Minggu, 06 Maret 2011

Catatan Eksperimen Untuk Dian Nurrachman



BEBERAPA waktu lalu, saya menemukan sebuah catatan (note) yang langsung saya klaim sebagai puisi, yang tergeletak di wall Facebook saya. Dengan tergesa-gesa saya lalu membacanya sekilas. Dari pertama membaca judulnya saja, saya sudah tertantang. Ada apa dengan puisi ini. Puisi yang cukup menggelitik, lalu saya bolak-balik membacanya kembali sampai benar-benar mendapatkan benang merahnya.
***
Puisi adalah salah satu jenis karya sastra yang paling tua, sedangkan karya sastra itu sendiri kalau didefinisikan sangatlah banyak. Dan sampai saat ini pun pendifinisian itu tidak ada yang mutlak. Seolah disengaja mengalir begitu saja, terserah orang mau mengartikan apa itu sastra. Sebuah karya imajinatif, fiksi atau temuan sekalipun.

Meminjam istilah dari Eagleton, bahwa sastra dapat diartikan bukan berdasarkan kefiktifan atau keimajinatifannya saja, tapi karena sastra menggunakan bahasa yang unik, bahasa yang tak biasa dari bahasa sehari-hari.

Keunikan itulah yang saya temukan dari puisi yang berjudul “Sunyi Yang Menampar.” Sebuah frase yang tentu saja menggunakan kiasaan atau selebihnya metaforis, yang berusaha menyimpan makna secara impilisit.

Sebuah karya sastra, terutama puisi, saya yakin (pasti) memiliki sebuah konstruksi. Yang satu sama lain saling berhubungan—antara baris ke baris yang lain, antara stanza ke stanza yang lain yang dapat ditafsir sesuai unsur kerangka bahasanya. Seperti puisi berikut ini:


SUNYI YANG MENAMPAR*

Kembali, sunyi mengendapkan deru kehidupan
Menantang jiwa tuk bercengkerama dengan makna
Di antara dua dunia yang terbata mengeja kata
Dan sunyi itu pula, yang kembali menampar mukaku
Dengan jari-jemarinya yang kokoh
Menyadarkanku dari kelemahan yang selama ini sering kukeluhkan
Padahal di depan mukaku, masih banyak muka-muka masam
Dengan bibir yang tak bisa tersenyum melewati hari-harinya
Tapi tak pernah mengeluh, walaupun peluh, banjir di seluruh tubuh.

Adakah keluhan itu sebuah dosa?
Adakah keluhan itu sebuah nista?
Sementara di luar sana, kusaksikan
Anyir darah berpesta bersama kemarahan dan keberingasan nafsu-nafsu liar
Seliar kemunafikan yang ditampakkan birokrat kapitalis
Seliar rayuan-rayuan yang dimunculkan para hedonis

Ah, mengapa juga tanya tak selalu jawab?
Mungkinkah karena sunyi selalu menyediakan jawaban tak terduga,
Tuk dunia yang semakin tua?
Atau mungkinkah karena sunyi adalah katarsis, yang dapat menjelma menjadi
Yesus, Muhammad, atau Krisna?
Entahlah, hanya sunyi sendiri yang dapat mengurai maknanya
Tatkala ia, dengan segenap kekuatannya,
Selalu hadir di setiap malam, berusaha mendekati kehidupan
Dengan senyuman, pelukan, atau bahkan, tamparan!

Panyileukan, Bandung,
18 Pebruari 2011 Pukul 00:35

Kalau boleh saya menafsir, tema puisi ini adalah tentang permenungan. Tentang kegelisahan yang selalu melanda jiwa si ‘aku’ lirik. Kata ‘sunyi’ adalah sebuah kiasan yang disampaikan si ‘aku’ untuk menghiasi diksinya agar terlihat lebih esetetis dan selaras dengan pemilihan kata yang lainnya.

Seperti halnya seseorang yang sedang merenungkan tentang kehidupan, maka suasana yang diharapkan adalah kesunyian. Suasana yang sangat mendukung untuk sebuah perenungan, sebuah introspeksi atau dalam bahasa religinya ‘mendekatkan diri’. Dalam permenungan pula kita sering memutar kejadian-kejadian yang telah kita lakukan di masa lalu. Juga sebagai suatu gambaran yang membandingkan dengan kehidupan kita di masa sekarang bahkan untuk masa depan.

Kata ‘sunyi’ sering diidentikan dengan malam, suasana sepi dan temaram. Maka, untuk sebuah permenungan sangat cocok sekali dilakukan disaat pertengahan antara malam dan menjelang pagi—dini hari. Jia dikaitkan dengan letak geografis dan sosiologis kita, yang mayoritas Islam, suasana waktu seperti itu biasa dilakukan untuk sholat malam—sholat Tahajud, suasana yang tepat dan sunyi untuk melakukan permenungan.

Dalam baris “Dan sunyi itu pula, yang kembali menampar mukaku” menjelaskan bagaimana si ‘aku’ lirik merasa dirinya bersalah atas segala perbuatan yang telah dilakukannya. Dengan perasaan bersalah itu maka muncul sebuah kesadaran yang jauh lebih harus di syukuri oleh si ‘aku’ tersebut, seolah-olah ‘tamparan’ itu menjadikan kekuatan untuk terus merendahkan hati dengan cara melihat orang-orang di sekitar yang lebih ‘gelisah’ dibandingkan dengan si ‘aku’ sendiri. Lihat saja baris selanjutnya, “padahal di depan mukaku masih banyak muka-muka masam” sebagai sebuah perbandingan dengan kehidupan si ‘aku’.

Puisi ‘Sunyi Yang Menampar’ ini tentu saja menjadi sebuah ‘tamparan’ bagi si ‘aku’ yang dalam permenungannya ia menemukan banyak terdapat orang yang lebih ‘sengsara’ dibanding dirinya. Namun di tengah ‘kesengsaraan’ itu mereka tetap tersenyum, tetap bahagia tanpa beban yang melanda. Dan disinilah kesadaran yang muncul akibat permenungan itu seolah dirinya tidak pantas untuk mengeluh. Lihat saja baris-baris selanjutnya:

“Sementara di luar sana, kusaksikan
Anyir darah berpesta bersama kemarahan dan keberingasan nafsu-nafsu liar”

Bentuk kegelisahan semakin tampak dan ‘menjadi’ ketika logika terbalik hadir mengendap ke dalam pikiran si ‘aku’ lirik. Bagaimana tidak, di sisi lain, mengeluh adalah suatu hal yang tak pantas untuk dilakukan, mengeluh berarti mengerdilkan diri sendiri, namun di sisi lain pula ‘keluhan’ itu pantas dilakukan ketika fenomena di sekitar dengan lugas terlihat jelas di hadapan mata si ‘aku’ lirik. Tentu saja fenomena yang banyak terjadi tentang kesemena-menaan prilaku brutal manusia, yang tampak ingin dihadirkan seperti peristiwa yang baru saja terjadi di negeri kita ini, tentang konflik umat beragama yang liar sampai pertumpahan darah dan kematian.

Hal inilah yang tak bisa membuat si ‘aku’ lirik tak lepas dari mengeluh. Mengeluh akan kebobrokan dan kengerian yang terjadi. Tak lupa, nuansa kutukan yang dikiaskan terhadap kaum elit kapitalis secara gamblang dan apik hadir menghiasi diksi yang cukup ketat. Juga, pencibiran atas nama manusia modern yang menyipati kaum hedonis negeri kita ini. Kaum yang hanya mencari kesenangan duniawi tanpa memikirkan kehidupan ‘selanjutnya’—kehidupan akhirat.

Sekali lagi, karena saya menafsir puisi ini sebagai suatu renungan, suatu harapan antara mahluk dan khaliknya, maka perenungan yang intens dan khusu dapat menyucikan jiwa si ‘aku’ sebagai dampak kegiatan spiritual yang biasa dilakukan—saat ‘sunyi’ hadir, ketika sholat malam dilaksanakan. (walaupun ada yang mengganjal dalam baris “atau mungkinkah sunyi adalah katarsis, yang dapat menjelma menjadi Yesus, Muhammad atau Krisna” yang saya kira penempatan diksi “Muhammad” setelah “Yesus” menjadi tanda bahwa Yesus lebih unggul tingkat keistimewaannya dibanding Muhammad. Atau kalau saya boleh usul, mending tidak usah dimasukkan diksi “Yesus” dan “Krisna” nya, agar nuansa Islaminya lebih kental dan apik)

Dalam baris-baris terakhir puisi ini, terlihat jelas kesimpulan dari rahasia di balik “Sunyi Yang Menampar” ini. Penguraian setiap baris dan stanza mengindikasikan dan memberi pesan kepada pembaca bahwa dengan melakukan permenungan sambil memanjatkan do’a kepada sang khalik, kesunyian yang bernilai positif—sebagai suasana yang bisa lebih mendekatkan diri kepada Tuhan akan “selalu hadir di setiap malam, kesunyian akan terus berusaha mendekati kehidupan/ kesunyian akan terus hadir dengan senyuman, pelukan, atau bahkan tamparan.” (bold—saya).



--------------------------------------------------------------------------------------------------

*puisi ini saya kopi-pasteu-kan dari note nya Dian Nurrachman


mohon dikoreksi, inimah sekedar catatan eksperimen saja hehehe….^^
silahkan lah dieksekusi…..

Label:

1 Komentar:

Anonymous Contoh Puisi mengatakan...

Bagus puisinya. Sangat menarik untuk dianalisa..

4 Oktober 2021 pukul 15.54  

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda