Senin, 12 Mei 2014

Investasi Lukisan

Apa yang membuat sebuah lukisan menjadi barang yang patut dikoleksi, sampai harganya melambung tinggi miliaran rupiah? Sebagian kalangan menilai harga tersebut tak rasional. Sebagian lain justru menikmati untung melimpah. 

Jumat malam (22/11/2013), Eka Putra Bhuwana sudah datang lebih awal pada diskusi buku berjudul Irsam: Jejak-Jejak Dekoratif karya Mikke Susanto yang diselenggarakan di Grand Ballroom Hotel Indonesia Kempinsky Jakarta. Diskusi tersebut merupakan rangkaian hari jadi ke-10 balai lelang barang seni terbesar di Indonesia, Masterpiece Auction House. Buku yang dibedah memuat sejumlah koleksi lukisan Irsam dengan ulasan Mikke yang menarik untuk disimak.

Eka, bos perusahaan advertising PT Missi Idea Selaras itu ternyata tidak hanya datang pada diskusi saja. Keesokan harinya, Sabtu (23/11/2013) Masterpiece menggelar lelang sejumlah lukisan karya seniman old master dan kontemporer. Tentu saja, sebagai pecinta lukisan, Eka tak mau ketinggalan. Pria berperawakan besar itu sudah mengincar salah satu karya pelukis istana era Presiden Sukarno, Dullah, berjudul Kakek dan Cucu.

Maklum, Eka merupakan kolektor sejati karya-karya Dullah yang tak lain merupakan Pakdenya sendiri. Dia merasa bangga ketika lukisan old master sudah berada dalam genggaman. Dengan begitu, berapapun harga lukisan sang Pakde, Eka berusaha mendapatkannya. Lukisan Kakek dan Cucu berukuran 60 x 50 cm itu dia dapat seharga Rp85 juta dengan proses lelang cukup alot.

Dari ratusan kolektor yang hadir, Eka hanya tertarik dengan karya Dullah. Dia mengaku tengah mengumpulkan segala tetek bengek tentang Dullah, dari mulai lukisan hingga ulasan karya yang diterbitkan sejumlah media masa. Beberapa koleksi Dullah terpajang di sejumlah sudut dinding rumahnya. Sisanya beberapa karya old master semacam Popo Iskandar, Sudjojono dan lainnya.

Namun, Eka tak segan-segan menjual kembali lukisan koleksinya kepada kolega atau balai lelang jika ada penawaran dengan harga menarik. “Kalau ditanya untungnya berapa, ya terkadang untung karena harga lukisan tergantung pada momen dan situasi tertentu di mana pasar sedang bicara seperti apa,” paparnya.

Bisnis barang seni, terutama lukisan memang layak untuk dicermati. Di berbagai belahan dunia, seni lukis sudah seperti komoditas yang menarik dijadikan barang investasi. Pengamat seni rupa Agus Dermawan T menuturkan, era 1980-an, sebuah kejutan muncul oleh pencapaian tertinggi lukisan berjudul Three Flags karya Jasper Johns seharga US$1 juta.

Namun, katanya, seheboh-hebohnya lukisan Jasper Johns, pencapaian harga lukisan J.M. William Turner, berjudul Juliette dan Suster Susunya tetap paling mempesona. Karya yang dibuat tahun 1836 itu terjual seharga US$6,4 juta dalam lelang Sotheby-Parke Bennet di New York beberapa tahun sebelumnya. 

Dia menjelaskan, fenomena tersebut belum ada apa-apanya dibandingkan lukisan Monalisa (La Gioconda) karya Leonardo da Vinci yang kini ada di Museum Louvre, Paris. Lukisan sak-upet tersebut ketika akan dipamerkan di Washington pada 14 Desember 1962 sampai 12 Maret 1963 diasuransikan sebesar US$100 juta. 

Agus menuturkan, seiring berjalannya waktu, tujuh tahun kemudian setelah era fantastis tersebut, sensasi harga lukisan kembali melesat di tengah pemberitaan sejumlah media dunia. Pengaruh yendaka atau menguatnya mata uang Jepang menjadikan para miliarder Jepang berjibaku membeli lukisan-lukisan dalam harga yang bikin geger. 

Lukisan Sun Flower karya Van Gogh, terjual US$38 juta dalam lelang di Christie’s London, Maret 1987. Bom lelang tersebut merangsang kolektor penjuru dunia menciptakan ledakan baru, sehingga karya Van Gogh lain, semacam Portrait of Dr. Gachet terjual US$82,5 juta dalam lelang di New York pada Mei 1990. Lukisan master masa silam seperti Paul Cezanne, Gustav Klimt, Picasso, juga dihargai setinggi langit.

Bagaimana dampak terhadap dunia seni rupa Indonesia? Tentu saja, kabar selangitnya harga lukisan karya pelukis dunia berpengaruh terhadap perkembangan seni lukis Tanah Air. Lukisan para master Indonesia lantas ramai dibeli dengan harga meroket. Pada era 1987 sampai 1991 sejumlah pengamat menyebut fenoma tersebut sebagai gaudium anno atau tahun sukacita seni lukis. Data menyebutkan, pada kurun tersebut sedikitnya 4.000 lukisan dibeli para kolektor dalam setahun melalui 200 pameran resmi. 

Pertanyaan sejumlah kalangan terkait penyebab lukisan mahal, semakin mengemuka ketika dunia seni lukis melewati pertengahan 1990-an dan memasuki milenium kedua. Pada 1996, lanjutnya, lukisan Berburu Rusa karya Raden Saleh terjual seharga S$2,8 juta. Lukisan Walter Spies berjudul Blick von der Hohe terjual S$1,8 pada lelang September 2001. “Sementara lukisan Hendra Gunawan, Suasana di Pasar laku HK$2,4 juta dalam lelang April 2002,” ungkapnya. 

Ada yang bilang, kolektor lukisan terbagi dalam tiga katagori: art lover, semi art lover and business dan pure business. Ismail Sofyan, bos PT Metropolitan Development yang juga kolektor lukisan senior memilih jadi kolektor art lover. Sejumlah lukisan yang terpajang di galeri pribadinya menyimpan karya old master dan kontemporer. Sebut saja, karya Affandi, Basoeki Abdullah, Popo Iskandar, Mohtar Apin, Sunaryo, hingga karyanya sendiri.

Ismail memilih mengoleksi lukisan untuk kepuasan batin dan bukan untuk dijadikan barang investasi. Dia sendiri mengoleksi lukisan mulai dari harga ratusan juta hingga miliaran rupiah melalui lelang, galeri dan pameran. “Tak ada satupun koleksi lukisan saya yang dijual,” kata arsitek sekaligus pelukis itu menjelaskan.

Hampir senada dengan Ismail, Direktur Sales PT Axis Telekom Indonesia Syakieb Sungkar, mengoleksi lukisan atas rasa cintanya terhadap seni rupa Indonesia. Pengagum karya old master ini juga tidak ragu jika lukisan koleksinya banyak diminati orang. Dia bisa menjual lebih kencang harga lukisan miliknya.

Namun, Syakieb sendiri menempatkan dirinya sebagai semi art lover and business. Toh, jika lukisannya laku dan menguntungkan, dia menyebutnya sebagai bonus. “Saya mengoleksi lukisan bukan mencari untung, tetapi sebagai rasa cinta saya pada lukisan,” ujarnya.

Amir Sidharta, Kurator Museum Universitas Pelita Harapan mengatakan penyebab lukisan menjadi instrumen investasi adalah kemunculan informasi bahwa karya-karya seni laku dengan harga tinggi. Hal tersebut, katanya, membuat orang tertarik. “Padahal, seperti investasi jenis lainnya, harga lukisan pun bisa naik dan bisa juga turun. Kalau dalam pasar yang bullish lukisan itu liquid, tapi kalau bearish ya cukup susah jualnya. Tergantung lukisan siapa juga,” katanya.

Dia menjelaskan faktor lain yang membuat rendah dan tingginya harga lukisan antara lain disebabkan oleh nama pelukis, medium, atau tema. Namun, untuk tema, lanjut Amir, pengaruhnya cenderung berbeda bagi tiap jenis kolektor. Kolektor pemula biasanya lebih cenderung menyukai tema umum yang mudah dicerna dan mudah dijual kembali. Sementara kolektor kawakan lebih menyukai karya yang lebih berat. “Begitu pun aliran, selera orang beda-beda,” ujarnya.

Dalam pandangan Amir, sejumlah pelukis old master yang bernilai tinggi antara lain Affandi, S Sudjojono, Hendra Gunawan, dan Lee Man Fong. Kisaran harga lukisan para pelukis tersebut mulai Rp300 juta - Rp30 miliar. Peningkatan harga para pelukis dalam waktu 3-4 tahun belakangan ini rerata mencapai 200% - 300%. 

Dia menjelaskan, selain karya old master, beberapa pelukis muda berkualitas cukup banyak dengan harga tak kalah menarik dengan karya maestro. Tentu saja, kelayakan koleksiannya, tergantung pada kualitas karya dan selera kolektor. 

Amir mengingatkan kepada para kolektor untuk tidak sembarangan membeli karya pelukis muda hanya untuk investasi. Menurutnya, jumlah pelukis muda yang berpotensi menjadi seniman papan atas kurang dari 5% akan sangat berisiko. Para kolektor diimbau untuk mencari karya seni yang paling menarik menurut selera.
 
Jika ingin berinvestasi dalam seni rupa, lanjutnya, seseorang juga harus berminat pada faktor seni atau artistiknya. Karena, investor harusnya tahu bahwa nilai lukisan bisa naik dan bisa turun. “Untuk itu, pantaulah kinerja seniman yang sudah atau ingin dikoleksi. Pantau juga harga-harga karya seni melalui lelang-lelang, dan pameran-pameran,” ujarnya.

President Director Masterpiece Auction House Benny Raharjo mengungkapkan perkembangan harga lukisan old master dan kontemporer memiliki perbedaan. Lukisan old master memiliki kenaikan harga secara stabil dan bertahap. 

Dia memberikan contoh, harga lukisan old master bergerak perlahan mulai dari Rp200 juta, Rp250 juta, Rp300 juta hingga miliaran. Menurutnya, kenaikan harga karya mereka cenderung tidak mengejutkan, atau setiap ada kenaikan, harganya tidak sampai melejit. “Sementara, lukisan kontemporer justru harganya melejit meskipun diimbangi dengan penurunan harga yang kerap anjlok seketika,” ujarnya.

Benny menyebutkan, Masterpiece sebagai balai lelang yang didirikan pada 2003 mengambil keuntungan akibat meledaknya bisnis lukisan. Meskipun, lanjutnya, ingar bingar lukisan sempat melesu akibat hantaman krisis global pada 2008.

“Dengan kerja keras dan kejujuran, tentunya lelang ini menjadi satu bisnis yang cukup baik. Masterpiece mengambil keuntungan maupun dari sisi sosial dalam membantu pelukis dan mewadahi banyak pihak,” ujarnya.

*Bisnis Indonesia Weekend

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda