Senin, 12 Mei 2014

Ketika Kocek Istri Lebih Tebal dari Suami

Seorang ibu rumah tangga di kampung halaman saya berlontar dalam sebuah percakapan. “Eh, si TB pemain sinteron itu sudah cerai lagi ya dengan suami keduanya, si ML?” Katanya sambil asik memantengi sebuah tayangan gossip di layar kaca. Lalu sang anak perempuan yang mendengar lontaran sang ibu bergegas sama-sama menyaksikan tayangan tersebut. “Piraku Ma [masa sih Bu?]” jawab si anak. “Mungkin dia cerai karena pendapatan suaminya lebih kecil kali ya,” sambung sang ibu dengan melancarkan pertanyaan retorik.

Si anak perempuan diam dan tidak meneruskan komentar. Mungkin sang anak tahu pertanyaan tersebut tidak harus dijawab. Keduanya lalu meneruskan untuk menonton televisi. Mereka menyimak tanyangan gosip-gosip yang disuguhkan. Dan memang, menurut presenter acara gosip tersebut, perceraian antara TB dan ML digadang-gadang lantaran masalah penghasilan. 

Terlepas apakah rumor perceraian pasangan artis TB dan ML diakibatkan masalah pendapatan atau bukan, yang jelas, kasus tersebut banyak terjadi di kalangan rumah tangga. Pendapatan suami yang lebih kecil dari istri memang menjadi salah satu pemicu keretakan rumah tangga. Tak heran, gara-gara penghasilan istri lebih besar, permasalahan rumah tangga kerap muncul secara tak terduga.

Psikolog Universitas Maranatha Efnie Indrianie mengatakan ada beberapa kasus yang biasa terjadi jika penghasilan istri lebih besar dari suami. Sebagian suami biasanya memposisikan sebagai pria yang patuh dan tunduk terhadap istri. Sebagian lagi justru mendukung karir dan pekerjaan yang dilakoni sang istri.

Efnie menjelaskan, untuk kasus pertama, akar keretakan sebuah rumah tangga kerap terjadi diakibatkan istri merasa lebih berhak menjadi pemimpin keluarga. Dalam hal ini, faktor materi seolah menjadi paling istimewa. 

Sementara untuk kasus kedua, ketika suami merasa dirinya mendapatkan penghasilan bulanan lebih rendah, suami mencoba sadar diri dan mengimbangi dengan cara dukungan moril. “Hal seperti ini memang harus diterapkan agar masing-masing pihak merasa saling membantu dan mengayomi,” paparnya kepada Bisnis pekan ini.

Komunikasi dalam berrumah tangga adalah faktor utama untuk tetap menjalin hubungan yang lebih baik. Tentunya, meskipun dalam kenyataannya penghasilan istri jauh di atas suami, tetapi harus ada kesadaran dari istri bahwa suami tetaplah pemimpin keluarga. 

Proses berkomunikasi ini, lanjut Efnie, bisa melahirkan sikap bijak antara keduanya. Sang istri, ketika berada di rumah, harus rela memposisikan bahwa dia sedang menjadi ibu rumah tangga. Dia memberikan contoh, sekalipun istri menjabat sebagai manager di perusahaan, selaku seorang perempuan tetap harus patuh terhadap suami.

Sementara, pihak pria sebisa mungkin untuk tidak merasa kecil hati, karena salah satu esensi dalam pernikahan adalah saling memberi dan menerima. “Membangun rumah tangga itu pada dasarnya saling melengkapi. Jika salah satu dari keduanya masih terdapat kekosongan, segeralah isi,” paparnya filosofis. 

Efnie menambahkan, kondisi tersebut bukan berarti selamanya suami harus tetap berada dibawah ketiak istri. Selama suami berusaha meningkatkan pendapatan materi yang didapat, suami harus berjuang sebisa mungkin. Pria juga, lanjutnya, harus realistis menerima kenyataan bahwa tanggung jawab sebagai suami harus dikedepankan.

Namun, jika memang permasalahan finansial tersebut sudah tidak bisa diselamatkan, ada baiknya kedua pihak saling mengerti. Jangan sampai, gara-gara harga diri suami yang melulu harus berada di atas istri, menjadi pemicu perceraian dan keluarga berantakan. “Tetap saja, pernikahan harus diselamatkan. Artinya, istri harus berani meninggalkan pekerjaan untuk menyelamatkan keluarga. Banyak kok, wanita karir menjabat pimpinan tinggi rela resign demi keluarga,” ungkapnya.

*Bisnis Indonesia Weekend

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda