti suka menanyakan temen-temennya. Contoh ‘’kenal sama Alin gak ?’’ seloroh saya dan sudah barang tentu dan pasti di jawab ‘’kenal’’. Dan dia pun berbuat hal yang sama dan wajar ‘’BSI ya, kenal sama Gina gak?’’ pertanyaannya. Ya, iyalah kenal dia kan seangkatan sama saya bu. Udah deh ini adalah basa basi jaman Fir’aun. Mending saya cari basa basi yang lain.

‘’Mba boleh liat bukunya ?’’ tantang saya.
‘’nih,’’ gertaknya sambil mengasihkan buku bahasa Korea itu. Dan saya baca-baca bahasa yang susah itu. Dan sumpah ini jauh beda sama bahasa Jepang. Jauh lebih rumit mungkin.

Satu persatu mahluk aneh pada datang menghampiri saya dan si anak UIN jurusan KPI itu. Saya sempat mendengarkan mereka. Mereka adalah murid kursusan Korea juga. Mereka centil-centil. Salah seorang cewek dari mereka membelakangi saya sambil bernyanyi tanpa rasa bersalah bahwa saya berada di belakang pantatnya. Saya Cuma diam tak berdaya. Karena disini saya tidak punya kapasitas apa-apa. Dan tiba tiba seorang cowok datang. “ayo yang kelas jam empat masuk,” ajaknya pada gerombolan centil ini. Saya tidak masuk karena saya buka murid.

Mereka pada masuk. Saya sendirian lagi. Lilih lama sekali. Saya memegang dagu sambil melotot kearah depan. Tanpa arah. Tiba-tiba lagi suatu suara terdengar.

“lagi ngapain?” kata Lilih.

Sungguh ini adalah pertanyaan yang konyol. Kok bisa-bisanya dia nanya begituan. Masa saya lagi nunggu pak rektor Nanat? Ya enggak lah. Ya nunggu dia lah. Karena saya bukan Jelangkung yang datang dijemput dan pulang tak diantar.

“pulang sekarang?” ringkus saya.
“bentar pipis dulu.” Jawabnya sambil lari terbirit-birit.

Lilih sudah pipis. Saya juga sudah pipis. Untung tidak pipis bareng. Sekalian wudu untuk menunaikan Sholat Ashar. Lumayan, pingin nyoba sholat di mesjid orang lain. Karena meski mesjid deket rumah, tetep saja saya jarang ke mesjid. Suka banyak setan soalnya yang ngajak “hei jangan ke mesjid.”

Hujan pun kiranya menyerah. Mereka yang suka bergerombol dan menyiram dunia ini sudah sembunyi di balik ketiak malaikat pengguyur hujan. Saya bawa motor di parkiran. Motor pun sudah tidak berada di parkiran lagi. Saya duduk di atas jok lagi, Lilih mengikuti duduk lagi. Kami meninggalkan SMA Nasional.

“kita ke Sufikom bentar ya?” jitak saya.
“apa?” berangusnya.
“kita ke Sufikom, tempat kursusan juga,” cerocos saya.

Jalanan agak sedikit macet. Cicaheum di depan mata. Di samping baso tomat, saya belokkan motor ke kiri. Ke arah Sufikom. “Assalamualikum,” salam saya. “waalikum salam,” jawab Vita. Vita adalah orang yang pertama kali menganjurkan saya untuk mengajar di Sufikom ini.

“tadi si bapa kesini gak?” tanya saya pada Vita. Bapa adalah yang punya Sufikom.
‘’tadi kesini nanyain miko,’’ katanya.
‘’oh,, ‘’ santai saya, ‘’oh iya saya mau pinjam modul bahasa inggris,’’ kata saya lagi.
‘’yang kemarin mana ?’’ kata Vita.
‘’lupa lagi nyimpennya,’’ imbuh saya.

Saya gak lama di Sufikom. Sekedar pinjem modul untuk hari senin dan selasa saya ngajar. Sebetulnya, sistem kursus di Sufikom itu jauh banget dengan sistem kursus standar. Apalagi pare. Jauh banget. Jadi kalo saya ngajar disana, saya tidak terlalu terpaku pada modul.

Saya pamit ke vita. Juga ke deva yang lagi ada di dalam. Modul dimasukan ke tas Lilih. Nitip maksudnya. Motor pun saya naiki kembali. Valentino rossi malah melaju lebih pelan. Yang penting selamat sampai tujuan. Dan Al-hasil Lilih kembali ke sarangnya dengan selamat. Saya juga selamat. Cuma ada beberapa hal yang saya lupa setelah saya berada di rumah. Modul masih di tas Lilih. Untung sekarang udah ditangan saya sambil merampok perahu kertasnya. []


--18012010--

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda