Senin, 12 Mei 2014

Menilik Kembali Industri Komik Nasional

Komikus Ockto Baringbing, masih ingat ketika mengalami masa pencarian eksistensi dalam berkesenian. Kecintaan dan kemampuannya dalam menciptakan komik dimulai sejak era 2000-an. Selepas lulus kuliah pada 2008, dia meyakinkan orangtuanya untuk berkarir menjadi komikus.

Namun, apa jawaban yang didapat sang orangtua. Dia menerima ungkapan yang sampai saat ini membekas dalam ingatan. “Memangnya komik bisa membiayai hidup kamu? Mending jadi pegawai negeri sipil (PNS) saja, sudah dijamin penghasilannya,” ujar Ockto mengenang.

Ockto tak menyerah. Dia tetap mempertahankan mimpinya menjadi seorang komikus. Dia berusaha meyakinkan sang orangtua agar cita-citanya terwujud. Beruntung, dia diperbolehkan untuk terjun di dunia seni dan memulai menciptakan komik buah hasil tangannya.

Di Indonesia, dunia komik memang tak sepopuler cerpen atau novel. Ockta terus berjuang menghasilkan karya komik yang berkualitas. Dia harus meyakinkan selera pasar agar banyak dilirik. Tetapi apa yang terjadi, karya-karyanya hanya mentok dan tak pernah dilirik pasar.

Bahkan, beberapa rekannya sesama komikus menawari dia untuk mencoba membuat komik edukasi atau religi yang pasarnya sudah jelas. Tetapi Ockto masih tetap bersikukuh berada di jalur komik yang sesuai idealismenya. “Saya ini masih muda, saya ingin mencari jati diri dengan apa yang saya hasilkan.”

Apa yang dihasilkan Ockto dalam menjaga idealismenya dalam berkarya berbuah manis. Dia belajar banyak dari berbagai masukan yang diterimanya. Belakangan, salah satu karyanya 5 Menit Sebelum Tayang, sebuah proyek bersama Muhammad Fathanatul Haq menyabet penghargaan Silver Award  di ajang International Manga Award keenam di Jepang. Karyanya yang lain antara lain Bima Satria Garuda dan Galau Man yang sudah mulai digemari pecinta komik.

Namun, dengan pencapaian tersebut, bukan berarti industri komik Indonesia sudah bisa memberikan kesejahteraan besar terhadap komikus. Ockto masih berpandangan industri komik di Indonesia belum bisa menghasilkan pendapatan yang layak. Tentu saja, beberapa faktor menjadi alasan yang memengaruhi kondisi tersebut.

Industri komik Indonesia memang sempat berjaya pada era komikus RA Kosasih. Karyanya yang menceritakan epik Mahabharata berisi 18 bab menjadi fenomenal di zamannya. Dari sisi penerbitan, kota Bandung, Jakarta, dan Surabaya menjadi patokan industri komik Tanah Air. Penerbit Melodi, misalnya merupakan salah satu penerbit yang mendukung majunya industri komik saat itu.

“Tetapi melihat fenomena yang terjadi pada masa kini, saya pikir industri komik sudah mulai bergirah kembali. Kita bisa melihat beberapa komikus yang menerbitkan di beberapa medium,” katanya.

Sunny Gho, Direktur Stellar Labs menjelaskan kebergairahan industri komik Tanah Air sudah mulai berkembang dengan adanya masifikasi media. Dia mencontohkan publik kini sudah cerdas mengekspresikan karya melalui jejaring sosial. Komik saat ini sudah tidak kaku yang hanya diterbitkan melalui medium fisik seperti buku.

Dia memandang, kehadiran para komikus bisa dilihat dari karya yang dihasilkan. Sunny memetakan pengaruh derasnya industri komik dengan istilah comic first dan comic later. Menurutnya, fenomena film kartun di Jepang menjadi patokan bagaimana komik banyak diangkat ke layar lebar atau konsumsi tontonan bagi masyarakat. Sementara istilah comic later didasarkan atas produksi komik yang diangkat dari lakunya film di Jepang.

“Komik karya seniman Indonesia sudah harus mulai berani menggebrak dari berbagai sisi. Setidaknya kita bisa membuat karakter tersendiri seperti ciri khas komik Indonesia,” paparnya.

Pengamat komik Hikmat Darmawan menjelaskan, kompleksitas perkembangan industri komik nasional tidak bisa dilihat dari satu sisi. Menurutnya, berbagai pihak harus bertanggung jawab untuk memajukan komik Indonesia. Dia menjelaskan seniman, akademisi hingga kritikus komik sangat berperan membangkitkan kembali komik karya anak bangsa. 

Dia memandang, faktor infrastruktur menjadi salah satu pembahasan paling krusial dalam mengembangkan industri komik. Toko buku yang memasilitasi komik karya dalam negeri, katanya, menjadi sorotan utama yang harus diperhatikan. Dia memberi contoh, di sejumlah daerah masih banyak masyarakat yang masih ‘merem’ terhadap komik. 

Namun, jumlah produksi dan karya pun, lanjut, Hikmat masih menjadi perdebatan. Banyaknya komikus yang menghasilkan karya tidak menjamin industri komik bakal bangkit kembali. Ketika produksi komik Indonesia memiliki kuantitas banyak, pasar masih dininabobokan oleh produk komik asing.

“Di sini, pebisnis, kademisi, seniman dan kritikus harus menjadi satu kesatuan yang utuh. Masing-masing pihak mempunyai tugas tersendiri. Pebisnis harus bisa memetakan bagaimana potensi pasar. Seniman, ya tentu saja menghasilkan karya berkualitas. Sementara kritikus menjadi sangat penting untuk menjaga dialog antara karya dengan masyarakat,” ujarnya.

*Bisnis Indonesia

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda