Rabu, 09 Februari 2011

Mengenang Masa Lalu

sekitar tahun 2002 aku mengenalnya tanpa sengaja di balik sebuah jendela. ketika ia berjalan melewati kelasku yang berdampingan dengan kelasnya. aku tercatat sebagai siswa kelas satu di sebuah madrasah aliyah yang cukup megah. jam menunjukkan pukul sepuluh waktu itu. bel berbunyi tanda istirahat yang lekat di telinga para siswa yang taat.

ia berjalan dengan gontai, lekuk tubuhnya meleok-leok lihai. seragam putih abu terbalut menutupi lutut. tangannya menggenggam beberapa cemilan yang menjejer. aku tahu ia habis belanja di kantinnya pak Ujer. aku terus melihatnya sampai ia masuk kelas dan mungkin ngerumpi dengan beberapa teman sekelas.

Mila, ya, namanya Mila. aku tahu dari temanku yang kebetulan sebangku. wajahnya eksotis bagai gadis yang penuh ritmis. dan tentu saja menurutku ia manis. beberapa tahi lalat terpahat di pipi dan alis matanya yang padat. Mila, ya, namanya Mila. salah satu gadis kelas satu dua lima yang membuatku ingin terus menatap wajahnya lama-lama.

suatu hari, setelah pelajaran olah raga, aku memberanikan diri untuk menyapa. walaupun agak bau keringat, tapi aku tetap menguatkan niat. aku berjalan ke arah kelasnya. kemudian kenalan, meski aku merasa bahwa ada perasaan malu sampai lidahku kelu. ia tersenyum dan aku tersenyum walau ia tak tahu bahwa aku habis minum. aku dan dia sudah saling tahu nama masing-masing. sekarang tak ada lagi perasaan asing.

beberapa minggu kemudian, timbul dalam hatiku sebuah perasaan entah. semacam gundah yang meraba pada nadi yang lelah. mungkin inilah namanya cinta yang berawal di madrasah.

setelah pulang sekolah, aku terus melangkah mengikutinya. aku di belakangnya. ia di depanku. sepanjang jalan hatiku berkecamuk seakan hampir remuk. otakku berfikir seribu kali antara suka dan lara. satu bisikan datang agar aku harus melesatkan serangan. satu bisik lagi berbicara agar aku harus menyiapkan dulu berbagai mantra. ah, aku mesti ambil satu pilihan walau resiko yang paling riskan.

di pinggir jalan, sebelum tangannya menghentikan sebuah kendaraan, aku panggil dia perlahan. lalu mengajaknya menyudut, walau mukanya kecut dan kusut. waktunya mengungkapkan perasaan yang setelah beberapa hari membuat aku gemetaran. namun, apa yang terjadi, aku merasa ada sebuah tragedi di bumi ini setelah ia mengatakan belum siap diri.

ah seketika aku terkulai. aku sadar tubuhku terasa lunglai. mulutku berkali-kali menyeringai. namun di ujung angkot ia tetap melambai. oh Mila, semoga engkau cepat-cepat sampai.

kira-kira seminggu kemudian, aku dan dia masih saling sapa dan berbagi tatap dalam satu atap. segera aku menuju kembali ke jendela untuk melihatnya. kemudian ada seorang teman yang memberiku sebuah saran untuk menyatakan perasaan. aku mengangguk setelah teman memberi beberapa petuah walau hatiku sedikit patah.

13 Januari 2002, matahari seakan terbit dari barat. aku yang dulu sekarat mencintainya ketat, seolah tatap berbalik harap. tegur dan sapa ia tawarkan padaku. aku berfikir, mungkin ini sinyal yang mebuka tabir cintaku yang kenyal.

aku ingat pada hari selasa setelah pelajaran matematika, dia menawarkanku sebuah senyum tepat di depan gedung laboratorium. lagi-lagi aku memberanikan diri untuk bertempur dengan hati yang sempat gugur. aku sedikit menghampirinya. memberikan canda yang bisa membuat wajahnya lepas dari durja. lalu mengatakan apa yang aku rasakan. berbagai mantra aku bacakan dengan perlahan. menunggu sebuah jawaban dari ribuan rasa penasaran. mendadak aku bahagia dan seketika itu juga rasa suka menghapus duka. ia tersenyum lebar membuat hatiku berkobar. ini bertanda benih-benih cinta siap melanda dua insan yang sedang dikejar asmara. sewaktu itu juga, dunia terasa milik kita berdua. biarkan yang lain ngontrak di kandang domba.



-hahahaha… kenangan bersama Mila yang konon sekarang sudah punya anak dua, wakakaka-

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda