Kamis, 19 April 2012

Para Pemburu Beasiswa

Oleh Miftahul Khoer

Di sebuah kantin yang gerah. Seorang mahasiswa tengah duduk terdiam dengan tatapan kosong yang membuatnya menerawang jauh. Sadar tidak sadar sore itu matahari perlahan terbenam. Awan mulai menghitam mendekati senja yang sebentar lagi hinggap di atas kepalanya.

Berjejer kursi rapih di situ. Seorang pemilik kantin yang sudah puluhan tahun setia berjualan di kampus hijau itu segera merapikan meja-meja dan kursi-kursi miliknya. Seorang wanita tua yang seolah-olah menjadi ibu bagi para mahasiswa lainnya. Mami, orang-orang memanggilnya. Ia terbiasa bangun pagi dan bergegas memulai usahanya berjualan kebutuhan para mahasiswa. Dari mulai gorengan, nasi kuning, kopi, rokok sampai pulsa pun tersedia di kantin itu. Malah kadang beberapa mahasiswa banyak yang ngutang di kantinnya. Mami menjadi teman akrab dan sesekali menjadi teman curhat bagi mahasiswa yang sedang memiliki masalah—kisah cinta yang runyam, perselingkuhan bahkan masalah keluarga.

Tono, seorang mahasiswa semester VI berperawakan kecil, rambutnya pendek namun otaknya paling diperhitungkan di kelasnya. Ia masih duduk di situ, di kantin yang hendak ditutup itu.

Kampus sebetulnya sudah mulai sepi. Hanya segelintir mahasiswa lain yang berlalu-lalang. Mahasiswa yang tentunya mengikuti perkuliahan siang yang baru saja bubaran. Tono, tetap saja melihat awan hitam yang dikiranya hujan sebentar lagi akan turun. Kepulan asap rokonya terus ia buang ke langit. Namun perasaannya tidak sadar bahwa ia sedang merokok. Pikirannya tengah berada di dunia yang lain. Dunia yang kini sedang ia benci. Ia merasa dikhianati. Seseorang telah membuatnya sakit hati.

“Ada masalah apalagi Ton, kok murung begitu?” Tanya Mami dari arah dapur tanpa menatap ke arah Tono. Mami sudah tahu dan paham dengan sosok Tono. Jika ia memasang wajah kecut, Mami segera menilai bahwa ada sesuatu yang terjadi dengan Tono. Pastinya Mami tahu segala sesuatu tentang Tono, setiap saat, setiap waktu toh Tono nongkrong di kantin Mami. Jadi apa yang Mami tidak ketahui dari mahasiswa cerdas asal Jawa ini.

Tono tak menjawab sedikit pun. Entah ia tidak mendengar atau ia malas menjawab pertanyaan Mami. Ia masih saja terus mengisap rokoknya. Seolah ia merasa bahwa di kantin itu hanya ada dirinya sendiri. Padahal dari tadi Mami terus menyapanya. Walau sapaan Mami tak mengharapkan untuk dijawab secara serius. Mami senyum-senyum saja melihat tingkah Tono sambil bertanya-tanya ada apa dengan anak itu. Rasa curiga pun semakin deras dalam dirinya. Mami mengira ada hal serius yang tengah dipendam Tono.

Kali ini langit benar-benar menghitam. Namun aneh, hujan belum saja turun. Padahal dalam hatinya, Tono menginginkan hujan segera membasahi tanah kampus. Ia berharap mungkin dengan turunnya hujan, masalah yang sedang ia pikirkan itu bisa reda seketika layaknya tanah kering yang tersiram hujan yang menjadikannya sejuk dan berharap debu-debu kotor yang berterbangan itu mendadak hilang ditelan senja. Tapi harapan Tono sia-sia. Ia malah dikejutkan oleh segerembolan mahasiswa tingkat atas, yang lebih dua semester dengan dirinya. Mahasiswa-mahasiswa itu menyadarkan Tono dari lamunannya. Kursi-kursi kantin itu kembali mereka duduki. Mereka tertawa terbahak-bahak dengan senangnya seperti orang yang sedang bahagia kedapatan rezeki nomplok. Dan Mami sudah tidak aneh dengan mereka.

“Ha…ha…ha.., tau gak sih kalian, barusan saya dari jurusan ngambil formulir beasiswa, dan saya dapat 50 formulir, ha…ha…ha,” Dedi tiba-tiba bicara lantang di hadapan teman-temannya.

Tentu saja, Dedi adalah seorang aktifis kampus yang sangat populer. Ia dikenal mahasiswa dan jajaran rektorat sebagai orator ulung. Nada bicaranya tegas jika ia sedang berunjuk rasa di depan rektorat. Pokoknya sekali ia berteriak, para pejabat kampus pun takut padanya. Ia hanya bisa bungkam jika suaranya itu disumpal oleh uang. Buktinya, ketika ia mendapatkan formulir beasiswa itu, omongannya tidak lantang lagi. Belakangan ia dijuluki oleh aktifis lain sebagai aktifis amplop. Ya, seperti itu, ia hanya lantang berbicara jika ada maunya saja.

“Woy, kamu Ded, jangan belagu gitu dong. Saya juga barusan dipanggil sama Pembantu Dekan, tau gak, saya dapat formulir beasiswa lebih dari kamu. Saya dapat 100 formulir, dan itu akan saya bagikan ke anak buah saya. Ha…ha…ha…,” kata Mamat tak mau kalah dengan Dedi.

Dedi dan Mamat memang sudah berkawan lama namun berbeda jurusan. Keduanya aktif di organisasi ekstra dan menjadi bagian orang terpenting di dalamnya. Keduanya pandai bernegosiasi sana-sini. Mereka jago mengerahkan masa. Siapa pejabat kampus yang tak kenal dengan mereka berdua. Apa pun yang mereka minta, pihak rektorat sudah barang tentu mengabulkannya.

Jafar, seorang teman yang lainnya sebetulnya ingin ikut-ikutan berbicara beasiswa. Namun ia merasa lebih baik bungkam saja. Jafar takut ketahuan bahwa kemarin pun ia sudah menemui pihak rektorat perihal pembagian jatah beasiswa untuk organisasi ekstra kampus yang diasuhnya. Tapi mau tak mau ia pun harus bicara. Karena Dedi dan Mamat tiba-tiba bertanya padanya.

“Nah, kamu sendiri gimana Far, secara kamu kan orang yang lebih berpengaruh di kampus ini?”
“Iya, cerita-cerita dong sama kita-kita?”

Ya, perlu diketahui, mereka bertiga adalah orang-orang yang berpengaruh di kampus. Namun bukan dalam segi akademis, melainkan perihal kecakapan mereka berdiplomasi dengan para pejabat kampus. Mereka bertiga datang dari organisasi ekstra yang berbeda yang biasanya saling sikut dan membusukkan. Tapi dikarenakan posisi mereka saat ini setara di pemerintahan kampus dan tentu saja tidak ada yang dirugikan satu sama lain, ketiga jendral ini berkawan akrab. Malah sering nongkrong bareng. Namun siapa sangka keakraban mereka tidak bisa prediksi—satu, dua, tiga hari berikutnya jika ada yang merasa dirugikan atas kekuasaan dari pihak rektorat, mereka tentunya bakal renggang.

“Wah, kalau masalah beasiswa, saya gak tahu menahu. Bukan urusan saya!” Jafar berpaling.
“Yaelah… sudah lah Far, kamu jangan sok nyembunyiin sesuatu gitu dong, kita semua kan sekarang berkawan, ayolah… kamu dapat berapa formulir?” Dedi membujuk.
“Iya nih jangan tertutup gitu lah,” Mamat menambahkan.

Wajah Jafar tiba-tiba memerah. Ia seakan merasa ditembak senapan dari dekat. Harus mulai dari mana ia bicara. Ia takut kedua temannya itu terkaget-kaget jika jatah beasiswanya malah jauh lebih banyak dari keduanya. Dengan sedikit kelihaian berkomunikasi, ia sedikit memalingkan pembicaraan.

“Mi, bikin kopi tiga gelas dong,”
“Ha…ha…ha…, kamu lagi Far coba-coba mengalihkan pembicaraan.”
“Takut ketahuan kali Ded, ha…ha…ha…”
“Iya, kayaknya, ha…ha…ha”
“Eh… bukan gitu sob, biar rileks aja gitu, biar santai.”
“Oke deh, setuju lah setuju, kopi tiga Mi,” teriak Dedi.
“Waduh, sudah sore atuh, kan Mami mau tutup,”
“Ayolah Mi, kita bayar dua kali lipat deh, tanggung nih lagi rapat penting, ha…ha…ha…”
“Ah kalian mah kebiasaan, ya sudah tunggu sebentar, Mami manasin dulu airnya.”
“Nah gitu dong Mi.”

Dengan terpaksa Mami mesti menyalakan kompornya kembali dan memanaskan air untuk melayani para ketiga jendral organisasi ekstra kampus itu. Sementara Tono masih asik dengan asap-asap rokonya tanpa memerhatikan ketiga kakak angkatannya itu. Dengan segera tiga gelas kopi hitam sudah berada di tengah meja. Harumnya menusuk hidung. Kopi hitam yang kental, sekental pembicaraan mereka sore itu.

“Nah jadi gimana Far, kopi sudah ada nih, kamu dapat berapa tuh formulir beasiswa?” Dedi tak sabar menyelidiki. Kuping kedua orang itu dipasang sedekat mungkin. Mereka menunggu jawaban Jafar yang misterius itu.
“Hmm… kasih tahu gak yaaa… Ha…ha…ha…,” Jafar bercanda.
“Ah, gila kamu, serius dong kita gak sabar nih pengen tahu.”
“Tapi jangan bilang siapa-siapa ya?”
“Iya deh.”
“Suer?”
“Ah banyak bacot kamu.”
“Janji?”
“Iya, susah amat sih.”
“Begini ya, sebenarnya kemarin Pembantu Rektor III manggil saya. Dan dia ngasih formulir itu ke saya.”
“Iya kamu dapat berapa?” Dedi kesal.
“300 formulir!”
“Busyet!”
“Setan! Yang bener kamu?”
“Bercanda kamu.”
“Saya serius!”
“Goblok tuh Pembantu Rektor, kok bisa?”
“Kayaknya kita harus segera komplain Mat!”

Ternyata pembicaraan mereka mengusik Tono. Ia ikut-ikutan kaget mendengar bahwa Jafar mendapatkan jatah formulir beasiswa sebanyak itu. Tapi untuk apa? Kenapa sebanyak itu? Awalnya Tono tidak mau ambil pusing mendengar semua itu toh dia tidak mendapatkan beasiswa dari kampus itu, karena ia sudah mendapatkan beasiswa dari jalur lain, jalur mahasiswa berprestasi dari sebuah Bank terbesar di negeri ini. Lumayan, Tono mendapatkan uang beasiswa sebesar empat juta rupiah. Cukup untuk bekal kuliahnya selama empat semester.

Kini di hadapanya, Tono mengambil bungkus rokoknya yang ternyata hanya tersisa sebatang lagi. Sambil membuang kekagetan itu ia bakar kembali dan mencoba menguping pembicaraan mereka selanjutnya.

“Ini benar-benar tidak adil Far. Kamu dapat formulir beasiswa sebanyak itu, mentang-mentang organisasi kamu lebih dominan di kampus ini. Kamu harus adil Far.”
“Weits… tunggu dulu sob, kenapa kamu nyalahin ke saya. Kamu komplain dong ke rektorat!”
“Iya, sebaiknya kita komplain aja besok ke rektorat Ded!” bujuk Mamat.
“Gimana besok aja lah, saya gak terima dengan semua ini, bangsat banget, goblok!”

Suasana sudah tidak kondusif lagi. Tiba-tiba ada ketegangan di antara mereka. Dedi tak mau diam lama-lama. Ia segera meninggalkan kantin itu tanpa pamit sedikit pun. Mamat juga demikian, hanya ia lebih sopan meninggalkan Jafar. Kini Jafar senyum-senyum sendiri melihat kedua tingkah temannya itu seakan-akan ia telah memenangkan sesuatu. Sambil menyeruput kopi terakhir ia pun bergegas pergi dari kantin itu. Mereka bertiga lupa bahwa kopi yang dipesan itu belum dibayar. Dan Mami hanya bisa menggelengkan kepala dengan tingkah mereka. Sudah biasa. Sudah biasa. Sudah biasa. Dalam hati, Mami membatin.

Mami berjalan menuju meja itu dan mengambil gelas-gelas kotor. Matanya sejenak menuju arah Tono. Mami masih menyimpan pertanyaan “ada apa dengan Tono?”. Dalam pikirannya paling tidak Mami memprediksi bahwa Tono ada masalah dengan kekasihnya.

Handphone Tono berdering. Ada nomor tak dikenal menghubunginya. Dengan segera ia mengangkatnya.

“Hallo… Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam, ini sama Pak Didin, Ketua Jurusan.”
“Oh iya Pak, ada apa Pak?”
“Begini, saya cuma pengen tahu, beasiswa sudah cair belum yang dari Bank itu?”
“Oh sudah Pak, sudah.”
“Berapa?”
“Alhamdulillah, empat juta Pak.”
“lho… kok empat juta? Kan semuanya 15 juta.”
“Iya, tapi kata Pembantu Dekat III itu sudah termasuk potongan sana-sini.”
“Potongan sana-sini gimana?”
“Iya, buat Dekan, Pembantu Dekan, Tata Usaha dan Ketua Jurusan.”
“Ah, bohong itu Ton, sumpah, saya dan yang lainnya tidak ada hak untuk memotong beasiswa kamu. Itu murni beasiswa buat mahasiswa berprestasi.”
“waduh, Pak, saya tidak tahu soal itu.”
“Ya sudah, saya akan segera konfirmasi ke Pembantu Dekan perihal itu. Ini namanya kecurangan Ton.
“Iya deh Pak kalau begitu, terima kasih sebelumnya.”
“Iya, iya nanti saya kabari lagi. Besok kita ketemuan saja di kampus. Assalamualaikum.”
“Iya Pak, Waalaikum salam.”

Mendadak darah Tono mendidih. Ia seakan ditikam dada. Ia sesak, kesal dan marah. Di tengah masalah yang sedang ia hadapi, ia tidak hanya dikhianati oleh kekasihnya tapi juga oleh Pembantu Dekan fakultasnya. Seorang intelek bergelar doktor yang telah merampok uang haknya itu.***

Bandung, 19 April 2012

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda