Anak Padalarang
Awal September tahun lalu, Andri Prayoga tengah kongkow dengan para pemuda pecinta alam Kampung Cidadap, Padalarang, Kabupaten Bandung. Tema obrolan ngalor ngidul sebagaimana biasanya dilontarkan para aktivis pecinta alam. Sampai-sampai di antara mereka tercetuslah untuk mendirikan sebuah komunitas.
Dari obrolan sepele, lambat laun perkumpulan para pemuda itu mulai serius. Latar belakang mendirikan komunitas tersebut tak lain karena adanya kelompok bermain anak-anak yang biasa di lakukan di kaki gunung Hawu dan gunung Pabeasan. “Kami hanya ingin mengakomodir anak-anak di Kampung Cidadap agar terus bermain saja,” kata Andri kepada saya Minggu pekan lalu, di Bandung.
Andri Prayoga merupakan salah satu pemuda yang mencintai lingkungan. Usianya masih 25 tahun. Hobinya, selain memanjat tebing, dia juga kerap naik dari satu gunung ke gunung lain. Pengalaman yang tak pernah dilupakannya adalah mendaki gunung Semeru di Jawa Timur bareng teman-temannya tahun lalu. Namun, hobi lain yang tak pernah dia tinggalkan yaitu bercerita, ngobrol dan membuat gerakan untuk mencintai lingkungan.
Apa yang dilontarkan Yoga, sapaan akrabnya, pada September tahun lalu dengan beberapa rekannya itu membuahkan hasil. Sebuah perkumpulan terbentuk atas nama Komunitas Suku Badot. Cita-citanya memang terlalu besar. Dia ingin membentuk sebuah suku di Kampung Cidadap. Komunitas Suku Badot didirikan dengan tujuan yang sangat mulia.
“Badot itu diambil dari nama Babadotan—sebuah nama daun yang banyak ditemui di Kampung Cidadap. Daun Babadotan dipercaya oleh sebagian orang Sunda bisa mengobati sebuah penyakit dan luka secara tradisional,” jelasnya.
Yoga menjelaskan latar belakang Kampung Cidadap khususnya gunung Hawu dan gunung Pabeasan sudah lama dijadikan area pertambangan kapur oleh perusahaan swasta di Jakarta. Dari jarak beberapa kilometer arah Padalarang, kedua gunung tersebut memang sudah tampak gundul dikeruk eskavator. Di situlah tujuan Komunitas Suku Badot lahir untuk mendorong agar kalangan anak-anak Kampung Cidadap terus mencintai alam sekitarnya.
Kekayaan alam yang masih dimiliki Kampung Cidadap adalah mata air Ciseureuh dan Cibakung yang bisa menghidupi tiga perumahan. Yoga khawatir secara perlahan perusahaan tambang tersebut bisa-bisa menjarah hak warga. “Kami tak ingin ada privatisasi di Kampung Cidadap. Kami tak ingin tempat anak-anak bermain terampas.”
Anggota Komunitas Suku Badot memang tidak banyak. Mereka terdiri dari anak-anak pelajar SD dan SMP. Para pendiri komunitas tidak ingin ada susunan kepengurusan. Mereka memilih memposisikan sebagai penasihat yang merangkul anak-anak tersebut. “Sesuai latar belakang saja, kalau teman-teman yang kuliah di pendidikan, mereka ngajar anak-anak. Teman-teman yang lulusan pesantren, mereka ngajar mengaji,” papar Yoga.
Kegiatan Komunitas Suku Badot pada setiap minggunya memang cukup padat. Di akhir pekan, mereka kumpul di saung—sebuah tempat terbuat dari bambu yang terletak di kaki gunung Pabeasan. Anak-anak Suku Badot biasanya langsung berlarian mendekati kolam yang terletak di dekat mata air. Wajah mereka sumringah dan tampak tanpa beban.
Program lain yang biasa dilakukan yaitu menggambar, membaca dan mengobrol santai. Para pendiri komunitas bahkan kerap mengundang orang-orang luar kampung untuk menjadi pemateri. Pihaknya ingin warga Kampung Cidadap cerdas bukan hanya dari pendidikan formal. Sampai saat ini sudah hampir 200 buku terkumpul dari hasil sumbangan beberapa warga.
Yoga tentu saja senang bukan main melihat kegembiraan anak-anak tersebut. Niatnya untuk memelihara lingkungan dari kuasa korporasi ternyata masih bisa terlihat. “Setidaknya, ketika anak-anak mulai merasa memiliki, ke depan mereka bisa mulai menolak dan melawan keinginan perusahaan,” papar Yoga.
Ada hal menarik yang dilontarkan Yoga. Menurutnya, gunung Pabeasan dan gunung Hawu dimiliki oleh petinggi kampung. Pihak Pemerintah Daerah, katanya, tidak bisa berbuat banyak. Jadi, segala izin tambang perusahaan hanya bisa melalui petinggi kampung. Warga kampung sendiri kebanyakan tidak bisa apa-apa. Mereka takut dengan teror dan ancaman orang bayaran perusahaan.
Pernah suatu waktu, lanjutnya, ada beberapa pihak yang menolak keras pertambangan kapur tersebut. Namun dengan sendirinya penolakan tersebut mendadak bungkam begitu saja akibat ada tekanan dari pihak perusahaan. Padahal jika ditelusuri lebih dalam, dampak dari pertambangan kapur tersebut memunculkan Silikosis yang berbahaya bagi warga kampung. Silikosis dapat membuat saluran pernafasan seseorang terganggu.
Yoga sendiri punya strategi lain untuk memberikan edukasi bagi warga kampung khususnya kalangan anak dan remaja. Dia mencoba mengerahkan massa melalui cara yang elegan dan edukatif. “Rasa memiliki. Itu yang paling penting, dan itu yang kami ajarkan,” paparnya.
Namun, sejak dibentuknya Komunitas Suku Badot, Yoga mengakui ada beberapa pihak yang pro dan kontra dengan kegiatan yang biasa di lakukan. Sebagian warga menilai langkah komunitas tersebut merupakan suruhan orang-orang partai untuk menggerakan warga.
Warga lain malah mendukung dengan adanya sikap kebersamaan antara anak-anak dan kalangan remaja. “Padahal kami sudah sepakat untuk tidak menerima apapun dari kelompok atau partai politik. Cita-cita kami sederhana saja. Kami ingin ada rasa cinta terhadap kampung sendiri. Dan kami ingin membuat sekolah informal,” ujarnya.
*Bisnis Indonesia Weekend
Label: Reportase
0 Komentar:
Posting Komentar
isi komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda