Senin, 11 Juni 2012

Rahmat Jabaril Penggagas Kampung Kreatif

Foto Istimewa

Rahmat Jabaril, begitu dia disapa. Rambutnya panjang sebahu. Janggut lebat dan berperawakan sedang. Di Bandung, dia terkenal sebagai penyair dan pelukis yang produktif. Buku-buku yang diterbitkannya sudah mencapai 4 judul buku.

Beragam bukunya yang terbit mengisahkan tentang realitas sosial yang tengah terjadi. Sebut saja antologi puisi yang berjudl Patah, kumpulan cerpen Terusir, dan Surat-surat Malam. Sedangkan yang akan segera terbit yaitu Kampung Urban, Kampung Kreatif dan Estetika Jalanan. Semua buku yang ditulisnya bertema kritik sosial.

Selain dikenal sebagai seniman, dia aktif di berbagai aktifis lingkungan. Citan-citanya yang ingin menjadikan Bandung sebagai kota kreatif sudah dia gagas sejak beberapa tahun lalu.

Sekitar tahun 2003 silam, isu pendiikan mahal menjadi buah bibir masyarakat. Dia geram mendengar isu tersebut yang bisa membuat masyarakat miskin menjerit. Tidak sedikit anak-anak putus sekolah mendengar isu tersebut. Dia berpikir jungkir balik untuk menyelamatkan anak-anak miskin agar terus melanjutkan sekolah.

Gayung pun bersambut, Ika Ismurdiyahwati, sang istri tercinta mendukung langkahnya menyelamatkan warga terdekat di sekitar rumahnya yang terletak di babakan Siliwangi Bandung. Mereka berdua sudah bertekad bulat untuk mendirikan sekolah gratis untuk anak jalanan yang tidak mampu mengenyam pendidikan. Masalah biaya tak mereka jadikan permasalahan. Yang penting, pendidikan harus dimiliki oleh semua anak-anak.

Selain itu, Rahmat juga membuka sekolah seni seperti musik, peran dan melukis. Tak tanggung-tanggung, dia menggaet seniman senior Harry Roesli (almarhum) sebagai pengampunya. Sejumlah mahasiswa relawan dari berbagai universitas dia ajak sebagai guru.

Dialog
Setelah berdiskusi banyak dengan istrinya, Rahmat ingin mengembangkan sekolah gratisnya ke berbagai daerah di Bandung. Dia survey sendiri tempat mana saja yang layak untuk didirikan sekolah gratis.

Ditemukanlah kawasan Dago Pojok yang beralamat di Kecamatan Coblong Bandung. Kawasan tersebut memiliki total 9 Rukun Tetangg (RT). Rahmat mencari tempat untuk dikontrakan sebagai pusat pendidikan sekolah gratisnya. Rumah berukuran sekitar 12x16 dengan harga sewa Rp20 juta per tahun sudah dia dapatkan. Sesegara mungkin dia memberi nama Taboo untuk sekolah gratisnya.

Beberapa waktu kemudian, anak-anak berbondong-bondong mengikuti sekolah gratis di Taboo. Rahmat membuka kelas dari mulai pendidikan anak usia dini (PAUD), sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah pertama (SMP). Warga sepertinya begitu antusias  melihat anak-anaknya mendapat pendidikan gratis.

Dago Pojok, nama sebuah tempat yang mayoritas penduduknya berpenghasilan rendah. Masing-masing kepala keluarga mayoritas berprofesi sebagai kuli bangunan. Tak jarang anak muda di kawasan itu kesehariannya nongkrong di gang-gang kecil. Tubuh bertatoo, telinga bertindik [pierching] sudah biasa. Banyak lulusan sekolah menengah atas (SMA) mencari lahan kerja ke kota. Melihat kondisi semacam itu, hati Rahmat miris. Sesuatu harus segera dilakukan.

Rahmat membaca kawasan tersebut cukup potensial untuk dijadikan pusat perekonomian, kebudayaan dan kesenian. Dia kembali memutar otak mencari bagaimana cara menghidupkan kawasan ini menjadi kampung kreatif. Kini Rahmat sendiri, istrinya sudah kembali ke Surabaya untuk kuliah dan mengajar di salah satu universitas di sana. Rahmat sedikit bingung, bagaimana mendapatkan uang untuk membangun kampung kreatif yang dicita-citakannya.

Sebagai salah satu langkah awal, dia mengajak berdialog kepada warga sekitar mengenai gagasannya. Bagaimana kampung Dago Pojok tersebut bisa menjadi lahan yang menjanjikan bagi masing-masing keluarga dalam mencari penghasilan. Bagaimana tata kampung bisa menjadi indah dengan estetika yang ditawarkan Rahmat.  Sayang, usahanya disambut negatif oleh sebagian warga. “Tidak sedikit usaha saya untuk menciptakan kampung kreatif ini dianggap sebagai kampanye partai politik tertentu oleh warga,” ungkapnya. “Padahal, saya sangat anti terhadap partai politi,” lanjutnya.

Namun Rahmat tak patah arang, dia terus mencoba berkomunikasi dengan cara pendekatan santun kepada warga. Dia mulai ajak anak-anak untuk membuat mural di tembok-tembok yang terlihat kusam dan kumuh. Dia ingin kawasan Dago Pojok terlihat artistik dan cerah penuh warna.

Disitulah, kepercayaan Rahmat terbangun. Tak sedikit warga meminta rumahnya digambar mural seperti yang tertera ditembok-tembok gang di Dago Pojok. “Ini poin yang cukup positif,” kata Rahmat. Pendekatannya rupanya berhasil. Dia semakin dekat dengan warga dan dipercaya untuk membangun sebuah kampung kreatif sebagai kampung wisata yang cukup menjanjikan seperti yang telah ditawarkannya.

Kerja sama
Kali ini, Rahmat sudah mulai tentram. Akhirnya warga mulai percaya dengan gagasan yang dibuatnya. Namun, yang menjadi kendala bukan hanya dari kepercayaan warga saja. Dia sebenarnya tak cukup modal untuk membangun kampung kreatif tersebut. Dengan bermodal nekad, dia gadaikan mobilnya walau dikira tak mampu menutupi kebutuhan. “Saya gadaikan mobil saya. Alhamdulillah dapat Rp20 juta, walau saya kira tak bakalan cukup,” katanya.

Dia mencoba membuat beberapa proposal yang disebarkan ke berbagai intansi terkait. “Proposal saya sebar, namun tidak yang cair,” katanya.

Rahmat berfikir tenang, dia kembali mengontak teman yang mempunyai satu gagasan dengannya. Fiki Satari, seorang muda sukses dan pengusaha clothing terkenal di Bandung, dia coba menghubunginya.

Gayung pun bersambut, Fiki menanggapi positif dengan gagasan Rahmat untuk membangun kampung kreatif. “Tunggu dalam waktu dua minggu, saya akan mencari dananya dulu, mudah-mudahan berhasil,” kata Fiki seperti yang diperagakan Rahmat.

Rasa was-was Rahmat sudah berkecamuk. Antusiasme warga Dago Pojok menyambut baik gagasannya tersebut sudah dinanti-nanti. Rahmat bakal malu bukan main jika gagasan tersebut tidak jadi dilaksanakan.

Dua minggu sudah berlalu. Telepon Rahmat bordering. Fiki, orang yang ditungu-tunggu akhirnya bersuara. Proposal yang diajukan Rahmat sudah cair. “Uang sudah cair Rp80 juta, tapi kalau bisa jangan hanya Dago Pojok saja yang dijadikan kampung kreatif,” kata Fiki.

Rahmat senang sekaligus bingung. Dia bahagia akhirnya mimpi membuat kampung kreatif di Dago Pojok akan segera terwujud. Di sisi lain dia bingung harus membangun kampung kreatif di daerah lain. “Satu kampung juga belum beres, ini malah diminta mencari kampung lain,” katanya sambil tersenyum.

Agenda yang segera harus dilakukan oleh Rahmat yaitu  mengajak warga untuk menggambar mural di sepanjang tembok di kawasan Dago Pojok. Dari mulai anak-anak hingga dewasa terlihat antusias mengikuti salah satu program itu.

Kemudian proses dialog dilakukan dengan warga untuk mencari jalan keluar bagaimana kampung tersebut bisa menjadi lahan perekonomian. Rahmat muali melakukan pelatihan dengan mendatangkan para ahli kreatif, mahasiswa dan seniman. Dia ingin kampung itu hidup. “Dulu kampung ini terkenal dengan keseniannya, saya ingin mengembalikan dan menghidupkan kesenian tersebut,” katanya.

Kampung Kreatif
Rahmat senang bukan main. Rumah Taboo yang didirikannya sebagai tempat sekolah gratis kini sudah mencapai lulusan sekitar 700 siswa. Kawasan Dago Pojok sudah menjadi kampung kreatif. Masing-masing warga kini sudah memiliki lahan penghasilan sendiri.

“Sebagian warga sudah memiliki pendapatan hasil sendiri, dari mulai berdagang telor asin, jualan kue, membuka warung sampai membuat kolam untuk memelihara ikan,” katanya.

Penghasilan masing-masing warga Dago Pojok bisa mencapai Rp2 juta per bulan. Warga yang dulunya mengandalkan pendapatan suami, kini masing-masing ibu rumah tangga mempunyai kesibukan sendiri-sendiri. Membuat kerajinan tangan, rajutan, boneka dan lain-lain.

Anak-anak yang dulunya menghabiskan waktu dengan play station (PS), kini sudah gemar memaminkan permainan anak-anak tradisional khas sunda seperti Egrang, Jajangkungan, Gatrik dan lain-lain. Sementara kesenian tradisional pun sudah hidup kembali  dengan munculnya beberapa grup Reog, Jaipong, Gondang, dan Celempung.

Namun, tugas Rahmat kini sudah tidak berat lagi setelah Fiki yang sekaligus ketua program Bandung Creative City Forum (BCCF) menjadi partner kerjasamanya membangun kampung kreatif di Bandung.

BCCF yang memiliki program Akupunktur Kota, menggalakan tema-tema Kampung-branding dengan mengekspose potensi-potensi sosial ekonomi dan kretaifitas warga Bandung dan sekitarnya.

Rahmat dan Fiki dalam bendera BCCF dan Taboo memperluas program kampung kreatif di setiap sudut kota di Bandung. Jenis hasil kreatifnya pun beragam. Sampai saat ini sudah tergagas 5 pusat kampung kreatif yang dibangun.

“Yang paling utama dibangun adalah Kampung Kreatif Dago Pojok sebagai kampung seni sunda, kemudian Kampung Leuwi Anyar sebagai kampung produksi oleh-oleh, Kampung Cicadas sebagai kampung wisata akustik, Kampung Taman Sari sebagai kampung wisata mural, Kampung Cicukang sebagai kampung wisata kereta api dan jajanan,” katanya.

Kini Rahmat tampak tersenyum lebar melihat kemajuan kampung yang sudah dia rintis dari kecil. Suara gaduh anak-anak yang sedang bermain Egrang di halaman rumahnya menjadi bukti keberhasilannya mengembalikan permainan anak-anak.

Sebuah warung nasi kuning yang dicat mural di samping rumahnya tampak sibuk melayani pelanggan yang sesekali datang membeli. “Lihat, warung nasi kuning itu! Pedagangnya  seorang wanita tua, dulu dia menganggur, tapi kami kasih modal supaya dia berpenghasilan,” tuturnya.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda