Selasa, 05 November 2013

Menafsir Banten

Barangkali, pelukis Tato Kastareja punya alasan tersendiri mengapa dalam lukisan berjudul Bagian Idialek Banten membubuhkan dominasi wajah Rano Karno. Dalam lukisan yang tertuang pada cat minyak di atas kanvas, dibuat pada 2013 itu, menggambarkan sejumlah warga Baduy, Banten tengah berjalan dengan mengenakan pakaian adat. Lainnya menggambarkan beberapa orang tengah memperlihatkan aksi seni tradisi Banten, debus. 

Lukisan berukuran 200 x 150 cm itu merupakan salah satu karya Tato yang dipajang pada pameran Ieu Kula: Mata Batin Banten di Galeri Nasional Indonesia pada 22 Oktober 2013—4 November 2013. 

Seperti diketahui, pemeran sinetron Si Doel Anak Sekolahan itu merupakan Wakil Gubernur Provinsi Banten periode 2012-2017. Banten, kawasan yang berada di bawah kuasanya merupakan salah satu provinsi yang memiliki kultur dan tradisi kuat. 

Nama Suku Baduy misalnya, tak bisa dipisahkan dari Banten yang pada 2000 memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat. Konon, warga Baduy sangat mempertahankan tradisi dan tidak mau banyak diatur oleh kebijakan-kebijakan pemerintah setempat. Sekedar contoh, sebagian dari mereka tidak mau membuat kartu tanda penduduk (KTP) karena dinilai tidak bermanfaat untuk kelangsungan hidup mereka.

Tampaknya, Tato ingin merelasikan antara figur pemimpin dengan warga Baduy menjadi sebuah gagasan estetika seninya. Dalam lukisan tersebut, wajah Rano diekspresikan pelukis seolah tengah memikirkan kondisi Banten saat ini. Sorot mata Rano yang tajam memberi kesan publik bahwa dia menyimpan sejumlah persoalan.

Pameran seni rupa Ieu Kula dibuka langsung oleh Rano Karno pada 22 Oktober 2013 malam. Pameran menghadirkan 51 seniman antara lain pelukis, pematung dan fotografer yang tergabung dalam Lembaga Pengembangan Seni Rupa Banten (LPSB). Total karya lukis, fotografi dan instalasi yang dipajang sebanyak 153 karya.

Pameran Ieu Kula diambil dari bahasa Sunda berarti Ini Aku atau juga bisa diartikan Ini Kami dan Ini Kita. Digelarnya pameran Ieu Kula sekaligus mewujudkan eksistensi para perupa asal Banten di kancah nasional.

Menjadi sangat menarik jika memperhatikan pameran Ieu Kula ini dengan seksama. Tema yang diangkat setiap seniman memiliki benang merah masing-masing. Karakter yang diciptakan mengangkat satu tema, yakni Banten. Lukisan karya Azis Winasis berjudul Kula Budak Baduy (minyak di atas kanvas, 120 x 90 cm, 2013) misalnya, berhasil menangkap potret keseharian warga Baduy.

Lukisan itu menggambarkan seorang anak kecil tengah menggendong bocah. Azis, pelukis kelahiran Tangerang, Banten berhasil menyuguhkan pesan kuat yang terpancar dalam bola mata kedua anak tersebut. Pemilihan warna kulit dan pakaian yang dikenakan kedua anak itu pun sangat erat dengan karakter warga Baduy pada umumnya.

Pesan serupa juga ingin disampaikan pada lukisan karya Achdi Gunawan berjudul Gurat Bahari (cat minyak di atas kanvas, 190 x 130 cm, 2013). Achdi menggoreskan kuasnya dengan menggambarkan wajah seorang nelayan tua. Kerutan di pipi lelaki tua begitu kuat dan detail sehingga jika dilihat dari jauh, lukisan ini seperti sebuah potret yang diabadikan melalui kamera. 

Namun, Achdi memfokuskan lukisan ini pada kedua mata nelayan tua tersebut. Kedua bola matanya, tampak bayangan bendera merah putih. Dengan berkaca-kaca, kedua mata itu terus menatap bendera sebagai lambang kebesaran negara Indonesia. Secara tidak langsung mata nelayan berbicara pemerintah setempat hingga saat ini belum bisa mensejahterakan kaum nelayan.

Sekedar catatan, pameran Ieu Kula ini diklaim sebagai pameran terbesar yang pernah dilakukan LPSB. Sebelumnya, para seniman banyak melakukan pameran lokal di sejumlah tempat kesenian baik di Banten maupun di tempat lain. Bahkan, pameran ini sudah digagas tiga tahun sebelumnya. “Proses seleksi ketat menjadi daya tarik tersendiri bagi seniman yang ingin tampil dalam pameran tersebut,” ujar Q’bro Pandam, salah satu pelukis ketika ditemui di ruang pameran.

Namun, hasil seleksi tersebut ternyata memang tidak sia-sia. Meskipun notabene para seniman yang ikut andil dalam pameran tidak begitu populer, tetapi karya-karya yang ditampilkan patut diacungi jempol. Karya yang dihadirkan tidak kalah bagus dari karya pelukis kesohor sekali pun. Sebagai contoh, lukisan karya A. Muhsoni berjudul Menikmati Perjalanan (cat minyak di atas kanvas, 100 x 140 cm, 2013).

Lukisan Menikmati Perjalanan ini sangat menarik. Sepertinya A. Muhsoni begitu memperhatikan setiap detail yang dituangkan dalam karyanya. Detail-detail ini bisa terlihat dari cara pelukis menggoreskan lantai kendaraan, tali pengikat pintu, dan wajah keempat orang Baduy tersebut. Sementara, goresan pemandangan seperti awan dan warna tanah membuat lukisan ini seperti hidup dan berkesan nyata. Dan, yang lebih menarik lagi, A. Muhsoni berhasil menciptakan imaji khalayak dengan menuangkan sedikit bayangan penumpang yang duduk di depan bersama sopir.

Pelukis lain, Wita Delvi, dalam lukisannya berjudul Belajar Rebana (akrilik di atas kanvas, 120 x 100 cm, 2013) menggambarkan lima perempuan mengenakan jilbab sambil memegang alat musik Rebana. Musik Rebana merupakan seni tradisi bernafaskan Islam yang berkembang di wilayah Banten.

Selain menampilkan lukisan, pameran Ieu Kula juga memajang karya instalasi dari Erwin Tri Hendarto berjudul Studi Jembatan Selat Sunda. Karya ini dibuat pada 2013 dengan bahan kayu palet berukuran 555 x 127 x 90 cm. Karya ini juga membubuhkan cat minyak pada bagian kayu. Sementara dibawah miniatur jembatan ini, Erwin sengaja menabur pasir untuk menggambarkan beton bangunan.

Menariknya, Erwin membubuhkan ratusan sendok makan bercat merah yang ditancapkan pada bagian kayu tersebut. Pemakaian sendok merupakan simbol ketertindasan warga Banten atas proyek yang diwacanakan berpuluh tahun silam itu.

Instalasi lain berjudul Cross the Culture karya Q’bro Pandam dibuat dengan penuh emosi dan kritikan pedas. Instalasi terbuat dari kayu palet, stenlis, serat dan kain khas Baduy menyimbolkan tentang perubahan budaya yang terjadi di Banten.

Penancapan stenlis di atas kayu yang menyilang merupakan simbol ancaman bagi warga Banten sendiri. Sementara, pemilihan kayu palet dimaknai sebagai kerendahan hati warga Banten yang diam-diam terkikis zaman. “Saya menambahkan ornament headset dalam instalasi ini sebagai tanda zaman moderen sedang menggerogoti Banten, khususnya suku Baduy,” katanya. 

Namun, dari sejumlah seniman yang menyampaikan suara hatinya melalui lukisan dan instalasi, fotografer TB. Achmad Maulana berhasil menangkap eksotika wahana kekayaan Banten melalui jepretan foto berjudul Blue Sky of Sawarna, (digital print 120 x 80 cm, 2013). Pantai Sawarna merupakan salah satu aset wisata terbaik yang dimiliki Banten.

Tak heran jika Kuss Indarto, sebagai kurator pameran Ieu Kula dalam catatannya mengatakan setiap seniman ingin memperlihatkan karya dengan sederhana kepada publik, yang sekaligus pertanyaan terhadap diri sendiri. "Membincangkan perihal identitas adalah membincangkan tentang sikap rindu dan dendam yang tak berkesudahan. Kadang dicaci, kadang dimaki," katanya.



Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda