Rabu, 07 Juli 2021

Selamat Jalan Teh Yuli


 

Teh... Begitu saya biasa memanggil Teh Yuli Suwarni. Saya mengenalnya sekitar 2016 ketika sering main di Depok. Orangnya hangat. Gampang akrab kepada siapapun. Mulai cukup dekat dan nyambung karena kami sama-sama pernah tinggal dan kerja di Bandung. Sama-sama bicara Sunda dan senang menulis.

Teh Yuli adalah sosok yang mengayomi, pandai bergaul dan senang mengajak temannya untuk terlibat dalam kegiatan atau urusan yang sedang ia kerjakan. Saya salah satu yang sering dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan yang dikerjakannya. Saya selalu senang dipercaya meskipun punya kesibukan sendiri sejak masih kerja di Jakarta.

Entah berapa banyak saya dilibatkan dengan kegiatan yang ia kerjakan. Mulai dari menulis buku, aksi sosial, membantu mengelola platform dari kenalannya di pemerintahan dan juga swasta hingga mencoba merealisasikan mimpi bersama yang belum sepenuhnya terwujud. Sampai detik ini.

Teh Yuli jadi salah satu sosok yang meyakinkan saya berani mengambil keputusan untuk keluar dari zona nyaman dan mencoba hal-hal baru.

Teh Yuli juga sosok yang perhatian kepada siapapun. Ia selalu 'rewel' menanyakan kondisi kesehatan saya, istri dan anak-anak. Ia tak segan-segan mengirim makanan dan obat-obatan secara tiba-tiba saat saya dan keluarga sakit.

Teh Yuli senang melihat orang lain senang. Tak jarang ia tiba-tiba mengajak dan menyuruh kami sekeluarga bervakansi sekedar melepas penat dari rutinitas harian. Kami menganggap ia sudah seperti sosok kakak, keluarga sendiri, meskipun tak ada sama sekali pertalian darah.

Saya rasa orang lain yang mengenalnya akan sama seperti yang saya rasakan.

Sejak awal kenal sampai sekarang, kebaikannya tak pernah padam. Tetapi selama pandemi ini, intensitas perjumpaan dengan Teh Yuli semakin jarang. Lebih sering melalui daring untuk urusan kerjaan atau sekedar say hi.

***

Rabu, 16 Juni 2021, selepas adzan magrib, sebuah pesan WhatsApp masuk.

"Qadarullah abdi positif Covid. Hasil PCR semalam. Alhamdulillah barudak negatif," begitu isi pesan dari Teh @yulitriss.

Cukup kaget ketika membaca pesan itu. Tapi hilang seketika karena ia masih bisa bercanda. Malah giliran ia yang khawatir ketika saya kasih tau bahwa Kala, anak saya lagi tidak enak badan dan suka rungsing karena lagi disapih. Ia siap-siap mau kirim obat herbal untuk membantu penyapihan.

Pesan di WhatsApp itu menjadi percakapan terakhir saya dengan Teh Yuli sembari ia ‘memaksa’ saya untuk segera divaksin dan sering-sering berjemur.

Awal Juli, saya dapat info, Teh Yuli dirawat di Rumah Sakit Pertamina. Kondisinya menurun. Ia dibantu ventilator beberapa hari untuk membantu pernapasan.

Perasaan mulai gak karuan. Ponsel pribadi yang dihubungi tidak merespons. Saya kontak terus menerus beberapa orang dekatnya, Marissa dan anaknya Zizi untuk mengetahui kondisi Teh Yuli. Kabar baik belum juga terdengar.

Rabu, 7 Juli 2021, banyak pesan masuk. Isinya mengabarkan Teh Yuli sudah dipanggil Allah. Saya dan istri hanya terdiam dan kaget tak percaya. Lebih merasa tak percaya lagi ketika melihat langsung jenazahnya dikeluarkan dari ambulans dan dikuburkan. Air mata yang semula ditahan, akhirnya menetes perlahan.

Inna Lillahi wa inna ilayhi raji'un. Sosok baik itu telah pergi meninggalkan orang-orang yang menyayanginya. Meninggalkan kita semua. Semoga keluarga yang ditinggalkan, Mas Irfan, Zizi, Ludza dan Tera diberi ketabahan.

Selamat Jalan Teh Yuli... Surga menanti.



Sabtu, 02 Juli 2016

Di Balik Pembubaran The Bondoners


Medio 2007-2008 skena musik rock n roll sedang ngetren di UIN Bandung. Bermacam pertunjukan dan festival digelar di beberapa fakultas. Mahasiswa UIN saat itu sedang demam The Sigit, The Changcuters, The Rolling Stones, The Beatles. Pokoknya, Rock n Roll is back.

Di BSI, empat mahasiswa tampan, kurus, macho, idola para mahasiswi jurusan lain pasang aksi. Rambutnya serempak poni ala-ala Lennon dan personel The Sigit.

 
Yuga Anugrah, Puji Rahmatulloh, Yadi Kusmayadi dan Furqan Fauzi mendadak nyentrik. Lagu-lagu macam I Wanna Hold Your Hand, Help, Yesterday jadi makanan sehari-hari mereka. Tak lupa, tembang Black Amplifier hingga Live In New York jadi senandung paling kerap dinyanyikan di kosan-kosan bilangan Cipadung. Ya, mereka mengidap rock n roll.

Tak lama kemudian, terbentuklah sebuah band The Bondoners. Saya tak tahu apa tujuan mereka menamakan bandnya itu. Apa mungkin karena mereka kerap tiap malam main ke Cempaka? Ah entahlah.  Yang jelas band yang belakangan membawakan lagu-lagu The Sigit dan The Beatles itu digawangi Furqan 'Bram' Fauzi (vocal), Puji 'John' Rahmatulah (gitar), Yadi 'Kiong' Kusmayadi Bass, Yuga (vocal) dan kalau gak salah Dedi (drum).

Mereka adalah anak-anak band dari BSI kelas A dan B angkatan 2005 yang mungkin punya misi sama: Life is rock n roll. Gaya manggung mereka cukup atraktif, terutama Bram yang kalau sedang nyanyi kayak cacing kepanasan. Saat ngobrol biasa pun suaranya mirip Vino Bastian. Selain banyak koleksi tentang lagu-lagu rock n roll, Bram juga dikenal oleh teman-teman sebagai kolektor film-film 'Vocab' (dibaca bokep). Sampai-sampai di angkatan kami sudah kadung membudaya copy-paste 'Bokep Ti Bram' dari flash dish ke flash dish, dari komputer ke komputer.

Entah kapan tepatnya, saya masuk membantu The Bondoners jadi penggebuk drum. Mereka tak tahu, apalah saya ini tiba-tiba ditantang jadi pemain drum. Ah sudahlah saya terima saja. Saya beberapa kali berkesempatan berlatih dengan mereka. Lagu yang dimainkan tak jauh dari Beatles, Sigit dan belakangan mencoba lagu-lagu Keane.

Sayang, ketika sedang asyik-asyiknya The Bondoners berkarya, tiba-tiba di siang bolong, di bawah pohon mangga (kalau gak salah dulu posisinya di pinggir pascasarjana samping UKM lama) Puji memanggil para personil. "Ada rapat penting," katanya.

Saya, Yuga, Puji, Kiong dan Bram berkumpul. Suasana hening. Wajah mereka serius. Kami duduk melingkar. Rokok mengepul ke udara. Ada beberapa makanan. Saya lupa. Rujak atau gorengan.

Puji membuka percakapan.

"Sepertinya band harus dibubarkan," ujar Puji.
"Kenapa?" Saya tanya.

Saya lupa Puji menjawab apa. Mungkin karena kesibukan kuliah. Atau hal lain. Yang jelas semuanya setuju The Bondoners bubar.

Rokok kembali mengepul. Saya lihat Yuga dan Puji menghisap dalam-dalam. Tak lama kemudian, kami membubarkan diri dari kerumunan. Bram langsung pergi entah ke mana. Tak selang lama kami kembali berkumpul tanpa Bram.

Suasana mulai cair.

"Sebetulnya kita tidak benar-benar bubar," kata Puji.

Puji menjelaskan pembubaran The Bondoners hanyalah akting belaka untuk mengubah personel. Intinya posisi baru band yang kemudian bukan bernama The Bondoners digawangi Yuga (vocal), Puji (gitar) Kiong (bass) dan saya (drum).

Saya cukup berat menerima drama pembubaran ini. Namun, perlahan saya cukup tahu alasan mereka mengubah format band.

Kami mulai berlatih. Kebanyakan kami sewa studio di bilangan Ujungberung. Sayalah satu-satunya personel yang jarang urunan. Maklum, saya termasuk mahasiswa paling kere di BSI 2005. Jangankan buat kegiatan hura-hura macam ngeband, buat ngeprint tugas dosen saja suka nebeng sana-sini. Makan juga suka nebeng di kosan Yuga di An-Nur.

Kami mulai mencoba memainkan lagu-lagu Beatles dan Keane. Suatu hari, ada acara pertunjukan di Aula utama kampus UIN Bandung. Kami harus main beberapa lagu. Dua kalau gak salah. Beatles dan Keane. Tapi yang bikin degdegan justru bukan saat manggungnya. Tapi saat itu saya takut Bram melihat penampilan kami.

 
Alhasil, penampilan saat itu tidak berjalan maksimal. Saya misalnya beberapa kali lupa ketukan.

Dan entah kapan band ini bubar dengan sendirinya. Mungkin karena personel sudah mulai meninggalkan kampus. Puji dengan skripsinya tentang metafora dalam lirik Beatles lulus lebih dulu. Disusul Kiong dan Yuga. Sayalah yang paling terakhir lulus hingga hampir 7 tahun. Sedih, ketika teman-teman seangkatan sudah wara-wiri memakai toga, saya malah baru bangun tidur di salah satu kompleks UKM.

Dan Bram, entah ke mana dia sekarang. Saya juga merasa berdosa. Saya pernah diberi sejumlah uang olehnya untuk membantu mencari referensi dan buku-buku buat skripsinya.

Di postingan ini. Kami dari Ex-The Bondoners terutama saya ingin mengucapkan maaf sebesar-besarnya buat Bram yang mungkin telah merasa dizolimi. Jangan anggap serius kawan. Ini hanyalah salah satu ciri khas bercanda anak-anak BSI 2005. Yang kadang-kadang tak kenal batas. Ini hanya kisah seberapa tentang band. Belum tentang percintaan yang lebih dramatis yang dilakoni para mahasiswa BSI 2005.

Selamat hari raya Idul Fitri 1437 H. Mohon maaf lahir batin.

Senin, 23 Mei 2016

Jangan Ada Lagi Sandiwara Sapi

Rencana impor sapi indukan sebanyak 25.000 ekor menyisakan dilema bagi pemerintah. Satu sisi pemerintah ingin impor melalui jalur lelang sesuai aturan yang berlaku. Di sisi lain skema penunjukan langsung dinilai lebih tepat.

"Tapi, kita tahu, skema lelang hanyalah sandiwara belaka. Seolah formalitas, padahal yang menangnya sudah ditentukan terlebih dahulu," ujar Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Muladono Bashar di Bogor akhir pekan lalu.

Pernyataan Muladno tersebut tentu bukan isapan jempol belaka. Dia berkaca pada pengadaan sapi indukan tahun-tahun sebelumnya yang dianggap menjadi permainan segelintir pihak untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya melalui lelang.

Memang, saat ini, berdasarkan pengakuan Muladno, pemerintah telah menetapkan skema lelang untuk impor sapi indukan tersebut. Bahkan sudah ada 6 calon pemenang. Masalahnya, peserta yang lolos tahap lelang tersebut bukan berasal dari perusahaan bonafit. Pendek kata, kredibilitas dan profesionalitas calon pemenang lelang dipertanyakan.

Dia khawatir, perusahaan peserta lelang tersebut setelah ditetapkan sebagai pemenang ujung-ujungnya menggunakan jasa perusahaan berpengalaman untuk mendatangkan sapi impor ke Indonesia.

"Nah nanti di situ ada tata niaga lagi. Perusahaan yang menang memakai jasa perusahaan berpengalaman yang biasa tangani sapi dan tentu harga akan semakin mahal."

Muladno tak ingin permainan tersebut terus terjadi di pemerintahan saat ini. Artinya, dia mengisyarakatkan jika pun lelang impor sapi indukan sudah mengerucutkan 6 calon pemenang, pihaknya akan mengupayakan agar skemanya diubah menjadi penunjukan langsung.

Pihaknya sudah mengajukan ke Kemenko agar impor sapi indukan sebaiknya dilakukan penunjukan langsung. Tentunya nanti dipilih perusahaan yang benar-benar kredibel dan profesional.

"Tinggal menunggu Pak Jokowi apakah nanti jadi penunjukan langsung," ujarnya.

Muladno juga mengisyaratkan bahwa Jokowi akan menyetujui untuk mengambil langkah penunjukan langsung siapa yang akan mendatangkan sapi dari Australia tersebut.

Pasalnya, pemerintah saat ini cukup concern memberantas permainan-permainan yang tidak sesuai dan berpotensi merugikan negara. Hitung-hitungan Kementerian Pertanian, total anggaran untuk pengadaan 25.000 sapi indukan Brahman Cross mencapai Rp700 miliar.

Pemerintah, lanjutnya, tentu tidak ingin menggelontorkan uang sebanyak itu berujung percuma. Dia ingin pengadaan sapi indukan tahun ini lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang dinilai banyak terjadi 'sandiwara'.

Dari segi teknis, setelah sapi tiba di Indonesia, sapi-sapi tersebut selanjutnya dibawa ke tempat instalasi hewan selama sebulan. Dia ta kinging sapi langsung didistribusikan langsung ke para peternak yang akan mengelola. Di samping itu, pemerintah akan melatih para peternak terkait bagaimana mengurus sapi agar bisa beradaptasi dan diurus serta beranak pinak dengan baik.

"Pokoknya kami ingin mengatur sapi ini nanti secara ketat agar semuanya berjalan baik, termasuk soal ketersediaan pakan. Nah ini yang harus dimatangkan lebih dalam," ujarnya.

Sementara itu, Pengurus Besar Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI) Rochadi Tawaf tak mau ikut campur terkait skema apa yang akan dilakukan pemerintah soal pengadaan sapi indukan tersebut.

Dia tak ingin memikirkan apakah nantinya pemerintah meneruskan skema lelang atau penunjukan langsung siapa importir sapi indukan dengan nilai ratusan miliar itu.

Tawaf mencatat, pemerintah harus serius menindaklanjuti distribusi dan pemeliharaan setelah sapi tiba di Indonesia. Dia mengimbau agar 25.000 sapi indukan tersebut nantinya dikelola oleh BUMN yang menangani khusus soal persapian.

"Setelah jinak baru didistribusikan ke peternak untuk diurus. Kalau langsung diserahkan peternak rakyat, nanti tidak bakalan bener, bisa-bisa nanti sapi-sapinya pada mati," ujarnya.

Namun, berbeda dengan pandangan Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana. Dia menilai rencana pengadaan sapi indukan dari Australia tidak akan berhasil sama sekali.

Pemerintah dinilai tidak akan bisa mengambil pelajaran tahun-tahun sebelumnya yang kerap gagal mengelola sapi indukan. Bahkan dia mengkritik pemerintah untuk menghentikan program tersebut karena dinilai hanya memborosokan uang negara semata.

"Dari awal kami sudah ingatkan lebih baik pemerintah fokus membiayai bagaimana caranya menekan sapi betina produktif yang setiap tahunnya dipotong sampai sejuta ekor," ujarnya.

Teguh sadar betul, rencana penambahan populasi sapi indukan tersebut tidak akan berjalan efektif. Logikanya, kata dia, para peternak rakyat yang nantinya dibebankan mengurus sapi tidak akan kuat mengurus sapi dalam jumlah banyak.

Selain itu, ketersediaan pakan harian dianggap sulit dilakukan oleh peternak rakyat sehingga kesehatan sapi akan menjadi hambatan dalam pembibitan.

"Saya berani taruhan, lihat saja kalau program impor sapi indukan ini jadi, tidak akan berjalan lancar kalau melihat pengalaman yang sudah-sudah," ujarnya.

Apalagi, kata dia, saat ini kuota impor sapi indukan mencapai 25.000 atau lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya. Belum lagi, lanjutnya, daerah yang mampu memelihara sapi dalam jumlah banyak hanya bisa dilakukan Jawa Timur dan Jawa Tengah saja.

Dia beralasan mengapa pemerintah seharusnya fokus menekan pemotongan sapi betina produktif dibandingkan impor sapi indukan. Dalam catatannya, ketersediaan sapi betina dan jantan pada 2011 mencapai 14,5 juta ekor. Adapun, pada 2013 mencapai 12,5 juta ekor.

"Ini kan stoknya terus berkurang karena setiap tahun berkurang. Nah, tahun ini jumlah sapi yang ada tidak mungkin lebih dari 12,5 juta ekor karena pemotongan sapi produktif yang kian masif," katanya.

Sementara itu, Dekan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Muhammad Yamin menyetujui rencana impor sapi indukan oleh pemerintah dan menekan pemotongan sapi produktif seperti yang ditegaskan kalangan pengusaha sapi.

Menurutnya, keduanya sama-sama bisa menambah jumlah ketersediaan sapi yang selama ini terus mengerucut. Sehingga, kata dia, ke depan Indonesia bisa swasembada daging seperti yang diharapkan pemerintah.

"Apa yang diungkapkan pengusaha sapi soal pemerintah harus menekan jumlah pemotongan sapi produktif itu baik. Dan rencana impor 25.000 sapi indukan juga baik untuk menutupi sapi-sapi produktif yang dipotong tersebut," ujarnya.

Label:

Minggu, 01 Mei 2016

Depok Police Expo, Pokja dan Selamat Bertugas Kombes Pol Dwiyono

Beberapa bulan lalu, sebuah gagasan sempat terbersit: bagaimana kalau Pokja Wartawan Depok menggelar pameran foto di Margo City. Pameran foto-foto hasil karya anggota Pokja tentang Kota Depok.

Beberapa anggota Pokja antusias dan tertarik. Namun gagasan itu tiba-tiba tenggelam, seolah terlupakan.

Belakangan, awal April lalu, tiba-tiba Ketua Pokja, Hidayatul Mulyadi sambil setengah berbisik melontarkan kelanjutan ide tersebut yang lebih menarik: "Ini ada orang Margo ngajak kita buat bikin acara pameran tentang kepolisian. Waktunya digelar sekitar akhir April."

Saya mengiyakan ajakan tersebut sambil setengah pesimis. Karena, waktu sekitar tiga minggu mana mungkin cukup untuk persiapan. Apalagi kegiatan ini membawa nama Polresta Depok. Ah... Ini cuma mimpi, saya bilang dalam hati. Terlebih tidak ada bantuan dari pihak profesional dalam pengonsepan acara.

Saya lebih pesimis lagi. Berikut, program Pokja masih banyak yang belum terealisasikan. Maka saya segera bilang agar bentuk dulu kepanitiaan masing-masing untuk lebih memudahkan komunikasi.

Ada tiga agenda Pokja saat itu yang tengah digodok, yakni Pokja Goes to School, Futsal Wali Kota Cup dan Depok Police Expo (DPE). Agenda DPE ini termasuk yang harus segera dilaksanakan, mengingat pihak Margo hanya mampu memfasilitasi waktu pada akhir April.

Saya senang temen-temen Pokja antusias menggelar rapat untuk memuluskan DPE. Mereka mulai berkoordinasi dengan pihak Margo City yang memfasilitasi acara dan pihak Polresta Depok sebagai objek kegiatan.

Saya tidak terlalu terlibat dalam proses pematangan acara. Karena saya masih mengira acara DPE mustahil bisa dilaksanakan karena keterbatasan tenaga dan pikiran rekan-rekan Pokja.

Bahkan sempat terlontar untuk menggunakan event organizer saja agar acara tersebut berjalan lancar. Tapi toh ternyata akhirnya Pokja sendiri yang dibantu oleh Margo City dan Polresta Depok yang tetap menjalankan acara tersebut.

Tapi ternyata perkiraan saya keliru. Sikap pesimisme saya berbalik menjadi optimisme sejak saya lihat sendiri pada hari ketiga stand-stand mulai berdiri. Tata panggung yang cukup menarik. Serta tata letak dan aneka desain lainnya yang dalam hati saya bilang: ini gak mungkin dilakukan oleh rekan-rekan Pokja sendiri.

Saya tidak menyangka atas kinerja Pokja yang tentunya dibantu Margo dan Polresta Depok bisa membuat acara yang saya sendiri nilai berkelas nasional. Meskipun memang harus diakui acara DPE ini sedikit-banyak mengadopsi kegiatan serupa yang dilaksanakan Polda Metro Jaya di Gandaria City beberapa waktu sebelumnya.

Saya masih ingat betul proses pematangan DPE oleh rekan-rekan Pokja. Rapat berkali-kali digelar meskipun banyak kekurangan dan sempat jadi bahan senyum sinis dari pihak lain, seolah-olah ingin berteriak; ah ngapain sih Pokja bikin acara DPE bikin capek aja!

Tapi, rekan-rekan Pokja terus membuktikan. Mereka bekerja banting tulang sampai lupa bahwa tugas mereka seharusnya meliput. Tapi demi terselenggaranya DPE, mereka tampil all out dan maksimal.

Keberhasilan DPE mungkin bisa dilihat dari antusiasme pengunjung mulai dari hari pertama digelar pada Senin, 25 April hingga 1 Mei 2016.

Saya melihat wajah-wajah bahagia ketika ratusan anak kecil berfoto ria berlatar motor VVIP, mobil jaguar dan stand-stand yang ada. Saya bisa merasakan bagaimana ribuan warga Depok merasa bangga bisa berfoto bersama Tim Jaguar yang mereka anggap keren dan gagah berani.

Saya bisa merasakan kegembiraan para pengunjung saat mereka tersenyum, simpati, dan bahkan tertawa melihat aneka foto yang dipamerkan.

Saya bisa merasakan kesenangan warga yang antre memperpanjang SIM di stand Satlantas Depok. Ada juga yang antusias bertanya tentang bagaimana cara mendaftar menjadi polisi di stand Sumber Daya. Dan ada juga yang antusias bertanya ingin lebih mendalam mengetahui informasi tentang bahaya narkoba. Dan tak sedikit warga pengunjung yang terkesima dengan para personil Satreskrim dengan baju Turn Back Crime-nya juga pada satuan Sabhara dan Binmas.

Ya, kebahagiaan mereka, para warga dan pengunjung itulah yang menjadi tujuan awal digelarnya DPE 2016 ini. Mereka mungkin tak lagi menganggap bahwa polisi adalah satuan yang kejam, bengis, suka menakut-nakuti masyarakat. Justru sebaliknya, warga pengunjung lebih mendekatkan diri bersama satuan kepolisian.

Mereka berbaur seperti tidak ada jarak dengan masyarakat. Mereka berfoto bersama bahkan rela antre dengan pengunjung lain demi bisa mengabadikan dan memposting hasil fotonya di media sosial.

Ya, kegiatan ini mungkin berhasil atas kerja sama semua pihak. Pokja Wartawan Depok tentunya. Dan, pihak Margo City juga Polresta Depok.

Bahkan, menurut catatan, pengunjung Margo City selama kegiatan tersebut digelar, terjadi peningkatan mencapai sekitar 40%.

Saya sedari awal tidak terlalu percaya, tetapi setelah saya cek langsung, terutama pada jam-jam padat. Pihak Margo City sampai membuat mushola dadakan di area parkiran saking membludaknya pengunjung pada Sabtu malam.

Ah, saya sangat terharu dengan kinerja rekan-rekan. Saya acungi jempol kepada rekan-rekan yang bertanggung jawab di acara: Apih, Arul, Jantuk, Amoy, Rinna dan Iyunk yang mati-matian menghabiskan staminanya buat DPE.

Tapi keberhasilan ini mungkin tak akan tercapai tanpa bantuan pikiran dan tenaga rekan-rekan lain seperti Melly, Uji, Kacuy, Ady, Fahri, Imam, Aris, Jun dan Aji Cing.

Hormat juga saya sampaikan pada Wiki dan Barry yang juga telah begitu lelah menyiapkan pameran fotonya sehingga banyak dinikmati para pengunjung. Juga pada Lala yang sibuk dan lelah memikirkan persiapan dan stok konsumsi untuk acara.

Saya juga ingin berterima kasih kepada rekan-rekan Pokja yang juga sangat membantu dalam pendokumentasian seperti Bang Yudi, Feru, Choky, Angga, Edwin, Lingga, Bambang dan Hendrik. Mereka juga yang cukup membantu membackup rekan lain yang tidak sempat liputan. Juga kepada Atem dan Damar yang sejak awal sibuk dari pagi hingga malam melayani pembeli merchandise kepolisian (bagi-bagi dong untungnya... hehehe).

Tak mungkin lupa. Saya ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya pada Sang Ketua Pokja Wartawan Depok Hidayatul Mulyadi yang mungkin stres, capek, mau mati, sesak nafas memikirkan agar DPE ini bisa terselenggara dengan berhasil. Saya merasakan dan melihat betul sibuknya Pak Ketua ini. Seolah-olah seluruh hidupnya diwakafkan buat Pokja dan DPE (hmm... lebay deh).

Dan tentunya buat Kasat Reskrim Polresta Depok Kompol Teguh Nugroho yang menjadi aktor di belakang layar atas terselenggaranya acara ini.

Namun, tanpa bantuan seluruh satuan Polresta Depok dan jajaran Polsek, tentu saja DPE ini mustahil digelar. Karena sesungguhnya, merekalah yang menjadi bagian dari acara ini. Oleh karena itu, kegiatan DPE ini diharapkan menjadi manfaat bagi semua pihak.

Ya, kami dari Pokja Wartawan Depok mengakui, meskipun kami mengklaim acara ini telah berhasil, tetapi masih banyak kekurangan selama kegiatan berlangsung, terutama masalah teknis. Soal rundown acara yang tidak tersusun dengan rapi dan konsisten, soal sound system yang kurang maksimal, soal kordinasi dan kekurangan-kekurangan lainnya yang mungkin membuat Polresta Depok sebagai objek kegiatan tidak berkenan.

Namun, segala kekurangan tersebut tentu bukan dilakukan dengan sengaja. Itu mungkin terjadi karena kami dari rekan-rekan Pokja mengakui belum begitu profesional menggelar sebuah acara sebesar ini. Tapi, ini akan menjadi sebuah pelajaran berharga untuk Pokja Wartawan Depok.

Dan mungkin atas terselenggaranya DPE ini sekaligus menjadi jawaban bahwa dibentuknya Divisi Event Organizer di Pokja Wartawan Depok cukup memberikan karya dan kontribusi bagi semua pihak.

Mudah-mudahan kegiatan Depok Police Expo 2016 ini menjadi hadiah spesial untuk Kapolresta Depok Kombes Pol Dwiyono yang sebentar lagi akan meninggalkan Depok. Karena dibalik kegiatan DPE ini, Pak Dwiyono sebetulnya yang sangat berperan.

Maka dari itu, kami ingin mengucapkan selamat sekaligus mohon maaf dari kami, Pokja Wartawan Depok apabila banyak salah dan kekurangan dalam setiap kesempatan terutama pada Depok Police Expo ini.

Kami ingin sampaikan bahwa kegiatan Depok Police Expo ini menjadi pengiring perpindahan tugas Anda dari Depok ke Jakarta Pusat.

Selamat bertugas Ndan. Izinkan kami meminjam istilah: Kami Pokja Wartawan Depok Memang Belum Sempurna, Tapi Kami Selalu Berusaha.

Salam sinergitas Pokja & Polresta Depok

Label:

Sabtu, 23 April 2016

Menguak Kematian Nurdin Priatna

Tak ada yang lebih mengagetkan warga Kampung Cijambe, Desa Sukaresmi, Kecamataan Cisaat, Kabupaten Sukabumi pada Sabtu (25/4/2015) sore, pekan lalu, selain menerima kenyataan pahit saat salah satu warganya, Nurdin Priatna, tewas tak terduga.

Nurdin pria berusia 27 tahun yang bekerja di salah satu stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) Pasar Pucung, Cilodong, Kota Depok itu disangka menggondol duit Rp56 juta di tempatnya bekerja.

Polisi menangkap Nurdin pada Rabu (23/4/2015) dari hasil rekaman CCTV di SPBU tersebut. Sang adik, Drajat Permana, yang juga bekerja di SPBU itu menyaksikan penangkapan kakaknya itu.

Penangkapan Nurdin oleh kepolisian sektor Sukmajaya Kota Depok mulanya tak membuat heboh keluarga. Namun, setelah Kamis  (24/4/2015) malam keadaan mendadak berubah. Pihak keluarga memperoleh informasi bahwa Nurdin kejang-kejang dengan kondisi kritis di Rumah Sakit Polri Kramat Jati Jakarta.

Keluarga Nurdin, yakni Jaja Sujana--sang ayah, Drajat Permana, dan kerabat lainnya langsung meluncur mendatangi rumah sakit. Mereka penasaran apa yang telah terjadi pada Nurdin. Tante Nurdin, yakni Iis Hasanah, menyusul keesokan harinya.

"Saya ke rumah sakit itu sekitar subuh," ujarnya saat dikonfirmasi Bisnis.com. "Sesampainya di rumah sakit kami tidak langsung menemui Nurdin. Kepolisian melarang kami. Siangnya baru kami temui."

Batin Iis bertanya-tanya. Nurdin, sang keponakan bisa tak sadarkan diri secepat itu. Kondisi Nurdin saat ditemui keluarga masih bisa bernafas. Tetapi, menurut keterangan dokter yang dia terima, kondisi kesadarannya sangat rendah.

"Dia seperti koma," ujarnya.

Pada Jumat pagi, pihak keluarga Nurdin terus mendampingi. Mereka menjaga dari luar ruangan tempat Nurdin berbaring. "Kami menjaga dari ruang tunggu," paparnya.

Belakangan Iis heran. Perlakuan Nurdin dengan pasien lainnya di rumah sakit itu berbeda. Pasien lain diperbolehkan didampingi keluarga oleh pihak rumah sakit. Sementara itu, keluarga Nurdin kebanyakan menjaga di ruang tunggu.

"Jadi sampai dia meninggal pun kami tak tahu. Kami heran kenapa waktu masa kritis pihak rumah sakit tidak memberi tahu kami," ujarnya.

Nurdin, pada Sabtu pagi ditemukan tewas. Pihak keluarga pun tak tahu persis pukul berapa Nurdin menghembuskan nafas. Iis, bahkan menemukan Nurdin sudah diikat ketika pihak keluarga masuk ke ruangan Nurdin.

Pihak keluarga mulai menemukan kejanggalan. Mereka masih tak percaya bahwa penyebab kematian Nurdin disebabkan kecelakaan. Polisi mengklaim Nurdin terjatuh saat hendak melarikan diri.

Tangis dan kesedihan pun pecah seketika. Jaja Sujana, sang ayah yang bekerja sebagai tukang bangunan itu harus merelakan anak keduanya itu berpulang selamanya.

Sekitar pukul 11.00 WIB, pada Sabtu itu, jenazah Nurdin dibawa ke Kampung Cijambe. Nurdin tiba di kediamannya di Sukabumi sekitar pukul 16.00 WIB. "Sekitar habis beduk Ashar," kata Iis.

Warga Kampung Cijambe yang sudah tahu kedatangan jenazah Nurdin saat itu sudah berkumpul. Nurdin diantar oleh empat polisi, pihak rumah sakit dan keluarga yang sebelumnya datang ke Jakarta. Total ada tiga mobil saat pengantaran jenazah itu.

Keempat polisi yang mengantar jenazah Nurdin sempat menjadi bulan-bulanan warga Kampung Cijambe. Mereka menduga kematian pria yang hobi main play station itu bukan disebabkan oleh jatuh seperti yang dikatakan pihak kepolisian.

"Ieu mah lain labuh tapi diteunggelan [ini bukan terjatuh, tapi akibat dipukuli]," teriak warga seperti ditirukan Iis. "Duruk-duruk weh tuman [bakar-baka saja biar kapok]," teriak warga lain.

Gerimis jatuh perlahan sore itu. Amuk warga Kampung Cijambe berhasil bisa dicegah. "Untung kita bisa menahan amarah," kata Iis.

Keempat polisi yang belakang diketahui ketika mengantarkan Nurdin saat itu antara lain Akhirianto, M.Rusli, Napirullah, dan Aris. Warga juga, kata Iis, geram dengan ulah keempat polisi itu yang mengantarkan jenazah dengan tangan kosong. Pasalnya, tak ada surat pengantar hasil otopsi pada tubuh korban.

Iis mengatakan kepolisian juga sebelumnya menyuruh pihak keluarga untuk menandatangani kesepakatan bahwa keluarga tidak akan menuntut untuk melakukan otopsi atau visum pada korban.

Sejumlah kejanggalan yang dilakukan kepolisian menjadikan ketidakpercayaan bahwa Nurdin mati akibat terjatuh. "Kalau memang terjatuh, masa ada bekas lecet, lebam dan bolong-bolong ditubuhnya," kata Iis.

Eti Sumiati, kaka Nurdin juga mengaku kesal dengan kematian Nurdin yang dinilai janggal itu. Eti menuturkan sebelum Nurdin tewas, dia pernah berbicara melalui telpon dengan Nurdin. Obrolan antara Eti dan Nurdin menggunakan ponsel milik temannya yang juga pekerja SPBU.

"Dia mengatakan bahwa dia tidak mengambil uang itu," ujarnya. "Itu saja pembicaraan saya dengan Nurdin. Karena tiba-tiba ponselnya ditutup."

Kepala Polsek Sukmajaya Polresta Depok Agus Widodo menegaskan bahwa Nurdin tewas akibat terjatuh saat sedang menjalani pengembangan kasus pencurian yang dilakukannya. Agus mengungkapkan Nurdin mencoba kabur saat tangannya diborgol. Dia kemudian terjatuh dan kepalanya terbentur.

Pihak kepolisian kata dia, langsung menyampaikan kepada pihak keluarga terkait kondisi Nurdin yang terluka sehingga harus menjalani perawatan dan operasi di rumah sakit saat itu. Dia menjelaskan sedetil mungkin kejadian dan kemungkinan yang akan terjadi. "Keluarga juga sudah menerima," tuturnya.

Dia menuturkan hasil rekam medis dari rumah sakit akan keluar Senin (27/4/2015). Hasilnya bisa dilihat kesimpulan rekam medis Nurdin. Dia juga menegaskan bahwa Nurdin meninggal karena terdapat luka di bagian kepalanya.

Kapolresta Depok Komisaris Besar Ahmad Subarkah mengatakan dirinya akan tegas memberikan sanksi pada anggotanya apabila terbukti terlibat dalam kasus kematian Nurdin Priatna tersebut.

"Kami sudah memintai keterangan pada Kapolseknya dan beberapa penyidik. Tapi hingga saat ini belum ada kesalahan ditemukan. Kalau ada pasti dikasih sanksi," ujarnya di Balaikota Depok, Senin (27/4/2015).

Menurut Ahmad, saat dirinya menanyakan pada saksi dan Kapolsek Sukmajaya, Komisaris Agus Widodo, dia menegaskan bahwa Nurdin tewas akibat terjatuh saat berusaha kabur di kawasan Cilodong Depok dengan kondisi tangan terborgol. Kemudian dia jatuh terguling dan kepalanya membentur benda keras.

Ahmad Subarkah menuturkan dirinya tidak bisa berkomentar lebih jauh lantaran kasus tersebut masih dalam penyelidikan dan menunggu hasil rumah sakit tempat Nurdin diotopsi.

"Menurut keterangan juga dikabarkan Nurdin memiliki riwayat penyakit di kepala. Jadi dia tewas bukan saat di dalam tahanan," paparnya.

Kecurigaan keluarga Nurdin belum habis. Sambil menunggu hasil visum, pihak keluarga berinisiatif membawa kasus tewasnya Nurdin ke ranah hukum dengan melaporkan Kapolsek Sukmajaya Kompol Agus Widodo dan jajarannya ke Propam.

"Kami tunggu hasil visumnya dulu seperti apa," kata Iis.

"Saya kasihan sama keluarga korban yang juga kakak saya. Ibu Nurdin lagi sakit. Dia punya penyakit Jantung. Sekarang saja biaya tahlilan hasil urunan para keluarga," ujarnya.

Namun, kendati keluarga masih menunggu kejelasan dan keadilan atas kasus kematian Nurdin. Keluarga tidak mau membiarkan jenazah dibiarkan begitu saja. Nurdin pada Minggu (26/4/2015) disemayamkan di lokasi yang tak jauh dari rumahnya di Kampung Cijambe, RT 8/RW 4, Desa Sukaresmi, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi.

"Tapi kami semua yakin, Nurdin tidak bersalah. Kami saja belum melihat apakah benar Nurdin mencuri uang itu. Kasus ini pun belum selesai," pungkas Iis.

*Sumber: Bisnis.com

Label:

Kamis, 21 April 2016

Sebuah Telaah Sederhana Tentang Cerpen Kunang-Kunang Kematian[1]


I
Sudah sepantasnya saya merasa senang, mengingat beberapa tahun ke belakang, atmosfer kesu(sastra)an yang terbangun di kota saya, khusunya di kampus ini (UIN SGD Bandung) sangat bergairah. Atau ringkasnya, sastra, sekarang (agak) tidak ditabukan lagi posisinya. Lihat saja, sudah menjadi prestasi besar ketika kampus yang di lirik sebelah mata oleh kampus-kampus lain berhasil ‘mengirimkan’ para penyair muda di ajang Temu Sastrawan Indonesia IV (TSI IV) di Ternate, Maluku sana. Tentu saja ini layak diacungi jempol pada mereka yang memandang dunia sastra adalah sesuatu yang patut dilestarikan dan dikenalkan pada khalayak publik. Sebagai contoh, sebut saja nama Restu A Putra yang sudah melahirkan beberapa karya: cerpen, puisi dan esai yang terbit di media lokal dan nasional, juga di beberapa antologi keroyokan. Ia juga tercatat sebagai pendiri salah satu komunitas yang sampai sekarang masih eksis di bidang kajian, sastra dan film—Komunitas Rumput. Lalu kita kenal sosok Pungkit Wijaya yang saya anggap konsisten di ranah sastra. Semangatnya selalu menggebu-gebu jika membicarakan sastra—baik dalam obrolan biasa, diskusi atau pun seminar-seminar yang kerap ia hadiri. Atau, belakangan kita segera tahu dua sosok penyair yang konsen di puisi: Galah Denawa dan Herton Maridi. Keduanya adalah bibit-bibit unggul, yang, jika saya baca beberapa puisinya memiliki ciri khas tersendiri. Itu pun tidak bisa dipungkiri, dengan hadirnya beberapa komunitas yang membentuk masing-masing, atau malah dengan giat individu-individu dari merekalah yang menyebabkan karakteristik dari mereka muncul—tanpa embel-embel komunitas itu sendiri. Namun apa pun penyebabnya, saya patut berbangga hati.
II
Dalam kurun dua tahun belakang ini (dengan rendah hati saya menyebut masih di ranah kampus), bermunculan berbagai komunitas dan media, yang [setidaknya] berbicara masalah kesu(sastra)an. Sepanjang catatan saya, ada Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK), Komunitas Kabel Data, Sasaka, Verstehn, Noise Youth dan Muntah (walau hanya baru menerbitan satu edisi), dan Tabloid Suaka yang tetap memberi ruang dalam salah satu rubriknya: cerpen dan puisi. Kesemuanya minimal rutin mengadakan acara diskusi baik bulanan atau mingguan yang digelar di kampus dan sekretariatnya masing-masing. Namun yang secara konsisten dalam pengamatan saya, Komunitas Sasaka-lah yang masih membuka lebar-lebar kajian dan diskusi, baik membedah cerpen, puisi atau novel-novel klasik (Indonesia) untuk dikonsumsi umum. Dan itu saya kira merupakan salah satu semangat yang luhur untuk memajukan kesu(sastra)an kita Indonesia ini.
III
Berbicara Sasaka, saya belakangan ini sering menghadiri diskusi-diskusi mingguannya. Di tahun 2012 ini, di kesempatan pertama yang membicarakan puisi-puisi karya Saeful Mushtofa dan (saya lupa lagi namanya), kemudian cerpen Andai Emak Tahu karya Siti, yang saya rasa adalah langkah baik untuk memulai tradisi diskusi semacam ini. Lalu pada kesempatan minggu ini, saya mengenal sosok T.H Ihsan dengan cerpen Kunang-Kunang [Kematian], cerpen yang sempat terbit di bulletin Sasaka tempat di mana ia bernanung di komunitasnya. Begitulah perkenalan singkat saya dengan beberapa yang berkaitan dengan kesu(sastraa)an di [lagi-lagi saya ingin berrendah hati] kampus ini.
IV
Sebetulnya saya menerima email pada cerpen ini berjudul Kunang-Kunang saja, mungkin saya pikir ada sedikit revisi dengan yang pernah saya baca di bulletin Sasaka—Kunang-Kunang Kematian. Tapi toh saya tidak memperdulikan masalah judulnya. Saya juga belum sempat membandingkan kembali dengan teks yang ada di bulletin Sasaka, atau mungkin penulis lupa tidak membubuhkan kata ‘Kematian’ saat mengirim emailnya ke saya?
Kunang-kunang adalah sebuah mitos. Konon, ia membawa kuku orang mati atau ia adalah jelmaan dari iblis. Namun para peneliti terdahulu menemukan ada zat Lucifer dalam tubuh kunang-kunang yang dapat memproses reaksi dalam tubuhnya sendiri sehingga ia bisa mengeluarkan cahaya. Lalu, apakah ini masih disebut sebagai mitos? Tentu saja, Roland Barthes menyebutnya mitos adalah sebuah tipe pembicaraan; suatu sistem komunikasi bahwa mitos adalah suatu pesan. Mitos merupakan mode pertandaan (a mode of signification), suatu bentuk (a form).[3] Semula, kunang-kunang merupakan hewan yang dianggap biasa saja seperti hewan yang lainnya, namun kemudian kunang-kunang menjadi penanda yang menimbulkan atau mempunyai efek mistis dalam kehidupan suatu daerah. Dan ia menjadi pesan yang tersembunyi atau malah secara separatis menjadi bentuk yang dianut dan menjadi tradisi turun temurun. Artinya, sistem komunikasi seperti ini, dalam tradisi orang-orang non-modern, mitos adalah laku percaya atau tidak, bukan ada atau tidak, [atau] benar atau salah.[4]
Membaca cerpen Kunang-Kunang Kematian karya T.H Ihsan, saya merasa mengingat-ingat lagi cerpen serupa yang sempat saya baca di cerpen-cerpen Kompas Minggu. Tema-tema seperti ini dengan gagah orang-orang menyebutnya realisme-magis. Tema-tema yang memadukan kejadian-kejadian yang hadir di sekitar (realitas) kita yang disisipkan mistis-mistis tertentu. Namun tentu saja T.H Ihsan, dalam proses kreatifnya mengatur strategi sedemikian rupa agar karyanya berbicara lain dengan tema sejenis—yang masih berkutat dengan ‘kunang-kunang’ ini.
Cerpen Kunang-Kunang, bercerita tentang seorang pemuda yang bernama Yadi Jopang. Umurnya 27 tahun, usia yang cukup muda dan gagah. Di kampungnya, ia dikenal sebagai jawara. Tidak ada yang berani macam-macam padanya karena ia mempunyai ilmu kanuragan—suatu ilmu yang bisa menangkal dari bahaya dan serangan musuh. Ia tahan dengan berbagai segala senjata. Tubuhnya sangat kuat walau golok menyambar sekalipun. Namun ada beberapa syarat yang harus ia jauhi, yakni jangan pernah menyebut nama tuhan atau mengingatnya sama-sekali.
Yadi Jopang mempunyai seorang teman bernama Taryo—seorang pemuda jail yang suka mempermainkan perempuan. Suatu waktu Taryo kedapatan tengah bergumul dengan istri orang, malah perempuan di kampung lain pun ia gagahi. Namun, kebejatan prilaku Taryo pun akhirnya diketahui warga kampung lain. Taryo mati seketika dihabisi oleh warga kampung tersebut. Dan yang menjadi gempar adalah hadirnya kunang-kunang setelah kematian Taryo, seolah-olah sebagai tanda bahwa dengan kehadiran kunang-kunang tersebut membuat warga resah dan takut dengan mitos yang ada—yakni bila seseorang yang dihinggapi kunang-kunang, maka ia akan mati seperti orang sebelumnya.
Mendengar semua itu, Yadi Jopang dan seorang temannya, Joko hendak balas dendam untuk Taryo, walau dalam hati Yadi Jopang tiba-tiba ia merasa miris, kekuatannya merasa lemah seketika saat ia secara tidak sengaja menyebut secara tidak langsung yang berkaitan dengan atas nama Tuhan. Dalam bentrokan itu, Joko mati. Sementara Yadi Jopang selamat dan bersembunyi di balik semak dengan keadaan mengingat Tuhan.
Membaca cerpen ini, saya teringat pada Karl Manheim, seorang Sosiolog, yang mengajukan bahwa karya sastra menyampaikan makna pada tiga tingkat yang berbeda: tingkat pertama yaitu objective meaning atau makna obyektif, yaitu hubungan suatu karya dengan dirinya sendiri; apakah ia gagal atau berhasil menjelmakan keindahan dan pesan yang hendak disampaikannya. Suatu karya sastra adalah suatu obyek yang mengobyektivasikan suatu nilai atau antinilai; keindahan, pembaruan, orsininalitas, otensitas atau peniruan, dan kepandaian teknis semata-mata. Tingkat kedua adalah expressive meaning atau makna ekspresif berupa hubungan karya itu dengan latar psikologi penciptanya; apakah sebuah sajak diciptakan untuk mengenang suatu saat penting dalam kehidupan penciptanya: kelahiran anak, kematian ayah atau ibu, atau putusnya suatu momen tertentu dari kehidupan pencipta. Tingkat ketiga adalah documentary meaning atau makna dokumenter berupa hubungan antara karya itu dengan konteks sosial penciptaan: pengaruh-pengaruh sosial-politik atau kecenderungan budaya yang tercermin dalam suatu karya. Suatu karya adalah suatu dokumen sosial atau dokumen human tentang keadaan masyarakat dan alam pikiran di mana suatu karya diciptakan dan dilahirkan.[5]
Membaca cerpen Kunang-Kunang, terutama di pembukaan narasi, kita seolah digiring oleh penulis ke dalam sebuah suasana kampung yang memiliki kepercayaan-kepercayaan tertentu. Sebuah kampung yang masih mempercayai mitos-mitos orang-orang terdahulu, dari nenek moyang mereka—mitos jawa. Kita lihat saja kutipan berikut:
Di kampungku, yang lokasinya berada di daerah jawa, bila ada salah satu warga yang mati, maka pada malam kematiannya, secara tiga malam berturut-turut kunang-kunang akan berkeliaran mengudara. Entah kebetulan atau tidak, mereka selalu beterbangan memijarkan cahaya kerlap-kerlip berwarna putih pucat, atau ada juga yang kehijauan. Sebentar bercahaya sebentar redup. Seperti itulah kunang-kunang. Kata warga kampung, mereka percaya bahwa kunang-kunang itu jelmaan dari kuku orang mati. Cahayanya yang selalu redup itu berbentuk seperti bekas cakaran, mungkin ingin mencoba mencakar kegelapan menjadi terang oleh kuku orang mati. Namun anehnya, hanya kematian dari orang baik saja kunang-kunang tidak pernah berkeliaran.
Pertanyaannya: apakah narrator yang sekaligus sebagai subjek pertama dari cerpen ini sudah [secara tidak langsung] percaya terhadap mitos tersebut? Tentu saja iya, ia percaya. Kenyataannya, tidak ada yang bisa aman dari mitos, mitos dapat berkembang dalam skema tingkat-keduanya dari makna apa pun[6], artinya ketika pada narasi namun anehnya, hanya kematian dari orang baik saja kunang-kunang tidak pernah berkeliaran., di sana derajat atau tingkat yang lain dari mitos itu sendiri hadir dengan mitos-mitos agama, yakni jika ‘orang yang baik akan di sayang Tuhan’ artinya orang yang hidup di dunia dengan baik, dengan mematuhi segala perintah tuhannya, bakal jauh dari bencana. Di sini, dalam bahasa lain, masuk dalam tingkat ketiga seperti apa yang diungkap Mark Kalheim: sebagai documentary meaning, cerita yang hadir sesuai apa yang terjadi pada masyarakat, yang dalam konteks ini masyarakat jawa.
Strategi T.H Ihsan sendiri dalam cerpen ini saya kira cukup brilian. Ia dengan apik membangun suasana sekaligus memberikan informasi pada pembaca tentang bagaimana menjadikan “paragraf awal adalah labolatorium” dalam cerpennya ini. Namun sepertinya ia lupa pada beberapa kalimat yang agak membingungkan sebagian pembaca—saya khusunya. Kita lihat misalnya pada:
Ia bilang, tubuhku akan tahan senjata apapun asal tiap malam menyulut kemenyan di bawah jendela kamar dan beberapa syarat lainnya; jangan pernah menyebut atas nama Tuhan, menjauhi Tuhan, dan memuja kepada setan.
Barangkali, jika saya boleh mengoreksi, maksud dari ketiga syarat itu adalah jangan pernah menyebut atas nama Tuhan, jauhilah Tuhan, dan memujalah kepada setan. Tentu saja, saya anggap konteks Tuhan di sini adalah tuhan sebenarnya yang dianut oleh masyarakat yang diceritakan dalam cerpen ini. Tuhan yang disembah dan dijadikan tempat segalanya. Sehingga, nuansa mistis dan takhayul didobraknya begitu saja. seolah-olah Tuhan itu tidak ada dan tidak berfungsi yang kemudian dalam agama itu disebut musyrik, menyekutukan Tuhan.
Akibat dari mitos yang kental di kampung tersebut, Yadi Jopang yang semula taat beribadah dan mengaji, kini keimanannya pun runtuh. Dalam hatinya yang penuh dengan ke(percaya)an atau tidak mengenai mitos itu kita bisa lihat:
Jadi perihal kunang-kunang yang berkeliaran malam ini di sebabkan karena Taryo mati, orang yang butuh cahaya, orang yang kurang beramal. Aku tak habis pikir kenapa kunang-kunang itu hinggap ke tanganku? Apa benar tentang mitos kunang-kunang jelmaan kuku orang mati dan yang dihinggapinya akan ikut mati? Soalnya kemarin ada kunang-kunang yang menempel di punggungnya. Ah, aku masih tetap tak percaya. Tapi bila itu jelmaan Taryo, berarti ia meminta tanganku membalaskan dendam pada warga kampung sebelah. Itu sebabnya kunang-kunang hinggap di tanganku. Pikirku.
Pertanyaan-pertanyaan Yadi Jopang inilah yang mengakibatkan imannya goyah. Jiwanya bertempur antara percaya atau tidak. Bagaimana bisa hanya karena orang mati, orang yang tidak baik, kunang-kunang akan berterbangan di malam hari, lalu mencari dan hinggap di tubuh orang yang akan menjadi korban selanjutnya? Penanda-penanda dalam teks tersebut seperti butuh cahaya dan kuku orang mati kemudian diasosiasikan dengan teks lain menurut documentary meaning-nya Manheim adalah bagaimana Yadi Jopang mempercayai ketika ada kunang-kunang yang sempat hinggap di punggung Taryo sebelum ia terbunuh. Keterkaitan antara mitos dan dan budaya yang ada di kampung ini, sebagai kampung yang masih bergaya tradisional, semakin menguatkan mitos itu sendiri semakin benar adanya. Walau pun pada akhirnya dilematis yang dialami Yadi Jopang di ujung ceritanya menjadi semacam cuci tangan penulis, agar cerpennya ini menjadi (setidak-tidaknya) kejutan: kini selain aku percaya pada perlindungan Tuhan, aku juga percaya pada mitos kunang-kunang. Aku telah dihinggapinya. Dan bila aku mati di sini, semoga tidak ada kunang-kunang yang berkeliaran di malam kematianku., yang seolah-olah pembaca kembali digiring untuk berharap “bagaimana kalau ketika Yadi Jopang mati lalu kunang-kunang tetap berkeliaran?” Maka, justru jika si pembaca berpikiran seperti itu, bukankah sama saja kita percaya pada mitos tersebut? Pada mitos kunang-kunang itu? Atau bagaimana seandainya jika pembaca menyalahkan sang penulis dengan mengatakan “seenanknya saja menutup cerita seperti itu, bukankah Yadi Jopang bukan orang baik-baik, bukankah orang yang tidak baik pasti akan butuh cahaya kunang-kunang?” ah, rupanya saya sendiri sudah terlibat dalam mitos kunang-kunang ini.
V
Dan seperti itulah hasil pembacaan saya yang saya rasa terlalu banyak kekeliruan. Namun saya harus mengakui bahwa T.H Ihsan dalam cerpennya Kunang-Kunang [Kematian] ini sudah (agak) berhasil memenuhi ketiga tingkat itu—objective meaning, expressive meaning dan documentary meaning. Namun, ya, sedikit catatan saja bahwa dalam sastra pun begitu banyak mitos yang melulu diagung-agungkan, salah satunya: “jika karya kita—puisi dan cerpen dimuat di koran, maka gelar sastrawan kita sudah di depan mata atau setidaknya diakui.” Ah, rupanya saya sendiri sudah terlibat dalam mitos sastrawan koran ini.
Bandung, 02 Maret 2012.


[1] Tulisan ini sebagai keisengan penulis dalam acara diskusi mingguan Sasaka pada 2 Maret 2012 di taman kampus UIN SGD bandung.
[2] Penulis adalah dia yang sedang belajar memahami dan mengerti cerpen.
[3] Lihat Roland Barthes: Membedah Mitos-mitos Budaya Massa. Jalasutra. 2010
[4] Lihat Acep Iwan Saidi dalam Matinya Dunia Sastra. Pilar Media. 2006.
[5] Karl Manheim, Essays on The Sociology of Culture (London: Routledge & Kegan Paul Ltd., 1959), dalam Ignas Kleden: Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan. Freedom Institute. 2004
[6] Roland Barthes: Membedah Mitos-mitos Budaya Massa. Jalasutra. 2010, hal 329.

Selasa, 12 April 2016

Menakar Manuver Yusril di Pilgub DKI Jakarta 2017

Harus diakui, manuver Yusril Ihza Mahendra yang mencalonkan diri pada Pilgub DKI Jakarta 2017 membuat suhu politik nasional tampak memanas.

Meskipun, pertarungan memperebutkan kursi Gubernur DKI Jakarta itu digelar kurang dari setahun lagi. Namun, opini yang berkembang saat ini sudah menjurus antara Basuki Tjahja Purnama alias Ahok yang maju secara independen melawan Yusril Ihza Mahendra. Meskipun sang Ketum Partai Bulan Bintang itu hingga saat ini belum jelas bakal mencalonkan melalui pengusungan partai atau jalur independen.

Tetapi jika disimak secara seksama, manuver Yusril yang sudah tancap gas sedari awal dan terkesan 'liar' itu menjadi daya tarik sendiri. Dia mulai bersafari politik kepada beberapa sosok yang juga berencana akan maju seperti Ahmad Dhani, Adhyaksa Dault, Sandiaga Uno, Haji Lulung dan Boy Sadikin.

Ini menjadi pemandangan yang unik dalam politik mutakhir nasional pasca reformasi, di mana silaturahmi politik seperti itu jarang dilakukan oleh para politikus sebelumnya pada helatan Pilkada, Pileg atau Pilpres sekalipun. Bahkan Yusril mengaku siap jika dia bisa bersilaturahmi dengan Ahok si petahana.

Keputusan Yusril untuk maju di Pilgub Jakarta 2017 sebetulnya masih terbilang baru, atau sekitar Februari lalu, setelah dirinya digadang-gadang bisa bersaing dengan Ahok, seiring kakak kandung Yusril yakni Yuslih Ihza Mahendra berhasil mengalahkan adiknya Ahok yakni Basuri Tjahja Purnama di Pilkada Belitung Timur.

Dari momen itu saja, publik sudah menilai bahwa pertarungan dua putra Belitung itu akan juga menarik perhatian dalam peta percaturan Pilgub DKI Jakarta.

Dan, harus diakui juga, dari sisi pendukung, Ahok tampaknya selangkah lebih depan dengan hadirnya Teman Ahok yang dianggap militan bisa berhasil mengumpulkan KTP data sementara sekitar 500.000 sebagai syarat pengusungan calon independen dari total jumlah aman sekitar 550.000.

Para pendukungnya bisa dibilang bergerak cepat. Salah satu manuvernya digerakkan melalui media sosial yang disetir para seleb tweet berjumlah ribuan pengikut. Selain itu, pengumpulan KTP di mal, door to door dan jemput bola pun terus dilakukan.

Sementara itu, selain memburu dukungan dari kampung ke kampung, Yusril terus bergerilya menggunakan cara konvensional mendatangi partai ke partai dan berkomunikasi dengan dedengkot partai seperti Prabowo, SBY, Aburizal Bakrie, Dzan Farid dan bahkan berencana bertemu dengan Megawati.

Modal diplomasi Yusril yang pernah menjabat menteri era Gusdur, Megawati dan SBY menjadi nilai tambah untuk memuluskan rencana pencalonannya melalui usungan partai. Sinyal-sinyal yang mengisyaratkan dukungan itu tampak terlihat, ketika, tanpa hujan tanpa angin, PDI Perjuangan mengundang Yusril sebagai pembicara acara pelatihan manajer kampanye di 'Kandang Banteng' di kawasan Lenteng Agung Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.

Ya, memang sebelumnya Yusril pernah berseloroh bahwa dirinya lebih siap jika disandingkan maju di Pilgub DKI Jakarta dengan Boy Sadikin dari PDI Perjuangan atau Sandiaga Uno, salah satu orang terkaya di Indonesia yang sekarang pindah haluan menjadi politikus dari Partai Gerindra.

PDI Perjuangan sendiri, seperti kita tahu adalah partai yang memiliki kursi terbanyak di DPRD DKI Jakarta pada Pileg lalu dengan mengantongi 28 kursi. Artinya, tanpa koalisi, PDI Perjuangan sudah bisa mengusung calon yang dipersyaratkan minimal 22 kursi.

Yusril mengaku telah mendaftarkan diri pada penjaringan calon dari PDIP. Saat ini, terdapat beberapa nama yang sudah mendaftarkan diri dari penjaringan Partai Banteng itu, yakni Hasniati, Idris Khalid Amir, Margono, Sugiman, Mahfud Zaelani, Hasnaeni Moein, Riza Villano Satria Putera, Abdul Rani Rasyid, Teguh Santoso, Harun Al Rasid dan Yusril.

PDIP tentu akan melakukan survey popularitas, elektabilitas dan segala tetek bengeknya untuk memunculkan satu dari sekian bakal calon yang mendaftar. Namun, dari sekian sosok tersebut, yang sudah mencuri start sedari awal adalah Yusril yang justru berhasil membuat seolah-olah telah terjadi pertarungan antara kubu Ahok vs Yusril. Ini bisa terlihat dari perang opini dan argumen di media sosial antara pendukung Ahok dan pendukung Yusril.

PDIP sendiri dikabarkan saat ini tampak tidak harmonis dengan Ahok. Ini menjadi poin plus baru bagi Yusril untuk mencuri hati PDIP yang dikendalikan Megawati. Dan kita tahu, saat Mega menjadi presiden, Yusril sempat menjadi salah satu 'pembisiknya' untuk urusan hukum.

Dukungan kepada Yusril juga berpeluang mengalir dari Partai Demokrat, PPP dan Golkar bahkan Partai Gerindra seiring para ketua umumnya sudah menghormati keputusan Yusril bertarung di DKI 1.

Pendek kata, pertarungan Ahok vs Yusril pada Pilgub Jakarta 2017 kemungkinan besar akan terjadi apabila partai-partai yang notabene sebelumnya berada di Koalisi Merah Putih mendukung Yusril.

Kemungkinan lainnya juga akan terjadi apabila Partai Gerindra resmi mengusung Sandiaga Uno dengan dukungan partai lainnya dengan syarat mengantongi minimal 22 kursi yang bisa memecah kemungkinan Ahok vs Yusril.

Kita tahu jumlah kursi di DPRD Jakarta sebanyak 106. Sementara, Partai Gerindra mengantongi 15 kursi, PKS 11 kursi, dan PPP, Demokrat, Hanura masing-masing 10 kursi. Adapun, Partai Golkar 9 kursi, PKB 6 kursi, Nasdem 5 kursi dan PAN 2 kursi.

Bahkan, kemungkinan-kemungkinan lain juga bisa saja muncul mengingat politik adalah sesuatu yang dinamis. Kita tidak tahu, bisa saja Ahok tiba-tiba urung mengikuti Pilgub DKI Jakarta karena kasus yang tengah menyeretnya seperti dalam kasus Sumber Waras. Atau mungkin, Yusril bisa saja gigit jari karena tidak ada partai yang mengusungnya karena PBB sendiri bahkan tidak memiliki kursi.

Segala kemungkinan dalam dunia politik akan terjadi. Hanya saja, melihat gelagat yang terlihat secara tampak atau kasat mata, tahun ini adalah panggung politik bagi mereka yang bekerja keras sedari awal terutama untuk Pilgub DKI Jakarta.

*Tulisan ini murni pendapat pribadi dari hasil pengamatan dan pembacaan beberapa informasi yang mengemuka

Label:

Senin, 25 Januari 2016

Nur Mahmudi Buka KBBI Dulu Sambil Ngopi Dong!!!

Ada yang menarik ketika, kalau saya tidak salah sebut, anggota Fraksi Demokrat DPRD Kota Depok, Endah Winarti sedikit memotong penutupan sidang Rapat Paripurna Istimewa dalam rangka Pengumuman Hasil Penetapan Calon Terpilih Walikota dan Wakil Walikota Depok 2016-2021 dan Penyampaian Catatan Rekomendasi terhadap LKPJ AMJ Walikota Depok Masa Jabatan 2011-2016 di Ruang Rapat Paripurna DPRD Kota Depok, Senin (25/1/2015).

Sambil menenteng sebuah koran harian lokal Depok, Endah meminta Wali Kota Nur Mahmudi yang resmi lengser pada Selasa (26/1/2015) untuk kembali mengkaji sebuah program seriusnya dalam mengelola sampah di Depok bernama Partai Ember yang resmi dilaunching pada Minggu (24/1/2015) dengan menggandeng artis Indra Bekti sebagai 'juru kampanye'. Dia mengaku baru membaca berita tentang Partai Ember yang digagas Nur itu dari koran tersebut.

'Interupsi' Endah tersebut sontak dinilai menjadi aneh atau semacam hal lelucon bagi para hadirin yang ada di Gedung DPRD tersebut termasuk beberapa awak media. Endah dinilai usulan atas koreksinya itu tidak perlu lantaran Partai Ember sudah resmi dirilis atau sudah kadung berdiri. Tetapi sesungguhnya apabila hadirin baik dari anggota DPRD, SKPD, Ormas, petinggi partai dan para awak media itu mau melek bahasa Indonesia, apa yang diusulkan Endah ini ada benarnya.

Mungkin benar bahwa dengan penggunaan kata 'Partai', orang akan mengira bahwa Nur Mahmudi benar-benar telah membuat sebuah partai politik, meskipun kedengarannya lucu, yakni Partai Ember. Padahal niatannya sendiri membikin Partai Ember hanya untuk membentuk kelompok sadar lingkungan yang mengelola sampah organik, anorganik dan residu seperti yang diberitakan beberapa media antara lain Kompas.com, Tempo.co, Okezone.com, Viva.co.id dan media lainnya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mencatat tiga pengertian kata 'partai', 1. Perkumpulan (segolongan orang) yang seasas, sehaluan dan setujuan (terutama di bidang politik); 2. Penggolongan pemain dalam bulu tangkis dan sebagainya seperti untuk penggunaan partai ganda atau partai tunggal; 3 kumpulan barang dagangan yang tidak tentu banyaknya, contohnya "kita boleh membeli 'partai' besar atau 'partai' kecil."

Pertanyaannya, pengertian kata 'partai' manakah yang dirujuk oleh Nur Mahmudi pada penggunaan Partai Ember yang digagasnya. Apakah merujuk pada pengertian pertama, yang berarti Partai Ember ini merupakan gagasan kelompok berpolitik yakni untuk mencapai kekuasaan, apakah pengertian kedua yakni Partai Ember ini tak lain adalah semacam kelompok pertandingan badminton, atau yang terakhir bahwa Partai Ember adalah barang dagangan? Nah, saya kira asumsi apapun dari tiga pengertian tersebut rasanya tidak relevan dengan penggunaan Partai Ember Nur Mahmudi.

Hal ini mengisyaratkan bahwa wali kota yang sudah 10 tahun berkuasa di Depok itu tidak sadar bahasa Indonesia atau jangan-jangan membuat kata seenaknya asal terdengar sederhana, mudah diingat dan unik dalam melakukan programmnya, meskipun pembentukan Partai Ember itu menurut Tempo.co mengacu pada Undang-undang nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah.

Sampai di sini, bukan saya nyinyir atau sok tahu, dan bukan pula tidak setuju dengan niatan mulia mantan Menteri Kehutanan era Gusdur itu dalam membentuk Partai Ember. Saya dan mungkin anggota DPRD Depok, Endah Winarti agak merasa risih dengan penggunaan kata 'partai' pada Partai Ember itu, karena saya yakin sebagian besar orang akan memaknakan Partai Ember adalah berorientasi pada sikap politik, meskipun hal tersebut tidak benar sama sekali.

Dengan demikian, ada baiknya penggunaan Partai Ember ini bisa dikaji kembali oleh Nur Mahmudi yang sudah tidak bisa lagi duduk di kursi empuk Balaikota Depok. Nur Mahmudi sebaiknya buka-buka sejenak KBBI sambil minum kopi biar woles kalau mau menggunakan kata-kata atau istilah yang ingin populer. Karena hal elementer ini akan sangat lucu dan bisa ditertawakan oleh orang lain. Apalagi Pak Nur dikabarkan akan bertarung memperebutkan 'kursi panas' Bakal Calon Gubernur DKI jakarta. Hmm...

Label: