Rabu, 19 Mei 2010

Gerbong Enam Menuju Kediri

.::Cerita Jurnalis Kampus Gagal::.


Hujan baru saja reda. Persiapan sudah sempurna. Tidak ada yang ketinggalan setelah saya cek beberapa list barang-barang yang harus di bawa. Pakean, dari mulai handuk, baju koko, kaos, kemeja sampai celana dalam udah dimasukan ke dalam tas. Tas hadiah dari sponsor. Bertuliskan Ciptaden. Entah dari mana tas itu saya temukan. Mungkin hadiah dari Borma. Kakak saya kerja di sana soalnya.

“lagi pada di mana bos?” saya bertanya pada Nora melalui telefon genggam.

“di kosan. Jemput donk.” Jawabnya seenaknya.

“jemput pake apa gak bawa motor.” Timpal saya.

“ya udah jalan kaki aja.” Dia menyerah.

“oke saya segera kesana, ke kosan.” Saya bergegas.

Tidaklah lama saya berjalan ke kosan Nora. Dari rumah menuju kosannya. Sepuluh menit pun tidak. Tujuh menit mungkin iya. Jalanan masih becek akibat terceceri air hujan. Jadilah jalan Cipadung semakin terpuruk. Berlubang. Berkerikil. Berbatu. Untung tidak ada ikannya. Kalau ada, gawat. Bisa bisa jalanan itu menjadi kolam. Karena bolong-bolongnya pada dalam. Silahkan bapak-bapak pejabat kelas bawah urus itu jalan.

Saya sudah sampe di kosan Nora. Jaket hijau, kenangan KKN saya pakai. Beserta isinya, celana jeans dan kaos. Tak lupa sepatu bot saya tempel di kaki. Makin gagah lah penampilan sore itu. Sebuah tas saya gendong. Walaupun lumayan berat. Isinya ya itu tadi, keperluan selama di Pare.

Nora masih kebingungan mempersiapkan keperluannya. Terpaksa saya bantu dia memasukan beberapa barang yang harus di bawa. Tak jauh beda, pakean, peralatan alat mandi dan alat tulis dibawanya. Cuma ada yang sedikit berbeda dengan barang bawaanya. Poin plusnya adalah berbagai macam makanan ikut memeriahkan isi tas yang akan dibawa Nora. Ini menjadi informasi yang begitu penting buat saya. Sebab, secara otomatis makanan itu bakal memenuhi perut saya kelak selama di perjalanan.

Saya sudah siap. Begitu juga Nora. Saya solat dulu Maghrib disusul solat isya. Namanya kalau tidak salah dijamak. Setelah semua beres dan tidak ada yang ketinggalan, kami berdua berjalan menuju kampus. Nora tak lupa pamitan dengan teman sekosan dan ibu kos. Kami berdua seperti mau mudik. Seluruh badan dipenuhi barang bawaan.

“telefon Ista donk, kerjain dia, kamu gak jadi ikut gitu.” Saran saya pada Nora.

Nora bergegas mengambil hape dari kantong saku celananya. Dicarilah nomor Ista. Lalu di pijit tombol call oleh Nora. Percakapan dimulai.

“Ta, lagi dimana. Aku gak jadi ikut. Aku mendadak sakit.” Celoteh Nora. Saya tidak bisa membayangkan apa yang menimpa Ista ketika mendengar perkataan Nora tersebut. Wajahnya. Beungeutnya. Matanya.

“terus tiketnya disiapa?” jawab Ista so cool.

“dititip di a Miko.” Sandiwara Nora.

“ka Mikonya di mana.” Ista penasaran.

“di depan. Di nasgor depan kampus.” Nora barkata.

Saya dan Nora ketawa-ketiwi. Mungkin Ista shock berat mendengar telefon tadi. Terus, saya dan Nora tunggu di nasgor kampus. Beberapa selang kemudian datanglah Ista. Wajahnya pucat. Matanya merah. Mungkin usai nangis mendengar kabar tadi. Yang salah satu dari kami ada yang pura pura gak jadi ikut ke Pare.

Setelah mendapati kita berdua berdandan rapih sambil menyantap nasgor. Ista tersenyum pulih sambil megeluarkan kata-kata polosnya.

“jahat banget kalian ngerjain aku.” Katanya.

“haha…abis nangis ya.” Kata saya.

“gak, ngapain juga nangis.” Ista bela diri. Nora tetap tertawa kecil.

“lagian gak mungkin banget kamu (Nora) gak jadi ikut. Tadi sore juga gak apa apa.” Kata Ista lagi.

Akhirnya kami ketawa-ketawa lagi seperti biasa. Ista juga pesen makanan pada si emang nasgor. Tapi tidak, dia pesan capcai. Gak pake nasi. Saya hanya melihat mereka makan. Saya membakar rokok clasmild yang baru saya beli di kopma.

Beberapa menit kemudian datanglah satu lagi peserta Pare asal UIN SGD Bandung, Maher, membawa sebuah koper besar. Tapi gak kalah besar dengan tubuhnya yang gempal. Suasana mulai hangat. Saya baru kenal sama Maher. Begitupun Nora. Maher teman sekelasnya Ista di Humas.

Oh, ya. Saya akan kenalkan satu persatu dari mereka. Nora, mahasiswa Jurnalistik semester tiga. Ista mahasiswa Humas semester tiga juga. Sama-sama dari fakultas Dakwah dan Komunikasi. Maher, atau Heri Susanti saya kira cukup dijelaskan di atas. Saya sendiri, Miftahul Khoer, akrab disapa Miko jurusan Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora. Mereka bertiga ditambah saya sama-sama berambisius pingin ke Pare, Kediri. Tujuannya, macam-macam. Ada yang kursus, obesrvasi sama mencari pengalaman. Saya termasuk kedalam ketiga-tiganya. Tapi tidak semester tiga.

Di kereta.

Semua barang telah saya naikan ke atas kereta Kahuripan jurusan Bandung-Kediri. Saya, Nora, Ista dan Maher sudah berada di kereta gerbong enam. Paling belakang. Saya kebagian duduk bersebelahan dengan Nora, sementara Ista satu jok dengan Maher. Kami saling membelakangi.

Di depan saya, ada sepasang ibu dan bapak. Mungkin mereka sudah menikah. Kelihatannya begitu. Tetapi saya rasa pasangan ini lebih tua perempuannya ketimbang lelakinya. Mereka orang jawa. Katanya usai pulang dari rumah sodaranya di Bandung.

Di samping saya juga ada sepasang bapak dan ibu, tetapi mereka sudah beranak, atau mungkin kebetulan saja mereka bawa anak. Lumyan lucu-lucu anaknya. Yang pertama sekitar lima tahun, kedua sekitar Sembilan bulanan. Dan justru pasangan ini sebaliknya, perempuannya muda banget, saya rasa sekitar dua puluh tiga tahunan. Dan si suaminya sekitar empat puluh lima. Rambutnya memutih.

Tepat di belakang saya, Cuma terhalangi kain jok, Maher dan Ista sudah mulai ribut. Saya sejenak melihat mereka dengan menaiki jok sendiri, meyakinkan bahwa mereka sudah duduk di jok. Oh, rupanya mereka sudah berkenalan dengan teman yang berhadapannya. Belakangan saya tahu teman yang berhadapan dengan Ista. Itupun di akhir sekali saat kami turun dari kereta. Namanya Bima Ketut. Ini orang salah satu yang mengacaukan perjalanan kami dengan memberikan alamat palsu.

Panas. Padat. Ribut. Asap dan hal lainnya yang tidak positif bertebaran di kereta. Oh, inilah rasanya naik kereta. Tidak se ekstrim yang saya bayangkan rupanya. Tapi memang penat juga sih bagaimana berdesak-desakannya orang-orang. Semakin membuat gerah tubuh dan cepal. Saya sengaja membuka jendela kaca. Supaya semilir angin menghampiri saya dan Nora minimal.

Di depan, si ibu tetangga saya, kelihatannya sudah mengantuk, dia memutuskan untuk tidur. Membuat suaminya, yang saya kira lebih muda darinya itu beranjak dari joknya. Mungkin dia mengalah untuk istri tercinta. Si ibu berbaring di jok berukuran kira-kira 40X100 sentimeter itu. Kakinya dilipat sedikit karena tidak cukup. Sibapak, suaminya rela duduk di bawah.

Dipinggir saya ada seorang perempuan tengah duduk di lantai kereta. Umurnya seperti dua puluh empatanlah. Hati saya mulai iba. Seolah-olah kasihan sama dia. Saya langsung ambil hape dari kantong. Menuliskan beberapa kalimat namun tidak dikirimkan. “kasihan cewek di pinggir saya duduk di lantai.” Kata saya dalam SMS tersebut. Saya Cuma kasih lihat saja itu SMS pada Nora. Walau memang tidak perlu ngetik SMS segala. Berbisik pun bisa. Karena Nora kan satu jok dengan saya.

“ya udah suruh duduk saja si tetehnya. A Miko geser sedikit.” Kata Nora bijaksana. Saya langsung menyuruh duduk pada si teteh.

“teh, duduk….” Kata saya sambil menggeser.

“oh, gak apa apa nih.” Katanya. Senyum sedikit.

“oh, enggak dari pada di bawah.” Kata saya. Sedikit senyum.

Si teteh sudah duduk satu jok bersama kami. Tapi si teteh Cuma kebagian sedikit. Sekitar 30 persenanlah si teteh kebagian jok kami. Menyebabkan saya dan Nora rela menggeser ke kanan. Saya mencoba membuka percakapan. Sekedar basa-basi tapi bermanfaat. Oh, rupanya si teteh orang jawa. Saya tahu logatnya. Katanya dia mau pulang ke Jogja. Dia kerja di Bandung. Tapi saya lupa di mana.

Di depan saya, si ibu ternyata sudah tidur pulas. Suaminya entah kemana. Mungkin mencari area yang bebas rokok. Sebenarnya disini (di jok) juga bisa merokok, tapi di pinggir saya ada bayi. Kasihan, takut mengganggu mungkin. Itulah sebabnya si bapak mencari area lain. Sementara Nora terlihat tengah membuka cemilan yang dibawanya. Cemilan yang dikirim jauh-jauh dari Palembang ke Bandung. Satu paket, isinya kalau tidak salah: cokelat, madu, hand body dan yang lainnya. Saya yang membuka paketnya ketika dia menyuruh saya membukanya.

Tebak-tebakan.

Kereta api Kahuripan gerbong enam, mungkin beda dengan gerbong lainya. Soalnya, disini, terdapat orang-orang aneh. Salah satunya Ista. Dia memperhanangat suasana. Suaranya lebih keras dari orang biasanya. Bisa lebih dua kali lipat orang biasa. Maklum orang seberang emang suka kaya begitu.

Saya mendengar percakapan antara Ista bersama teman sejoknya yang berhadapan. Dari mulai Tanya sana Tanya sini sekedar basa basi sampai munculah sebuah tebak-tebakan dari mereka. Saya sempat terpingkal-pingkal mendengar obrolan mereka. Nora terlihat tertidur di pinggir saya.

“apa nama mesjid yang ada di tengah laut?” Tanya Ista.

“mesjid apa ya?” mereka berfikir. Saya juga berfikir apa nama mesjid itu.

“nyerah semuanya ya? Mesjid Al Mustahil.” Jawab Ista bangga.

Mulut saya melebar geli mendengar jawabannya. Walaupun terdengar garing. Tapi ya itu tadi, dengan logatnya yang unik, Ista bisa membuat hal biasa menjadi luar biasa. Orang-orang di dekatnya pun ikut terkekeh. Ista melanjutkan pertanyaan berikutnya. Ia merasa bangga dengan pertanyaan-pertanyaannya yang tidak bisa dijawab oleh orang lain.

“apa bahasa Koreanya alat pembuangan?” pertanyaan kedua muncul.

Saya kembali lagi berfikir. Mereka juga berfikir. Di depan, si ibu semakin nyenyak saja tidur. Di pinggir saya, sepasang suami istri yang membawa anak tadi juga mulai tertidur. Kedua anaknya juga tertidur. Sang suami, yang lebih tua itu juga tertidur. Ia rela tidur di bawah jok beralaskan Koran. Koran yang di beli seharga seribu perak dari pedagang asongan yang sengaja menyediakan untuk orang yang tidak kebagian jok.

“nyerah ya semuanya… jawabannya LiangTai.” Jawab Ista lebih bangga.

Ketawa saya lebih keras. Ketawa mereka lebih keras walaupun saya tahu mereka tidak mengerti apa maksudnya itu LiangTai. Karena kebanyakan mereka itu, penumpang yang berhadan dengan Ista itu orang Jawa. Jadi mereka itu tidak tahu apa artinya.

LiangTai dalam bahasa Indonesia berarti pantat. Bahasa Sunda berarti bujur. LiangTai sendiri artinya, dalam bahasa Sunda adalah bahasa kasar. Namun Ista bisa membuat hal seperti itu menjadi lebih menarik dan lucu. Meskipun, sekali lagi, terdengar garing. Justru dari kegaringannya itu membuat saya terbahak bahak.

Di sebelah kiri saya, si teteh yang satu jok dengan saya juga ikut ketawa. Dan dia juga pasti tidak mengerti apa yang dikatakan Ista. Si teteh sedikit berkomentar tentang Ista. Nora di sebelah kanan saya, masih tidur. Mungkin ia capek. Jam sudah menunjukan sekitar pukul sebelas malam lebih beberapa menit. Kereta masih gerah dan panas.

“itu temannya si Mas lucu sekali ya.” Komentar si teteh pada saya.

“iya, dia emang kaya gitu.” Kata saya.

-June 25, 2009-

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda