Minggu, 27 Februari 2011

Si Manis Penuh Ambisi



ingin kuterka waktu yang lampau saat kau berada di ruang yang dulu aku pernah mengintaimu. Ruang yang pada suatu hari aku menyimpan bibir pipimu. dan kau bilas pura-pura tak mau dengan punggung lenganmu. Lalu kedua tanganku dikemudi sayton yang dicipta tuhan sebagai mahluk pengendali api. Jari-jariku landas di pinggangmu yang penuh dengan lemak cemilan yang tersangkut di pojok kopma.

Kau enyahkan kedua tanganku. melerai kegelian kulitmu yang baru saja mengibas senyum yang terangkum di mulutmu. Tubuhmu wangi saat itu. Wangi yang membuatku enggan bergeser sedetikpun dengan dirimu. Kecuali ketika kau mengendap beralasan ingin pergi ke kamar mandi tanpa seizinku. Aku tau dikepergianmu yang berpura-pura ingin kencing itu adalah kesempatan bagimu untuk tersenyum geli dan tentu saja mengernyitkan dahi sambil bermalu-malu bahwa kau baru saja aku sentuh sebagai tanda tubuhmu tak lagi utuh.

Sepulang dari kamar mandi, kau hanya berdiri memandangku penuh tanya. seakan waktu itu adalah sebuah mimpi yang mesti dibangunkan dengan cara mencubit pipi. Lalu kupersilahkan kau duduk dekat denganku. Di ruangan itu, orang-orang yang biasanya hilir mudik mendadak entah kemana. Mungkin ini sudah tercipta sebagai tempat kita berdua untuk mengusir rasa rindu yang menggebu.

Kau mulai membuka percakapan tentang keseharian tanpa diriku yang sudah lama tak saling temu. Kau perlihatkan swetaer baru padaku seolah kau ingin aku puji dengan kata-kata yang membuatmu mati terbunuh kelu. Namun tak juga hinggap sedikitpun kata-kataku dan kau agak kesal. Lalu batang telunjuk dan jempolmu mengapit kulit lenganku. Begitu puitisnya cubitanmu.

Malam itu adalah milik kita yang penuh warna dengan ornamen bintang berceceran di matamu. Sajadah panjang menjadi saksi kebrutalan kita dalam menyalib waktu yang luput penuh ironi. Seikat dusta bertebaran diantara kita tentang segala kemungkinan masa depan yang luruh terlibas badai janji palsu. Walau kita sama-sama akui kenistaan ini mampu menghipnotis tuhan yang tengah memelototi kita.

Jarak yang menempel di dinding makin berdetak dan menghentak. Temaram malam semakin gelap memosisikan angin kencang menggerogoti tubuh kita. Lalu kau dengan sadar menutup jendela dengan koran bekas yang belum sempat sama sekali aku baca. Kerudungmu kau urai dan terselip di seutas biji paku yang menganga.

Kini, kau bersandar di bahuku dengan penuh ketakutan akan sebuah perpisahan. Dalam ketaksadaranku rambutmu kuusap perlahan penuh hati-hati, semacam Nostalgia yang kita ciptakan murah tanpa perlu merogoh beberapa rupiah. Setiap helai rambutmu adalah nafas yang mengalir yang bisa membuat amuk cintaku terkubur. Walaupun kutemukan beberapa serpihan putih yang sempat menggetarkan logikaku di ujung salah satu rambutmu yang bercabang.

Malam itu benar-benar pengabdian cinta yang takkan tergantikan oleh butir-butir emas yang melambung di pucuk Monas. Hitungan detik yang berdetak menanda ucap berderai hasrat. Setiap topik yang kita lempar berakhir di setetes kecup yang berdegup.

Namun malam itu tiba-tiba kita serasa dipangkas waktu. Nada ponselmu yang mengakibatkan hak asasi keromantisan kita terenggut kilat yang menyambar di sebuah aliran sinyal. Kau begitu lebam, sayup matamu teriris rindu yang karam.

Tapi itulah cinta, kadang waktu yang singkat terasa lebih gugup ketika kita saling merasa aroma asmara yang terbuai sikap. Lalu kubiarkan kau pergi menuju panggilan ibumu yang ingin segera bertemu. Namun kau simpan sejuta kenangan saat kau beranjak dari tempat yang kita pijak. Dengan tanpa malu-malu kau curi mulutku dengan tergesa-gesa menepis semua bayang yang dulu aku idamkan. Selamat tinggal gadis manis penuh ambisi.


Bandung, 26.02.2011

Label:

1 Komentar:

Blogger syahar banu mengatakan...

lucu...
tapi bacanya geli koooo...
ih ih...kamu genit...

14 Maret 2011 pukul 06.56  

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda