Senin, 14 Februari 2011

Pemanjat Jambu

SUATU SORE yang cerah dan berisik dengan suara anak-anak pengajian. Di teras rumah saya, mereka sedang bermain macam-macam. Bermain karet dan berloncatan. Bermain sembunyi-sembunyian dan bermain banyak sesame teman mereka. Jumlah mereka lumayan banyak sekitar lima belas orang. Ada Renan, ada Ude dan banyak lagi anak-anak yang saya tidak tahu namanya yang berjenis kelamin pria dan wanita tentunya.

Saya melihat mereka di balik jendela rumah yang kebetulan pas sekali di depan mata saya. Cuma saja mereka tidak tahu bahwa saya sedang melihat ke arah mereka. Karena ada gordin yang transparan yang menghalangi saya dan mereka dan Cuma saya saja yang bias melihat mereka sedang ngapain.

Di daerah sekitar rumah saya terdapat empat warung yang lumayan bias dijangkau. Boleh dikatakan warung-warung itu berdekatan satu sama lain. Saya mulai beranjak dari kursi dan keluar menghampiri mereka. Sedikit saja saya berbasabasi sama mereka namun tidak mengganggu keceriaan mereka.

“saha anu haying kaleci sakarung? (siapa yang mau kelereng sekarung?)” Tanya saya.

“wah bohong keur itu ge rek mere satreuk heunteu wae.” (bohong, dulu juga mau ngasih satu truk sampai sekarang belum di kasih juga). Ini yang jawab namanya Gilang.

“heueuh si a Ade mah ongkohna rek mere sadreum bohong ah.” Itu Jajang juga jawab. Kalo di Indonesiakan jadi (iya, a Ade mah suka bohong katanya mau ngasih kelereng satu drum)

“eh, kan kaleci na oge keur di pabrikna keneh, ke we taun 2012 kakara di bagikeun.” Jawab saya. (iya, kan kelerengnya juga masih di pabrik entarlah tahun 2012 baru saya kasih).

“huuuuuuhhhhh, lila lila teuing (huh lama banget).” Siapa yang ngomong itu lupa saya.

Mereka kembali bermain dengan teman-temannya. Namun lihatlah diantara mereka ada yang berlari menuju teras sebelah kiri pojok. Mereka menyerbu pohon jambu yang setiap harinya adalah makanan sehari-hari mereka. Iya, betul sekali, tiap hari pasti anak-anak dating ke teras hanya untuk manjat pohon jambu tanpa bilang-bilang dulu sama yang punyanya. Padahal saya sendiri jarang sekali manjat itu pohon.

“Ude…Ude.” Saya panggil Ude, dia kira-kira berumur sepuluhan lah.

“pang meulikeun rooko Super ka si Awan (tolong beliin rokok ke waring si Awan).” Perintah saya sama dia. Warung si Awan ada mungkin tiga puluh meter dari rumah saya, dan terhalang sama dua rumah. Saya kasih uang seribu sama Ude. Dia pun segera pergi dan cepat kembali memberikan rokok itu sama saya.

“angsulana jang Ude (kembaliannya buat Ude).” Kata saya.

“uh ngan dua ratus (uh Cuma dua ratus).” Kata dia sedikit gimana gitu.

“kan dibere jambu (kan saya kasih jambu).” Saya lagi.

Si Ude tidak banyak protes. Langsung saja dia melanjutkan aksinya memanjat pohon jambu sekaligus membabad habis itu jambu. Anak yang lain yang tidak bisa memanjat pada teriak meminta pesanan jambu juga sama Ude. Satu persatu Ude melempar jambu sama teman-temannya. Saya juga panggil Renan, kebetulan dia lagi di bawah pohon juga.

“nan kadieu nan (nan sini nan).” saya panggil dia. Renan menghampiri.

‘pang meserkeun rokoo jarum cokelat ka si Budi (tolong beliin rokok Djarum Cokelat ke warung si Budi).’ Kata saya lagi, Renan juga langsung pergi dan tak lupa kembali. Warung si Budi sebenarnya bukan warung dia. Itu warung punya bu Lilis yang dijagain sama si Budi. Warung si budi kira-kira ada lah lima puluh meteran mah dari rumah saya. Dan Renan pun segera kembali membawa sebatang rokok yang saya suruh. Dan mengasihkan pada saya tentunya.

candak weh angsulna nan (ambil aja kembaliannya nan).’ Kata saya juga dong.

Renan juga tidak banyak komentar. Dia mengambil uang kembaliannya yang emapt ratus perak itu. Karena harga sebatang Djarum Cokelat hanya enam ratus rupiah. Saya kan kasih uang sama dia seribu juga jadi wajar dong kalo uang kembaliannya empat ratus. Tapi saya tidak tahu Renan menggerutu apa tidak seperti halnya si Ude. Dia kan bilang “nuhun.” Sama saya.

lama berselang, saya juga panggil Gilang yang juga kebetulan masih di area teras rumah saya. Oh rupanya Gilang sedang manjat pohon juga. Tadinya dia saya mau suruh juga beliin rokok ke warung yang lainnya. Tapi gak mungkin lah kasihan dia kalo suruh saya turun dulu. Ya sudah saya panggil saja itu si Deva.

“pa kadieu pa (pa sini pa).” Panggil saya. Perlu diinget lho, sebenarnya namanya itu pake ‘V’ bukan pake ‘P’. Deva bukan Depa. Tapi saya emang begitu manggilnya Depa bukan Deva. Habis lidah saya lidah sunda sih, jadi aja rada ribet kalo panggil dia Deva.

Deva pun menghampiri. Anak-anak yang lain melihat saya sambil berceletuk apaan ketika Deva berjalan menuju saya. “hahaha, pasti rek dititah ka warung deui (pasti mau disuruh ke warung lagi).” Ini yang ngomong juga siapa sih saya kok gak kenal suara ini. Tapi Deva tetap menghampiri saya walau dia punya firasat bahwa dia juga kebagian buat saya suruh ke warung. Di kuping kiri saya sekarang terselip rokok Djarum dan kuping kanan Super.

“pa, pang meserkeun rokoo sampurna kretek ka mang Ateng nya (tolong beliin rokok Sampeorna Kretek ke warung mang Ateng ya).” Goda saya. Deva mengangguk dan terus meluncur.

Warung mang Ateng juga dekat kok, sekitar empat puluh lima meteran lah kurang lebih. Malahan itu warung bertetanggaan sama warungnya si Budi. Paling dalam waktu beberapa detik si Deva bakal kembali lagi ke sini bersama rokok yang saya pesan tadi. Yes, akhirnya Deva kembali juga. Dia ngasih saya rokok. Saya kasih dia uang kembaliannya.

“sabaraha angsulna pa? (berapa kembaliannya Va?)” tanya saya.

‘pat ratus (empat ratus).’ Jawabnya tenang.

‘nuhun nya (makasih ya).’ Ini saya yang ngomong.

Deva tidak membalas perkataan terima kasih saya. Dia langsung kembali menuju habitatnya yang sedang menunggu jambu-jambu itu jatuh pada tangannya. Sekarang tinggal satu warung lagi yang belum terbeli oleh saya. Satu warung yang paling dekat dengan rumah saya. Jaraknya sekitar berapa ya… yang penting ini warung terdekat yang pernah saya lihat dan rasakan.

Nah, ada si Andre baru dating rupanya. Rambutnya masih basah, mugnkin dia baru mandi. Ah, langsung saja saya panggil dia. Satu persatu dia naiki tangga rumah dan menghampiri saya. Asla kamu tahu aja ya, ini si Andre adalah langganan saya jika saya mau suruh beli ini beli itu. Dan asal tahu aja anak-anak di sini gak ada ongkos kadang gak mau untuk disuruh. Tapi ada juga yang rela dan ikhlas tanpa ada imbalan apapun.

‘’Dre pang meulikeun hela rokoo ka ceu Enih (beliin dulu saya rokok ke warung ceu Enih Dre).’’ Kata saya tak lupa ngasih uang seribu juga dari saku.

‘rokoo naon ? (rokok apa ?)’ Tanya si Andre.

‘samsu (Dji Sam Soe).’ Jawab saya.

Lagi dan lagi, Andre pun melangkah begitu cepat ke warung ceu Enih. Asal kamu tahu aja, dulu di warung ceu Enih ada burung beo nya lho, jadi kalo ada yang beli itu si burung suka meniru apa yang si pembeli katakana. Tapi sekarang di warung itu sudah tidak ada lagi burungnya entah kemana itu burung saya tidak tahu lah. Males kalo saya tanya sama ceu Enih soal burung itu. Akhirnya si Andre ngasih saya rokok juga tapi kali ini kayaknya tidak ada uang kembalian buat dia.

“kela Dre dagoan (bentar Dre tunggu).” Saya masuk dulu rumah nyari beberapa kue sisa lebaran yang masih ada di keler. Wah, kue apaan ni namanya. Ya sudah saya kasih sama dia. Tak lupa juga saya kasih sama anak-anak yang ada khususnya yang tadi saya suruh beli ke empat warung itu.


Sambil memakan jambu dan berbicara tentang mainan. Anak-anak itu juga terlihat gembira. Seolah-olah tidak punya masalah apa-apa. Dari mulai ngomongin Rubik, tau kan mainan yang kotak berwarna warni itu, sampai game online Point Blank yang menjadi trend di kancah game anak-anak jaman sekarang.

Dan sekarang saya punya empat batang rokok yang beragam merk dari beragam warung. Ini setidaknya saya sudah berinteraksi dan berbagi rezeki kepada empat warung dan keempat anak itu walaupun tak seberapa lah nilainya yang penting ada proses bahwa manusia itu adalah mahluk yang social, yang tidak bias hidup tanpa orang lain. Waduh jadi so gini ini pembicaraan kaya yang betul aja ya.

Oh, lihatlah itu ada teh Nia, dia baru dating rupanya. Ini artinya anak-anak harus lekas masuk masjid dan mulai belajar mengaji. Iya beginilah setiap hari yang waktunya sore setelah Ashar, suka banyak anak-anak dari berbagai kalangan dan berbagai silsilah juga, suku juga. Mereka tetap bersatu mencari ilmu dalam satu tempat yang mudah-mudahan menjadi berkah buat semuanya. Ya sudahlah selamat belajar ya anak-anak, semoga engkau menjadi orang yang berguna dan bermanfaat bagi nusa bangsa dan agama.


-Diketik Pake Komputer Pentium III Pada September 2010-Tulisan ini saya dedikasikan buat Ane Lilananda sebagai utang saya ketika kalah taruhan Final Piala Dunia 2010.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda