Rabu, 09 Februari 2011

Mengetuk Lupa

Meski telah tertinggal dua tahun, namun aku masih ingat sampai detik ini bagaimana luka yang kau tebarkan begitu memekik. Padahal almanak waktu itu mencatat kebersamaan kita hanya dua bulan di usia perjalanan. Kau masih ingat ketika kita duduk berdua berpagutan menyeka tawa? Aku yang selalu mencubitmu di lengan sebelah kanan sampai bertanda merah dan kau sedikit marah. Dengarlah, aku menulis ini ketika pagi berkabut tanpa ada kopi yang kuseruput. Mungkin saja kau masih tertidur di kamar, tempat dimana kau curhat padaku tentang segala nanar.

Sebetulnya aku ingin kau tahu bahwa air mata terus mengalir ke dalam dada. Sejak perhentian kita tercatat di kalender september, aku bertaruh, waktu kita senantiasa utuh walau hanya separuh. Sampai kini sekelibat wujudku berujung diperapian murung. Bermuram dalam kelam sehabis malam bulan temaram.

Aku masih tak mengerti. Di satu sisi kau hanyalah seorang ciptaan yang tuhan berikan menjadi sosok yang menawan. Di perjumpaan lain aku anggap dirimu hanyalah satu objek yang pantas aku ejek. Kalau perlu, aku catat semua sayat yang kau beri pada seutas besi berkarat. Aduhai, ini tentang sebab yang terangkum di setiap bab. Dalam kesimpulan terakhir lebih mahir mengukir tabir.

Namun masih ada yang tersisa tentang dirimu. Tentang suatu saat kala kau mengucap padaku janji-janji yang penuh imaji. Tapi, setelah dua tahun aku ingat, setelah dua bulan kita catat, hanya dua minggu yang benar-benar aku rasa akan sebuah baiat. Mungkin sisa-sisa hari yang seterusnya sekedar membekas larat.

Pergilah kasih, biarkan aku lupa ribuan dupa yang menerpa. Wajahmu yang kerap muncul di benak ini selalu hadir mengetuk nadir. Mungkin dengan lupa segalanya akan sirna. Perihal darah yang setiap malam membasah pada rona pipimu yang ramah.

Dan satu hal lagi, aku menulis ini ditemani lantunan Northern Star, seolah Courtney Love menyanyi untukku di sebuah altar. Inilah yang menjadikanku kuat walau rasa galau terus menghalau pada setiap racau. Lalu gemuruh detik merayap perlahan mengusir harap. Menanda tarian tanganku untuk berhenti sejenak meski kata-kataku terdengar tak enak.

Biarlah aku akhiri kalimat ini dengan penuh senyum. Membaca kenangan dahulu yang begitu ranum. Dan pasti aku yakini jika sejarah sudah terjadi walau sebatas coretan waktu yang tak harum aku cium.

Lihatlah, matahari pagi sudah meninggi. Saatnya aku bergegas pergi berkemas tubuh mencari nurani. Membuang sisa iri yang semalam menjadi bekas kemudian lekas aku lepas. Aku hanya ingin mengingatkan padamu bahwa kau pernah menjadi peri atau bahkan suri dalam diri. Biarkan senyum, tawa, cerca menjadi pernak pernik hidupku yang sempat beku olehmu.


18.01.11

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda