Jumat, 06 April 2012

Catatan Harian: Sebuah Proses Mengubah Dunia[1]


Oleh Miftahul Khoer[2]

Aku harap aku bisa mencurahkan isi hatiku padamu dengan cara yang belum pernah aku lakukan kepada siapa pun sebelumnya, aku harap kamu dapat memberi rasa nyaman dan juga semangat untukku. (Anne Frank, 12 Juni 1942)[3]

Tentu saja, kutipan di atas ditulis oleh sorang gadis belasan tahun, tepatnya ketika ia berusia 13 hingga 15 tahun. Gadis itu bernama Anne Frank, seorang anak yang bersekolah di bawah naungan Yahudi. Ketika ia berulang tahun, dari berbagai macam kado yang diberikan padanya, matanya tertuju pada sebuah buku harian yang kelak catatan hariannya menggemparkan seantero dunia. Dan pada tahun 1989, sebuah buku berjudul The Diary of a Young Girl terbit dengan penuh kegelisahan. Buku yang lahir dari tangan mungil dan polos. Buku tentang kejujuran. Buku tentang catatan harian.

Lantas apa pentingnya catatan harian?

“Kertas memiliki kesabaran lebih ketimbang manusia.” Kalimat inilah yang membuat gelisah gadis cilik itu. Anne menyadari bahwa menulis catatan harian adalah pekerjaan asing baginya. Bukan lantaran ia belum pernah menulis sebelumnya, tapi karena ia khawatir bila kelak tidak ada yang peduli dan tertarik dengan tulisan seorang gadis yang masih berusia 13 tahun.[4] Namun ketika sebuah siaran radio di London mengemukakan sebuah pidato yang menghimbau untuk mengumpulkan catatan saksi sejarah penderitaan rakyat Belanda semasa penjajahan Jerman termasuk catatan harian, Anne pun berniat untuk menerbitkan catatan hariannya, dan terbitlah. Gemparlah dunia.

Kita tahu, bukan Anne Frank saja yang menulis catatan harian. Kita lalu mengenal Catatan Harian Soe Hok Gie yang berbicara tentang pergerakan Indonesia masa orde lama. Bagaimana idealisme mahasiswa saat itu berguncang. Bagaimana kegelisahan dan ketidakadilan terjadi pada masa itu. Lalu kita kenal catatan harian Ahmad Wahib yang mengusung wacana pembaharuan Islam di Indonesia, yang pada masa mudanya ia dikenal sebagai cendekiawan muda progresif. Dengan catatan-catatan harian mereka, sejarah bisa diselamatkan dengan jujur. Kita bisa tahu hal-hal yang tidak terjamah media. Kita bisa mengenal sesuatu tanpa campur manipulasi politik sejarah. Wahib misalnya, dalam tulisannya yang dimuat di Tempo, 29 Juli 1972, menulis dalam judul Pembaharu ’70 pada Sebuah Tebing, yang mengetengahkan arus baru pemikiran Islam di Indonesia, harus dengan sabar bahwa tulisannya tidak sebegitu bebas seperti halnya dalam catatan hariannya. Selain di bawah tekanan deadline [karena ia sempat menjadi wartawan Tempo], ia juga harus sadar diri dengan space yang terbatas pada media dan ‘tekanan’ sana-sini yang bisa membatasi pemikirannya.[5] Ini menandakan bahwa catatan harian setidaknya mempunyai otoritas tersendiri bagi si penulisnya.

Maka, pada tahap dasar inilah kita akan segera mencari tahu apa itu catatan harian? Seperti apa catatan harian itu dan bagaimana menulis catatan harian?

Dari berbagai contoh di atas, setidaknya kita sedikit mengerti dan bisa membayangkan bahwa catatan harian adalah [sebuah] catatan yang ditulis sehari-hari. Catatan yang ditulis sejak bangun tidur sampai menjelang tidur kembali. Catatan yang ditulis dengan menekankan hal-hal (ter)kecil dalam kehidupan keseharian. Kita, misalnya bisa menulis tentang kegiatan yang berkesan dalam keseharian kita melalui buku diari seperti yang sering kita lakukan pada masa-masa SMA dulu.

Nah, dengan berkembangnnya teknologi pada masa sekarang ini, kita bisa memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang sangat mendukung kita dalam membuat catatan harian kita. kalau dulu Anne Frank, Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib mencatat dalam kertas, maka kita bisa menggunakan blog, note facebook dan berbagai penunjang gratis yang bisa kita manfaatkan. Bagi saya, catatan harian adalah menabung sejarah untuk dijadikan sebuah artefak yang sangat berharga kelak. Seorang pelukis yang karyanya sempat dijual milyaran rupiah bernama Nashar pernah bilang “Catatanku ini sangatlah penting artinya, paling tidak untuk diriku sendiri, karena halaman-halaman ini adalah lembar kehidupanku…”[6] dalam catatan hariannya, Nashar menulis dengan bahasa ringan dan enak dibaca, begitu pun dengan catatan-catatan harian penulis lainnya.

Menulis catatan harian adalah menulis apa yang dilihat, didengar, dirasa dan diraba. Apa pun bisa dituliskan tanpa berfikir berat dalam menuliskannya, karena sifat catatan harian adalah gaya ungkap dan gaya lisan yang dituliskan. Namun bagaimana si penulis bisa memainkan kata-katanya supaya enak dicerna oleh pembaca (itu pun jika karyanya hendak di publish). Beberapa sifat catatan harian memang banyak untuk kalangan pribadi atau tidak untuk di publish ke khalayak banyak, namun saat ini sejumlah penerbit justru ramai-ramai menerbitkan catatan harian yang dipandang lucu, unik dan ‘nakal’ seperti halnya beberapa catatan harian seorang seniman Pidi Baiq yang sukses di pasaran.

Menulis catatan harian tak memiliki batasan. Kita bisa melihat contoh Soe Hok Gie yang kadang-kadang hanya menulis satu paragraf dalam sehari. Karena, menulis dengan sifat harian berarti memelihara moody yang ada dalam diri. Malah, saat ini ketika saya melihat beberapa teman di Facebook, status bisa menjadi sebuah catatan harian. Nah, yang terpenting dari catatan harian adalah konsistensi dan kemauan. Maka jangan heran jika suatu hari masing-masing dari kita bakal menemukan betapa bersemangatnya kita dalam menulis (catatan harian) dan begitu malasnya kita dalam menulis (catatan harian). Ini semua adalah keawajaran. Dan kewajaran itu bisa kita ubah dengan kedisiplinan. Lantas apakah kita tidak tertarik seperti Anne Frank, Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib? Dalam catatan-catatan hariannya mereka bisa mengubah ‘dunia’. Kenapa kita tidak?



[1] Judul ini dibuat seenaknya saja untuk dijadikan bahan diskusi rutin LPM Suaka pada 04 April 2012.

[2] Penulis adalah peminum kopi dan perokok berat.

[3] Dikutip dari buku Catatan Harian Anne Frank: Jalasutra, hal 13 (buku ini saya pinjam dari penyair Galah Denawa)

[4] Ibid, hal 19.

[5][5] Lihat Aba Du Wahid dalam Ahmad Wahib: Pergulatan, Doktrin dan Realitas Sosial, Yogyakarta: Resist Book, hal 68

[6] Lihat Nashar oleh Nashar, Bentang, 2002. [Sebuah buku catatan harian seorang pelukis legendaris yang begitu konsisten dan total dalam menjalankan pilihannya]

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda