Senin, 12 Mei 2014

Polemik Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh

Awal 2014, kesusastraan Indonesia dihebohkan oleh terbitnya buku berjudul 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Buku yang disusun oleh Tim 8, terdiri dari kalangan pegiat sastra antara lain Jamal D. Rahman, Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshäuser, Joni Ariadinata, Maman S. Mahayana, dan Nenden Lilis Aisyah.

Polemik yang mengemuka dari buku adalah hadirnya nama Denny Januar Ali alias Denny JA dalam 33 tokoh tersebut. Sebagian kalangan sastrawan dan aktivis sastra menilai pencantuman Denny JA berujung sebagai penyesatan sejarah dalam kancah sastra Indonesia. Bahkan ada yang menuding jika buku tersebut merupakan proyek yang didanai Denny JA.

Untuk diketahui, Denny JA dikenal sebagai konsultan politik dan orang nomor satu di Lembaga Survei Indonesia (LSI). Belakangan, keterlibatannya di dunia sastra menjadi bahan perbincangan lantaran menerbitkan buku puisi-esai yang dianggap sebagai genre baru di Tanah Air.

Masih membekas dalam ingatan, peluncuran buku yang digelar di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B Jassin awal Januari lalu menjadi biang polemik. Ketua Tim 8, Jamal D Rahman bahkan sudah mencium bakal terjadi polemik berkepanjangan atas terbitnya buku tersebut.

Namun, Jamal berdalih bahwa pemilihan ke-33 tokoh sastra tersebut merupakan hasil diskusi hebat dengan masing-masing anggota tim. Dia menegaskan kriteria yang disepakati untuk memilih tokoh-tokoh tersebut sangat ketat. “Kami akui buku ini akan mengundang perdebatan di kalangan peminat sastra lain. Tetapi apa yang sudah kami lakukan adalah yang terbaik,” paparnya.

Berthold Damsausher, salah satu anggota Tim 8 lain bahkan mengklaim buku tersebut paling komprehensif dibandingkan buku sejenis lainnya yang telah diterbitkan di Indonesia. Tak tanggung-tanggung, dia mewacanakan akan menerjemahkan buku tersebut ke dalam bahasa Jerman.

Adapun penilaian nama tokoh yang dicetuskan Tim 8 antara lain pengaruh tokoh yang berskala nasional, pengaruh tokoh yang menimbulkan polemik panjang, tokoh sastra sebagai penggerak dan menjadi posisi kunci dan tokoh sastra sebagai pencetus gerakan baru yang banyak diikuti dan ditentang khalayak.

Tokoh sastra yang berpengaruh tersebut disusun berdasarkan kelahiran antara lain Kwee Tek Hoay, Marah Roesli, Muhammad Yamin, Hamka, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, Achdiat Karta Mihardja, Amir Hamzah, Trisno Sumardjo, H.B Jassin, Idrus, Mochtar Lubis, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Iwan Simatupang, Ajip Rosidi, Taufiq Ismail, Rendra, dan N.H Dini.

Tokoh berikutnya antara lain Sapardi Djoko Damono, Arief Budiman, Arifin C Noer, Sutardji Calzoum Bachri, Goenawan Mohammad, Putu Wijaya, Remy Silado, Abdul Hadi W.M, Emha Ainun Nadjib, Afrizal Malna, Denny JA, Wowok Hesti Prabowo, Ayu Utami dan Helvy Tiana Rossa.

Polemik pun mulai menggelinding dan semakin melebar. Kalangan pegiat sastra Tanah Air dari mulai komunitas, seniman, sastrawan mulai membuat gerakan perlawanan. Mereka menuding Denny JA menyumpal Tim 8 dengan duit untuk memasukan namanya dalam kesusastraan Indonesia.

Matdon, Ketua Majelis Sastra Bandung (MSB) menilai pemilihan tokoh 33 sastra tersebut tidak fair dan cenderung abai kepada tokoh yang seharusnya termuat. Dia melihat buku tersebut membahayakan generasi muda mendatang dan menjadi korban pembohongan sejarah dunia sastra. 

Menurutnya, dari sekian banyak sastrawan yang berpengaruh atas karyanya, bahkan tidak termasuk ke dalam daftar 33 tokoh tersebut. Dia menyebut Saini KM, Sitor Situmorang, Umar Kayam, Wiji Thukul, Ahmad Tohari, lebih berhak terpilih dibanding memasukan nama Denny JA. “Bagaimana nanti anak cucu kita melihat rekayasa sejarah ini,” paparnya.

Gerakan lain datang dari berbagai komunitas sastra yang menolak buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Gerakan melalui petisi online tersebut mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pemilik wewenang untuk mengkaji ulang bahkan memberhentikan sementara dari peredaran. Disinyalir, buku itu akan dimasukan ke dalam kurikulum yang akan menyesatkan.

Petisi tersebut menjelaskan terdapat klaim yang tidak bertanggung jawab atas pemilihan nama yang termasuk ke dalam 33 tokoh. Definisi kata 'pengaruh' menjadi titik alasan yang tidak bisa dijelaskan secara mendetail oleh Tim 8 dari isi buku.

Remy Sylado, salah satu sastrawan yang terccantum dalam buku tersebut bahkan kaget namanya termasuk dalam pembahasan. Dia menilai selama ini tidak pernah diwawancarai oleh pihak Tim 8 untuk keperluan penyusunan buku.

“Saya hanya dihubungi oleh pihak PDS H.B Jassin untuk menghadiri peluncuran buku. Setelah saya baca, ternyata penjelasan buku yang tertulis hanya main comot saja dari berbagai sumber,” paparnya.

Remy mengaku dia mendukung atas penarikan buku dari peredaran. Nama Denny JA yang termasuk dalam buku tersebut dinilai tidak pantas yang hanya menimbulkan kecurigaan sebagian pihak. 

Menurutnya, metode yang dilakukan Tim 8 tidak bisa digunakan untuk menilai siapa yang berhak terpilih menjadi tokoh sastra berpengaruh. Dia memberi contoh, metode pencarian data untuk tokoh-tokoh yang masih hidup sebisa mungkin dilakukan dengan metode wawancara.

“Jangankan menarik dari peredaran, saya sendiri ingin mencabut pencantuman dari ke-33 tokoh tersebut. Sebab, Adanya nama Denny JA merusak segalanya. Karena nila setitik rusak susu sebelanga,” paparnya.

Gerakan-gerakan yang menolak tentang terbitnya buku tersebut pun semakin menyeruak hingga ke berbagai kalangan. Namun, tentu saja sebagian pihak bahkan ada yang tidak mempermasalahkan kehadiran buku tersebut.

Penyair Wowok Hesti Prabowo, salah satu satrawan yang tercantum dan dikenal sebagai penggerak sastra buruh menganggap apa yang dilakukan kalangan satrawan lain dengan penolakan tersebut merupakan sikap berlebihan. Dia menilai petisi desakan penghentian peredaran buku merupakan hal yang tidak perlu dilakukan.

Dia menghargai beberapa kalangan yang tidak setuju adanya buku. Menurutnya, menolak dan menerima merupakan hak pribadi dalam menentukan sikap. “Sekarang kan zaman demokrasi, siapa saja boleh menulis dan berkarya apa saja. Tetapi dalam posisi ini, saya juga berhak berbeda pendapat. Namun, bukan karena saya masuk dalam 33 tokoh itu,” ujarnya.

Menyikapi hebohnya penolakan buku tersebut, Denny JA tidak tinggal diam. Dalam akun Twitter resmi, Denny memberi tanggapan atas polemik yang bermuara pada dirinya. Dia menjelaskan buku 33 tokoh tersebut sudah cukup memuat penjelasan masing-masing nama yang ditulis Tim 8.

Denny justru menilai apa yang dilakukan kalangan seniman yang menolak merupakan upaya pemberangusan hak berpendapat. Menurutnya, langkah-langkah tersebut mengingatkan pada zaman Orde Baru yang kerap membredel segala bentuk suara yang tidak seirama dengan penguasa.

“Kita boleh tak setuju. Tapi hak mereka menyatakan pendapatnya harus dibiarkan bukan diberedel, dan dilawan dengan buku alternatif. Mereka yang mendukung petisi akan dicatat sejarah meminjam tangan kekuasaan untuk melarang sebuah buku,” ujarnya.

*Bisnis Indonesia 

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda