Minggu, 27 Februari 2011

Seksualitas Penyair


sebuah analisis puisi oleh Yoga Zarandritra

Senandung Gitar Tua*

Di kamar ini lampu lima watt meludahiku
Segera aku ambil gitar tua itu dalam pelukan
Dengan nada yang sumbang aku nyanyikan kidung asmarandana
Lalu kau melangkah kedepanku
Sementara dengan pura-pura tidak tahu
Mulutmu menjilati isi celanaku
Dan mataku berkerlip kencang

(Miko Alonso)*

Secara denotative saya dapat rekostruksi alur cerita dalam puisi di atas. Terdiri dari dua orang tokoh di suatu kamar berlampu lima watt. Tokoh pertama berperan sebagai pencerita (ku) dan satu tokoh lagi berperan sebagai tokoh penyerta (mu). Penulis puisi di atas memakai sudut pandang orang pertama untuk menceritakan tokoh utama, ini terlihat dari digunakannya kata ‘ku’.

Tokoh utama (ku) yang tengah berada di kamar merasa ‘diludahi’ oleh lampu lima watt yang ada di situ. Segera ia mengambil gitar tua yang ada di pelukan tokoh penyerta (mu). Dengan nada sumbang, lantas tokoh utama menyanyikan kidung asmarandana. Setelah mendengar kidung asmarandana yang dinyanyikan tokoh utama (ku), dengan pura-pura tidak tahu, mulut tokoh penyerta (mu) menjilati isi celana tokoh utama. Kemudian mata tokoh utama (ku) berkelip kencang.

Diksi ‘meludahiku’ dalam teks puisi di atas bisa bermakna tersulutnya rangsangan/gairah sex tokoh utama di kamar yang cahayanya temaram, sebab lampu yang digunakan berdaya lima watt. Suasana kamar menjadi menggairahkan saat hanya ada dua orang saja dalam satu kamar. Tokoh utama tersulut gairah sexnya oleh cahaya lampu yang temaram, sehingga ia terdorong untuk menyanyi mempertontonkan kemampuannya di hadapan tokoh yang tadinya tengah memeluk gitar. Tokoh utama tengah menarik perhatian tokoh penyerta (mu). Tokoh penyerta pun tertarik lalu dengan pura-pura tidak tahu mulutnya menjilati isi celana si tokoh utama. Sampai akhirnya, mata si tokoh utama berkerlip kencang sebagai tanda ia mencapai puncak kenikmatan.

Walau nada yang dinyanyikan oleh tokoh utama terdengar sumbang, namun sang tokoh penyerta tak ambil peduli, tubuhnya tengah dirasuki gairah untuk memuaskan sang tokoh utama. Dengan berpura-pura tidak tahu, lantas mulutnya menjilati isi celana si tokoh utama. Ini berawal dari suasana kamar yang temaram, hanya dicahayai lampu lima watt. Nampaknya, kata kunci dan kekuatan besar gairah itu terletak pada baris pertama dalam puisi itu, yaitu “di kamar berlampu lima watt”, semuanya kegairahan-kegairahan selanjutnya dimulai. Atau pada baris ketiga, yaitu dinyanyikannya “kidung asmarandana”, sebuah kidung yang memukau tak perlu keindahan suara untuk merasakan keindahannya, sebab mendengarkan liriknya sudah merupakan keindahan.

Kidung asmarandana dan lampu lima watt adalah sumber-sumber kegairahan. Tokoh pertama merasa bergairah karena sudah diludahi oleh lampu lima watt dan tokoh penyerta menjadi bergairah karena mendengarkan kidung asmarandana yang dinyanyikan. Keduanya, memiliki daya yang luar biasa untuk melahirkan kegairahan dua tokoh di atas. Penulis puisi di atas meletakkan kidung asmarandana dan lampu lima watt sebagai tonggak lahirnya kegairahan dalam diri dua tokoh tersebut.

Sampai titik ini puisi di atas adalah dokumentasi sexualitas pengarang. Atau bisa juga dikatakan sebagai kegiatan sex pengarang, di mana pengarang mendapatkan kepuasan melalui kegiatan menulis puisi. Dokumentasi sexualitas pengarang maksudnya adalah ada kesan-kesan dalam kehidupan pengarang yang berkaitan dengan rasa puas, rasa nikmat, rasa bahagia yang kemudian pengarang dokumentasikan menjadi sebentuk puisi.

Sexualitas yang dibicarakan dalam tulisan ini tidak melulu soal reproduksi, atau tidak melulu soal bertemunya organ-organ intim dalam satu kegiatan intim. Meskipun pada mulanya, saat kita membaca dan memaknai puisi di atas, sexualitas adalah bagaimana dua insan saling tertarik kemudian melakukan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan sex dalam pengertian yang umum. Puisi di atas memang puisi sex, sebab kita sebagai pembaca secara sepintas seolah-olah tak diberi pilihan untuk memaknai puisi di atas sebagai puisi non-sex. Dalam puisi itu ada diksi ‘isi celana’, ‘menjilati’, ‘meludahi’ dan ‘mata yang berkerlip kencang’. Diksi-diksi itu memang bukanlah diksi sex semata, namun ketika direlasikan dengan kata-kata lainnya dalam puisi di atas, diksi itu menjadi hidup dan mengajak pembacanya untuk juga pergi ke alam sex. Bahasanya memang tidak vulgar, bahasa sex, namun ruang-ruang kosong dalam kata yang diciptakan pengarang membuat pembaca tidak bisa lari untuk senantiasa memaknai itu adalah puisi sex.

Secara objektif, bisa dikatakan seperti itulah teks puisi di atas, berbicara tentang sexualitas dalam pengertian yang umum. Namun, secara subjektif, saat kita sebagai pembaca merelasikan teks puisi di atas dengan pengarangnya. Akan ditemukan bahwa sexualitas tidak melulu soal kegiatan sex dalam pengertian yang umum. Sexualitas adalah soal bagaimana seorang pengarang merasa terpuaskan hanya dengan menulis puisi. Pengarang tengah ‘bersenandung’ menceritakan hal-ihwal bahwa dirinya saat itu tengah merasa puas. Rasa puas itu lantas direalisasikan menjadi rangkaian kata-kata. Kepuasan sang pengarang itu bisa terletak saat ia sedang menulis puisi, saat sesudah puisi itu ditulis atau saat sebelum puisi itu ditulis.

Artinya ada makna lain dari makna sexualitas pada umumnya, saat kita sebagai pembaca menilisk masuk ke sisi-sisi kejiwaan sang pengarang. Sexualitas, seperti yang dikatakan oleh Freud adalah soal pemuasan. Dan pemuasan itu tidaklah melulu soal kegiatan yang berkaitan dengan organ reproduksi/organ genital. Ya, jika kita berbicara tentang keduanya; teks (objek) dan pengarang (subjek). Teks di atas hanya sebagai tanda bahwa sang pengarang tengah dalam kondisi terpuaskan. Dan teks puisi di atas adalah dokumentasi rasa puas sang pengarang.

Namun dalam pengertian yang lain, seperti sudah saya sebut di paragraph atas. Puisi sebagai suatu proses bisa bermakna kegiatan sex, menulis puisi adalah kegiatan sex, kegiatan yang membuat sang pengarang kemudian terpuaskan. Ya, pada tahap-tahap membicarakan subjek (pengarang) relasinya dengan sex. Maka sexualitas menjadi luas artinya, menembus batas-batas pengertian sex pada umumnya. Dan maka, orientasi sex menjadi luas pula, tidak melulu pada lawan jenis. Orientasi sex, bisa jadi adalah menulis puisi. Karena dengan menulis puisi, penyair menjadi terpuaskan.

Saat telah seperti itu, kepuasan tidak hanya soal bertemunya penis dengan vagina dalam satu kegiatan intim. Bagi seorang penyair, kegiatan sex adalah juga soal proses dirinya merangkai kata. Hingga dirasa kata-kata yang ia rangkai cukup memadai buat dijadikan medium menyimpan makna-makna yang ia ingini.

* Diambil dari Buku Antologi Sajak-sajak Tengil Miko Alonso


Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda