Cover Buku Gwe



Label: Handy Craft
yang lekas tercatat...
Label: Handy Craft
Label: Reportase
Label: my day
Label: Reportase
Label: my day
Label: my day
Abraham Lincoln pernah membumingkan slogan yang dahsyat saat rakyat Amerika membebaskan diri dari kolonialis Inggris, “Freedom for the People, by the People and of the People”. Atau kalau bisa diterjemahkan bebas dengan bahasa mahasiswa bisa diartikan “berfikir merdeka, bersuara merdeka, hak mahasiswa merdeka.”
Tempo lalu saya diundang dalam acara Orasi yang diadakan radio kampus Mandalla. Acara ngobrol santai sambil diskusi ringan mengenai maraknya media kampus di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Disana ada dua perwakilan media, Lembaga Pers Mahasiswa SUAKA dan Independent Voice. Obrolan tak jauh dari seputar penerbitan, kerja redaksi sampai ideologi masing-masing media. Namun agaknya acara ini terasa hambar, melenceng dari tema yang disuguhkan Fenomena Maraknya Media Kampus tidak sepadan dengan tamu yang diundang. Tidak mewakili keseluruhan. Selebihnya, acara menarik untuk di simak para pendengar.
Pers, khusunya pers mahasiswa muncul awalnya untuk menjadi anjing penggonggong kekuasaan bukan menjadi anjing piaraan yang rutin setiap minggu datang ke salon binatang. Pers mahasiwa pun bisa professional malah lebih garang dari media mainstream yang hadir era ini. Pers mahasiswa adalah kerikil buat birokrat kampus yang lalai dalam menjalankan kewajibannya.
Ada hal yang harus diperhatikan dalam penerbitan pers mahasiswa. Mulai dari standar jurnalisme yang independen memberitakan kebenaran untuk mahasiswa dan publik civitas kampus. Disini haram adanya intervensi dari pihak manapun. Loyalitas dan sumber daya manusia dituntut keras dalam memenuhi disiplin pers mahasiswa itu sendiri.
Namun dari standar jurnalisme diatas, rupanya pers mahasiswa masih kedodoran dengan hal semacam itu. Tak sedikit penerbitan mahasiswa terkatung-katung dan molor untuk di terbitkan. Alasan sibuk kuliah, tugas numpuk, masalah pribadi yang harus di selesaikan, sampai problem yang lainnya yang lebih krusial menurut awak pers mahasiswa itu sendiri. Ini kerap menjadi alasan jarang hadirnya dari rapat redaksi. Dan yang paling klasik adalah masalah finansial. Titik.
Masalah lain yang harus di tengok pers mahasiswa adalah narsisme penerbitan yang cenderung onani. Tak sedikit pers mahasiswa khusunya di kampus UIN yang didominasi tentang pemberitaan seputar program-program yang telah terlaksana dari masing-masing organisasi mereka sendiri. Padahal ada yang lebih penting dari pemberitaan banci seperti itu.
Label: Reportase
Aksi mereka terkesan individual, sebenarnya mereka mengaspirasikan untuk siapa?
Baim membakar sebuah ban bekas. Api nyaris melahap wajahnya. Ia mahasiswa PMI Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Kulit agak gelap. Mata belotot. Rambut kriting dengan menyisakan sejumput rambut dibagian belakang. Ia adalah orator unjuk rasa yang tak asing di kampus Sunan Gunung Djati Bandung. Cuaca siang itu panas menyengat kulit.
“memangnya kita anjing-anjing kalian, kita tidak ditanggapi. Anjing semuanya” Ujarnya.
Sebuah lingkaran dibuat. Persis di tikungan gedung rektorat. Nyanyian terus dikumandangkan masa BMPK. Jalan utama kampus sedikit terganggu. Pria berperawakan kecil membacakan beberapa bait puisi. Sejumlah wartawan sibuk mengambil gambar. Api terus berkobar. Asap hitam naik menembus langit. Pekat.
Rabu 8 April 2009. kampus Universitas Islam Sunan Gunung Djati Bandung menjadi perhatian seluruh civitas kampus dan warga sekitar. Aksi unjuk rasa digelar dua masa. tepat dengan pelaksanaan Dies Natalis UIN SGD Bandung yang ke- 41.
Mulanya, masa pertama yang dinamakan Himpunan Mahasiswa Sunan Gunung Djati (HAMAS) start dari DPR (Dibawah Pohon Rindang) dengan berteriak sembari mengacungkan tulisan yang berisi beberapa tuntutan dalam karton. Beberapa menit kemudian masa BMPK (Barisan Mahasiswa Peduli Kampus) menyusul dengan menyuarakan tuntutan berbeda.
Sementara, di aula, sejumlah para petinggi kampus tengah mengikuti acara ulang tahun yang ke- 41. orang nomor dua di Jawa Barat, Dede Macan Yusuf ikut menghadiri acara tahunan ini. Dan para demonstran merapat menuju area parkir tepat di depan auditorium utama.
Suasana mulai kacau. Terjadi saling seret antara demonstran dengan keamanan. Ini menjadi tontonan gratis yang menarik bagi mahasiswa dan sejumlah tamu yang hadir. Teriakan terus terlontar dari dua masa. Para tamu yang hadir, terlihat menyaksikan masa aksi ketimbang menyimak acara di aula.
“ini konyol. Kayak gak ngerti organisasi masa aja. Saya gak ngerti apa yang diomongin. Kalo mahasiswa demo kaya gini, mungkin dulu Suharto gak bakal turun.” Ujar Tece salah satu penonton demo.
Pelataran area parkir dan jalan kampus tak sepi dari mahasiswa yang melihat demo siang itu. Tuntutan demi tuntutan tak henti mereka aspirasikan. Namun rada unik memang. Kedua masa seolah sedang mengikuti lomba demo di acara Dies Natalis. Masing-masing dari kedua masa saling berteriak. Siapa yang lebih bombastis tuntutannya. Tak sedikit para penonton yang tertawa geli sambil menggelengkan kepala.
“tidak mencerminkan mahasiswa banget. Masa demo kaya gitu. Katanya ingin perubahan. Tapi merekanya sendiri tidak bersatu. Harusnya mereka bicara baik-baik.” Kata Titih, mahasiswa Psikologi.
Petugas keamanan mondar-mandir memantau acara Dies Natalis dan demo. Seragam serba hitam. Wajah mereka serius. Sesekali mereka membakar rokok. yang lain terlihat tengah berbisik dengan sejumlah para petinggi kampus. Sisanya berjaga dengan posisi tegap.
Bukan hanya mahasiswa biasa yang menghadiri aksi ini. Terlihat beberapa ketua senat mahasiswa fakultas dan ketua dewan mahasiswa hadir di perayaan ulang tahun ini.[]
Label: Reportase
“mas ini berapa jadinya. Sampoerna Kretek dua batang, Nescafe satu, Sukro Satu.” Kataku.
“jadi dua ribu lima ratus.” Jawabnya sederhana.
Tanpa berdiri lama saya melangkah kembali ke Suaka. Gelas plastik disiapkan, Lalu saya masukan dengan Nescafe yang saya beli. Dan mengaduknya perlahan. Kopi yang harum. Memanjakan lidah saya untuk segera menyedotnya. Nikmaaaaat benar. Alamaaak mantap kali hari ini. Maknyus.
“assalamualikum.” Kata Sindi tiba-tiba datang ke Suaka. Segera saya membalasnya dengan jawaban biasa. “waalaikum salam.” Sindi langsung duduk dikursi depan yang pendek. Ia mengutak atik handphone-nya, mungkin ia sedang sibuk mencari gelombang radio di hapenya itu. Soalnya saya harus beberapa kali mengulang kata-kata jika sedang bicara dengannya. Mungkin kupingya fokus sama telefon genggamnya.
Sindi datang untuk ikut acara diskusi yang diadakan Suaka tentang carut marutnya pemilu kemarin. Memang udah basi sih, tapi emang asyik juga untuk diikuti. Sindi langsung menawari saya sebuah cokelat, katanya oleh-oleh dari Afrika yang dibawa kakak iparnya.
“mau donk.” Seloroh saya.
Hmm… saya tak menyianyiakan. Cokelat langsung saya telanjangi. Lalu kumasukan kedalam mulut. Wow, minta ampun enaknya. Benar, ini cokelat rasanya export banget. Jadi ketagihan nih. Pengen coba lagi. tapi di kantong Sindi, kayaknya cokelat terahir.
Diluar terlihat Nora, Nuri dan Ilma sedang asik memilih buku. Padahal hujan jatuh dari langit agak merapat kencang. Tak kenal kompromi. Tapi mereka dan pembeli yang lainnya seperti tak menghiraukannya. Untung saja jualan bukunya di SC, kalo di luar, wah udah pada basah tuh buku-bukunya. Dan Sindi masih betah dengan handphone-nya.
Waktu terus merayap perlahan. Satu persatu peserta diskusi berdatangan. Hujan masih menetes dengan cuma-cuma. Kopi terus saya sedot. tak lupa kepulan asap saya keluarkan dari mulut. Sore yang nikmat. Apa lagi hujan, menambah sempurna dengan kepulan-kepulan yang menjalar kearah jendela. Saya duduk di kursi yang panjang. Yang pendek cuma satu. Sebenarnya ada dua sih tapi lagi di pinjam sama anak PBI yang lagi menggelar the tenth SAEED anniversary. Sampai sekarang kursi tak kunjung kembali. Benar-benar peminjam yang tidak bertanggung jawab.
Asap saya kepulkan keatas. Rokok yang pas buat sore ini. Sampoerna kretek is my best friend cigarette. You are my soul mate baby.
Satu persatu anak-amak SUAKA berdatangan. Indah, Aida, Nurhikmah, Hari dan kawan-kawan diam sejenak di ruang tamu SUAKA. Jam udah berjalan menuju sore. Hujan masih gerimis.
“ayo kita mulai, udah pada datang tuh.” Kata saya mengawali.
Anak-anak pun masuk ke ruang utama SUAKA. Ruang tempat istirahat kami yang terdapat dua buah kasur yang sudah beberapa tahun tak kami cuci. Tapi itu tak jadi soal. Yang penting kami bisa tidur dengan nyaman. Dan yang pasti ngorok sampai terdengar ke tetangga.
Iyya mulai bicara membuka acara. Para anggota SUAKA duduk dengan khidmat mendengarkan makalah yang ditulis Fikri. Tema yang diusung kali ini adalah “Nyontreng Ajang Untuk Golput?”. Fikri bicara dengan nafas yang khas. Para peserta diskusi menyimak dan sedikit manggut-manggut. Sebenarnya acara diskusi itu buat melatih bicara orang-orang di Suaka, tapi kok kayaknya mereka masih malu-malu kucing.
Kopi tinggal sedikit lagi. mungkin tiga sedotan juga sudah raib. Tapi saya masih menghisap sisa rokok yang masih setengah batang lagi. konon kata orang, yang paling nikmat dari rokok itu justru detik detik terakhir menuju puntung. Wah masa sih?.
Rasa cokelat masih menempel di lidah. Hisapan terakhir saya kepulkan dengan sangat penuh kekhusuan. Perlahan saya mengepulkan asapnya. “puaaaaaaaaaaahhhhhhhh.” Dan terlihat sebagian para peserta diskusi menggerakan tangannya mengusir asap yang saya kepulkan. Hmm… mudah-mudahan Sindi bawa cokelat lagi besok. []
Label: my day
“ini ma kak miko”?
“ya.”
“saya dari pramuka. Mu nanyain kesiapan kakak menjadi pemateri di acara Perskom Pramuka.”
Saya tidak begitu kaget mendengarnya. Karena sebelumnya teman saya Wicak sudah bicara, bahwa tadi siang ada anak pramuka yang meminta anak suaka ngisi materi di acaranya. Wicak mendelegasikan saya sebagai pengisinya. Dan dia juga yang ngasih nomor handphone saya pada si perempuan yang berambisius di telefon itu. Belakangan namanya saya ketahui, Kokom. Wew, Sundanis banget namanya.
“oh iya, siap. Berapa orang pesertanya”? jawab saya santai dan sedikit degdegan.
“sekitar 30 pesertaan.”
Wow. Benar-benar tawaran yang menantang bagi saya. Memang sih sebelumnya juga pernah ngisi materi Layout dan fotografi yang digelar oleh sebuah bulletin milik pesantren Al-ihsan, El Qolam. Tapi ya seperti biasa, rasa gugup saya suka datang tiba-tiba jika berhadapan dengan orang banyak. Hehehe. Selebihnya asik banget deh tadi pagi.
Dua Mei 2009, malam minggu begitu sepi. Jarum jam terlihat melebihi angka pukul tujuh malam. Besok pagi saya harus benar-benar memberikan yang terbaik buat peserta diklat manajemen buletin dan mading. Sementara saya belum siapin materi sedkitpun.
Tanpa pikir panjang, saya langsung buka file yang ada di komputer Suaka. Semua artikel tentang jurnalisme, mulai dari para penulis favorit saya, Andreas Harsono, Agus Sopian, Ahmad Yunus dan rengrengannya saya ubrak abrik. Siapa tahu ada yang nyangkut dengan tema buletin dan mading. Yuhu… saya teringat dengan kitab para jurnalis, buku yang wajib dibaca oleh seluruh wartawan di dunia ini, Sembilan Elemen Jurnalisme. Ya, buku itu tak lupa saya ambil dan masukan kedalam daftar outline.
Merasa kurang bahan, saya langsung bergegas ke warnet. Cari bahan yang berhubungan erat dengan pengelolaan buletin dan mading.
Waduh… mu ke warnet gimana, sementara disaku uang gak nyangkut sepeserpun. Dasar otak saya ini agak encer sedikit (hehehehe), saya langsung meluncur ke kosan Lina, bendahara Suaka buat transaksi uang. Lina, bagi saya adalah bank pribadi saya. Saya bisa P****m (maaf disensor, rahasia, hehehe) uang sama dia.
Yes. Saya udah dapat bahan. Tinggal menyusunnya. Saya putar kaki saya ke Suaka lagi. mengetik outline buat dijadikan bahan. Sekarang malam begitu sepi. Arloji sudah berdetak ke arah jarum 11 malam. Sial benar, tidak ada tembakau buat menemani dinginnya malam ini. Tapi tumben, gak ada nyamuk malam ini.
Seselai sudah naskah diketik. Tinggal menyimpan tenaga buat besok. Melipat mata dan merebahkan tubuh diatas kasur. Tetapi tidak empuk lagi kasurnya. Tak lupa alarm di handphone saya reset pada jam lima pagi. Saya sadar besok harus bangun se early mungkin. Lampu Suaka saya matikan. Alam sadar sudah gak terasa. ZzzzZZzzz.
Tiga Mei, hari minggu yang cerah. Pagi ini saya pulang menuju rumah, buat persiapan ganti baju. Ditengah jalan, saya mendapati tukang bubur ayam. 10 meter sebelum gerobak tukang bubur, otak saya langsung kepikiran merogoh saku celana.
“mang sabungkus. Bae receh mang?”
“ah.. teu nanaon.”
Hmmm… bubur terlihat lezat. Empat keping duit 500 saya simpan digerobaknya. Terdengar sedikit suara “cring” akibat beradunya gesekan antara duit tersebut. Saya gak sabar mencicipinya. Sekedar pengumuman saja, pagi ini saya memerawani sebagai the first buyer of the bubur at the morning.
“pake sambel”?
“saeutik mang.”
Yap. Saya meneruskan perjalanan saya menuju rumah, sambil menjingjing kresek hitam berisi bubur. Harumnya menerobos rongga hidung. Saya semakin gak sabar pingin membombardir itu bubur.
Sesampai di rumah, saya langsung bergegas mencari sebuah mangkok dan sendok. Yeaaaaah. Tanpa memikirkan dan melihat sekitar rumah. Bubur langsung saya sabet. Sendok demi sendok. Kerupuk demi kerupuk. Saya lempar ke mulut yang mulai kelaparan ini. (haha lebai)
Setelah makan dan merasa perut bertambah, handuk langsung saya cari, dan bergegas menuju kamar mandi.
“burr…byur..”
Suara air begitu merdu. Hari ini saya memecahkan rekor sebagai seseorang yang mandi lebih cepat dari orang lain. Tidak nyampe 2 menit.
Waduh, suara telefon bunyi lagi. saya curiga ini pasti Kokom. Ternyata benar dia penelfon terbanyak dua hari terahir ini.
“kak miko udah siap. Lagi dimana”?
“oke. Siap. Sebentar lagi nyampe kampus.”
“oh iya makasih. Asaalamualikum.”
“tut…tut…tut”
Suara motor bandit begitu kencang terdengar. RX King saya kebut. Tak nyampe lima menit menuju kampus. Aula Studet Center sudah dijejali peserta. Kokom langsung menyerobot kearah muka saya.
“ kak miko langsung kebelakang ya. Ngisi dulu curriculum vitae”
“ oh iya “ kata saya simple.
Pagi ini jantung berdetak agak kencang. Para peserta terlihat serius menunggu saya. Saya duduk sejenak di belakang kursi peserta. Menunggu dipanggil oleh moderator. Sebelumnya saya suruh panitia buat fotokopi bahan.
“baiklah kita panggil pemateri kita… kak Miftahul Khoer silahkan maju kedepan.” Kata seorang moderator yang saya lupa lagi siapa namanya. Saya melangkah menuju kursi istimewa. Di depan meja ada microphone. Saya tak menyiakannya. Berjuta kata basa basi saya lontarkan. Awalnya para peserta terlihat diam-diam. Tapi saya ajak mereka dengan asik dan enjoy.
Materi pertama saya coba menerangkan tentang apa itu pers, peran pers dan hal hal yang berkaitan dengan pers. Terutama tentang pers kampus. Sejarah penerbitan dan media era pemerintahan Suharto saya sisipkan. Bagaimana Orde baru mengkerangkeng media. Sebut saja Tempo, Detik yang dibredel saat itu.
Para peserta manggut-manggut. Posisi duduk, saya buat senyaman mungkin, walau saya masih merasa rasa gemetar bergejolak di dada ini. Moderator di pinggir saya begitu antusias menyimak kata-kata yang terlontar dai mulut ini.
Di depan, para peserta dengan gagah mengenakan batik yang khas. Cantik dan tampan. Saya juga pake batik, soalnya Kokom menyuruh saya pake batik. Ya sudah, batik ayah saya pake, walaupun agak bolong dikit pas di ketiak. Itu soalnya saya pake jaket. Jaket kenangan dari KKN di Sukabumi.
“ada yang tahu gak apa itu mading”? Tanya saya memancing peserta.
Berbagai jawaban terdengar dari mulut peserta. Yes, saya berhasil mengajak mereka berkomunikasi. Rupanya mereka sudah mulai bersemangat. Tapi kursi di sebelah kiri saya masih kosong. Mungkin belum pada datang peserta yang lainnya.
“majalah dinding kak.” Jawab salah satu peserta antusias. Yang lainnya sama menjawab seperti itu. Namun agak terlihat malu-malu.
Materi saya lanjutkan dengan mulai membahas bagaimana memenej atau membuat mading dan buletin. Berbagai ilmu dan pengalaman yang didapat, saya share sama peserta. Dan mereka masih manggut-manggut. Sesekali mencatat apa yang saya bicarakan.
Yang paling pokok dalam mengelola mading dan buletin adalah disiplin dan kesungguhan. Tak sedikit para pembuat dan pengelola tidak bisa bertahan lama dengan penerbitannya. Disini peran orang media dengan loyalitas tinggi sangat diperlukan dan harus diperhatikan oleh para pembuat media—buletin dan mading.
Setelah cukup materi yang saya paparkan, saya mengajak para peserta untuk membuat dua kelompok, mading dan buletin. Masing-masing harus membuat media, juga susunan pengurus dengan waktu cepat.
Awalnya mereka masih malu-malu berbaur dengan yang lain. Tapi lama kelamaan, akhirnya aura keakraban terpancar dari masing-masing peserta. Posisi duduk melingkar. Satu orang kebagian job sendiri. Susunan pengurus sudah mereka buat. Tawa kecil terlihat. Mereka enjoy dengan materi ini.
Moderator berbisik, waktu Cuma beberapa menit lagi. pemateri yang kedua sudah datang. Para peserta masih asik dengan kerjaannya. Saya sesekali mengasih semangat pada mereka. Mereka mulai rusuh. Terutama di kelompok mading. Mereka begitu sibuk menyusun rubrik masing-masing yang di tempel dalam sebuah mading kecil-kecilan.
Akhirnya waktu habis. Kelompok buletin belum semuanya usai. Masih beberapa persen lagi. tim mading maju kedepan untuk memperlihatkan karyanya. Tepuk tangan begitu meriah dari semua yang hadir. Saya tersenyum bangga sekali. Kata kata terakhir, saya menugaskan para peserta untuk membuat buletin pribadi dan disetor hari rabu yang akan datang ke Suaka.
Hari ini benar-benar hari yang menyenangkan. Saya bangga bisa berbagi ilmu dan pengalaman dengan teman-teman. Mudah-mudahan ilmu yang sekecil ini bisa bermanfaat bagi semuanya, khususnya mahasiswa UIN SGD Bandung. Semoga kalian menjadi orang yang kreatif. Terutama saya. Bisa menjadi penulis jujur dan banyak disegani orang. Amien.
Di rumah, ketika saya sedang asik mengobrol dengan keluarga juga tetangga. Dering handphone bunyi kembali. Saya masih curiga ini pasti dari Kokom.
“kak Miko lagi dimana”?
“di rumah”
“kesuaka lagi kapan. Boleh minta soft file outline yang tadi gak”?
“oh bisa. Paling sore saya ke Suaka.” Jawab saya sederhana.
Saya melanjutkan obrolan saya. Di rumah, Ibu-ibu tengah sibuk menyantap makan siang. Teman-teman Ibuku usai pengajian. Seperti biasa pengajian minggu pertama suka dibarengi dengan acara makan makan. Saya juga tak lupa mencoba makanan ala sunda itu. Sambal. Mentimun. Ikan asin. Krupuk dan sayur asem. Nikmat sekali. Lezat. Maknyus. Sekali lagi, benar benar hari yang menyenangkan.
Suaka 3 Mei 2009
Label: my day
dinginnya mengigit kulit
teman teman masih tidur
aku melangkah mengambil air
kubasuh seluruh badanku
sabtu yang melelahkan
mata terus melotot komputer
Label: my day
Label: my day
Label: my day
Komputer masih menyala dari pagi. Walaupun gak ada sound-nya. Bete. Kayak di kuburan aja. Emang sih susah banget kalo ngurusin komputer jadul kaya gini. Udah bentuknya kaya tahu Sumedang. Kotak. Terus juga kadang-kadang mati sendiri. Ditambah monitornya yang kurang bersahabat. Suka ganti warna sendiri. Dasar. kaya bunglon aja.
Tapi emang ngaruh banget nih komputer. Dibanding ama mesin tik yang bikin jari bonyok, ini lebih mendingan. Kalo punya temen-temen sih kebanyakan dual core, core two duo, core two gapleh dan semacamnya lah. Tapi si aku tetep pede pake robot ini. Walau jelek tapi ini komputer tempat menampung segala unek-unek di kepala. Semuanya bisa tercurah di komputer tahu Sumedang ini.
Tetep. Lima menit berselang pikiran udah mentok. Mau nulis apa. Masih bingung. Hari ini emang banyak kejadian yang harus dicatet. Tapi apa. Otak masih belum jalan juga. Oke. Aku mulai dari tadi siang. Tepatnya sekitar jam sepuluhan. Tanggal sebelas Mei dua ribu sembilan.
Treeet. Triiit. Hape butut nyala lagi. Setelah semalem abis-abisan di cas. Pesan singkat dateng. Yapz, ini sms pertama hari ini. Untung, hape gak mati. Biasanya kalo ada sms dateng, layar langsung gelap. Mampus. Apalagi kalo ada yang nelpon, udah deh bikin orang suudzon aja. Sangkanya aku gak mau ngangkat tu telpon, padahal emang dari embahnya batere always low bet every time and every where.
Sampe-sampe aku selalu bawa tiga batere dikantong celana. Buat persiapan. Wow. jasfaking my phone. But, it’s really my friend forever. Damn. I love my telefon genggam. Huhu. Mix switching dikit.
“Tw lgu Shania Twain yg from this moment on gak? Sms-in lagh”
Busyet. Ini sms dari si Ndut. Kemana aja tu anak. Baru nongol. Baru ngesemes. Gak sopan banget. Ojol-ojol nge sms kaya gitu. Nanyain kabar kek. Lagi apa kek. Kemana aja kek. Ini mah maen nyuruh aja. Dasar Ndut. Kutil. Bikin kesel aja. Kemana aja sih di sms gak pernah bales mentang-mentang udah jadi artis papan bawah. Sombong lho. Kutil.
“tgu, d cari dlu” jawab ku singkat. Sms di kirim.
Gak lama aku bales tu sms. Aku nyari di komputer. Ngobrak-ngabrik lirik lagu. Shiiiiit. Aku lupa. komputer emang udah di install ulang ama si Ijong. Wadafak. Semua data raib abis. Termasuk puisi-puisi aku. Semuanya is dead. Sial aku gak punya kopiannya lagi. Di blog udah di apus. Damn. Damn. Damn. Sajak Sajak Tengil kayaknya di undur buat di cetak. Hmm… sabar-sabar.
Tanpa pikir panjang aku langsung lari ke kopma. Nyari warnet. Bukan warteg. Tapi warrrrrrneeeeet. Tuuuut. Aku berhenti sejenak. Orang-orang kayak semut semuanya. Sibuk. Recok. Ada yang makan. Ada yang minum. Ada yang ngobrol.
Tapi di meja kopma sebelah kiri pintu warnet, ada yang aku kenal deh. Huh. Tapi siapa ya. Langkah kaki ku percepat. Wiiiissss. Ternyata si Ajeng. Temen KKN-ku ama suaminya yang lagi makan. Yeah. Seperti biasa, sedikit senyuman aku kasih. Rencananya kita mu pada ketemuan gitu sesama kelompok KKN. Kita mu ke garut. Bertamasya ke kota kambing. Daerah kebangsaan dan tanah air si Ajeng. Prêt.
“tunggu bentar ya aku ke warnet dulu.” Kataku
“oke. Jangan lama bang.” Jawab Ajeng
“sip. Sepuluh menit.” Tambahku
Di kopma, mahasiswa UIN lagi pada sibuk ngenet. Kayaknya lagi nyari tugas. Tapi sepertinya lagi ngecek Facebook. Atau jangan-jangan lagi nyari situs yang 17+. Oh. No. jangan berburuk sangka gitu deh. Itu namanya gak baek. Mungkin mereka lagi bete, trus dateng ke warnet buat ngilangin keselnya mungkin. Biarin terserah mereka.
Pintu masuk warnet kopma Heurin banget. Alias pinuuuuuuh pisan. Gak peduli. aku sorobot saja itu pintu. Duh kayaknya gak ada yang kosong deh. “di ujung.” Kata Tuti, pegawai warnet. “sip.” Jawabku.
Aku langsung buka google.com. ketik kata kunci ‘lyrics’. Yes. Udah dapet. Lyrics.com. terus nyari judul yang tadi di pinta si Ndut. Dengan loding agak lambat, itu lirik akhirnya keluar juga.
Triiittt. Truuuut. Sms dateng lagi.
“cpt dwonx.”
Ya, si Ndut sms lagi. Aku suruh buru-buru. Kayak dikejar srigala. Sabar dikit napa sih. Sebenarnya males juga sih, tapi ya, aku gak enak ama si Ndut. Kasian dia. Katanya sih lagi praktek listening gitu di sekolahnya. Emang si aku ini suka di jadiin dukun sama si Ndut. Si Ndut suka minta jimat-jimat kalo ada tugas dari sekolahnya. Terutama bahasa Inggris. Gak gak gak. Menurutnya bahasa Inggris ku keren. Yow yow yow. Padahal nilaiku paling ambruk dikelas. Yeah. Kapan aku selesai kuliah. Wew.
Kata si Ndut, gurunya suruh nulis lirik apa yang dinyanyikan ama tu penyanyi. Tapi kenapa mesti Shania Twain sih. Kenapa gak Nirvana atau Silverchair aja gitu. Gak gaul banget tu guru. Ya minimal the cranberries lah. Atau gak celebrity skin-nya Hole gitu. Ih. Mentang-mentang sekolahan di gunung. Taunya Cuma britni spir aja. Payah.
Tak tik tuk tak tik tuk. Aku tulis lirik di hape buat di sms-in. Hah. Kirain ini lirik pendek. Gak taunya panjang kaya tiang listrik. Huh. Bisa nyampe sepuluh halaman nih kalo nulis di hape mah. Lagian kalo sms bahasa inggris pake singkat-singkat gitu, kayaknya si Ndut gak bakal ngerti dweh. Wrrrrrrr. Sabar. Rela. Ikhlas. Aku ketik itu lirik tanpa disingkat. Tat tit tut tat tit tut. Sending message…pulsa jebol. SIMpati gitu. Mahaaaaaaal.
Ndut…Ndut…Ndut… cewek ngegemesin yang bikin tulang rusuk suka mengkerut. Dulu rambutnya suka gonta-ganti. Sebentar-sebentar salon. Sebentar sebentar salon. Salon kok Cuma sebentar. Tapi gak tau sekarang rambutnya suka disambung apa enggak pake rambut palsu. Rambutnya poni apa enggak. Jerawat di pipi kananya udah meletus apa enggak. Masih suka kebut-kebutan apa enggak.
Yang jelas aku udah puas nyubit tangannya yang gempal. Pipinya yang kaya roti berisi kelapa nang marud. Hehehehe… kapan kita ngejam lagi. bawain lagu astrid lagi. Nyanyiin lgu T2 lagi. Gimana kabar Kapas Band. Kapan mu rekaman tweh Ndut. Kukukukukkkk. Kayaknya kamu sibuk ya. Mau Ujian ya. Mau di terusin kemana nih?. Dusssssssshhhhsssh.
Preet. Gak terasa, di warnet udah mau satu jam. Aku liat dulu blog bentar. Aku ketik mikoalonso.wordpress.com. yes. Agak mendingan sekarang. Penampilannya rada serem. Soalnya kemarin malem, aku udah ganti latar. Sekarang jadi item semua. Ada foto si sayah yang lagi narsis. Idih. Liat pengunjung Cuma segitu aja. Cuma nambah lima orang yang suka liat blogku. Hmmm… tarik nafas bentar. Aku keluarin semua windows. Klik stop. Mahasiswa masih terlihat sibuk browsing. Gudbay dunia.
“dua ribu lima ratus.” Kata Tuti. Aku langsung merogoh saku. Semuanya receh. “thank you.” Kataku sambil bayar trus melangkah keluar. “ yo, sama sama.” Katanya.
Di luar, mahasiswa berbagai merek. Suku. Ras. Warna kulit. Masih pada recok. Gak tau mereka ngomongin apa. Yang pasti si Ajeng udah gak ada di tempat. Waduh kemana tu anak. Katanya mu janjian ketemuan. Ya udah. Aku lanjutin langkah kakiku menuju kantor. Mungkin si Ajeng udah nunggu disana.
Gak lama kemudian suara sms bunyi lagi. Aku bertanya Tanya. Ini dari siapa lagi. Mau ngapain. Ada apa. Kayaknya Ajeng nge-sms. Aku rogoh saku celana. Ngambil hape butut. Baca sms. Tapi bukan dari Ajeng. Ini sms Ndut lagi. Duh. aDa apa Kutil.?
“masih pnjang tw…”
Pasti. Si Ndut bakal sms lagi. Soalnya aku gak sempet kirimin itu lirik ampe tamat. Pasti dia uring-uringan nyari sisa liriknya. Soalnya lagi itu lirik panjang banget. Jadi gak mungkin aku sms-in semua itu lirik. Sori ya Ndut. Kutil. Pulsanya abis. Gak cukup. Ntar aja deh aku kirim lirik lirik yang lho mau. Hehehe. Peace.
Label: my day
tadi aku kaget banget. gilang datang ke Suaka. dia bawa modem M2 buat internetan.
katanya mu dijual satu juta setengah. terus aku ngobrol bentar ama dia di depan Kopma.
kita ngobrolin festival yang di gelar Paduan Suara Mahasiswa UIN SGD BDG.
terus kita rencana mu latian sore di cipacing.
sambil liat-liat modem, Gilang langsung ngajak cabut. aku lupa. modem di taroh di kursi.
aku dan gilang naik motor. pergi ke Cipacing. modem di simpen di kursi.
udah nyampe Cipacing gilang baru inget kalo modem ketinggalan di kampus.
padahal jarak anatara Cipacing ama kampus cukup jauh.
“mik modem mana.”
“gak tau di tas kali.”
“gak ada.”
“ketinggalan di kursi kampus kali.”
“astagfiruloh. ayu kita cari kesana.”
tanpa pikir panjang, aku dan gilang langsung ngebut balik lagi kekampus.
bener-bener konyol. dia lari sekencang mungkin. gilang sempet membentak cewe yang lagi naek motor. cewek itu menghalangi laju kami.
dia shock. kalo saja modemnya hilang di curi orang, entah apa jadinya. untungnya pas udah nyampe kampus,
modem masih utuh kayak semula. gak ada yang ilang. aku dan gilang cuma bersykur sambil ketawa-ketawa.
“anjrit aku kaget.”
“sarua Mik.”
gilang langsung cabut jemput ceweknya. soalnya desi, ceweknya, udah telpon berkali-kali minta dijemput.
“oke lang hati hati.” kataku.
gilang pergi. sekarang motornya ganti jadi kawasaki. motor baru. warna ijo.
Label: my day
Seharian ini aku full stand by di Suaka. pagi banget udah berangkat, dari rumah sekitar jam setengah delapan. Jam segitu udah sangat early buatku. Aku harus ngejar kuliah sosiologi sastra. Untung dosennya baik banget. Gak rewel. Tadinya aku mau mampir dulu ke kantor, soalnya peralatan menulis ku di simpen di sana, tapi tanggung, aku langsung masuk kelas. Mendengar ceramah dosen dengan seksama.
Kuliah udah usai. Aku nangkring dulu bentar. Sial, hari ini gak ada satupun temen-temen seangkatan. bete. Emang kerasa kalo didunia ini gak ada yang kenal. Rasanya kaya orang asing. Di kampus, dilantai dua, aku Cuma sendiri. Anak-anak semester bawah pada ngeliatin aku. Kaya liatin artis aja. Ada yang tersenyum. Ada yang nyapa. Ada juga yang cuek aja. Dari pada keliatan kaya buaya bunting, aku mengakrabkan diri. Tapi tidak mendirikan akrab.
“eh… Filsafat Bahasa masuk jam sekarang ya.” Tanyaku pada segerombolan mahasiswa semester empat. semua mahasiswi pake kerudung. Ya iyalah masa pake helm.
“iya A bentar lagi.” Jawab salah seorang cewek.
Serius, itu Cuma basa basi. Padahal mata kuliah Filsafat Bahasa, aku kebagian hari Jum’at. Itu kan sekedar acting buat ngelatih percakapan dengan orang asing. Hehehe… tapi jangan ampe keseringan. Entar aku di cap sebagai cowok sok akrab. Najis. Gak ada kamusnya kalo aku di panggil kaya gitu. Mending di cap sebagai cowok sok pinter aja sekalian. Kan lebih enak, tinggal ngebuang kata ‘sok’ nya aja. Jadi deh cowok pinter. Preeet.
Lumayan. Minimal orang-orang gak nganggep aku mahasiswa degradasi. Tapi emang sih kalo mau pede-pedean wajah ku gak tua tua amat untuk kategori mahasiswa kelas karyawan. Maklumlah ini kan hari Rabu. Anak anak seangkatanku pada gak punya jadwal. Tapi lihatlah dengan teliti kalo hari Kamis, wuidih… temen-temen seangkatan pasti menuhin semua isi kelas. Nah lho. Ternyata aku gak sendiri kan terdampar di kelas.
Gak lama, aku langsung cabut dari kelas. Berjalan perlahan. Tangga demi tangga aku jilati segemulai mungkin. Suara sepatu Bot terdengar mirip koboi-koboi di iklan Marlboro. Terus rada mampir dulu ke jurusan buat nengok nilai. Barangkali nilai KKN udah keluar. Tapi di jurusan sepi amat. Aku sedikit ubrak abrik draft nilai angkatanku. Sial. Gak ada satupun nilai KKN yang aku lihat.
Ya udah. Dari pada ketemu ama Kajur, trus di Tanya ini Tanya itu kaya di kuis-kuis, mending aku angkat kakiku menuju kantor. Yeah… ini kaya yang udah udah. Setiap hari aku lewati jalan menuju Suaka. Dari mulai melewati Perpus, mesjid ampe Kopma, tetep aja kaya gitu gak ada yang beda.
Di teras mesjid misalnya, tetep banyak orang yang nongkrong. Trus di kopma masih banyak yang numpang duduk di meja, gak tau mereka Cuma numpang baca Koran gratis atau sekedar ngegosip ria. Entahlah.
Label: my day
Aku udah di Suaka. Tapi gak ada siapa-siapa. Gak lama kemudian, iQmah datang ama Ipeng. Mereka mau pinjem helm tutup. Kayanya mau pada pergi. Emang ada sih helm tapi gak tau punya siapa. Tapi aku yakin itu helm yang di meja Suaka milik iyan.
“ada tuh di meja.” Kataku sambil bawain itu helm.
Ipeng coba liat-liat helm, kaya pilih-plih barang dagangan. Untung gak di tawar. Kalo sampe di tawar, udah deh aku jual itu helm. Haha. Boong. Katanya itu helm gak bisa di tutup. ipeng gak jadi pinjem helm. iQmah akhirnya pinjem punya Indra.
Di luar. Di kursi. Fikri lagi asik-asiknya baca Koran. Aku langsung serobot pinjem korannya. Hari ini, tema yang menarik, tentang para pelacur yang bertobat. Gila. Keren. Rupanya Pikiran Rakyat mantap juga liputannya. Kok aku gak kepikiran. Padahal udah lama banget aku pengen ngangkat tentang kehidupan para pelacur.
Ipeng. Indra. iQmah. Gak lama mereka di Suaka. Mereka langsung cabut. Hilang di telan Bumi. Sekarang aku sendiri lagi. Berteman suara nasyid yang dilantunkan anak UPTQ. Mereka lagi gelar lomba busana muslim antar sekolah yang ada di Bandung. Para pesertanya pada lucu-lucu. Ngegemesin banget. Apalagi orang tuanya. Wuihhhh… kalo gak punya suami, pasti aku culik itu ibu-ibu. Mereka lebih ngegemesin. Terutama buat di cubit-cubit sekeraskerasnya. Duh.
Gak!
Gak mungkin aku sekejam dan sejahat itu. Aku masih punya harga diri. Dari pada rebut istri orang, mending maen rebutan aja sekalian. Lumayan banyak hadiah kalo rebutan di acara panjat pinang. Aslina gariiiiiing.
Gak lama kemudian, munculah dua buah mahluk berseragam salesman. Pakean hitam putih. Femi dan Lumban. Lumban!. Kamana aja lho.
Ya mereka berdua datang tiba-tiba. Femi terlihat cemberut. Sedangkan Lumban ketawa ketiwi. Ada apa ini. Kok kaya ada masalah gitu. Aku gak mau tau. Tapi kenapa mesti pake baju hitam putih segala. Mau ngelamar kerja nih?
Lumban memegang secangkir kopi. Ow ow ow… hatiku mulai deg degan kalo melihat dan menghirup aroma kopi. Rasa resah dan gelisah mulai berkecamuk dalam diri. Lidah sudah menjolor menunggu tawaran dari Lumban. Untung dia berargumen duluan.
“kopi gratis A.” lumban menawarkan.
Kontan saja seluruh urat syaraf yang menempel dalam tubuhku langsung terangsang. Bisikan setan mulai merasuk. “ayo ambil kopi gratis sana.” Begitulah suara samara-samar membisikan pada kedua ekor telingaku.
Gak pikir panjang. Apa lagi sampe 200 meter. Gak. Gak sama sekali. Aku langsung banting badan. Meluncur dengan tanpa menggunakan pesawat.
“mbak, kopi gratis ya.” Kataku pelan tapi pasti.
“ iya sok ambil aja mas.” Jawab si teteh dengan sedikit bibir melebar.
Aku memegang satu cangkir. Tapi dalam hati, bisikan setan itu menghampiri lagi. “ambil dua aja.” Bener juga, aku harus ambil dua cangkir. Dan tangan kiriku memegang satu cangkir lagi. Sekarang ada dua genggaman tangan berisi kopi gratis. Dan langkah mulai rada kaku.
Untuk mengurangi rasa malu, aku rada berbincang bincang ama si teteh. Sambil rada kenalan gitu.
“mbak kalo kopiko tu kantornya dimana ya.” Tanyaku dengan ngeluarin jurus basa basiku.
“di jalan pelajar pejuang mas.” Selorohnya.
“oh…hmm… lain kali kalo aku ada acara, kita boleh kerja sama kan mbak.” Lanjutku.
“bisa mas, tinggal datang aja kekantor.” Timpalnya.
Yes. Sekarang udah cukup waktunya untuk beranjak. Di kiri kananku orang-orang seperti ngeliatin aku. Mungkin mereka menyangka aku orang rakus. Si tukang peminta kopi dua cangkir. Atau mahasiswa si pemburu kopi gratisan. Tapi biarin aku gak peduli.
“oh… ya udah mbak, lain kali aku kesana kalo aku ngadain acara. Makasih ya mbak.” Aku langsung beranjak.
“oh iya sama-sama.” Jawabnya.
Tuh kan, dengan cara basa basi, rasa malu udah bisa dihilangin kan. Hihi. Aku kembali ke Suaka. Tangan masih memegang dua cangkir kopi gratis. Yang satu buat aku sendiri. Yang satunya lagi aku kasih buat Hayati Nufus. Sengaja aku kasih dia. Soalnya, Yati udah menuliskan aku soal tugas sosiologi sastra. Preeet.
Label: my day
Entah dimulai dari mana, aku masih bingung, yang jelas, sekarang aku bangun jam tiga pagi. Mataku yang kanan susah untuk dibuka. Rasa sakit padahal udah hampir usai, tapi segerembolan belek masih menempel. Tapi aku yakin hari ini adalah hari terahirku menyandang predikat cowok bintitan.
Aku masih mikir. Sebelah mana aku harus mulai. Aku bakar dulu racun kecilku. The Jarum Cokelat. Dari dulu sampai sekarang ini racun tetep memakai logo Jarum. Karena kalau pake cap Linggis pasti namanya bukan The Jarum Cokelat, tapi The Linggis Cokelat. Dan mungkin juga di iklannya bukan Nidji, Padi, Gigi dan Nugi yang jadi artis. Kalo enggak grup band The Panas Dalam pasti Budi Anduk. Entahlah. Yang jelas sampai sekarang gak ada rokok yang namanya D’ Linggis Cokelat.
Di computer udah nunjukin jam tiga lebih empat puluh tiga menit. aku berniat menunda tulisanku sampai besok. Karena aku harus nerusin dulu sisa tidurku yang tadi udah kepotong oleh sesuatu.
Ya, ada sesuatu yang telah menyita tidurku malam ini. Sesuatu yang menyenangkan yang membuat celana dalam basah sampai tembus ke celana luar. Tapi sebenarnya sesuatu ini bukan hal yang harus dikonsumsi public. Tapi gak apa-apa, demi membuat tulisan ini lebih delicious, aku akan bagi-bagi sedikit tentang sesuatu itu.
Sesuatu itu adalah hal yang pasti dialami oleh kaum Adam kalo udah menginjak masa kedewasaannya. Sesuatu yang bisa membuat senyum-senyum sendiri kalo udah ngerasainnya. Sesuatu yang bisa dikatakan lucu, karena di dalam sesuatu itu para actor dan artisnya melakukan adegan-adegan yang mirip seperti di VCD terlarang atau file yang di hidden kan seseorang di komputernya.
Sesuatu itu adalah sebuah mimpi. Mimpi yang terjadi pada seorang cowok, yang setiap bulannya bisa sampai tiga kali pertemuan. Terkadang lebih. Mimpi itu tak kenal waktu. Bisa siang bisa juga malam.
Ada yang unik dalam mimpiku tadi. Aku mimpi dengan seseorang wanita. Yang aku kenal pula. Di mimpi itu, pemeran wanita yang aku kenal tadi melakukan pemaksaan. Kekerasan terhadap cowok. Si pemeran wanita tersebut, dalam mimpiku berani membuatku sampai terdiam dan tak berdaya. Preeeet.
Di mimpi itu tak berlangsung lama. Sekitar tujuh menitan. Abis itu aku langsung terbangun. Benar-benar terbangun. Terbangun dalam berbagai konteks.
Computer masih brang bring brong dengan lagu gak karuan. Kayaknya ini lagu hasil pilihan Godi. Aku mengangkat badan dan keluar dari kasur butut itu. Kasur yang sekaligus di jadikan kampas untuk melukis pulau oleh penghuni Suaka. Sekarang udah ada ribuan pulau di kasur itu. Kasur warisan Wicaksono. Dia orang jawa yang mulai betah berkecimpung di Sunda. Entah bener-bener betah atau paksaan kuliah. Yang jelas dia udah mulai menempuh semeseter degradasi.
Di kursi luar, ada sesosok mahluk yang di bungkus dengan sebuah sleeping bag. Awalnya aku nyangka dia Mahluk yang langka, gak taunya, di kursi itu, Godi lagi Molor alias bobo. Tidurnya pulas, kaya bangkai. Dasar bangke. Kayaknya kalo UIN ada yang ngebom juga pasti Godi gak bakal terbangun dari tidurnya. Caduuuuuuk.
Celana dalam masih basah dan lengket. Aku langsung buka dan menggantinya dengan celana pendek. Kebetulan aku bawa celana serep. Sekarang, dengan tanpa celana dalam, aku duduk di depan computer. Masih memikirkan dari mana aku harus mulai menulis. Padahal dari tadi siang banyak hal yang bisa ditulis. Tapi kayaknya sampai satu jam di computer, aku gak menemukannya juga.
Dari pada pusing, mending aku kembali lagi tidur. Lagian besok pagi aku harus latian band. Aku harus ke Cipacing, bertemu teman-teman. Mudah-mudahan Desi jemput aku ke Suaka. Hmmmm…. Ngantuk euy. Aku tidur lagi ah. Pasti besok pagi celana dalamku udah kering.
Label: my day