Sabtu, 12 Maret 2011

SEBUAH CATATAN TENTANG “KONGKOW SASTRA”

BERAWAL dari kekalutan dua pemuda bangsa yang sudah tanggung terjerumus ke dalam lobang sastra, atau apalah itu namanya yang berbau puitis, romantis, artistis dan yang lainnya yang lebih hiperbolis. Waktu, mempertemukan sebuah perjumpaan yang mungkin tercetus umpatan ringan dan tidak serius. Sesosok manusia paling bedebah di kampus ini yang bernama Fajar Fauzan memunculkan gagasan yang mungkin dikiranya bombastis. Lalu, sesosok pemuda tegap, agak tipis dan berbau politis, Pungkit Wijaya (keponakan tirinya Putu Wijaya) berbincang dengannya. Maka terbentuklah suatu ide yang agak memukau ribuan peracau.

Kongkow Sastra, itulah acara yang diusung kemarin sore, Jum’at 11 Maret 2011. Sebuah kegiatan yang bermodalkan duit 30.000 perak yang cuma cukup untuk pembiayaan spanduk yang genit. Spanduk yang sengaja dipampang di mulut rahim kantor rektorat itu. Namun kegigihan dan semangat mereka tak bisa ditandingi hujan badai dan kerasnya tengbaja sekalipun, bagaimanapun ini acara harus tetap berjalan, mungkin seperti itu mereka berkilah.

Sepertinya siang itu matahari sedang murka di pelataran Cibiru. Pukul 2 siang, jadwal sudah disepakati untuk dimulai. Namun, masalah teknis masih sempat berceceran dan sepertinya orang-orang masih merasa malas berhadapan dan duduk berpagutan dengan terik. Alhasil para panitia mesti rela dan pasrah pada cuaca. Mengalah dan bertekuk lutut pada sang mentari.

Siang sebentar lagi berpamitan. Gaungan adzan Ashar menggema menanda sore hadir menyapa. Orang-orang masih malu-malu untuk merapat. Mereka masih berpojok ria di sudut yang berkerucut. Tapi, suasana mulai mencair ketika seorang gadis mungil bermuka lancip terjun menggenggam microphone yang mengidentitaskan dirinya sebagai pembawa acara. Gayanya khas kekinian, penuh gairah dan tepat sasaran, inilah dia Nira, gadis oriental yang terlahir di sebuah kabupaten pusat industri.

Acara yang diusung pun cukup beragam walau dihiasi oleh debu-debu yang berterbangan. Sisa reruntuhan gedung-gedung paradoks yang penuh kerikil dan pasir merah berkeliaran di semesta Al-Jami’ah. Tapi penampilan-penampilan para pegiat yang membacakan puisi-puisinya cukup menyihir mahluk yang lalu lalang disekitar taman kampus.

Acara pun dimulai dengan cuap-cuap ketua panitia oleh Herton Maredi. Dilanjut sesi baca puisi. Sebut saja Galah, sebagai pembaca puisi pertama yang bergaya ular kobra. Kepalanya meliuk-liuk kesana kemari khas penari India. Tak tanggung, ia membaca puisi dengan hentakan yang cukup enerjik dengan nafas yang mencabik-cabik. Beberapa lembaran puisi yang ia genggam sempat membuat geming para hadirin.

Begitu juga Femi Fauziah, seorang mahasiswi Jurnalistik yang kerap hadir di acara-acara baca puisi. Pembacaannya memukau dengan kerlingan mata yang tajam setajam silet. Tangannya seolah menari menumpahkan ucap dan imajinasi. Lalu seorang pria yang saya tidak tahu namanya maju ke depan membacakan tentang puisi cinta. Yang di hadiahi kumpulan tepuk tangan teman-teman segengnya.

Ada juga Yuga Anugerah, seorang mahasiswa kedaluarsa yang semangat membacakan sebuah puisi tentang Munir. Sebuah penyesalan dan kekhawatiran yang dialamatkan khusus untuk seorang pejuang tak jelas nasib ini. Nada kecaman yang obsesif tergurat sampai tangannya begitu bergetar.

Acara inti pun sudah ditunggu-tunggu. Seorang moderator yang sedikit gagah perkasa plus sebagai kepala Litbang Suaka naik ke atas panggung permanent itu. Dua pembicara sudah duduk bersila siap melibas kata-kata. Kali ini tema sastra dan media kampus menghadirkan Dian Nurrachman dari akademisi sasstra dan Dadi Ahmad dari sebuah lembaga studi sunda asal Garut.

Suasana yang terpola santai itu begitu unik dan cair. Kedua pembicara mengeluarkan gagasan sesuai tema yang ditawarkan. Sebuah letupan bahwa sastra itu “pabeulit” yang dicetus Dadi mampu menerap di benak hadirin. Pembawaan dua bahasa indo-sunda pada pemaparan itu mudah ditangkap dan dimasukan ke dalam kantong kepala. Juga yang saya ingat ketika Dian berucap bahwa jurusan BSI itu “dicetak menjadi kritikus sastra, walaupun ada yang menjadi sastrawan, itu hanyalah sebab-akibat” bisa menjadi bahan perenungan dalam diskusi sore itu.

Namun, waktu juga yang memisahkan. Tapi setidaknya kedua pembicara mampu merobek telinga para pegiat sastra kampus. Gairah berkesusastraan diharapkan kembali bangkit yang mungkin telah lama hilang ditelan kemodernitasan. Kedua pembicara pamit mengangkat tangan. Lagi-lagi para hadirin menghadiahi tepuk tangan yang berseliweran.

Sesi ke-tiga pun dilanjut. Kali ini kelompok musik Nemah Pati naik ke panggung. Sebuah kelompok yang konsisten menggeber musik dari alat-alat tradisional seperti Celempung, Karinding, Saluang dll, menyanyikan dua buah lagu Iwan fals yang diaransemen ulang. Mereka mampu membuat para hadirin enggan berkedip.

Senja pun hadir di depan mata. Awan di langit bergumpal hitam. Gerimis sebentar lagi hinggap di atas kepala. Namun acara terus saja berjalan meski laju kendaraan terus berputaran. Seorang pria bernama Yadi Kusmayadi maju mendapat giliran. Ia dikasih kesempatan untuk membaca puisi kembali, setelah beberapa lalu ia jarang inten dikarenakan sibuk mengajar. Yadi duduk santai membaca puisi satir anak sekolah dengan tegas mengkritisi fenomena sosial.

Seolah pesta puisi, sore itu menjadi ajang ‘penyair’ untuk unjuk gigi. Restu dari komunitas Rumput dipaksa maju kedepan. Ia membacakan sebuah puisi Rendra dengan sangat menggebu. Tak lupa Acil LSLK menyanyikan sebuah lagu cintanya.

Hujan puisi pun semakin lebat. Seorang pria berperawakan gempal bernama Pam berapi-api membacakan sebuah puisi, ditambah iringan musik gitar dan saluang memberi suasana harmonik dan puitik sore itu.

Namun sungguh tidak adil jika panitia penyelenggara tidak terjun. Herton Maredi sebagai ketua pelaksana akhirnya membacakan puisinya. Juga gegedug Sasaka, Pungkit Wijaya digusur untuk tampil walau sebelumnya ia kerap menggelengkan kepala. Sama seperti halnya Fajar Fauzan yang sudi setelah dirayu untuk membacakan puisi dadakannya.

Sungguh, sore itu menjadikan semangat yang begitu liar bagi para pegiat sastra yang ada di kampus. Giliran Atep Kurnia yang membacakan beberapa sajak-sajak sundanya yang termaktub di laptopnya. Pembacaanya memberikan suasana reueus para hadirin, yang sekaligus didaulat sebagai penutup acara.

Hari mulai gelap. Lampu-lampu kota beriringan menyala. Betul saja, gerimis perlahan menerpa kepala. Orang-orang mulai meninggalkan taman. Adzan maghrib sayup-sayup terdengar saling berkejaran. Terimakasih LPM Suaka, Jurnal Sasaka, LPIK, Komunitas Rumput, Kita Adalah, Jalaran, Verstehen, Ilalang, Ilegal, NoiseYouth, Addicted Area, Nemah Pati, BSI, MSB, Rektorat UIN SGD Bandung dan mahluk-mahluk pengendara truk yang sempat menjadi pemandangan yang kurang sedap di tatap mata. []

Label: , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda