Minggu, 26 Agustus 2012

Tawardi Ramli si Raja Keripik dari Medan

Tawardi Ramli Raup Untung Rp3 Juta Per Hari


Bukan perkara mudah bagi Tawardi Ramli untuk melupakan masa-masa getir dalam kehidupannya.

Dia harus banyak mengurut dada karena kehilangan harta hasil usahanya sekitar Rp1 miliar akibat konflik di Aceh pada sekitar 12 tahun lalu.

Ramli dulunya ialah pengusaha kopi di Aceh. Kala itu, dia bisa hidup layak, karena pendapatan dari bisnis yang dijalankannya sudah lebih dari cukup.

Saat itu, konflik Aceh merebak, banyak korban berjatuhan, bahkan jumlah korban jiwanya pun tak sedikit.

Tak berpikir panjang, Ramli segera menyelamatkan diri ke Medan dengan mengontak sanak saudara guna mencari tempat tinggal.

Beruntung, dia mendapatkan sepetak rumah untuk melangsungkan hidup bersama keluarga.

Saat berbincang dengan Bisnis, Minggu (26/8), emosi Ramli cenderung naik-turun. Sesaat air matanya mengisyaratkan kepedihan mendalam saat menceritakan alur hidupnya yang berliku, terutama mengenang usaha kopinya yang gulung tikar.

Namun, beruntung dia tetap tegar. Dalam benaknya tertancap bahwa di balik semua kejadian pasti akhirnya akan mendapat hikmah yang jauh lebih besar.

Kepala dinginnya mulai berpikir cerdas untuk membuka usaha baru di Medan.

“Saya tidak punya apa-apa lagi ketika tiba di Medan, tapi dengan modal nekat, saya datang ke Carrefour untuk menanyakan peluang usaha. Awalnya, saya hanya menanyakan produk apa yang bisa dipasok,” katanya.

Gayung bersambut, ritel modern itu ternyata membuka peluang kepada pelaku UMKM memasok keripik nagka, karena stoknya yang terbatas.

Tanpa pikir panjang, Ramli menyanggupi tantangan itu dengan segera meneken kontrak. Walaupun sebenarnya, dia belum berpengalaman dalam usaha keripik atau pun jenis makanan lainnya.

Dengan pontang-panting, dia mencoba berangkat ke Malang untuk mencari referensi usaha keripik.

Setelah dapat referensi, Ramli langsung memberanikan diri memroduksi keripik nangka sesuai permintaan klien.

Tanpa terasa, Ramli sudah mampu memasok kebutuhan ritel modern itu sebanyak dua kali pengiriman.

Tapi sayangnya, dia harus kembali menelan pil pahit. Bukan untung yang didapat, malah rugi yang menghampirim

Ramli masih berpegang teguh pada prinsipnya, yaitu hidup adalah pengalaman.

Bermodal semangat itu, pria kelahiran Aceh tersebut kembali memutar otak bagaimana agar usaha keripiknya bisa berkembang.

Pada 2004, Ramli berhubungan dengan sebuah lembaga swadaya masyarakat nirlaba Swiss Contact. Lembaga tersebut mengkhususkan diri memberikan bantuan terhadap korban konflik Aceh dan Tsunami.

Berkat pertemuan itu, Ramli mendapatkan hibah mesin produksi atau vacuum frying sebagai modal usaha keripiknya.

Kontan, dia  langsung menerima dan bergegas memproduksi keripik lagi.

“Di situlah usaha saya mulai terlihat perkembangannya. Mulanya saya hanya memasok keripik nangka saja, tapi seiring berjalannya waktu, saya mulai membuat inovasi lain,” katanya.

Ibarat menemukan celah mata air yang mengalir, Ramli mulai ekspansi usaha keripiknya dengan memproduksi produk baru seperti keripik cempedak, salak, nanas, jamur tiram, singkong dan mangga.

Dia pun mencoba merekrut 30 karyawan demi mengejar pesanan dari pasar.

Tak hanya itu, kepedulian Swiss Contact dalam membantu korban Tsunami dan Konflik Aceh sangat berharga dalam usahanya.

Satu unit mesin penggorengan baru kembali diberikan kepada pria bersuara serak itu dengan cuma-cuma.

Pasar pun sudah mengakui usahanya. Di situlah dia memberi label keripiknya dengan nama Tamita. Tamita mengandung arti 'yang dicari' dalam bahasa Aceh.

Grafik penjualan beragam keripik Tamita sudah menunjukan peningkatan yang signifikan.

Omzet per hari bisa mencapi sekitar Rp3 juta. Pria yang rajin beribadah itu pun sudah bisa menikmati hasil keringat yang didapat.

Usaha bisnis keripik Tamita tidak hanya sampai di situ saja. Demi mengembangkan produknya, Ramli mencoba mengikuti pameran di luar negeri.

Tak disangka, respons positif pun terdengar dari konsumen yang menyarankan agar memproduksi jenis keripik lainnya.

Dia kemudian teringat dengan salah satu ciri khas buah-buahan asal Medan yang terkenal dengan buah durian.

Segera saja buah durian itu dijadikan sebagai produk unggulan keripik Tamita.

“Semenjak saya memproduksi keripik durian, nama Tamita semakin terkenal hingga merambah pelosok di Indonesia,” katanya.

Puncak emas usaha keripik Tamita di bawah genggaman Ramli mulai dari 2007 ketika dia membuka pangsa pasar hingga ke Jakarta, Yogyakarta, Makasar dan Bandung.

Sebagai pengusaha, dia harus mengatur strategi usaha dengan menyesuaikan harga produk.

Setiap produk Tamita yang dijual, Ramli membandrol seharga Rp25.000 per bungkus, kecuali untuk jenis keripik durian yang agak lebih mahal dengan harga Rp30.000.

Dia pun mulai mengurangi pasokannya ke ritel modern, karena menurutnya sistem pembayaran tidak sebanding dengan waktu produksi, padahal keuntungan dari modal harus segera diputar untuk belanja bahan pokok berikutnya.

Suami dari Kasmawati Itu akhirnya memutuskan usaha yang dijalaninya lebih memfokuskan kepada pasar domestik.

Dia mengaku tidak terlalu tertarik dengan pasar ekspor karena menurutnya, pasar lokal lebih menguntungkan dibanding luar negeri.

Lebih lanjut ayah dari seorang gadis bernama Mentari tersebut mengatakan angka penjualan keripik Tamita meningkat hingga 150% pada saat menjelang Lebaran. Omzetnya bertambah sebesar Rp4,5 juta per harinya.

“Saya sangat bersyukur, dari tahun ke tahun usaha saya semakin meningkat deras. Sampai saat ini saja saya memproduksi keripik jenis baru dari bahan ikan tawar Danau Toba,” katanya.

Ke depan, Ramli, yang hobi badminton itu berharap bisnisnya bisa lebih berkembang dengan beragam inovasi yang akan dimilikinya. Namun, yang paling dinantikannya yakni dia dan keluarga ingin segera berada di tanah suci.(K5)

Label:

1 Komentar:

Anonymous Anonim mengatakan...

trus alamat penjualannya dmana di medan??

7 Juli 2013 pukul 00.29  

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda