Minggu, 08 Januari 2012

Pasien FTV


Sabtu pagi seharusnya saya harus mengantar mama ke dokter. Mama sakit sudah lebih dari seminggu. Tapi saya lupa. Saya telat datang ke rumah. Hape saya mati. Orang-orang rumah nelpon terus. Saya sampai ke rumah jam sembilan lebih sekian. Mama sudah menunggu sambil tiduran di sofa.

“ke mana aja, mama nunggu dari tadi?”

Saya tiba-tiba tersedak. Saya benar-benar lupa. “Mama maafkan saya,” dalam hati saya berkata dengan sedikit tatapan kosong. Tidak ada sedikit pun teringat bahwa saya mesti mengantar mama ke dokter. Saya bergegas ganti baju. Ambil kunci motor yang tadi saya simpan di meja. Ayah tengah sibuk beres-beres rumah. Mang Yayat juga membantu. Sudah seminggu Mang Yayat bantu-bantu di rumah. Rumah sedang diperbaiki. Tiga hari berturut-turut rumah kebanjiran terus. Mang Ateng juga membantu memperbaiki atap rumah. Sebenarnya perbaikan rumah sudah berjalan sebulan yang lalu. Saya jarang tidur di rumah. Sengaja tidur di Suaka sekalian agar parkir motor aman.

“maaf ma, saya benar-benar lupa, benaran gak ingat sama sekali,” kata saya.

“ditelpon gak aktif-aktif, ngapain aja?” mama tanya.

Saya gak bisa jawab, persisnya gak mau jawab. Takut panjang lagi ceritanya. Jam sudah pukul sembilan lebih. Sudah terlalu siang untuk pergi ke dokter. Mama gak mau pergi ke rumah sakit. Terlalu lama katanya. Mama malas ngantri kalau berobat ke rumah sakit. Mama ngajak saya ke dokter terdekat. Dokter Junewan, di Cilengkrang 2.

“ayo ma sekarang!” ajak saya.

Mama mengangguk sambil bangun dari sofa. Tubuhnya agak sedikit susah bergerak. Sedikit merengek. Saya tahu ia sedang tidak enak badan. Masak pun suka dibantu sama bibi, sama tetangga juga. Saya menyalakan motor. Mama ambil helm dan lupa mengenakan jaket.

“masih buka gitu dokter Junewan?” tanya mang Yayat.

“buka kayaknya.” Jawab saya.

“biasanya sampai jam sepuluh,” kata mang Yayat.

“coba aja dulu, dulu juga saya jam sebelas masih buka,” kata saya.

“oh, iya, coba aja dulu,” mang Yayat menggangguk.

“Ade, mau ke dokter?” tiba-tiba teh Iha datang.

“iya teh.”

“buka gitu jam segini?” tanya teh Iha.

“ah, mau dicoba dulu,” tegas saya.

Dokter yang buka praktek di rumahan biasanya hanya buka sampai jam sepuluh. Sisanya bekerja di rumah sakit sampai jam empat. Tapi setahu saya dokter Junewan hanya buka praktek di kliniknya saja. Motor sudah saya nyalakan. Mama sudah naik di jok belakang. “Bismillah...” saya dengar mama membaca Basmallah ketika posisi duduknya sudah tegap di belakang saya.

Motor melaju menyusuri jalan. Tidak sampai sepuluh menit saya dan mama sudah berada di Klinik Kita, dokter Junewan. Saya langsung menuju costumer service. Bertanya ini-itu dan mendaftar antrian pasien. “punya kartu anggotanya A?” tanya penjaga. “belum teh,” jawab saya tegas. Si penjaga langsung mengambil kartu anggota dan menuliskan form yang harus diisi.

“nomor 30 A.”

“berapa teh?”

“30.”

“sekarang baru ke berapa?”

“16 A.”

“baru keberapa?” tanya mama meyakinkan.

“16,” jawab saya.

Saya dan mama duduk di kursi yang disediakan. Terlihat puluhan wajah-wajah pasien yang lain. Wajah-wajah sakit dan murung. Kebanyakan pria dan wanita dewasa. Tapi terlihat beberapa anak kecil. Mungkin mereka ikut orang tuanya, atau mereka yang hendak berobat.

Cukup lama memang menunggu antrian ke-30. Jika satu pasien dihitung sepuluh menit setiap pemeriksaan, maka butuh waktu sekitar dua jam untuk menunggu. Saya menawarkan mama untuk pulang dulu dan kembali setelah dua jam kemudian. Tapi mama menggelengkan kepala. Mungkin mama tidak mau capek bolak balik.

Saya lalu minta izin ke mama, pergi sebentar ke Ujung Berung. Ngambil uang di ATM. Mama mengiyakan. Di jalan, persis depan kantor Polisi, terlihat ‘seragam hijau’ sedang berkerumun. Saya yakin sedang ada razia. Saya belokan arah ke jalan Ciporeat. Saya trauma sama Polisi. Tapi lebih tepatnya benci sama Polisi.

Di perjalanan saya masih merasa berdosa. Saya tidak tega membiarkan mama menunggu. Gas saya percepat dan mesti rela melewati jalan pasar yang bau menyengat hidung. Tak lama, saya sampai dan beres ngambil uang dan bergegas kembali ke klinik.

Saya pun duduk kembali di tengah-tengah para pasien. Tapi wajah mereka tak sepucat yang saya lihat sedari awal. Saya segera tahu, mereka tengah asik menikmati tontonan FTV yang ditayangkan di SCTV. Saya sempat berfikir rupanya sebuah tontonan yang romantis sedikit bisa mengobati penyakit yang mereka keluhkan. Atau bahkan harus ada penelitian tentang semacam terapi visual romantis untuk orang yang sakit.

Mama sudah agak melupakan kekesalannya menunggu antrian. Ia benar-benar fokus pada tontonan, walau teve yang dipasang terlalu membuat pegal leher. Para pasien harus lebih tengadah ke arah teve. Saya lirik kanan-kiri, mata mereka menuju satu arah ke teve. Saya senyum sendiri melihat semua ini.

O, ya, FTV yang sedang tayang berjudul “Anak Jendral dan Pengawalnya”. Bercerita tentang seorang gadis SMA anak seorang Jendral yang diperankan oleh Tyas Mirasih. Sang Jendral memasang pengawal untuk mengawasi ke mana pun anaknya pergi. Sang pengawal saya akui gagah dan ganteng. Tapi saya tidak tahu diperankan oleh siapa. Sang pengawal harus mencatat apa yang dilakukan oleh si gadis, lalu dilaporkannya pada sang Jendral. Tapi yang biasa kita tebak, ujung-ujungnya sang gadis dan si pengawal akhirnya saling jatuh cinta. Ini titik tekan fokus FTV. Sebuah cerita yang kreatif, yang diramu, yang mudah ditebak para pemirsa namun tetap diincar untuk sebuah hiburan yang asik.

Hari sudah benar-benar terang. Saya melirik ke tembok belakang. Di sana sebuah jam dinding menempel. Jarum jam menunjuk angka 12. Saya berdiri dan melangkahkan kaki ke penjaga. Meyakinkan lagi sudah urutan ke berapa.

“28 A”

“28?”

“iya”

“baru 28 ma, dua pasien lagi”

Mama kecut. Ia menahan kekesalannya lagi. Mama menyuruh saya membeli air. Saya sigap keluar sebentar mencari warung terdekat. Membeli dua gelas air mineral dan bergegas memberikannya ke mama.

Si penjaga memanggil nama mama. Saya dan mama masuk ke ruang pemeriksaan. Dokter Junewan menanyakan keluhan mama. Ia mirip orang China. Wajahnya agak sipit. Tapi rambutnya gondrong. Bicaranya pelan dan lembut. Mama sepertinya tak menyia-nyiakan waktu. Ia langsung menyebutkan keluhan-keluhannya. Pusing, mual-mual, badan kadang panas kadang dingin. Nafsu makan berkurang.

“itu masalahnya bu, ibu harus memaksakan makan, kalau bisa empat kali sehari. Paksakan saja walau hanya seperempat piring. Jangan makan yang asam-asam, pedas, dingin, panas, kopi. Coba diperiksa dulu bu.”

Mam berbaring. Dokter Junewan memeriksa dengan stetoskopnya. Tak lupa memeriksa darahnya. Kata dokter, darah mama naik deras. Jauh dari normal. Untuk umur sekitar 40-an. Normalnya sekitar 125 sekian. Saya lupa lagi tepatnya.

Tidak sampai sepuluh menit mama dipersilahkan ke luar ruangan dan menunggu panggilan bagian resep memanggil. Mama terlihat lega setelah beberapa jam menunggu antrian. Saya ambil helm dan tak lupa buang sampah bekas minum. Di perjalanan, mama menyuruh saya mencari sesuatu yang segar-segar buat makanan dan minuman orang rumah yang sedang bekerja. Saya tunjukkan sebuah warung yang menyediakan es buah dan sirup segar. Saya tak tahu berapa bungkus yang mama beli.

Matahari masih asik dan bersahabat. Belum ada tanda-tanda akan hujan. Saya menjalankan motor dengan santai. Saya berharap semoga setelah ini mama bisa lekas sembuh. Lalu sesampai di rumah saya harus bersiap-siap menuju seorang teman untuk memperbaiki motor yang sudah tidak lagi enak untuk saya pakai. Tak lupa harus menyiapkan budget yang cukup besar untuk benar-benar membuat si ‘Sherly’ motorku yang saya sayangi. []

08 Januari 2012

-seluruh percakapan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia-

Label:

2 Komentar:

Anonymous Anonim mengatakan...

aah totwiit.. :D *cubitpipi*

btw, kakek aku polisi loh. haha
but-i-also-hate-police,bytheway :D \m/


-bilobilo

8 Januari 2012 pukul 06.05  
Blogger mikoalonso mengatakan...

waduh, jadi takut nich sama cucu polisi. kabur ah.... brrrrrrr...

8 Januari 2012 pukul 06.11  

Posting Komentar

isi komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda