Minggu, 26 Agustus 2012

Geliat Sastra Digital Fiksi Mini

 5 TAHUN MENJADI TKW
Istriku pulang. Membawa koper, menempatkan baju dan beberapa potong tubuhnya. -@iipungg

Sepintas, teks di atas tidak berarti apa-apa, seperti lelucon yang ditulis seenaknya, malah terkesan tidak nyambung yang bisa membuat pembaca mengernyitkan dahi. Namun, cobalah tengok dan bacalah seteliti mungkin. Ada sebuah pesan yang dalam pada kisah pendek yang disampaikan itu.

Baris pertama teks di atas mengacu pada tema, sedangkan baris kedua yang menjelaskan isi. Secara sederhana, tafsir dari secuil kisah tersebut menggambarkan tentang kondisi nasib tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia yang mencari peruntungan di luar negeri, namun bukan untung yang diraup, malah siksaan dari sang majikan yang didapat.

Itulah kisah singkat yang ditulis oleh seorang yang memiliki akun jejaring sosial Twitter bernama @iipung. Jenis cerita sangat pendek itu belakangan dikenal sebagai istilah fiksi mini, sebuah genre sastra yang memiliki ciri khas penulisan cerita singkat.

Adalah sastrawan nasional Agus Noor yang mulai memboomingkan istilah itu sekitar tiga tahun lalu di Indonesia. Berawal dari keisengan membuat akun Twitter @fiksimini, dia pun mulai memposting cerita pendek dengan jumlah karakter yang terbatas.

“Awalnya hanya bikin akun biasa di Twitter, tidak ada tujuan khusus, cuma lama-lama banyak orang yang antusias,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (23/8).

Menurut Agus, istilah fiksi mini sebetulnya sudah lama hadir di jagat sastra. Di luar negeri misalnya, istilah fiksi mini akrab disebut flash fiction, nanofiction, postcard fiction, micro fiction atau di belanda lebih dikenal nouvelles dan banyak lagi.

Dengan mengenalkan genre ini melalui Twitter, Agus ingin semua orang terlibat langsung dengan hanya mengirimkan kisah-kisah imajinatif yang bisa ditulis secara ringkas dan bisa ditulis di mana dan kapan saja.

Setiap harinya, para tweeps yang memposting fiksi mini bisa mencapai ratusan dengan tema khusus yang diberikan moderator. Dalam mengelola @fiksimini, Agus mengajak dua orang sastrawan lainnya Eka Kurniawan dan Clara Ng.

Dalam catatan Agus, hingga saat ini jumlah followers @fiksimini sudah mencapi 90.000 lebih dengan latar belakang yang beragam dari mulai pelajar, mahasiswa, dosen, pegawai bank dan tentu saja orang-orang yang konsen di dunia sastra.

“Saya yakin banyak orang yang memiliki bakat menulis, tapi yang menjadi kendala adalah waktu kapan mereka bisa menulis, oleh karena itu @fiksimini setidaknya bisa menjadi ruang bersama untuk belajar menulis,” ujarnya.

Sebagai sastrawan yang sudah malang melintang di dunia tulis menulis, Agus mempunyai kiat-kiat khusus dalam penulisan fiksi mini. Menurutnya, fiksi mini yang termasuk ke dalam genre prosa dan puisi tersebut harus tercipta sedahsyat mungkin dengan batasan huruf di Twitter yang hanya 140 karakter.

Dia menjelaskan seseorang yang hendak menulis fiksi mini mesti benar-benar memiliki rasa dan imajinasi luar bisa agar karya yang dihasilkannya bisa membuat pembaca merasa terhanyut dan terbawa suasana.

Dalam catatan Agus, fiksi mini serupa bom kecil yang dihantamkan ke kepala yang membuat otak terguncang dan meledak. Dan setelah membacanya, seseorang bisa merasakan ada gema panjang yang terus menggoda.

“Intinya, fiksi mini menceritakan sebuah kisah  dengan seminim mungkin kata. Maka, semakin sedikit jumlah kata, semakin berhasil fiksi mini itu,”katanya.

Dalam pengalamannya, satu fiksi mini yang ditulis, bisa membutuhkan waktu setengah hari sampai satu hari demi mendapatkan ide, pengendapan, proses penulisan hingga editing untuk tahap final dan bentuk yang baik.

Keberhasilan mengenalkan fiksi mini berbahasa Indonesia melalui Twitter itu rupanya disambut antusias oleh para followers @fiksimini dengan membentuk komunitas.

Agus menuturkan, sejumlah karya fiksi mini yang sudah diposting tersebut kemudian diadaptasi oleh tangan-tangan kreatif para followers ke dalam lagu-lagu mini dan film-film mini. Konsepnya dengan hanya mengikuti alur cerita yang dituangkan dalam jenis yang lebih variatif.

Selain itu, sebagai bentuk penghargaan terhadap karya, ratusan fiksi mini sudah dibukukan ke dalam antologi bersama. Antologi fiksi mini tersebut merupakan hasil penyaringan dan tahap seleksi dari karya-karya yang layak.

Perkembangan fiksi mini juga tidak hanya dalam berbahasa Indonesia melalui Twitter. Lebih jauh, fiksi mini bahasa Sunda ternyata tengah digandrungi khususnya di wilayah Priangan Jawa Barat.

Bermula dari kegelisahan rumor bakal meredupnya bahasa Sunda di era modern sekarang ini, seorang sastrawan Sunda asal Tasikmalaya Nunu Nazarudin Azhar memanfaatkan fasilitas publik jejaring sosial Facebook dengan membuat sebuah akun grup Fiksimini Basa Sunda.

Niatnya tak muluk-muluk, hanya ingin menghidupkan kembali bahasa dan sastra Sunda yang hingga saat ini dipandang tidak berkembang dalam kehidupan masa kini.

“Awalnya saya riskan terhadap perkembangan sastra Sunda yang mulai stagnan, oleh karena itu dengan berawal dari keisengan membuat akun grup di Facebook saya pikir bakal kembali membangkitkan gairah sastra Sunda,” katanya.

Konsep fiksi mini bahasa Sunda dan fiksi mini bahasa Indonesia yang digagas Agus Noor memiliki perbedaan yang cukup menonjol. Jika dalam @fiksimini setiap orang yang memposting memiliki batasan jumlah huruf dengan 140 karakter, maka dalam Fiksimini Basa Sunda ada keleluasaan dalam jumlah kata.

Dalam catatan Nunu, anggota Fikmin Basa Sunda saat ini sudah 3.000 orang lebih yang berlatar belakang berbeda-beda. Dari mulai ibu rumah tangga, pedagang, guru hingga rektor dan tentu saja penggiat sastra.
Nunu dan kedua rekannya sesama pemerhati sastra Sunda Dadan Sutisna dan Godi Suwarna mencatat postingan karya setiap harinya bisa mencapai 100 cerita.

“Di Fiksimini Basa Sunda ini sangat terbuka, siapa saja boleh berkarya bahkan rektor Unpad Ganjar Kurnia pun rutin memposting karyanya,” katanya.

Namun, sempat terjadi perdebatan di antara kalangan pegiat sastra Sunda di Jawa Barat tentang kehadiran fiksi mini bahasa Sunda ini. Sejak dirintisnya grup Facebook istilah fiksi mini lagi-lagi menjadi perbincangan terutama pada jumlah karakter dan tema cerita.

Akhirnya, disepakati secara bersama bahwa fiksi mini bahasa Sunda khususnya yang hendak berkarya di Fikmin Basa Sunda harus mengikuti aturan untuk memposting karya tidak lebih dari 150 kata.

Selain itu, dalam Fikmin Basa Sunda setiap orang bisa memposting karya secara grafis, artinya cerita yang dibuat bisa sekaligus dibarengi dengan gambar atau ilustrasi yang mengacu kepada tema karya.

“Perbedaan fiksi mini bahasa Sunda yakni ada keluasan pengarang dalam berkarya, selain itu pada setiap postingan, setiap pembaca bisa langsung mengomentari dan mengkritisi karya masing-masing,” ujarnya.

Tak jauh beda dengan antusias komunitas @fiksimini, anggota Fiksmini basa Sunda pun sudah menerbitkan antologi Fiksimini Basa Sunda yang diseleksi melalui tahap ketat dari para pesohor sastrawan Sunda.

Sementara, sebagai bentuk apresiasi, sejumlah pameran karya fiksi mini bahasa Sunda sudah digelar dalam bentuk grafis yang dilaksanakan beberapa waktu lalu di Bandung.

Budayawan Sunda Hawe Setiawan mengungkapkan rasa bangganya ketika Fiksimini Basa Sunda mulai menyebar dan mampu membangkitkan kembali animo masyarakat terhadap bahasa dan sastra Sunda.

“Hadirnya Fiksimini Baha Sunda ini sekaligus membuktikan bahwa bahasa dan sastra Sunda tidak redup seperti yang dibicarakan orang,” katanya.

Hawe memaparkan bahasa dan sastra Sunda sudah saatnya dikenalkan lewat dunia yang luas khususnya di era digital internet.

Dia menjelaskan Fiksimini Basa Sunda merupakan ajang pembelajaran bagi masyarakat yang sudah sejak lama sulit mengakses karya sastra Sunda bisa lebih gampang dengan adanya bantuan internet. Terlebih dengan akses tersebut, masing-masing pihak bisa berkomunikasi langsung dengan sang kreator.

Munculnya Fiksimini Basa Sunda ini justru sangat positif bagi perkembangan budaya dan pendidikan. Pasalnya, sejak sejumlah akademisi seperti guru dan dosen menjadi anggota, para pengampu tersebut menjadikan bahan ajar khususnya mata pelajaran bahasa Sunda di sejumlah sekolah di Bandung.

Selain itu Hawe mengatakan agar setiap para pecinta Fikmin Basa Sunda bisa belajar lebih banyak lagi terhadap karya sastra Sunda terdahulu yang sarat akan makna dengan kualitas bahasa yang masih utuh dan baik.

“Dengan adanya gerakan fiksi mini ini saya kira cukup bagus, tetapi diharapkan teman-teman penggiat sastra Sunda baiknya membaca karya yang dulu-dulu agar kualitas karya yang ditulisnya bisa lebih bagus,” ungkapnya.

Label:

3 Komentar:

Blogger Milliyya mengatakan...

Keren ;)

28 Agustus 2012 pukul 18.04  
Anonymous iza mengatakan...

baru aja dosen saya cerita mengenai fiksimini, lgsung cari" ktemu dech ne blog..
thanks, keren dah

19 September 2012 pukul 21.37  
Blogger Agus Sutisna mengatakan...

keren!!

26 Oktober 2015 pukul 20.55  

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda