Minggu, 26 Agustus 2012

Musik Underground Bandung

Pada dekade 1990-an, musik underground menyerbu Indonesia khususnya di Bandung. Pada saat itu, Bandung menjadi barometer musik aliran-aliran cadas seperti metal, grindcore, punk dan hardcore.

Dimulai pada 1989-1993, sejumlah musisi underground di Bandung mendirikan sebuah komunitas Bandung Death Brutality Area (Bedebah) yang menjadi cikal bakal komunitas bawahtanah di Indonesia. Mereka langsung membuat sebuah studio Palapa yang menjadi tempat berkreativitasnya para musisi cadas Ujungberung-Bandung.

Tampaknya, pada era 1990 tersebut, geliat musik underground semakin beringas dan merebak hingga berbagai daerah di sekitaran Bandung. Dengan hadirnya komunitas underground pertama itu, semakin menginspirasi pecinta musik cadas lainnya untuk mendirikan Bandung Lunatic Underground (BLU) pada 1993, meskipun hanya bisa bertahan dalam satu tahun.

Namun, pada 1995 inilah perkembangan musik underground di Bandung mulai menapaki era keemasannya. Dengan bermunculan band-band metal semacam Forgotten, The Cruels, Sonic Torment, Sacrilegious Mesin Tempur dan Burger Kill. Meskipun, sebuah band Jasad sudah lama malang melintang pada era 1992 menjadi salah satu pelopor band metal di Bandung.

Pada tahun tersebutlah, nama Ujungberung Rebels mulai dikenal publik. Sejumlah kegiatan yang digelar oleh komunitas musisi cadas ini memang cukup kreatif untuk memajukan musik underground.

Dengan membentuk Extreme Noise Grinding (ENG) dan Homeless Crew, perkembangan musik underground semakin maju dimulai dari pembuatan zine-zine propaganda semacam Revograms, Ujungberung Update dan NuNoise. Isinya seputar perkembangan musik, kultur dan hal-hal lainnya yang menginformasikan tentang underground.

Homeless Crew sendiri lahir sebagai Even Organizer bentukan musisi multi talenta bernama Kimung serta kedua kawannya Ivan Scumbag dan Adi Gembel, sebagai pencetus nama Ujungberung Rebels  yang didalamnya terdiri dari penulis, teknisi, enginer, distributor, dll. Terbentuknya Homeles Crew akhirnya membuat dobrakan pertama dengan membuat album kompilasi musik underground sebanyak 20 band di bawah bendera Ujungberung Rebels.

“Extreme Noise Grinding inilah cikal bakal segala dinamika Ujungberung Rebels, hingga hari ini. ENG digagas para pionir seperti Yayat dan Dinan sebagai wadah kreativitas anak-anak Ujungberung,” kata Kimung, Kamis (9/8).

Sukses menggebrak dengan pembuatan album kompilasi, propaganda selanjutnya yang dilakukan Ujungberung Rebels adalah membuat acara musik yang menampung sejumlah band metal lokal untuk dipentaskan dalam skala besar. Sehingga, munculah Bandung Berisik Demo Tour yang lebih akarab dikenal sebagai Bandung Berisik I.

Pada Bandung Berisik I, sebanyak lima belas band Ujungberung unjuk gigi, ditambah bintang tamu Insanity dari Jakarta. Hingga kini, Bandung Berisik tetap diusung masyarakat metal Ujungberung selain tiga pergelaran khas Ujungberung lainnya, Death Fest, Rottrevore Death Fest, dan Rebel Fest.

Tercatat, hingga 2012 pagelaran Bandung Berisik sudah menginjak kali ke-12 yang merupakan ajang pertunjukan musik metal terbesar se-Asia. Pertunjukan ini juga disinyalir sebagai cikal bakal bekerjasamanya pihak Ujungberung Rebels dengan pihak sponsor, setelah sebelumnya komunitas ini konsen di jalur indie.

“Saya bangga dengan anak-anak Ujungberung Rebels terutama acara tahunan Bandung Berisik yang sempat mencatat sejarah dan prestasi besar dengan mengumpulkan 25.000 penonton dalam acara Bandung Berisik IV di Stadion Persib, Bandung tahun 2004,” katanya.

Hingga saat ini, band-band yang tampil di Bandung Berisik semakin banyak dengan kehadiran band pendatang baru yang tetap konsisten di jalur indie label. Namun, setiap tahunnya band yang paling ditunggu-tunggu para penonton masih disematkan kepada Burger Kill.

Kimung, yang juga sempat menjadi personil Burger Kill menjelaskan komunitas dari band-band lingkup Ujungberung Rebels sudah seharusnya merapat ke jalur major, seperti halnya yang telah dilakukan Burger Kill pada 2000 lalu dengan menggaet major Sony Music Entertainment Indonesia (SMEI).

“Sebagai musisi, seharusnya kita bergerak di semua lini, jalur major, indie dan apa pun itu namanya, yang penting kita berkarya sekreatif mungkin, jangan cuma berkutat di komunitas saja kalau mau maju,” katanya.

Kimung memberikan contoh, ketika Burger Kill tampil di salah satu acara yang kerap mengusung musik-musik underground, Radio Show, dia bisa membuktikan bahwa band underground Bandung pun bisa berani memasang badan di media mainstream. Apalagi, lanjutnya, Burger Kill sempat menerima penghargaan AMI Awards sebagai kategori Best Metal Production.

Selain itu, dia menambahkan dengan terbentuknya proyek terbaru bareng musisi undergorund lainnya dengan membentuk Karinding Attack, dia mengatakan tidak ada yang salah jika sebuah kelompok musik yang dari awalnya mengusung semangat independen menjadi mainstream.

Karinding Attack, yang dibentuknya barenga vokalis Jasad, Iman dan kawan-kawan pun sudah banyak berkolaborasi dengan artis-artis papan atas nasional. Dengan mengusung kebudayaan lokal, Karinding Attack sudah mendobrak industri musik di jalur yang lebih luas.

“Kalau di komunitas Ujungberung Rebels sendiri, ada dua nama yang hingga saat ini berani tampil di industri atau pun major, yaitu Burger Kill dan Karinding Attack,” katanya.

Dia menjelaskan bagaimana Burger Kill sempat berkolaborasi dengan Fadly dari band Padi atau Karinding Attack yang berkolaborasi denga Peterpan dan sebuah pertunjukan baru-baru ini bareng Meriam Belina dan Didi Petet.

“Memang kami mengakui ada nada-nada yang kurang respons ketika kami mengambil jalur major, atau ketika Karinding Attack berkolaborasi dengan artis-artis dari pihak major. Namun, perlu dicatat, bukan berarti kami tidak konsisten dengan idealisme yang kami miliki, kalau sudah tidak menjaga idealisme, buat apa kami bikin Bandung Berisik setiap tahunnya,” kata kimung.

Sementara itu, kelompok karinding Mapah Layung lebih mempertahankan jalur indie agar rasa dalam bermusik bisa terus dipertahankan. Seperti diyakini, jalur indie mengusung kebebasan berekspresi dan jauh dari beragam intervensi seperti yang dilakukan major label.

Aras Rasyid, pentolan Mapah Layung memaparkan berkesenian khususnya dalam bermusik merupakan panggilan jiwa dari dalam diri seniman. Bermusik yang baik, lanjutnya adalah bermusik yang datang dari hati dan bukan tekanan dari orang lain.

“Kami sengaja memilih indie, karena pencapaian musik di jalur ini tidak terbatas. Pada indie, kami sangat leluasa berkarya, mengeksplore segala bentuk musik, dan ditantang untuk mempertanggung jawabkan karyanya. Dan yang paling penting, bersikap sederhana tanpa merasa diri paling besar,” tutupnya.

Dia menjelaskan dari sekian kelompok-kelompok musik karinding khususnya di Bandung, ada perbedaan mencolok yang diusung Mapah Layung sendiri. Kolaborasi yang memadukan musik etnik dengan jazz, rock dan blues menjadi ciri khas yang sangat kuat.

Apalagi, citra musik yang dipadukan Mapah Layung kebanyakan terinspirasi dari masing-masing personil yang notabene pecinta musik rock dan klasik semacam Pink Floyd, Led Zeppelin, Iron Maiden, Deep Purple hingga Yngwie malmstein.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda