Senin, 12 Mei 2014

Dari Stupa ke Stupa

Proses penciptaan sebuah karya seni kerapkali mengalami perubahan seiring perjalanan waktu sang seniman. Pengalaman memberikan sumbangsih tersendiri ketika seniman mendapatkan gagasan untuk menghasilkan karya baru. Demikian kesimpulan yang mendasari pengkaryaan Mudji Sutrisno dalam pameran kelima sktesa Dari Stupa ke Stupa. Pameran berjumlah 54 sketsa ini digelar di Galeri Cipta Budaya III Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 8-17 Januari 2014.

Mudji Sutrisno adalah seorang rohaniawan, seniman, budayawan dan filsuf. Di sela-sela kesibukannya, dia kerap menggambar sketsa yang dilatarbelakangi dari hasil perjalanan hidup. Dia menggoreskan sketsanya melalui sejumlah bangunan, candi, kota dan alam semesta. 

Selama ini Mudji dikenal sebagai pelukis sketsa hitam putih. Tetapi dari pameran kelima ini dia mencoba menawarkan gagasan baru. Sejumlah karya dalam pameran ini memiliki karakter warna merah, kuning dan hijau. Bukan tanpa alasan, kesemua sketsa yang mengandung tiga warna tersebut memiliki pemaknaan yang mendalam.

Mari kita simak, sketsa Dari Stupa ke Stupa (21 x 29,7 cm, 2013) yang bertaburan warna merah, kuning dan hijau. Sketsa tersebut menggambarkan beberapa stupa atau sebuah lambang Buddhisme untuk menyimpan abu sang Budha. Makna stupa kemudian meluas sebagai bentuk dan simbol tempat ibadah seperti Katedral hingga Ka’bah. 

Dalam sketsa tersebut terlihat jelas bahwa Mudji sengaja menaburkan pewarnaan yang meriah. Kita bisa melihat bagaimana stupa-stupa tak lagi menyimpan kesan hitam dan putih. “Tetapi justru di balik warna-warni itu terselip makna kuat,” katanya saat ditemui Bisnis di ruang pameran.

Mudji menjelaskan, perjalanan batin dalam pengkaryaannya berpengaruh dalam sketsa yang dipamerkan. Ingatannya membekas ketika melakukan perjalanan ke Nepal dan melihat warga sekitar menaburi tepung merah, kuning dan hijau ke setiap stupa. Warna merah menyimbolkan keberanian, kuning sebagai kejayaan dan hijau berarti kehidupan. Maka tak heran jika Mudji memengaruhi sketsanya lebih bermakna dan berwarna.

Karya lain berjudul Rupa-Rupa Sujud (21 x 29,7 cm, 2013) menggambarkan sejumlah manusia tengah melakukan doa. Kepala mereka menunduk penuh khusyuk. Stupa dalam sketsa ini diberi dominasi warna hijau dengan arsiran kuning dan merah. Sketsa ini menggambarkan bagaimana manusia meminta sebuah kehidupan yang lebih baik di dunia.

Dari pemaknaan ketiga warna itu, Mudji mencoba lebih meluaskan tafsiran bukan hanya dalam ranah agama. Dia menarik ranah politik yang dikaitkan dengan batas-batas religi. Pada tahun pemilu yang sebentar lagi digelar, Mudji berharap simbol-simbol agama bisa masuk dalam filosofi stupa yakni keberagaman dan keimanan. Selama ini, katanya, politik menjadi bias dan memberi jarak sehingga dalam satu rumpun, atau kelompok agama, politik bisa memecah belah persatuan manusia.

Pada sketsa berjudul Khusuk Menjernihkan Kuning (21 x 29,7 cm, 2013), sebuah kontemplasi tampak terlihat. Goresan sketsa menjelaskan manusia duduk bersujud menghadap stupa. Kali ini, pewarnaan didominasi oleh kuning yang menjadikan judul sketsa mewakili sebuah harapan manusia untuk mencapai sebuah kejayaan.

Sementara pada sisa sketsa lain yang hanya menampilkan goresan hitam putih, karakter Mudji terlihat sangat kontemplatif. Namun, bukan berarti sketsa warnanya tidak mengandung unsur kontemplatifitas, melainkan menyimpan keriuhan dalam kontemplasi tersebut.

Pada sketsa karya Mudji, mungkin kita akan segera mengklaim bahwa siapa pun bisa membuat sketsa seperti yang ditorehkannya. Tetapi, dalam setiap proses pengkaryaan, Mudji melewati renungan-renungan yang berkelebat dalam otaknya.

Dia mengakui, dalam pembuatan satu sketsa bisa menghabiskan waktu dua jam. Tetapi jika proses perenungan belum hinggap dalam otak dan batinnya, sketsa bisa selesai dalam beberapa hari. “Bukan berarti sketsa ini gampang dibuat dan sehari bisa melahirkan beberapa sketsa,” ujarnya. 

Kita juga akan melihat bagaimana kesemua sketsa digoreskan dalam satu medium kertas dan ukuran sama. Mudji tidak mempermasalahkan soal medium dalam berkarya. Sang seniman, katanya, lebih memilih bagaimana menciptakan estetika dibandingkan medium. “Justru semakin kecil ukuran medium, semakin menarik sebuah karya,” paparnya.

*Bisnis Indonesia Weekend

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda