Senin, 12 Mei 2014

Wahyoe Wijaya Melawan Pasar

Upaya almarhum Wahyoe Wijaya melawan pasar dalam kesenian khususnya seni lukis terlihat dari karya-karya yang dihasilkan. Bila selama ini kita menilai lukisan adalah barang mewah yang berharga mahal, penilaian tersebut tak berlaku bagi Wahyoe. Dia mendobrak estetika seni dan membebaskan seni itu sendiri.

Melalui pameran tunggalnya bertajuk Born as an Artist di Galeri Cipta II 19-29 November 2013, para kerabat dan kolega mencoba menghadirkan kembali karya-karya Wahyoe. Uniknya, pameran tersebut bukan untuk menarik pasar. Melainkan, mencoba kembali mengenang karya dan mengekalkan eksistensi almarhum dalam berkesenian.

Kurator pameran, Merwan Yusuf mengatakan sejak terjun di dunia seni rupa, Wahyoe merupakan seniman yang memiliki karakter tersendiri. Sejak berkesenian era 1970-an ketika sang almarhum mengenyam pendidikan di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, sekarang Institut Kesenian Jakarta (IKJ), identitas Wahyoe tetap konsisten. Wahyoe keluar dari pakem-pakem seni rupa pada umumnya.

Di saat para seniman lain mencoba berkarya mengedepankan keindahan dan imaji visual, Wahyoe justru ‘berteriak’ melawan estetika itu sendiri. Karya Wahyoe biasa terlihat dalam menggabungkan beragam medium menjadi sebuah kolase sebagai identitas pengkaryaannya. Tak heran jika melihat karya-karya Wahyoe, kita akan menggerutu ‘lukisan macam apa yang dia buat?’.

“Siapa kolektor atau galeri yang bisa menampung karya-karya Wahyoe? Mana mau mereka membeli lukisan yang jauh dengan selera pasar,” ujar Merwan kepada Bisnis sembari memperlihatkan satu per satu lukisan Wahyoe.

Wajar saja jika Merwan berbicara demikian, toh dia sadar pasar seni rupa di Indonesia masih melulu bicara tentang pasar. Dia mengibaraktkan lukisan yang dihasilkan para pelukis saat ini menggunakan bumbu mayones, sementara mayoritas karya Wahyoe menggunakan bahan-bahan sampah, barang bekas yang menjadi penguat karya kolase tersebut. Merwan tahu betul jika pelukis berlomba-lomba memburu pasar dengan harga yang cukup mencengangkan.

Namun, justru yang diburu Wahyoe bukanlah mengedepankan perihal materi. Sang almarhum dengan dalihnya yang kuat berkarya dengan kedalaman renungan dan proses yang bukan main-main. Wahyoe berkarya dengan landasan kondisi sosial, politik, ekonomi dan bobroknya sebuah tatanan kebijakan pemerintahan.

Sebuah karya yang dibuatnya berjudul Lapindo Here I Come (210x212 cm, 2006), mencoba menggugat sebuah perusahaan minyak dan gas bumi di kawasan Jawa Timur. Tragedi lumpur Lapindo yang menenggelamkan ribuan rumah warga menjadi latar belakang pengkaryaannya. Simbol tengkorak, lambaian tangan meminta pertolongan sangat jelas menggambarkan penderitaan warga atas kekejaman korporasi.

Kemudian, kita akan teringat tragedi 1998 kala era reformasi berkecamuk memakan korban dan penjarahan masal. Wahyoe menuangkan tafsir pada lukisan berjudul Pohon Berdarah (130x100 cm) sebagai simbol keprihatinan terhadap Indonesia. Karya kolase ini mengangkat material sederhana dengan menggunakan kayu tua dan tali tambang yang dipercikan dengan tinta merah berwarna darah.

Karya lain, sebagai gugatan kondisi seni rupa di Indonesia dia tuangkan dalam Hanya Anjing Yang Mau Menjual Karya (122x139 cm). Kita bisa melihat betapa dalamnya sindirian Wahyoe terhadap seniman yang melacurkan diri atas karya seni. Melalui karya ini, Wahyoe menggambarkan sosok tubuh perempuan telanjang tanpa wajah tengah berbaring sebagai simbol pelacur.

Dalam catatan kuratornya, Merwan menambahkan, almarhum melukis tanpa tendensi untuk menyenangkan calon pembeli dengan memperbagus bentuk karya. Namun, bukan berarti Wahyoe tidak bisa menerapkan secara persis metodologi seni lukis barat. “Dia bisa melakukan hal yang sama seperti para pelukis lain. Tetapi bukan pasar yang dia cari, melainkan kepuasan batin.”

Dari 48 karya yang dipamerkan, karya-karya Wahyoe mengangkat beberapa tema antara lain, kritik sosial, pengalaman hidup, cinta, kesunyian, hingga kematian. Dalam karya berjudul I’ll Knock Your Door One Day (61x110 cm, 2000), Wahyoe menampilkan lukisan kolase dengan menggunakan medium jendela, tali tambang dan kepala tengkorak. 

Kehidupan seniman Wahyoe dengan segala pengalaman yang dilalui mejadi titik balik ketika dia meninggal dunia pada 2012. Wahyoe sadar, sebagai mahluk yang hidup di dunia, ajal tak bisa dihindari. “Dalam karya ini, Wahyoe ingin berbicara bahwa kematian akan selalu datang menjemput seseorang,” papar Merwan.

*Bisnis Indonesia Weekend

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda