Minggu, 05 Februari 2012

Little Kiss For Mama (bercakap-cakap)

Adzan maghrib sudah berkumandang. Suaranya melengking merdu berasal dari pengeras suara ruangan Kemuning, kamar Dahlia tempat mama dirawat. Baru saja ibu-ibu pengajian pamit pulang setelah menjenguk mama. Mereka bergerombol sekitar 16 orang. Ruangan agak terlihat sempit. Dan pastinya ibu-ibu itu memberikan support dan doa pada mama. Sekarang tinggal ayah dan saudara-saudara yang lain; Bi Ai, saya dan Wahyudin. Tapi Seketika Wahyudin dan istrinya pamit pulang.

Saya buka tas dan ambil sarung, berencana ambil wudhu untuk sholat di mushola. Mushola kecil berada di belakang ruangan mama. Tapi mushola masih penuh. kamar kecilnya juga masih antri. Niat untuk berwudhu, saya pending sementara. Saya pergi sejenak ke belakang mushola untuk membakar rokok sambil menunggu antrian wudhu. Saya bergabung dengan seorang pria dewasa yang juga sama sedang menghisap rokok. Wajahnya terlihat lelah dan gelap. Rambut kriting. Awalnya kami berdua diam tanpa kata. Namun saya mencoba membuka percakapan.

“saha nu dirawat A?” Tanya saya.
“pun bojo,” jawab pria yang berambut kriting itu. Wajahnya gelap seperti saya. Tapi dia lebih gelap.
“panyawat naon?”
“tabrakan.”
“alah, tabrakan?” saya kaget.
“muhun A.”
“ayeuna di mana A?”
“di lantai 2.”
“oh.”
“Aa saha nu dirawat?”
“mamah A, infeksi pencernaan,” jawab saya.
“oooh,” ia mengangguk-angguk.
“ngangge Jamkesmas A?”
“muhun ngangge.”
“lumayan atuh nya teu kedah repot ngaluarkeun biaya?”
“muhun,” ia cukup mengangguk sambil mengepulkan asap ke udara.

Di depan kami berdua terlihat seorang pria setengah tua berjalan menghampiri kami. Duduk di tengah kami. Si pria setengah tua itu membuka sebungkus rokok. Saya melihatnya. Rokok itu bermerk Djarum Cokelat. Rokok kaum proletar. Rokok yang cocok untuk pria setengah tua itu.

“aduh eta ucing kat dikarungan kitu,” si pria setengah tua membuka obrolan.
“oh eta teh anu ciak-ciakan teh ucing?” Tanya saya sambil menunjuk sebuah box di depan kami.
“muhun ucing eta pedah sok maokan wae dahareun di kamar pasien.”
“enya kudunamah dibalangkeun, hehehe.” Timpal saya. Mereka sedikit tersenyum agak terpaksa.

Udara mulai terasa dingin. Kendaraan di belakang saya sibuk berlalu-lalang. Kami bertiga duduk berteman asap rokok masing-masing. Lumayan, cukup sedikit mengusir angin yang menusuk kulit. Si pria kriting tiba-tiba mematahkan keheningan yang sejenak terjaga.

“ai bapa ti mana?” Tanya si pria kriting.
“abimah ti Ciamis, tebih,” jawab si pria setengah tua.
“eta gening tebih,” kata saya sembari menatap wajahnya.
“saha kitu pa nu dirawat?” tambah saya.
“pun bojo, tumor,” jawabnya. Seketika saya dan si pria kriting menatap wajah si pria tua.
“ngangge naon pa, Jamkesmas?” saya Tanya.
“muhun Jamkesmas, wah mun teu aya etamah (Jamkesmas) mah ripuh,” jawabnya.

Saya, si pria kriting dan si pria setengah tua mulai ngobrol ngalor-ngidul. Menceritakan semua apa yang terjadi tentang si pasien yang kami jaga. Si pria kriting rupanya sudah ingin cepat-cepat membawa pulang istrinya. Kaki istrinya membengkak. Di kampungnya, Cikalong ia berencana membawa istrinya ke bengkel patah tulang. Tapi sayang, pihak rumah sakit belum mengizinkan. Demikian juga istri si pria setengah tua, ia jauh-jauh dari Ciamis datang ke rumah sakit Hasan Sadikin dengan sabar dan ikhlas. Apapun yang terjadi yang penting istrinya sembuh. Diantara kami, istri si pria setengah tualah yang paling lama dirawat di sini.

Sedang asik-asiknya bercakap ke sana-ke mari. Seorang pria berpeci, umur sekitar 50 tahun duduk bergabung bersama kami. Ia sepertinya sosok orang yang mudah akrab. Terlihat dari gaya bicaranya. Ia juga sepertinya sengaja duduk di belakang mushola ini untuk membuang rasa kantuk. Ia membakar rokok. Tapi saya lupa dan saya tidak melihat rokok apa yang ia hisap.

“ti mana A?” Tanya si pria berpeci pada si pria kriting.
“Cikalong pa,” jawab si pria kriting.

Mereka mendadak asik ngobrol berdua. Entah apa yang mereka bicarakan. Sementara saya sama si pria setengah tua bercerita tentang seputar masing-masing pasien yang kami jaga.

Rokok yang saya hisap sudah mulai habis. Barangkali tiga hisapan lagi, rokok sudah mesti dimatikan. Saya melihat sekilas ke kamar mandi yang jarak pandangnya tak jauh dari depan tempat kami duduk. Dengan menekan rokok ke tanah dan menginjaknya, saya pamit pada mereka, si pria kriting, setengah tua dan berpeci untuk melaksanakan sholat maghrib. Mereka menggangguk serempak. Saya melangkah meninggalkan mereka dengan posisi tangan sudah berada di saku sweater merah milik seorang teman yang baru saja saya cuci tadi siang.

-Diketik di Apotek Kemuning sambil menunggu resep dan panggilan dari apoteker-

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda